48. Dia pergi (END)

6.1K 237 35
                                    

Kalo ada typo tandain aja ya:)

Vote dan komen sebelum baca, mudah kok guys. Tinggal tekan bintang di sudut bawah, wkwk

Untuk kali ini saja, aku berharap bahwa semuanya hanya mimpi belaka.

Happy Reading.

Mereka semua menunggu di depan ruang ICU dengan cemas, apalagi Biru yang kini hanya bisa tertunduk diam. Setelah mengetahui bahwa sang abang mengalami kecelakaan, ia tidak bisa berkata-kata. Hanya air mata yang menjadi jawaban, betapa hancurnya Biru saat ini.

Alvin yang sedari awal memang percaya bahwa Biru bersikap demikian, hanya bisa menenangkan dengan cara memeluk tubuh itu.

"A-abang ...," Biru menatap lorong rumah sakit yang kini terlihat sepi. Seolah ada sosok Awan berdiri menghadap ke arahnya.

Dengan cepat Alvin menyadarkan Biru. "Tenang ya." Sejujurnya Alvin tidak bisa melihat Biru seperti ini, mati-matian ia menahan tangis agar bisa menguatkan Biru. Alvin paham dan bisa merasakan bagaimana ketakutan Biru akan kehilangan Awan, sebab hanya Awan lah keluarga satu-satunya yang dimiliki oleh Biru.

Awan dan Biru adalah dua saudara yang saling melengkapi meski hidup mereka penuh dengan kekurangan, tidak pernah sekalipun Alvin melihat Biru dan Awan bertengkar hebat, bahkan sepertinya kedua saudara itu selalu menampilkan tawa bahagia meski hidup mereka penuh luka. Alvin beruntung bisa mengenal kedua remaja seperti Biru dan Awan.

Bahkan Alvin sangat kagum dengan kerja keras yang dimiliki oleh Awan demi memenuhi kebutuhan ia dan adiknya. Tak ada kata-kata yang bisa Alvin ucapkan jika menyangkut Biru dan Awan. Keduanya entah sejak kapan mendapat tempat spesial dihatinya. Bahkan dengan waktu yang singkat, Alvin sudah sangat akrab pada mereka.

Momen-momen kebersamaan itu, kembali ia ingat. Memorinya seperti memutar ulang peristiwa apa saja yang mereka bertiga lakukan dan tanpa sadar, air mata yang sedari tadi ia tahan tumpah juga.

Namun, dengan cepat Alvin menghapusnya. Ia tidak mau terlihat lemah di depan Biru. Bahkan Biru pasti lebih terluka dibanding dirinya, jadi satu-satunya yang akan ia lakukan adalah menjadi penguat.

"Lo yang sabar ya, Biru. Gue balik dulu," pamit Alaska yang memang sudah lama di sana. Biru hanya mengangguk dan membiarkan temannya itu pulang.

Laskar, Dini, Lintang dan Bunga tampak bungkam saat mendengar tangis pilu Biru yang entah ke berapa kalinya. Mereka  semua seolah ikut merasakan kesedihan yang Biru rasakan. Tak ada canda tawa, atau bahkan obrolan seperti biasanya. Kini, semua tampak berduka.

Apalagi beberapa saat tadi, Sasya jatuh pingsan karena tidak tahan mendengar kabar bahwa Langit koma, dan tidak tahu akan bangun kapan. Sasya dan para sahabat Langit syok, bahkan mereka semua masih saja tidak percaya dan beranggapan bahwa ini hanyalah mimpi.

Saski menemani Sasya di ruangannya, sedangkan mereka semua menunggu Langit dan Awan yang sama-sama tidak ada tanda akan membuka mata.

Niat Awan baik, ingin menolong Langit. Namun, yang terjadi diluar dugaan. Keduanya malah tertabrak dan langsung tak sadarkan diri saat ditempat kejadian, bahkan Langit harus mendapat tranfusi darah karena kekurangan darah. Sehingga membuat laki-laki itu semakin lemah.

Beda halnya dengan Awan yang banyak mendapat luka, serta benturan di kepala yang cukup kuat. Mungkin karena Awan melindungi Langit. Apalagi jika dilihat langsung setelah kecelakaan itu, orang-orang dengan jelas melihat bagaimana tubuh Awan mendekap Langit dengan kuat.

Kabar itu bukanlah yang ingin mereka semua dengar atau bahkan tidak ada satupun orang di dunia ini yang mau mendapatkan kabar buruk seperti itu. Semua pasti ingin selalu senang dan bahagia, begitupula Sasya dan Biru yang kini sangat terluka.

Sasya's Diary [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang