***

Eugene dan Airlangga sudah duduk berhadapan di ruang kerja pria itu selama hampir satu jam dan perlahan mulai terasa suntuk. Namun, Eugene berusaha menyemangati diri ketika dokumen yang ada di hadapannya sudah mencapai beberapa halaman terakhir, menandakan bahwa pekerjaan mereka akan segera berakhir. Hal sesederhana itu kembali memberikan secercah harapan bagi Eugene. Paling tidak, ia masih bisa melihat kembang api yang menghiasi langit malam tahun baru di New York. Meskipun tidak melalui dinding kaca besar restoran yang diharapkannya, dan tidak ada steak lembut nan juicy, bahkan segelas anggur merah. Sebenarnya ia tidak sefanatik itu dengan tahun baru, tapi sepertinya antusiasmenya akan tahun baru sudah terkumpul sedikit demi sedikit dari beberapa bulan yang lalu, berakhir menggunung hari ini dan siap tumpah ketika hitungan mundur terjadi.

Namun, setelah bekerja sepuluh menit lebih lama dari perkiraannya, Airlangga terlihat tidak mau berhenti membahas pekerjaan dan malah mengulik topik baru. Eugene segera menyela atasannya itu, "Jika memang kita akan lama di sini, saya harus mengabari Cella terlebih dahulu agar dia tidak menunggu saya di restoran terlalu lama."

Airlangga menatap Eugene kebingungan, tapi pada akhirnya Airlangga mengangguk setuju. Airlangga baru ingat jika tadi Eugene hendak makan malam dengan wanita yang dikenalkannya sebagai sepupu, sebelum berakhir dikacaukan oleh dirinya sendiri. Jujur saja, Airlangga bahkan sudah lupa dengan Pexel yang datang dengannya dan pastinya memiliki nasib yang sama dengan sepupu Eugene. Mereka berdua ditinggalkan di restoran tanpa kabar.

Eugene mengetik pesan singkat dengan cepat pada Parcella, memberitahukan kepada sepupunya itu bahwa dirinya tidak akan kembali ke restoran lagi, sehingga Parcella bisa segera pulang tanpa perlu menunggunya. Setelah memastikan pesan singkatnya terkirim, Eugene mengangkat kepala menatap Airlangga yang sedang sibuk melingkari dan mencoret dokumen di hadapannya. "Sebaiknya Anda memberi kabar pada Pak Pexel, karena sepertinya Pak Pexel juga sedang menunggu Anda kembali ke restoran."

Airlangga tidak menjawab perkataan Eugene dengan kata-kata, melainkan dengan tindakan. Hal itu terlihat jelas dari Airlangga yang langsung mengabari Pexel dengan cepat dan tanpa basa-basi.

Tampaknya dua partner mereka sama-sama setuju dan memaklumi keabsenan mereka dari acara makan malam. Padahal, Eugene ingin menikmati masakan dan pemandangan restoran yang sudah dipesannya jauh-jauh hari, tapi nyatanya Eugene tidak bisa menikmatinya kali ini. Sayang sekali. Mengingat hal itu membuatnya kembali murung.

Eugene semakin murung ketika Airlangga membuka halaman selanjutnya dari dokumen baru yang ada di hadapan mereka dan kembali mendiskusikannya dengan Eugene. Dari pembahasan mereka sejauh ini, tampaknya Airlangga dan Pexel hendak merenovasi hampir seluruh lantai di PA Tower, menjadikan ruangan itu sesuai dengan mayoritas keperluan pasar.

Setengah jam berlalu lagi dengan cepat hingga suara samar kembang api terdengar dari rumah Airlangga. Eugene melirik sekilas jam dinding yang terpasang di dinding atas televisi, waktu sudah menunjukkan pukul dua belas malam kurang sepuluh menit, pantas saja kembang api sudah mulai dimainkan.

Airlangga melonggarkan dasi dari kerah kemejanya, selanjutnya meloloskan dasi itu dari kepalanya, kemudian ditaruhnya sembarangan di atas meja. Lalu, pria itu berjalan menjauh menuju kulkas yang berada di balik kitchen island yang bisa dilihat dengan jelas dari posisi Eugene saat ini karena ruang kerja Airlangga dan dapur hanya dibatasi oleh dinding kaca yang tidak ditutup tirai. Terlihat Airlangga tengah mengeluarkan kalengan soda merek terkenal dan jelas saja pilihan pria itu membuat Eugene menaikkan sebelah alisnya.

"Coke?" tanya Eugene tanpa menutupi ekspresi bingung ketika Airlangga berjalan memasuki ruangan dengan kedua tangan memegang kaleng soda.

"Iya, tidak mungkin kita minum wine sambil bekerja. Pekerjaan ini tidak akan selesai," jelas Airlangga sambil membuka kaleng soda, kemudian meneguknya. Leher jenjang pria itu terlihat sangat jelas karena sudah tidak lagi tercekik dasi yang erat. Selain itu, dua kancing teratas kemeja yang dikenakan Airlangga sudah dibukanya.

"Maka Anda semakin keterlaluan. Selain sudah membuat saya tidak melewati malam tahun baru dengan baik dan benar, Anda juga tidak memberikan saya anggur merah sebagai bentuk penghiburan." Eugene menaruh bolpoin yang digenggamnya ke atas meja. Ia berjalan mendekati dinding kaca ruang kerja Airlangga, yang mengarah ke taman, sambil menunjuk kembang api yang tampak kecil dari kejauhan. "Paling tidak, biarkan saya menikmati segelas anggur merah sambil menatap kembang api yang sudah mulai dimainkan di luar sana," lanjutnya.

"Baiklah," kata Airlangga. Ia dengan patuh berjalan menuju lemari penyimpanan wine yang berada tidak jauh dari kulkas tadi, kemudian kembali dengan sebotol wine dan dua gelas sampanye kosong. Sesederhana itu, tapi sudah berhasil membuat Eugene mulai menerbitkan senyum tipis.

Airlangga dan Eugene berdiri tepat di depan dinding kaca dengan gelas sampanye di masing-masing genggaman. "Happy New Year!" Dentingan halus gelas mereka terdengar memenuhi ruangan, bersamaan dengan ramainya suara letupan kembang api di luar sana yang agak teredam dinding kaca. Setelahnya, dentingan gelas mereka berdua kerap terdengar dan tanpa disadari, gelas mereka berdua tidak pernah sekali pun dibiarkan kosong.

Entah karena momen yang tepat, atau karena kadar wine yang diminum mereka berdua cukup tinggi, Airlangga dan Eugene perlahan tapi pasti mendekatkan diri mereka berdua. Tatapan mereka terkunci di bawah cahaya samar ruang kerja Airlangga. Eugene sadar dengan pasti, prinsip yang dipegangnya selama ini sebentar lagi akan dilanggarnya. Dan seperti sebuah penghiburan, Eugene menganggap dirinya sudah cukup dewasa untuk merasakan pengalaman ini.

Tepat seperti apa yang diprediksi oleh otak setengah sadarnya, Airlangga menarik Eugene mendekat, kemudian merebut gelas kosong dari tangannya. Pria itu menaruh kedua gelas sampanye kosong mereka ke atas meja kerja, kemudian menyandarkan tubuh Eugene pada meja kokoh setinggi pinggang itu. Airlangga menarik tengkuk Eugene lembut, lalu menyatukan bibir mereka yang masih dengan jelas mengeluarkan aroma khas anggur merah yang memabukkan.

Eugene sempat memberontak ketika ciuman ringan serta lembut itu perlahan berganti menjadi ciuman dalam dan intens. Tapi, penolakan itu terjadi sebentar saja, terbukti dari dirinya yang kini membalas ciuman Airlangga sama dalamnya. Airlangga terus menciumnya sambil membimbing Eugene melangkah memasuki ruangan lain. Eugene dengan patuh mengikuti langkah Airlangga dengan kaki yang mendadak lemas tidak bertenaga. Kegelapan penuh langsung menyambutnya, begitu juga dengan hawa dingin yang menyengat kulit. Ditambah dengan jantung yang semakin berdetak kencang hingga Eugene takut Airlangga dapat mendengarnya dengan jelas. Detakan itu semakin menjadi ketika tubuhnya dijatuhkan ke atas kasur.

Lagi-lagi, dari cahaya lampu yang samar dan remang itu, Eugene melihat bayangan Airlangga di atas tubuhnya. Airlangga menyelipkan rambut panjang Eugene ke balik telinga, dilanjutkan dengan menyusupkan wajahnya pada leher jenjang Eugene, sebelum pada akhirnya dinginnya ruangan tidak lagi terasa. Panas dari tubuh mereka berdua berhasil mendominasi dinginnya kamar Airlangga malam itu.

A Night Before You [END]Where stories live. Discover now