1. KIN - Nona dan Tuan Muda

60.6K 4.7K 176
                                    

Aku tidak pernah suka dengan high heels

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku tidak pernah suka dengan high heels. Tidak pernah suka dengan akibat yang benda itu timbulkan pada pekerjaanku yang menuntut serba cepat dan cekatan. Sangat menghambat. Tanpa benda itu melekat di sepasang kakiku, aku bisa menyelesaikan semua pekerjaan satu menit lebih cepat. Itu benar, aku pernah menghitung dan membandingkannya dengan saat aku memakai oxford atau loafers.

Tapi—sialnya, sepatu-sepatu sejenis stiletto dan scarpin itu tidak pernah gagal membuat penampilanku terlihat lebih profesional sebagai Personal Assistent. Never look ugly in a high-heeled shoe. Aku menyetujuinya. Sepadan juga dengan siksaannya. Beauty is pain, honey. Akui saja.

Begitupula dengan Rob. Pria tua itu sama seperti high-heels bagiku. Aku membenci sikap seenaknya, tapi disaat yang sama pula aku membutuhkannya. Dia penyelamat arus deras-seret keuanganku. Apalagi tahun depan aku akan mengambil cuti panjang. Aku harus sedikit berbaik hati padanya.

Tapi tetap, aku tidak menyukainya.

"You better have an exciting offer, old man. You're my Boss, benar. Tapi memanggil karyawan di tengah malam seperti ini sama sekali bukan etika atasan yang baik."

Rob tertawa dibalik meja kerja natural-wood miliknya. "Hanya kamu karyawan kurang ajar yang memanggil atasannya dengan sapaan pak tua." Aku tidak peduli. "Dan siapa yang butuh atasan baik kalau kamu memiliki tawaran yang sangat menarik, my dearest Kinanti? Lihat dirimu, nak. Jangan pura-pura sibuk. Scarpin merah, gaun hitam, dan bold lipstick itu mengatakan banyak hal. Kamu baru saja bersenang-senang—at least, di Infinite atau outlet Balmain dan Armani, mungkin? Tentu saja, kamu pasti butuh suits baru."

"You just intrupted my make-out session with hot-stranger guy at Infinite."

Rob terbahak menyebalkan. "Poor, him. Siapa pria malang itu ngomong-ngomong?"

Aku duduk di atas kursi tunggal yang berhadapan dengan sisi lain meja kerja Rob. "Kami tidak sempat berkenalan, tapi aku tahu siapa dia." Sebelah bahuku mengedik malas. "Alaric Tasa."

"Wow." Rob bertepuk tangan antusias. "Keberanianmu makin hari semakin mengerikan, woman. Aku bangga padamu. Nanti, setelah kamu berhasil membawanya ke atas tempat tidur, ajak dia ke kantor untuk tanda tangan kontrak kerja sama. Kita belum pernah mendapatkan seorang Tasa sebagai klien, bukan?"

"Apa selama ini aku terlihat memanfaatkan tubuhku sebagai umpan untuk mendapatkan klien potensial, old man? I'm an honorable lady, not an agency slut. I use my brain not my vagina," kataku kasar sambil menyandarkan tubuh pada punggung kursi, lalu memejamkan mata.

Ah, kursi ini sangat nyaman. Lapisan kulit yang melindungi bokong dan punggungku dari rangka langsung, terasa sangat tebal dan empuk. Pria tua itu dan seleranya memang patut diacungi jempol. Aku harus meminta yang seperti ini satu untuk di ruang baca pada Rob.

The Home He Lives In [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang