01. Indira Septa Aryani

321 154 403
                                    

Indira's POV

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Indira's POV.

Hari senin. Hari dimulainya langkah awal untuk mendapatkan masa depan yang lebih baik, katanya sih.

Mungkin 60% populasi manusia di muka bumi setuju dengan pernyataan tersebut, dan tentu saja aku termasuk ke dalam 40% sisanya.

Bagiku, hari senin adalah hari yang melelahkan. Dimana semua aktivitas dan rentetan jadwal yang padat kembali dimulai di hari itu. Sungguh, rasanya aku tidak sanggup untuk move on dari si minggu.

Jadwalku di sekolah dimulai dari jam 06.20 karena aku harus melaksanakan piket salam pagi—berdiri di depan gerbang sambil tersenyum manis menyambut siswa-siswi yang datang, dan berakhir pada jam 13.50.

Hanya butuh waktu satu jam untuk beristirahat sebelum akhirnya aku kembali mengajar les hingga jam delapan malam.

Yaa bisa dibilang seperti itulah rutinitasku. Mau tak mau harus dijalani dengan ikhlas—biarpun kadang setengah misuh-misuh. Demi uang apasih yang tidak bisa dilakuin. Asal halal ya hajar saja lah.

"Diraaaa!" sapa riang sahabatku, Erlin. Masuk tanpa salam, tanpa bawa makanan pula.

Sudah biasa ....

Erlin adalah sahabatku satu-satunya. Masih awet dari bangku SD sampai sekarang. Dulu, aku adalah orang yang sangat introvert. Tidak mudah bagiku untuk menjalin relasi dan bersosialisasi dengan makhluk hidup yang dinamai manusia.

"Kenapa sih?" tanyaku sambil memakan roti yang sudah kuolesi selai cokelat.

"I found my red!" ujarnya bahagia.

"Yakin banget Neng, he's your red?"

"Pasti. Matanya itu, loh!" jawabnya berbinar, sedangkan aku hanya mengangguk-ngangguk. Iyain aja udah, pikirku.

Sebut saja Erlin jatuh cinta pada pandangan pertama. Istilah gaulnya sih love at the first sight. Katanya mereka bertemu di jalan—saling berpapasan sekilas. Erlin sempat menatap matanya sebelum pria itu berlalu, dan memandang punggung tegap sang pria yang mengenakan baju berwarna merah.

Sudah, itu doang kuncinya. Baju merah sama tatapan mata?!

Buset deh, aku juga bingung mau nyari dimana pria dengan kriteria seperti itu. Hebatnya lagi, pertemuan tersebut terjadi lima tahun yang lalu, dan Erlin masih saja mencari sosok yang dinamainya Red itu.

"Dia kerja di rumah sakit. Namanya Azka, dokter saraf yang ngobatin aku pas kemaren ketiban dus-dus yang isinya buku-buku super tebal. Umurnya 32 tahun."

What?!

Sontak saja aku terkejut mengetahui umur pria tersebut. Oke, oke ... bagi pria sih hal itu biasa saja. Bisa dimaklumi malah.

Pria 32 tahun didekati oleh gadis 22 tahun mungkin masih terbilang normal. Sakarang aku memposisikan diri sebagai wanita lajang berusia 32 tahun. Oh gosh! Pasti aku sudah mendapat predikat perawan tua.

Dokter KutubTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang