11 - beach

220 84 6
                                    

Angin berhembus meniup helaian rambut sia yang ia biarkan terurai. Desiran ombak serta suara burung camar yang berterbangan membelah kesunyian diantara mereka--sia dan yedam.

"Kenapa tiba tiba ngajak kesini?" Tanya sia sebagai pembuka sambil menatap yedam yang duduk diatas pasir pantai di sebelahnya.

Butuh beberapa saat yedam menjawab pertanyaan tersebut karena terlalu menikmati suasana pantai yang menurutnya sangat menenangkan.

"Ini tempat favorit gue sama mama."

Mendengar hal itu sia hanya mengangguk tanda mengerti.

"Gue kangen sama mama."

"Gue juga."

Gumam yedam yang masih bisa terdengar dan di jawab oleh sia.

"Lo tau nggak semenjak mama gue pergi, gue nggak pernah ngerasain kasih sayang dalam keluarga gue. Gue punya papa hanya sebagai formalitas. Dia jarang pulang. Kalo pulang pun tetep sibuk sama pekerjaan nya. Dia nggak pernah peduli mau anaknya sakit atau mati sekalipun karena kelelahan belajar. Untung ada Bi Desi sama Pak Radit. Mereka yang bukan keluarga gue aja khawatir kalo gue terlalu nge push diri buat belajar. Buat ngejar sesuatu yang papa gue pengen yang sama sekali nggak gue mau."

Sia terkejut tiba tiba yedam menceritakan kisah hidupnya.

"Gue nggak berbakat buat ngurus perusahaan. Kalo ditanya apa otak gue sanggup, mungkin jawabannya iya. Tapi kalo ditanya apa gue mau, jawabannya enggak. Gue lebih milih ngelakuin hal yang susah tapi gue suka. Daripada ngelakuin hal yang gue bisa tapi gue nggak suka. Bukannya ketulusan hati semakin bisa membuat suatu hal jadi mudah ya?"

"Gue pengin jadi musisi kayak mama. Gue udah nulis banyak lagu. Setiap papa gue tau gue lagi nulis lagu. Dia langsung marah besar. Memang bener papa gue nggak pernah main kasar ke gue. Tapi kata katanya lebih sakit dari tamparan dan tendangan."

"Gue.. cuma mau hidup dengan apa yang gue pengen. Gue capek jadi boneka dia terus. Gue capek, sia."

Sepanjang cerita yedam sama sekali tak melirik kearah sia. Ia terus memfokuskan pandangannya kedepan dan sesekali mendongak agar air matanya tak jatuh.

"Nangis aja dam gapapa, lepasin semuanya. Jangan Lo tahan."

Kalimat perempuan di sebelahnya itu membuat yedam terkekeh sebentar. Lalu ia menghadap ke kanan dimana sia duduk sambil memperhatikan nya.

"Lo sendiri? Lo nahan semuanya. Kapan mau keluarin semua rasa sesak di dada Lo?"

Tanya yedam dengan sudut bibirnya yang tertarik keatas hingga memperlihatkan dua lesung pipinya yang tak terlalu dalam.

"Gue nggak apa-apa."

"Sia. Gue udah cerita panjang lebar tujuannya supaya Lo juga mau cerita. Nahan semuanya sendirian itu sakit ya. Lihat gue, setelah gue cerita semua kepahitan hidup gue, sekarang hati gue udah agak mendingan. Yaa walaupun masih ada rasa sakit yang kayaknya gabisa hilang. Tapi setidaknya udah berkurang dikit kan?"

Karena yedam terus meyakinkan sia untuk bercerita, akhirnya sia berani membuka suara.

"Gue rasa gue kayak angin dam."

"Angin?"

"Iya, angin."

"Kenapa angin?"

invisible | TreasureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang