43. Hidangan Teh Felinette de Terevias

4.4K 1K 318
                                    

"Menurutmu, apa arti selamanya?
Untuk waktu yang selama mungkin?
Atau kekal, abadi, dan tidak terbatas?
Apapun itu, kata-kata seindah itu agak mustahil."

***

Ketukan pintu itu terdengar ketika Luna sedang menuangkan setetes cairan berwarna keemasan di dalam teko tehnya yang masih mengepul.

Luna ingin menggerutu karena sebelumnya telah mengingatkan kepada semua pelayannya untuk tidak menginterupsinya selama sedang menikmati tehnya.

Cepat-cepat, Luna menyimpan botol kecil itu kembali dalam jahitan tersembunyi dalam gaunnya, lalu berusaha mengatur jantungnya yang sebenarnya berdebar kencang karena aksinya barusan.

"Silakan."

Pintu di ruangan itu terbuka. Sejujurnya Luna juga tidak tahu harus menyebut ruangan ini sebagai apa, karena ruangan itu bukanlah ruangan khusus untuk menikmati teh sore, ataupun ruang tamu--sebab Luna tidak pernah benar-benar punya tamu untuk diundang di Istana Barat. Namun selama ini itu menjadi tempatnya menenangkan diri dan meminum teh sendirian.

Terence muncul dari ambang pintu, menatapnya agak ragu sebelum akhirnya memutuskan untuk melangkah masuk.

"Maaf mengganggu waktunya, Tuan Putri."

Oh, jadi akhirnya kau memutuskan untuk berbicara.

Luna hanya diam, mempersilakannya. Sudah nyaris sepekan sejak hari ulang tahunnya dan Terence tidak pernah membahas tentang misinya yang telah tertangkap basah itu. Luna juga dalam masa berhenti mengajak Terence berbicara panjang lebar, apalagi berbasa-basi untuk membahas hal itu, sebab Luna sudah tahu bahwa Terence akan menghadapi Death Wave, cepat atau lambat.

"Silakan duduk." Luna mempersilakan, tetapi Terence tetap berdiri menatapnya dengan penuh bersalah. "Apa itu artinya perbincangan kita akan singkat?"

"Saya tidak pantas di posisi yang sama dengan Tuan Putri," jawabnya.

"Jadi, apakah berdiri pantas?" tanya Luna lagi. Baru saja hendak mengubah posisi untuk berjongkok di sampingnya, Luna kembali menyela. "Kau sedang melawan, ya?"

Setelah mendengar Luna mengatakan demikian, barulah akhirnya Terence memutuskan untuk duduk di seberangnya.

Luna melirik teko keramiknya yang masih mengepul mengeluarkan aroma khas yang mengisi seluruh ruangan. Rasanya ingin sekali menawarkan teh itu kepada Terence, tapi Luna telah memasukkan ramuan Golden Sun di dalamnya.

"Pelayan, buatkan teh baru dan berikan cangkir tambahan," pinta Luna yang langsung membuat beberapa pelayan masuk ke dalam untuk membawa cangkir dan teko itu keluar. Sebelum pelayan tak dikenal itu benar-benar keluar dari ruangan itu, Luna menambahkan, "Teh itu kurang segar. Langsung dibuang saja."

Demikianlah begitu, setelahnya ruangan itu kembali hanya menyisakan Luna dan Terence yang duduk saling berhadapan.

"Tuan Putri, saya minta maaf."

"Apa kau berbuat kesalahan?" tanya Luna dengan dingin. Ya, kalau Terence ingat dengan pertanyaan itu, barangkali dia akan tahu seberapa menyebalkan pertanyaan itu.

"Saya tidak jujur tentang misi yang akan saya hadapi," jawabnya.

"Aku tidak ingat pernah memintamu untuk menceritakan segalanya," jawab Luna, masih dengan ekspresi yang sama. "Kalaupun akhirnya ada keputusan tiba-tiba untuk mengganti ksatria pribadiku hari ini, tidak ada apapun yang bisa diperbuat."

Terence diam selama beberapa saat, tetapi tetap tidak menoleh ke arah Luna.

"Apa semua pelajaran dan materi wajibmu sudah selesai?"

In Order to Keep THE PRINCESS SurvivesNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ