"Pramodawardhani."

Ratih memelototkan kedua matanya, "Aku?"

Laras dan Panji pun tak kalah herannya saat mendengar kata-kata Laksmidara barusan.

"Tapi aku saja tidak pernah melihat bentuknya, apalagi menyentuhnya." sanggahnya.

Laksmidara tersenyum samar, "Aku pasti akan menunjukkannya padamu. Selama ini aku menjaganya dengan baik, karena ini merupakan wasiat dari Raja Sanjaya kepadaku. Dahulu, Raja Indra menyerahkan senjata ini pada pendiri Wangsa Sanjaya. Saat itu perang dua dinasti belum berlangsung, sehingga untuk menunggu kelahiran berikutnya dari pemilik senjata ini, Raja Sanjaya memberikan wasiat kepadaku yang mengatakan bahwa di masa kejayaan Rakai Pikatan, kelak akan bangkit kekuatan kegelapan, dan yang bisa memusnahkannya hanyalah Sri Kahulunan, yaitu Pramodawardhani."

Ratih masih tak habis pikir, ia terus menatap satu sama lain dengan teman-temannya.

***

Udara sejuk yang menyelimuti Hutan Undir membawa ketenangan tersendiri bagi Ratih. Seharian ini ia telah menghabiskan waktu cukup banyak untuk berlatih dengan Laksmidara secara privat. Dan sebagai self reward untuk dirinya sendiri ia memilih untuk duduk bersantai di sebuah batu besar sambil menikmati keindahan alam yang disuguhkan. Dipandanginya hamparan sungai kecil dengan air jernih yang mengalir deras di sela-sela bebatuan menciptakan nada gemericik yang menenangkan pikiran dan jiwanya.

"Ndoro Putri."

Tiba-tiba suara itu muncul dan membuat hati Ratih terbakar api kemarahan, ia menggenggam erat sebuah batu kecil di tangannya kemudian melemparkannya cukup jauh hingga ke tengah sungai.

"Nirma," geramnya.

Kehadiran seseorang yang muncul di belakangnya membuat Ratih seketika menoleh waspada. Ia khawatir jika itu adalah orang-orang istana yang kini tengah memburunya. Namun, setelah mengetahui bahwa itu hanya Laras, ia pun kembali menolehkan kepalanya ke depan tanpa berkata apapun.

Laras mengerti arti dari sikap diam yang ditunjukkan Ratih. Sejak insiden pelarian itu, mereka hampir tidak bicara satu sama lain. Mungkin Ratih masih kesal dengannya atau bahkan membencinya sebagaimana yang pernah ia lakukan pada wanita itu dulu.

Laras menggigit bibir bagian bawahnya sambil mengepalkan kedua tangan. Betapa besar rasa malunya di hadapan Ratih. Bukan hanya Ratih, melainkan ia juga malu akan perbuatannya di hadapan para leluhur dan kerajaan ini. Semua yang pernah ia lakukan memang tidak pantas untuk dimaafkan.

Laras melangkahkan kedua kakinya lebih dekat.

"Yang Mulia..."

"Tolong, aku sudah muak dengan panggilan itu lagi sekarang," potong Ratih tanpa menolehkan kepalanya sedikit pun. Ia terus melampari sungai itu dengan bebatuan kecil karena kekesalannya.

Laras menghela napas, setelah mendengar ucapan Ratih barusan, kini ia akan mencoba untuk berbicara lebih dekat lagi.

"Apakah kau masih marah kepadaku?" tanyanya.

Tidak ada jawaban apapun di sana.

"Aku telah kehilangan segalanya, tapi aku tidak bisa jika harus kehilanganmu juga. Aku tahu semua yang kulakukan salah, aku sangat menyesali perbuatanku. Kini, aku terima kebencianmu padaku sebagai hukuman," sesalnya.

"Sekali lagi, maafkan aku Ratih," Kemudian Laras pun berbalik dan hendak melangkahkan kaki untuk pergi dari tempat itu karena merasa Ratih tidak akan pernah mau bicara dengannya lagi.

"Itulah yang sejak tadi ku tunggu Laras! Akhirnya kau mengucapkan namaku dengan benar," balasnya tepat di saat Laras baru saja ingin pergi dari sana.

ABHATIWhere stories live. Discover now