[35] - Sebuah balasan

18.4K 1.1K 17
                                    

Ansell memasuki rumahnya. Sekararang waktu sudah menunjukan pukul sembilan malam, laki-laki itu melepas jaketnya, lalu melangkah masuk ke dalam kamar. Tak lupa sebelum ia memasuki kamarnya, Ansell terlebih dulu mengambil sebuah botol minum, karena dirinya ingat betul jika sang istri memiliki kebiasaan bangun di malam hari hanya untuk pergi mengambil air minum.

Ansell meletakkannya di meja yang tak jauh dari posisi tidur sang istri. Kini, Ansell menatap lamat-lamat mimik wajah Grace—istrinya, perempuan itu sudah tertidur dengan lelap. Terlihat lebih tenang dan kadar kecantikannya seperti bertambah jika perempuan itu sedang tertidur. Hatinya semakin tersentuh, semakin tidak tega untuk menyakitinya lagi. Perempuan yang sedikit menyebalkan yang rela mengorbankan cintanya demi nama baik keluarganya dan perusahaan ayahnya.

Ansell mengambil posisinya, berbaring di samping Grace. Tak hentinya ia terus memandangi wajah sang istri, kini posisinya saling berhadapan. Setia menatapnya yang sedang pulas tertidur itu, sepersekian detik tangannya tertarik untuk menyalipkan beberapa helai rambut yang menghalangi wajahnya. Namun, niatnya ia urungkan—takut jika pergerakannya dapat membangunkan Grace.

Ansell menarik napasnya, mengalihkan atensinya menatap langit-langit kamarnya. Rumah tangganya sudah menginjak bulan kedua, tetapi rasanya sudah sangat lama ia berada di sisi Grace, menghabiskan segala waktunya bersama perempuan yang tidak pernah ia bayangkan akan menjadi istrinya.

"Kau sudah pulang?" tanya Grace, perempuan yang terbangun dari tidurnya beberapa detik yang lalu itu tak sengaja melihat Ansell yang sudah berada di sampingnya.

Ansell membalikkan posisinya kembali menghadap sang istri. Lalu, menjadikan tangannya sebagai bantalan, laki-laki itu mengangguk dengan senyuman tipisnya. "Kenapa bangun?" Ansell bertanya.

"Aku haus," ujarnya. Lalu, perempuan itu membenarkan posisinya menjadi duduk—berniat untuk mengambil air minum ke dapur.

"Aku sudah membawakannya untukmu." Ansell mengambil botol tersebut, lalu diberikannya kepada Grace.

"Terima kasih," ujarnya. Grace pun langsung meminumnya dan bersiap untuk melanjutkan tidurnya.

"Aku mencintaimu."

Grace yang hendak menarik selimut itu menatap ke arah Ansell. Terdiam sejenak, lalu perempuan itu tersenyum tanpa mengatakan sepatah kata pun. Bahkan, tidak ada reaksi apa pun darinya, membuat Ansell sedikit kebingungan. Apa perempuan itu sama sekali tidak senang, ketika perasaannya terbalaskan?

"Grace?" panggil Ansell. Grace pun menoleh mengangkat sebalah alis seakan menjadi jawaban 'apa?'

"Berkomitmen itu perihal ketetapan dan ketepatan. Jangan terburu-buru lalu memaksakan perasaanmu sendiri. Aku tahu kau belum mencintaiku. Aku tak ingin memaksamu, tapi jika kau ingin terus berusaha maka aku akan menunggumu."

Grace tersenyum, setelah itu membalikkan posisi tidurnya membelakangi Ansell—suaminya. Namun, tanpa Ansell sadari dibalik itu semua Grace tersenyum getir, hatinya belum sepenuhnya pulih. Entah, bagaimana perasaannya saat ini ketika dirinya mendengar sebuah kabar baik dan kabar buruk dalam waktu yang bersamaan.

Perlahan tangan Ansell melingkar lembut di perutnya, deru napas yang teratur itu dapat Grace rasakan. Ansell memeluk tubuhnya dari belakang, membuat jantungnya berpacu lebih cepat dari biasanya. Beberapa saat kemudian Ansell mengelus perutnya dengan sayang seolah semua perhatian dan kepeduliannya tercurahkan malam ini.

"Biarkan aku tidur dengan posisi seperti ini." Ansell bersuara.

***

Dean mengacak rambutnya frustrasi, masalah yang berusaha dikuburnya dalam-dalam itu haruskah diungkit lagi? Masa kelam yang di mana membuat dirinya semakin merasa terpukul dan merasakan penyesalan yang amat mendalam. Dirinya sadar, ia tidak akan pernah terlepas dari belenggu masa lalu yang terus mengikatnya. Namun, disatu sisi lain untuk berada di posisi sekarang itu sebuah perjuangan terbesarnya.

Mengingat bagaimana dirinya dulu, membuat laki-laki itu merasa bahwa dirinya termasuk salah satu orang yang tidak berguna sama sekali di muka bumi ini. Namun, karena tekadnya ia bisa menjadi seseorang yang jauh lebih baik dari sebelumnya. Harusnya dia bangga bisa terlepas dari barang haram tersebut, tetapi yang tidak bisa dirinya lupakan adalah malam yang di mana dirinya mengalami relapse dan memperkosa Carla dengan tidak sadarnya.

Untuk beberapa bulan ke depan mungkin Dean masih tidak sadar dan tidak begitu merasa bersalah atas apa yang sudah dirinya perbuat. Namun, seiring berjalannya waktu, banyak sekali rumor yang menjelaskan secara rinci kematian Carla, gadis yang sempat disukainya secara diam-diam. Lama dia merenung, pada akhirnya dia bertemu dengan titik penyelesaian. Semakin diingat, semakin yakin jika dirinyalah orang dibalik pemerkosaan perempuan itu.

Rumor tentang pemerkosaan dan juga kematian Carla pun perlahan mulai redup. Tidak ada lagi orang yang mengungkitnya, seolah itu berlalu begitu saja dan menghilang tanpa jejak, seperti angin lalu. Namun, di hati seseorang kejadian itu akan selamanya membekas, selamanya.

***

Waktu sudah menunjukan pukul dua pagi. Namun, sedari tadi perempuan itu terus merintih kesakitan. Dia merasakan ngilu pada bagian perutnya, beberapa kali dirinya mencoba untuk tenang, tetapi rasa ngilu itu tak kunjung hilang. Grace mengganti posisi tidurnya menjadi miring, tetapi masih saja sakit, Grace manahan tangisnya tidak mungkin jika dirinya harus menangis malam-malam seperti ini.

Grace menatap Ansell yang saat ini sudah tertidur pulas, tak tega jika harus dibangunkan. Akhirnya Grace memilih untuk tidur kembali, Grace memeluk Ansell dari belakang dengan begitu erat—saking tidak kuatnya menahan rasa sakit, Grace pun menangis. Pelukan dari Grace berhasil membangunkan sang suami, detik itu juga Ansell membalikkan tubuhnya.

"Hei, kenapa?" Ansell terkejut ketika melihat sang istri menangis dengan tangan yang terus memegangi perutnya.

"Sakit, Ansell." Perempuan itu kembali merintih.

"Posisi tidurnya yang benar," ucap Ansell seraya membenarkan posisinya menjadi duduk.

"Masih sakit." Grace kembali menangis, Ansell yang tidak tega pun menyeka air matanya. Berusaha memberikan ketenangan.

"Perutnya sakit?" Dia bertanya dan dibalas anggukan oleh sang istri.

Dalam keadaan mengantuk berat Ansell berusaha membuat istrinya relax. Kini, Ansell beranjak untuk mengambil fresh care beraromakan lavender, dioleskannya ke perut sang istri. Sesekali Ansell mengusap lembut perut Grace. "Coba kakinya ditekuk," ujar Ansell. Grace pun mengiakannya, sedangkan Ansell terus mengusap-usap perutnya meskipun rasa kantuk menyerangnya.

"Apa ini tidak akan kenapa-kenapa?" Grace bertanya kepada suaminya.

"Ini namanya kram ibu hamil. Tidak apa-apa, jangan banyak pikiran. Kasian bayinya," ujar Ansell.

"Bagaimana kau tahu?" Grace mengernyitkan dahinya, heran kenapa laki-laki itu lebih tahu daripada dirinya?

"Ini." Ansell melihatkan ponsellnya kepada Grace, yang di mana Ansell baru saja mencari tahu lewat aplikasi pencarian atau biasa disebut dengan mbah google.

Grace hanya ber-oh ria. "Posisinya jangan duduk, sambil tiduran aja. Pasti pegel," ujar Grace yang merasa tidak tega sudah merepotkan suaminya.

"Tidak apa-apa. Kau tidur saja."

"Tidak sakit seperti tadi, di sini tidur," pinta Grace seraya menepuk bantal yang berada di samping posisinya.

"Iya, Grace."

To be continued ....

Pengantin Pengganti Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang