Delapan Belas - Rambut Sama Hitam, Hati Masing-masing

Beginne am Anfang
                                    

"Makan cokelat bisa menenangkan diri," jelasku sambil tersenyum.

"Kakak ini lucu, deh." Tiba-tiba saja DJ bicara.

"Kakak bisa galak dan kaku luar biasa. Tapi di lain sisi, kakak juga bisa terlihat seperti ini." Tangan DJ terayun untuk menunjukku.

"Maksudnya?"

"Meskipun galak dan kaku, kakak baik hati."

Ucapan DJ itu membuat pipiku bersemu. Aku malu karena tidak biasa dipuji. Di rumah, Kak Ola adalah pusat perhatian. Dia yang paling sering menerima pujian dan penghargaan. Sementara di kantor, sepertinya semua orang sibuk untuk memperhatikan yang lain. Kecuali Ela tentu saja.

"Jadi, Mamet dan Ai bisa kembali ke ruangan ini besok?" tanyaku lagi setelah berdeham untuk menghilangkan rasa malu. DJ mengangguk dengan senyum di wajahnya. Sepertinya beban yang ditanggungnya sedari tadi sudah berkurang.

"Baiklah! Aku akan bicara dengan mereka. Sementara hari ini kamu bisa bekerja di ruangan ini. Aku akan membuka pintu, ya?"

Aku melangkah menuju ruang kecil yang digunakan oleh Mamet dan Ai untuk sementara. Langkahku melambat ketika mendengar sayup-sayup suara orang mengobrol. Aku tidak bermaksud mencuri dengar tetapi kalimat-kalimat itu tetap masuk ke dalam telinga.

"Kayanya DJ itu jadi menyebalkan karena ketularan Kak Cassie, deh." Itu suara Mamet.

"Ya nggak gitu kali, Met. Masa menyebalkan bisa menular," tukas Ai. Suaranya terdengar malas.

Terdengar suara ketukan yang terlampau keras pada keyboard laptop. Sepertinya Mamet masih kesal sampai laptopnya menjadi korban pelampiasan amarah. Aku urung untuk masuk ke dalam ruang rapat itu.

"Lagian gue heran sama Kak Cassie. Dia kayanya pilih kasih, deh. Jelas-jelas DJ yang salah tapi kenapa kita yang disuruh keluar coba? Udah kribo, galak, pilih kasih, nggak ada manis-manisnya tuh cewek." Suara Mamet terdengar lagi.

Wajahku kembali memerah. Kali ini bukan karena malu melainkan kesal. Aku tidak pernah memilih untuk menerima bentuk rambut ini. Belakangan aku malah seringkali mencepol rambutku yang bergelombang supaya lebih terlihat rapi. Namun ucapan Mamet membawaku ke masa lalu ketika duduk di bangku sekolah.

Dulu aku kerap dipanggil dengan panggilan kribo sampai rambut singa. Beberapa teman sekolahku bahkan lupa dengan namaku. Saat itu aku tidak bisa melakukan apa-apa selain menunduk. Membela diri sama saja meminta ejekan lebih parah.

"Pantesan nggak ada cowok yang mau sama, Kak Cassie, ya? Mungkin dia ditakdirkan sebagai perawan tua." Kali ini Ai yang mengikik.

Aku tidak tahan lagi. Dalam dua langkah, aku sampai di pintu ruangan yang terbuka dan mengetuk pintunya keras. Mamet yang membelakangiku terlonjak sementara Ai yang duduk menghadap pintu terbelalak. Mereka berdua terlihat bersalah.

"Asyik, ya? Ghibah memang paling seru. Apalagi kalau orang yang diomongin nggak ada. Makin digosok makin sip, ya?" Aku masuk lalu duduk di satu-satunya kursi yang masih kosong.

Kedua anak magang itu saling menyalahkan satu sama lain tanpa suara. Kalau saja suasana hatiku lebih baik, pemandangan itu akan sangat menghibur. Mereka seperti ikan mas koki yang terlempar keluar dari air. Mangap-mangap tanpa suara.

"Ayah DJ sakit keras. Itu sebabnya dia bertingkah aneh. Aku meminta tolong kalian keluar karena jika DJ yang kusuruh keluar, dia akan mengira kalau aku mengusirnya. Buat orang yang sedang sedih atau gelisah, salah bicara saja bisa berakibat fatal," ucapku tanpa basa-basi.

Wajah Ai memucat sementara Mamet termangu. Mereka kaget sekali mendengar ucapanku. Sekarang Mamet terlihat gelisah. Wajahnya yang tadi pucat karena kaget saat tahu aku mendengar ucapan mereka, berubah menjadi merah karena malu.

"DJ gelisah dan ketakutan kehilangan ayah sementara kalian di sini malah membicarakan kejelekan kami. Luar biasa!" Aku memandang keduanya dengan kecewa. Tidakkah mereka bisa menunjukkan empati terhadap sesamanya?

"Maaf, Kak. Kami nggak tahu kalau ...." Ucapan Ai tenggelam.

"Kalau membicarakan orang lain dan mengejeknya di belakang tidak boleh? Kalian bisa saja pintar seperti Einstein. Tapi apa gunanya itu kalau tidak dibarengi dengan kebaikan hati? Apa kata kalian tadi tentang aku? Rambut kribo dan perawan tua? Aku nggak tersinggung, tapi sedih. DJ akan datang beberapa saat lagi, pastikan kalian memperlakukannya dengan baik."

Aku berbalik dan melangkah keluar ruangan. Kakiku baru saja di ambang pintu ketika terdengar suara.

"Kakak juga nggak berkelakuan baik. Menguping pembicaraan orang lain itu nggak baik. Kak Baron benar! Kakak juga nggak punya kompetensi yang baik."

Sial! Kali ini air mataku hampir saja keluar. Aku menoleh dan melihat Mamet memeloti Ai. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun aku keluar. Sepertinya kali ini aku yang perlu tempat untuk menenangkan diri.

Aku berpapasan dengan Baron saat menuju lift. Laki-laki itu mencekal lengan atasku dan bertanya apa yang terjadi padaku. Untunglah suasana sedang sepi jadi tidak ada yang melihat kami di sini.

"Gue nggak apa-apa. Lepasin! Jangan ikut campur urusan gue." Kusentakkan lengan Baron.

"Cassie, muka lo merah kaya mau nangis. Lo yakin nggak apa-apa?" tanya Baron lagi.

Kali ini aku kesal. Kenapa sih laki-laki itu selalu muncul di saat yang tidak tepat? Dia selalu melihatku berantakan dan sikap perhatiannya itu mengganggu sekali. Baron masih menunggu jawabanku dengan tidak sabar. Aku sadar harus secepatnya pergi dari sini atau emosi akan meledak begitu saja.

Malangnya, lift yang biasanya tidak henti berdenting, belum sampai juga di lantai kantorku. Aku harus segera pergi! Kuputuskan untuk memakai pintu darurat. Namun Baron kembali memegangi lenganku.

"Lepasin, Baron! Jangan sampai lo bikin gue ngomong hal-hal yang menyakitkan," ancamku.

"Gue nggak bakal sakit hati," ucap Baron tegas. Sikapnya itu malah semakin membuatku ingin menangis.

"Udahlah, Baron. Jangan campuri urusan gue." Kali ini kurendahkan suara karena lelah. Beberapa orang dari divisi lain keluar dan lorong lift dipenuhi dengan orang. Kesempatan itu kuambil untuk melepaskan pegangan tangan Baron pada lengan dan menyusup ke pintu darurat.

*

Catatan Peribahasa:

Rambut sama hitam, hati masing-masing = Semua orang mempunyai pendapat (kemauan) masing-masing.

The Differences Between Us (Completed) Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt