14. Perpusnas

66.8K 8.4K 254
                                    

Btara berjalan menyusuri rak besar yang mengapitnya. Ratusan buku tertata apik di rak-rak itu. Tangan Btara juga turut menyusuri buku-buku itu. Dia menyentuh ujung back spine buku sembari melihat judulnya satu persatu.

"Emangnya di perpustakaan kampus bukunya nggak ada?" tanya Alea yang mengekor di belakang Btara.

"Ada, tapi terbatas. Kamu nggak betah?"

Alea menggeleng.

"Aku nggak bilang nggak betah, cuma nanya aja."

Alea melihat-lihat ke sekelilingnya. Sore ini Btara membawanya ke perpustakaan nasional. Perpustakaan dengan lebih dari dua puluh lantai itu sangat besar dan lengkap. Baru pertama kali Alea ke sini.

"Kamu nunggu di kursi sana aja nggak apa-apa. Biar aku cari bukunya sendiri."

Alea menoleh ke belakang. Di ujung rak, memang ada space berisi kursi dan beberapa bean bag untuk pengunjung membaca.

"Kalau gitu aku tunggu di sana, ya."

"Oke."

Btara tersenyum saat melihat Alea berlari kecil keluar dari lorong rak buku.

Alea tidak duduk. Dia memilih berdiri di dekat kaca pembatas. Kaca pembatas ini tinggi dan ada dua lapis, sangat berguna untuk keamanan. Dari tempatnya berdiri, Alea bisa melihat beberapa lantai di bawahnya.

Alea tidak tahu perpustakaan hari ini termasuk ramai atau tidak karena ini baru pertama kali Alea ke sini. Alea bukannya tidak suka membaca, dia hanya belum menemukan urgensi untuk datang ke sini. Jika bukan karena Btara pun, Alea juga tidak di sini sekarang.

Harus Alea akui jika perpustakaan ini jauh lebih baik dari bayangannya. Selain buku-buku, perpustakaan ini menyediakan fasilitas lain yang membuat pengunjung betah. Ada koleksi audiovisual, lukisan, lantai khusus video game, bahkan kantin.

"Lihat apa, Al?"

Suara Btara dari arah belakang membuat Alea menoleh sedikit.

"Lagi lihat itu. Lucu banget."

Dengan dagunya, Alea menunjuj ke lantai bawah. Di sana ada balita kembar yang tampak sedang belajar berjalan. Ibu mereka tertawa sambil bersiap jika mereka terjatuh. Seorang anak lain yang lebih besar duduk di dekat mereka sambil membaca buku bersama si ayah.

"Lucu bayinya atau keluarganya."

"Dua-duanya."

"Bikin, dong."

Alea menggelekan kepalanya. Dia berbalik dan menyandarkan punggung ke pembatas.

"Keluarga itu bentuk cinta paling solid yang pernah aku tahu. Cinta tanpa syarat, selalu memaafkan, terima semua kekurangan dan lainnya. Aku belum siap buat itu."

Btara yang memegang dua buku melipat tangannya di dada.

"Kalau emang keluarga cinta tanpa syarat, kenapa ada pasangan yang memilih cerai? Kenapa ada orang yang selingkuh dan menghancurkan keluarganya sendiri."

"Itu dia. Mereka kayak gitu karena dari awal belum siap. Mereka lupa kalau menikah berarti menjadikan pasangan sebagai keluarga, bukan sekadar teman hidup atau teman tidur. Kondisi mental orang kan beda-beda, jadi kadang..."

Alea melirik ke Btara. Yang dilirik hanya menaikkan salah satu alisnya.

"Kenapa berhenti?"

"Takut ah ngomongin mental sama bapak psikolog. Nanti kalau salah aku diralat, lagi."

Mendengar kalimat Alea, Btara tertawa pelan.

"Nggak, lah."

Btara ikut menyandarkan punggung seperti Alea.

Accidentally SoulmateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang