Wattpad Original
Ada 12 bab gratis lagi

PROLOG

239K 15.6K 1.4K
                                    

There are friends, there's family, and then there are friends that become family.

Aku tersenyum membaca quotes yang tertulis indah dengan tinta putih di bagian depan kaus hitam polos. Aku mengambil dua kaus dengan tulisan sama, lalu membawanya ke kasir.

"Selamat sore, ini aja, Mas? Atau masih mau tambah yang lain?" Gadis yang bertugas di kasir menyapa ramah. Baru pertama kali aku melihatnya, ia mengenakan kemeja putih dan bawahan hitam, tidak seperti karyawan lain yang mengenakan kaus berlogo Cherised, jadi mungkin dia karyawan magang. Cherised adalah sebuah gift shop yang terletak di daerah Seminyak, Bali.

"Iya, ini aja," jawabku singkat sambil membuka kaca mata hitamku, lalu memandang sekeliling.

Suasana Cherised cukup ramai, mungkin karena masih liburan sekolah. Jadi cukup banyak turis yang datang ke Bali.

"Mas lagi liburan di Bali, ya?" tanya gadis petugas kasir sambil mulai men-scan barcode.

"Nggak." Aku menggeleng pelan.

"Mas asli Bali berarti?"

"Hmm, nggak juga."

"Atau jangan-jangan, Mas artis yang lagi shooting sinetron di Bali, ya?" tebak gadis itu, sementara alisku langsung terangkat heran. Kenapa tiba-tiba larinya ke artis?

"Nggak, saya bukan artis."

"Wah, sayang banget."

"Kenapa memangnya?"

"Soalnya Mas ganteng, cocok jadi artis." Gadis itu terkikik, sementara aku hanya bisa tersenyum samar. Ini bukan pertama kali pujian ganteng, keren, handsome, tampan, dan semacamnya ditujukan padaku, tapi tetap saja rasanya rikuh. I mean, memangnya aku harus menanggapi gimana?

"Thanks, tapi saya benar-benar bukan artis," jawabku seadanya.

"Tapi kok wajahnya familiar ya, kayak pernah lihat gitu." Gadis itu menatapku saksama. Aku hanya mengedikkan bahu cuek, benar-benar ingin pembicaraan nggak masuk akal ini segera berakhir.

"Dhea, itu pelanggannnya jangan diajak ngomong terus, cepat selesaikan pembayarannya." Sebuah suara lembut, tapi tegas terdengar. Aku menoleh dan melihat sosok cantik bergaun putih tengah berjalan menuruni tangga.

"Eh iya, maaf, Bu." Gadis petugas kasir buru-buru melanjutkan tugasnya.

"Pembayarannya cash atau pakai credit card, Mas?" tanyanya.

"Cash aja." Aku mengulurkan beberapa lembar uang ratusan ribu. Gadis itu meraihnya, lalu mengulurkan tas berlogo Cherised padaku.

"Thanks." Aku mengambil tas itu. Keningku berkerut melihat serentetan nomor yang tertulis dengan tinta hitam di bagian depan tas.

"Itu nomor telepon saya. Oh ya nama saya Dhea, nama kamu siapa? Mungkin kita bisa berteman?" Gadis itu tersenyum menggoda, sementara aku hanya bisa menghela napas panjang. Ajakan 'pertemanan' seperti ini juga hal biasa buatku, tapi tetap saja rasanya nggak pernah terbiasa.

Aku adalah orang yang percaya kalau pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu bisa terjadi. Namun, mungkin hal semacam ini yang membuat orang-orang menganggap pertemanan antara laki-laki dan perempuan itu mustahil, karena selalu ada udang di balik batu, selalu ada maksud tersembunyi. Aku hendak menanggapi, tapi tertahan saat suara lembut nan tegas itu kembali terdengar.

"Namanya Elang, tapi sejak kapan nama pelanggan harus dipertanyakan saat pembayaran, Dhea?" Sosok cantik bergaun putih itu kini sudah berdiri di samping meja kasir.

Friends Don't KissTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang