"Ada apa? Mendadak sekali.." tanya Anna menatap bingung suaminya. Pergi mendadak untuk urusan bisnis bukanlah kebiasaan suaminya.

"Mas Rio memintaku melihat cabang baru yang ada disana, dan mungkin aku yang akan mengurusnya"

"Kau sudah sibuk dengan pabrik mainanmu, kenapa masih harus mengurus cabang baru?" Ucap Anna sedikit kesal karena suaminya ini selalu menuruti apa yang kakaknya suruh.

"Maaf, tapi ini penting untuk perusahaan"

"Berapa lama?" Tanya Anna sedikit melembut, tak tega melihat wajah Rey yang kini dipenuhi guratan rasa bersalah.

"Sebulan..." jawab Reynald mengecil di bagian akhir ketika wajah istrinya langsung berubah.

"Aku janji akan mengabari setiap hari"

"Itu terlalu lama Rey, bagaimana dengan anak-anak terutama Ael? Kau tidak ingat terakhir kali kau ke Padang dia terlalu merindukanmu hingga jatuh sakit"

Wanita itu kini sudah duduk diatas ranjang besarnya menatap wajah si bungsu yang terlelap pulas. Rasa bimbang kini memenuhi relung hati Reynald, ragu untuk kembali meninggalkan Ael apalagi dengan waktu yang terbilang lama.

"Maafkan aku, tapi aku tidak bisa menolaknya"

"Hah....maaf, aku tak bermaksud melarangmu. Tidurlah sekarang, biar aku yang siapkan kopermu" ucap Anna bangkit berjalan menuju lemari besar disudut ruangan, meninggalkan Reynald yang kini hanya bisa menghela nafasnya.

.
.
.
.
.

Pagi harinya, Reynald sang kepala keluarga mengambil atensi anak-anaknya saat tiba di meja makan dengan koper besar disisinya. Tersenyum lalu mencium pipi setiap anaknya tak terkecuali Anna, pria itu ikut bergabung untuk menyantap sarapannya.

"Ayah mau kemana?"

"Bertemu paman Rio" jawab Rey membuat putra sulungnya mengangguk paham, urusan pekerjaan pikirnya.

"Jalan-jalan?" Tanya Ael setelah cukup lama menahan rasa penasarannya. Mata bulatnya menatap harap jika dirinya ikut diajak.

"No sayang, ayah disana kerja. Kalian jangan nakal ya, dengar ucapan bunda. Nanti ayah akan sering menelepon"

"Ayah perginya berapa lama?" Tanya Rahel kini sudah turun dari kursinya dan memeluk erat sang ayah.

"Sekitar satu bulan"

"Tidak akan lama, percaya ayah. Ayah pergi dulu ya, sampa jumpa semua" Rey kembali mencium semuanya sebelum pergi dengan taksi online yang dipesannya.

"Ayo habiskan sarapannya, kalian sudah mau terlambat" ucap Anna memecah keheningan. Dilihatnya sang bungsu masih menatap kearah pintu, mengabaikan serealnya yang sudah besar mengembang.

"Ael ayo habiskan dulu, nanti kakaknya terlambat" Anna memutar baby chair yang diduduki Ael menghadap dirinya.

"Ayah?"

"Sudah pergi, ayah harus bekerja kan?" Jawaban yang diberikan Anna sepertinya salah. Putra bungsunya kini sudah memajukan mulutnya yang bergetar, tanda-tanda akan segera menangis.

"Yah...hiks Ayahh...hiks"

"Ehh kok menangis, ayah hanya kerja sayang, seperti biasa. Nanti malam kita telepon ayah, oke?" Bujuk Anna mengusap cairan yang terus keluar membasahi wajah tembam anaknya.

"Kalian sudah selesai kan? Masuk ke mobil ya, bunda mau gantikan baju Ael dulu" ucap Anna memberikan kunci mobilnya pada Nathan, lalu membawa Ael yang masih menangis kedalam kamar.

Selama perjalanan, bocah 6 tahun itu masih sesekali sesenggukan walau sudah tidak sekuat tadi. Selesai menurunkan ketiga anaknya di sekolah masing-masing, Anna memutar kendaraannya menuju tempat ia bekerja. Matanya sekilas melirik ke belakang, melihat Ael yang sudah terlelap diatas baby seatnya sambil memeluk erat boneka kelinci lusuh kesayangannya.


Senyum hangat disertai gerakan menunduk menyambut kehadiran Anna dan Ael didalam butiknya. Wanita yang tak lagi muda itu juga ikut tersenyum menyapa setiap karyawan yang dilewatinya. Langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu kaca dengan gantungan bertulis 'CEO' pada bagian depannya, bergerak membukanya untuk masuk kedalam.

Dengan perlahan, Anna meletakkan si bungsu yang sedari tadi berada di gendongannya untuk dibaringkan diatas sofa yang ada di ruangannya sebelum ia mulai bekerja. Pergerakan kecil dilakukan Ael saat tubuhnya bersentuhan dengan benda empuk di bawahnya dan dengan segera Anna menepuk pelan paha sang putra sehingga pergerakannya kembali tenang.

Tok..tok..

"Permisi bu, ini ada-"

"Shush..." bisik Anna menatap sekretarisnya yang tiba-tiba masuk. Gadis muda dengan tinggi semapai dan mata bulat itu langsung mengangguk paham setelah melihat gumpalan menggemaskan sedang terlelap diatas sofa.

"Sudah sarapan Sel?"

"Sudah bu" sekretaris muda dengan nama Grisella Riani atau yang akrab disapa Sella itu mengangguk menjawab pertanyaan dari atasannya ini.

"Sudah kubilang panggil aku kakak kalau hanya berdua, aku merasa tua kalau dipanggil Ibu." sahut Anna dengan wajah dibuat marah.

"Kau memang sudah tua"

"Hei...!!!" Anna langsung menahan ocehannya dengan tangan kanan saat mendegar erangan kecil dari arah sofa. Putranya itu sepertinya sempat tersentak kaget mendengar suara menggelegar sang ibu.

"Aku datang ingin memberikan ini" Anna menatap bingung kertas putih dihadapannya.

Tetapi kebingungannya tidak bertahan lama dan berganti menjadi raut wajah antara cemas dan serius. Kertas putih dengan grafik bergaris biru yang terus bergerak menurun menjadi pemicu garis-garis kerutan halus bertengger diantara kedua alisnya. Kedua kelopak mata ditutupnya perlahan berharap dapat mengurangi rasa pening yang mulai menyerang.

"Mengapa masalah terus menghampiriku..?"

.
.
.
.
.

DIFFERENT Where stories live. Discover now