Tujuh Puluh Dua

92.4K 13.3K 6.4K
                                    

Syifa menatap kosong Al yang kini terbaring lemah di brankar rumah sakit, beberapa alat medis terpasang rapi di tubuhnya, matanya setia tertutup seakan dunianya yang lain lebih baik baginya, ya! Alfa koma.

Lagi dan lagi Syifa menangis, ia tak menyangka jika kondisi putranya setelah di temukan akan berakhir seperti ini, gadis itu tak sampai hati membayangkan bagaimana rasanya peluru panas menembus punggung putranya itu.

Pertahanannya runtuh, badannya lunglai, ambruk tepat di depan pintu ruangan Al, sungguh kondisi Syifa saat ini benar benar memprihatinkan.

Vania yang baru kembali dari kamar mandi seketika shock melihat keadaan Syifa, gadis itu lantas berlari dan langsung merengkuh Syifa dalam pelukannya, ia pun turut merasakan apa yang tengah Syifa rasakan.

"Kenapa Van hiks... Kenapa orang orang terdekat gue jadi kek gini hiks..." Lirihnya

Vania tak menjawab, gadis itu terus memberikan usapan lembut di punggung Syifa, lidahnya pun kelu untuk sekedar menjawab pertanyaan sepupu nya itu.

"Bangun yuk" ucapnya kemudian, ia menggiring Syifa untuk duduk di kursi yang ada di sana.

"Syifa, gue tau Lo sedih, gue juga sedih denger kabar kek gini, tapi Lo harus yakin, jika Allah gak mungkin menguji seorang hamba melewati batas kemampuan seorang hamba itu, Lo juga harus yakin, jika keadaan kek gini pasti ada hikmahnya buat kehidupan kita selanjutnya" nasihatnya panjang lebar, Vania jadi bangga sendiri mendengar nya, ia tak menyangka jika kata mutiara seperti itu bisa keluar dari mulutnya.

Syifa bergeming di tempatnya, gadis itu hanya diam tanpa menyahuti ucapan sepupunya, hanya air mata yang terus mengalir di pipinya, tanpa suara.

Lama kelamaan Syifa mengangguk, yang di katakan Vania memang benar adanya, tak mungkin jika Allah mengujinya dengan melewati batas kemampuannya dan pasti akan ada hikmah setelah kejadian ini semua.

"Lo bener Van, dan sekarang yang harus gue lakuin itu berdoa, bukan nangis nangis gak jelas kek gini" ucapnya.

Syifa melirik arloji di tangannya, waktu menunjukkan pukul tiga dini hari, gadis itu tersenyum sambil memandang Vania lekat.

"Kita sholat yuk" ajaknya, Vania pun tersenyum lantas mengangguk, keduanya berjalan beriringan menuju musholla terdekat di rumah sakit regara, tak lupa sebelum pergi Syifa menelpon bodyguard untuk menjaga ruangan putranya.

"Oh iya kak Azka kemana?" Tanyanya, gadis itu baru menyadari jika azka tak ada di dekatnya setelah oma dan opa berpamitan pulang.

mendengarnya, vania tak dapat menjawab, gadis itu jadi teringat obrolannya dengan revan tadi.

Flashback on

vania hanya bisa terdiam memandangi keponakannya yang kini terbaring lemah, syifa sepupunya sudah menangis sedari tadi dalam pelukan azka, gadis itu seakan kekurangan air mata sekarang karena terlalu sering menangis.

seketika vania menoleh begitu ia rasakan tepukan di pundaknya, dilihatnya revan tengah tersenyum manis padanya. vania tak kuasa menahan sesaknya, gadis itu kemudian menangis seolah senyum yang di tunjukkan revan adalah senyum kepedihan

revan terkekeh geli melihat gadis di depannya lalu tanpa sadar merentangkan tangannya "mau peluk?" dan pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutnya.

vania mengangguk namun belum sampai memeluk tubuh tegap di depannya, ia menggeleng pelan "gak bolek revan, bukan mahrom" ujarnya.

malu malu, revan menurunkan tangannya dan sedikit memundurkan badannya "oh iya lupa, berarti harus di halalin dulu dong?" tanyanya, dan vania hanya menanggapinya dengan dengusan malas.

My bad boy Azka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang