[•° TIGA °•]

163 34 17
                                    

Wanita itu mendesah saat lengan berat suaminya melintang di pinggangnya. Ia menggeser badan, membuat sang suami terbangun pelan. Ire hendak menjauhkan lengan suaminya, tapi Habib malah mendekatkan lagi pinggang Ire.

"Sini aja, Re," lenguh Habib dengan suara rendah, ia mendekatkan tubuhnya ke Ire. Dagu datarnya menghujam belikat Ire sehingga wanita itu menggeliat.

"Geli, Bang." Ire jadi terbangun. Pendingin ruangan disetel dua puluh tiga derajat, lantas saja tidak sesejuk biasanya.

"Re," panggil Habib.

Ire tidak berniat membalikkan badan, ia melekatkan tangan Habib dengan tangannya di pinggang. Sudah cukup untuk jawaban atas panggilan itu.

"Kata Hanif, melahirkan itu sakit. Nanti bayinya keluar lewat punyamu," gumaman suaminya itu membuat Ire terkekeh. Habib sendiri merasa bingung, ia kan hanya menyampaikan apa yang dikata Hanif, kenapa Ire tertawa?

"Kak Hanif pernah melahirkan, eh?"canda Ire, membuat suaminya ikut tertawa. Dagu itu bergerak di pundak Ire, membuatnya geli setengah mati.

"Enggak gitu, kemarin dia cerita soal istrinya yang melahirkan."

Ire membalikkan badan, disambut pelukan hangat oleh Habib. Wanita itu masih begitu malu bahkan setelah delapan bulan pernikahan mereka. Wajar, keduanya sama-sama tidak pernah melakukan hal-hal diluar batas. Mereka juga tidak pacaran sebelum menikah.

"Abang kemarin juga lihat ada ibu hamil di kemacetan, kasihan, Re."

Ire mengernyit. "Kasihan kenapa?"

"Atuh bayinya dibawa kemana-mana, pasti berat. Kamu udah siap kaya begitu?"

"Bang, kan memang itu perjuangan wanita. Abang yang udah siap jadi suami siaga?"

Lelaki dengan kaus polos dan celana pendek itu mengusap kepala sang istri dengan senyuman merekah di bibirnya.

"Iya, Insyaallah, Re."

"Ya udah, kita ke dokter, ya? Ire mau siap-siap dulu," pamit gadis itu sembari menggeliat, tapi Habis tidak akan membiarkannya semudah itu.

"Sini dulu, donk."

"Ihh, nanti antre banyak," desah Ire. Tapi badan mungilnya tidak mungkin bisa melawan kekuatan Habib. Ia terkulai lagi ke pelukan Habib.

"Sama aku dulu, Re."

Ire terkekeh malu, ia membenamkan kepala ke dada bidang Habib. Membiarkan lengan-lengan besar milik Habib melingkari tubuhnya di ranjang. Sesekali gadis itu geli saat Habib meniup lehernya, lalu menciumnya dengan lembut.

"Duh, jadi ngantuk lagi, Re."

"Loh, jangan, donk!"

"Enggak, ini bangun, kog." Habib mencium kening Ire sekilas lalu bangkit dari ranjang. Ire ikut bangun, ia membereskan dan membersihkan kasur, sementara Habib sudah bersih-bersih di kamar mandi.

×××

Ire baru tahu kalau pemeriksaan semacam ini hasilnya tak langsung keluar. Wanita itu mengeluh saat ia harus menunggu sekitar dua hari untuk bisa konsultasi lagi dengan hasil yang tertera di surat nanti. Alhasil, hari ini Ire dan Habib hanya periksa, belum tahu bagaimana hasilnya.

Mereka berjalan ke mobil untuk pulang sampai Ire merasakan hasrat ingin buang air kecil. Ia segera menghentikan langkah, membuat lelaki di sebelahnya ikut berhenti.

"Bang, Ire ke toilet dulu, ya," ijinnya, dibalas anggukan singkat dari Habib. "Abang nunggu di mobil juga gapapa."

Setelahnya Ire berlari kecil mencari toilet dan menemukan ruang kecil itu tak jauh darinya. Ia masuk dan melakukan niatnya disana. Lalu, ia segera bersih-bersih dan keluar. Melirik cermin sebentar untuk memastikan penampilannya sudah rapih.

Ketika ia hendak keluar dari toilet, telinganya menangkap suara seorang gadis dari salah satu bilik. Bukan bermaksud menguping, tapi memang Ire mendengar dengan jelas.

"Rey! Kamu kan bilangnya hari ini mau bawa aku ke klinik aborsi, kog malah ninggalin aku di rumah sakit?!" tanya gadis itu dengan nada tinggi.

Ire hendak mendekat ke bilik itu, sampai seorang gadis berseragam SMA keluar dengan wajah merah padam. Ponselnya ada di telinga dan gadis itu nampak terburu-buru keluar dari toilet.

Rupanya ia melanjutkan teleponnya di luar, sepi memang, tapi justru karena itu Ire bisa mendengarkan percakapan mereka.

"Udah dua bulan, Rey! Kalau keburu gedhe, tar ketahuan. Aku ga mau putus sekolah," rengeknya, membuat Ire menutup mulut tak menyangka.

"Kita udah sepakat buat aborsi. Aku gamau lahirin dia, aku gamau!!"

Ire keluar dari toilet, wajahnya langsung bersitatap dengan gadis berseragam itu. Si gadis dengan rambut hitam sebahu nampak malu sekaligus marah, sedangkan Ire sedang merangkai kata untuk angkat bicara.

"Maaf, Dek, saya gak sengaja dengar omongan kamu tadi." Mata Ire turun pada perut datar gadis itu. Menatapnya nanar, ada nyawa disana, nyawa yang hendak dihilangkan oleh orang tuanya sendiri.

"Bukan urusan kakak," jawabnya judes, Ire tersenyum.

"Iya, saya tahu. Tapi sebagai sesama wanita, apa kamu tega sama anak kamu sendiri?"

Gadis dengan name tag di dada kiri bertuliskan 'Ajeng' itu menautkan alis. Tidak percaya ada orang tak dikenal yang ikut campur masalahnya.

"Saya gak mau dia ada. Saya masih pengen sekolah, masih pengen main, saya ga siap jadi Mama!"

Ire manggut-manggut. "Waktu kamu berbuat, apa tidak dipikirkan konsekuensinya?"

"Anda kolot? Yang namanya hal seperti ini terjadi begitu saja, di luar rencana. Ah! Cewek sok alim kaya anda ga mungkin paham."

Wanita dua puluh tiga tahun itu tersenyum kecut. Ia tersinggung, sungguh. Tapi yang harus dia lakukan di depan gadis ini bukan melawan, menyadarkannya lebih tepat. Ia menghela nafas, benar-benar butuh kesabaran ekstra menghadapi anak salah gaul.

"Dek, harusnya kamu bersyukur, Allah menitipkan dia ke kamu. Siapa tahu, kan? Suatu saat dia menjadi anak yang berbakti dan berguna."

"Kak! Dia ini kesalahan! Ga seharusnya ada."

"Tanyakan ke hati kamu, Dek. Naluri kamu sebagai ibu, kakak yakin kamu pasti menyayanginya."

Ire melenggang meninggalkan gadis itu. Wajahnya ikut panas, bukan karena dibantah, tapi karena ini begitu ironis untuknya. Remaja yang belum siap itu hendak mengugurkan anaknya, sedangkan Ire? Dia begitu ingin punya momongan.

Ia sampai di mobil dengan wajah masam dan Habib menyadari itu. Lelaki dengan kemeja putih dan celana joger keabuan itu menautkan alis.

"Ada apa?"

Ire melirik. "Tadi aku ketemu anak salah gaul, Bang."

Habib terkekeh sejenak. "Maksudnya?"

"Dia hamil di luar nikah dan sepakat sama pacarnya buat aborsi. Kesel, Bang?!" curhat Ire dengan nada yang cukup putus asa.

Suaminya hanya mendelik, sungguh sebenarnya ia tidak peduli. Tapi ini Ire, gadis berhati sangat halus dan sensitif yang tak bisa tak peduli sepertinya.

"Yaudah, Re. Bukan urusan kita."

"Bang, itu nyawa loh! Aborsi itu kan disedot gitu, terus dibuang. Astaghfirullah, padahal banyak orang yang pengen punya anak, kog mereka gitu sih."

Cerocos Ire membuat suaminya itu merambatkan tangannya ke punggung tangan Ire. Menenangkan Ire memang agak sulit, gadis ini masih begitu labil dengan jalan pikiran yang idealis.

"Doakan aja semoga mereka ga jadi melakukannya," kata Habib singkat, ia lalu kembali memegang kemudi setir dan mulai menyalakan mesin.

"Aaminn. Semoga dia sadar, Bang."

Mobil hitam itu melaju dengan kecepatan sedang, mengantarkan kedua insan di dalamnya menyusuri jalanan Jakarta yang cukup lenggang.

Ukhtinesia.Com [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang