젠더 키 - Jendeuki

174 29 0
                                        


Jennie hanya mendesah dan menatap baju yang masih Jimin kenakan. Perlahan Jennie membuka jas yang Jimin kenakan. Lalu membuka dasi dan setiap kancing kemeja di tubuh Jimin. Jarak yang dekat membuat Jennie mampu mencium aroma wangi tubuh Jimin. Hal itu membuat degup jantung Jennie berpacu cepat. Jennie kembali terpaku pada tubuh sexy Jimin yang terbentuk indah. Berkali-kali Jennie merutuki sikapnya agar tak menyentuh tubuh Jimin sedikit saja.
 
Jimin hanya diam saat Jennie melepaskan kemeja yang menempel di tubuhnya. Lalu dilanjutkan dengan memasangkan kemeja lain. Tangan-tangan mungil Jennie mengancingkan satu-persatu kemeja tersebut. Jimin hanya menatap dingin Jennie yang tengah menahan merah di wajahnya. Ada senyum tulus yang tersungging di bibir Jimin meski Jennie tak mengetahuinya. Lalu saat tangan Jennie memasangkan dasi, Jimin merapatkan tubuhnya. Membuat Jennie diam sesaat dan menatap Jimin.
 
"Jangan tatap aku dengan wajah lusuhmu! Kau bahkan belum mandi!"
Jennie kembali mendengus kesal dan memasangkan dasi itu dengan kasar. Jimin tersenyum tipis melihat Jennie yang tampak kesal. Jimin hanya meraih jas ditangan Jennie dan mengenakannya sendiri. Keluar ruangan dan menatap Jennie sesaat.
 
"Aku tunggu diruang makan, waktumu hanya lima belas menit"ucap Jimin sambil mendorong dinding yang mulai berputar.
 
Jennie menatap punggung Jimin yang mulai menghilang, menggerakkan kakinya kesal dan mengumpat "Akhh,, kenapa dia berubah semakin dingin dan menyebalkan? Dan apa itu? Aku bahkan tak bisa melawan kata-katanya. Ohh, Jennie. Kenapa kau harus berakhir dengan menjadi istrinya!"Jennie masih menghentakkan kakinya kesal. Lalu bergegas keluar dan mulai membersihkan diri.
 

Tak lama kemudian Jennie turun dari atas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Tak lama kemudian Jennie turun dari atas. Menghampiri Jimin yang tengah menikmati sarapan paginya dengan tenang. Jennie ikut duduk di bangku yang tak jauh dari Jimin. Mengambil sesuatu namun tertahan saat Jimin menyodorkan sesuatu.
 
"Ini,"ucap Jennie pelan.
 
"Sebuah undangan"Jimin diam dan menatap Jennie.
 
".....dari Appamu, Tuan Park Namjoon. Dan aku ingin kita pergi bersama untuk menemuinya"
 
DEG !
 
Jantung Jennie seakan berhenti berdetak. Tangan Jennie begitu kelu untuk membuka undangan yang ada di tangannya. Bayangan masa lalu itu kembali menyapa Jennie lewat desiran detak jantung yang semakin cepat. Rasa benci kembali memuncak dengan begitu cepat. Tanpa membuka undangan tersebut, Jennie meletakkan undangan tersebut kembali.
 
Jimin yang melihat itu semua menaikkan satu alisnya "Ada apa? Kau terlihat pucat?"
 
Jennie masih diam. Mencoba menyembunyikan rasa yang mulai muncul ke permukaan "Aku tak bisa. Jimin. Kumohon mengertilah, Aku tak bisa pergi denganmu jika untuk menemui Appaku"
 
"Aku tak peduli! Kita akan tetap pergi!”jawab Jimin tegas.
 
"Tidak aku tak harus mengerti. Karena kau hanyalah wanita yang kubayar untuk menjadi istri kontrakku. Kim Jennie, dengan sangat menyesal aku tak akan menuruti semua ketakutan dan rasa marahmu. Hanya kau yang akan menuruti semua perintahku”.
 
"Aku bahkan tak tahu Appamu ada di Seoul"
 
Jennie hanya diam.
 
Jimin kembali melanjutkan sarapannya meski suasana berubah drastis "Dan kenapa kau tak pernah menceritakan itu?"
 
"Jimin!"Jennie menatap tak suka pada rasa ingin tahu Jimin.
 
Jimin tetap melanjutkan sarapannya tanpa menoleh sedikit pun pada Jennie.
 
"Semua persiapan sudah kuatur. Kita akan pergi besok pagi"
 
"Aku tak akan pergi"balas Jennie cepat.
"Aku tak menanyakan pendapatmu, Jennie! Aku lah yang membuat keputusan, bahwa kita tetap akan pergi"
 
"Jimin..."ucap Jennie memelas.
 
"Isi kontrak no 2, Ku harap kau tak melupakan itu. Kau wajib menuruti semua perintahku tanpa ada bantahan sedikit pun. Haruskan kuingatkan ?"
 
"Shit"umpat Jennie kesal.
 
Jennie lagi-lagi tak mempunyai alasan untuk menentang perintah Jimin. Isi kontrak yang pernah ia tandantangani secara perlahan merenggut kebebasan Jennie. Jennie menatap datar pada undangan yang masih tergeletak di depannya.
 
"Habiskan sarapanmu, aku tak ingin ada kabar bahwa kau menolak atau mencari jalan keluar dari perintah yang telah kutetapkan"perintah Jimin tegas. Jimin berdiri dan melangkah meninggalkan meja makan.
 
"Kau benar-benar Pria kutuh. Jimin! Kau tak berperasaan!"ucap Jennie keras.
 
Jimin yang baru saja melangkah terhenti dan menoleh kebelakang.
 
"Ya, dan kau hanyalah boneka untukku, Jennie!"
 
Jennie terdiam dengan bibir mengatup rapat. Melihat punggung Jimin yang melangkah meninggalkannya sendirian di meja makan. Rasa sesak menyeruak di hati Jennie. Untuk awal permulaan, Jennie mulai menyesali pilihannya yang begitu mudah untuk menandatangani kontrak yang Jimin tawarkan.
 
Jennie mengusap kasar rambutnya meraih undangan yang ada di meja dan membukanya pelan. Hati Jennie serasa diremas saat nama Appanya dan wanita yang menjadi istri baru Appanya saling bersanding. Jennie tersenyum tipis dengan air mata yang perlahan menetes.
 
"Seoul, rumah Eomma. Aku rindu Eomma"ucap Jennie pelan.
 
Perlahan tangisan Jennie pecah. Jennie menelungkupkan wajahnya di atas meja dengan tangan yang meremas undangan. Jimin yang datang perlahan terpaku melihat punggung Jennie yang bergetar menahan tangis. Langkah Jimin semakin dekat. Ingin rasanya Jimin menyentuh bahu Jennie namun tangannya terhenti di udara saat Jennie meraih handphonennya yang bergetar.
 
"Ya"jawab Jennie pelan
 
"Hai Jen, kenapa lama sekali mengangkatnya? Apa kau masih menikmati malam pertamamu?"
 
"Vee"panggil Jennie bergetar.
 
"Jennie, kau menangis? Kau baik-baik saja? Apa dia menyakitimu? Katakan padaku"
 
Jennie sedikit tersenyum mendengar pertanyaan Vee yang terus beruntun.
 
"Aku baik, hanya sedikit butuh udara segar"
 
"Kau mau keluar? Aku akan menjemputmu"
 
"Apakah itu tak merepotkan?"
 
"Tentu saja tidak, karena bagiku kau lebih penting"
 
"Ugh, rayuanmu sangat membosankan"
 
"Hahaha,,,ayolah. Aku serius"
 
"Baiklah, aku tunggu disebuah halte. Akan kukabari lewat sms alamatnya"
 
Jennie bernapas lega dan menutup teleponnya. Untuk saat ini ia memang membutuhkan udara segar. Dan Vee datang bagaikan air yang menyegarkan. Jennie berbalik dan mendapati Jimin dengan wajah kesal. Jennie menatap tangam Jimin yang masih di udara dengan tatapan heran. Menyadari Jennie yang menatapnya aneh, Jimin dengan cepat menurunkam tangannya.
 
"Aku akan pergi sebentar"ucap Jennie sambil melangkah.
 
Jimin menahan satu tangan Jennie "Aku tak mengijinkanmu bertemu dengan Vee, Jennie"
 
Jennie tersenyum tipis dan menghentikan tangan Jimin. "Aku memang istri kontrakanmu, Jimim! Tapi perlu kau ingat. Kau tak berhak mencampuri urusan pribadiku! Apa perlu kuingatkan isi kontrak yang kau buat?"
 
Jimin diam.
 
"Sial! Harusnya tak kucantumkan opsi tersebut!"
 
Jennie memiringkan satu bibirnya "Jadi, Tuan Jimin. Bersikap bijaklah dengan surat yang sudah kau buat. Aku akan menjadi istrimu yang baik jika kau adalah suami yang baik"
 
Jennie kembali berjalan meninggalkan Jimin. Namun suara Jimin kembali menghentikannya.
 
"Lalu bagaimana dengan pendapat orang lain? Seorang istri Tuan Jimin yang baru saja menikah tertangkap tengah menemui kekasih gelapnya. Apa yang akan dikatakan oleh publik?"
 
Jennie tersenyum tipis "Dia bukan kekasihku, Jimin! Ah, mungkin belum. Dan tentang pendapat publik, itu bukan urusanku! Bukankah kau sangat kaya? Kau bisa menggunakan semua uangmu untuk menutup semua media"
 
Jimin hanya mengeratkan genggaman tangannya.
 
"Sial! Lagi-lagi bajingan itu mengusik hidup istriku!"
 
●●●
 
Jennie menatap handphonennya karena baru saja selesai mengirim alamat pada Vee. Setelah menukar pakaian dan mengikat rambut panjangnya, Jennie turun dari atas menuju lantai pertama dengan cepat. Langkah Jennie kembali terhenti saat Jimin lagi-lagi menarik satu tangan Jennie.
 
"Aku tak mengijinkanmu bertemu dengannya!"ucap Jimin dingin.
 
"Apa masalahmu? Ini bukan urusanmu!"Jennie menarik tangannya namun Jimin masih mengenggam erat. Membuat Jennie menahan sakit di pergelangan tangannya.
 
"Lepas, Jimin! Ini sakit"pinta Jennie dengan nada memohon.
 
Jimin menggeleng "Akan kulepaskan jika kau pergi ke bandara bersamaku. Dan batalkan janjimu dengannya"
 
Jennie tersenyum tipis dengan permintaan Jimin "Urus undangan teman kolegamu. Karena aku juga mempunyai masalahku sendiri"
 
"JENDEUKIE!!"bentak Jimin menahan emosinya.
 
DEG !
 
Jennie membeku. Panggilan tak biasa Jimin mengingatkannya pada masa kelam yang begitu ingin Jennie tutup rapat. Dari mana Jimin mengetahui nama panggilan itu. Entah kenapa saat Jimin memanggilnya seperti itu, Jennie merasa kembali di masa lalu. Masa lalu kelam yang membuat Jennie benar-benar ingin lepas dari penjara Appanya.
 
*Flasback On*
 
Sore ini hujan baru saja reda. Jennie yang masih berumur 15 tahun tersenyum saat Appanya baru saja pulang. Dengan langkah pasti Jennie berlari memeluk Appanya. Kerinduan yang Jennie pendam membuncah. Namun semua tak bertahan lama. Tiga jam kemudian, saat acara makan malam dimulai, Appanya meminta sesuatu yang membuat Jennie kelu untuk mengatakan iya. Namun saat Eommanya memohon, Jennie dengan perlahan mengangukkan kepalanya.
 
"Menikahlah dengan orang yang Appa pilihkan untukmu, Jennie. Dia pria yang baik dan tampan untuk bersanding bersamamu. Selain itu, bisnis keluarga kita yang kecil akan bertambah baik saat kita bekerja sama dengan keluarganya"
 
Jennie yang saat itu masih menduduki bangku SMA begitu paham apa yang Appanya inginkan.
 
"Appa, Appa menjualku demi perusahaan kita yang hampir bangkrut?"
 
"Jennie"ucap Chaewon pelan.
 
Jennie menatap Eommanya. "Bukankah itu benar, Eomma? Kehidupanku, kalian sama sekali tak pernah memberiku pilihan untuk memilih. Semua hal tentang diriku, kalianlah yang selalu menentukan. Bahkan untuk kisah cintaku, lagi-lagi Appa dan Eomma ikut ambil andil"
 
"Jennie, Appa mohon. Dia bukanlah pria buruk untuk hidupmu. Appa tak akan memberikan putri Appa satu-satunya pada orang yang Appa anggap buruk"
 
"Sayang, coba pikirkan. Eomma dan Appa tak selamanya bisa menjagamu"ucap Chaewon pelan.
 
Jennie diam. Memandang wajah Eommanya yang begitu memohon padanya. Dengan anggukan pelan, Jennie akhirnya menyetujui semuanya.
 
"Jika itu bisa membuat kalian bahagia"
 
Peluk bahagia menghampiri Jennie, namun hati Jennie sama sekali tak bahagia. Dalam hidupnya ia sama sekali tak pernah menyangka hal-hal yang ia sukai. Semua yang menyangkut tentang dirinya telah diatur sedemikian rupa oleh Appanya. Hari berlalu hingga semua seakan menjadi cerita usang. Jennie melihat Appanya yang semakin sibuk hingga hampir tak pernah pulang kerumah. Kesibukan seperti apa yang tengah Appanya jalani. Jennie bahkan Eommanya tak berhak tahu.
 
Bulan-bulan berganti hingga suatu hari Jennie menyaksikan Eommanya yang diam-diam menangis di saat malam. Sesuatu yang mengusik Jennie membuat Jennie mencari tahu hingga sebuah alasan logis yang membuat Jennie tersenyum miris. Ya, Appanya memiliki wanita lain. Dari Jeon Kuk Hwan, Jennie tahu bahwa Appanya tak lagi mengurus perusahaan. Melainkan sesuatu yang lebih besar yang membuat Jennie mundur dan kecewa pada pilihan Appanya.
 
Satu tahun kemudian Appanya benar-benar tak pernah pulang kerumah. Sebuah kecelakaan yang menimpa Eommanya membuat Jennie benar-benar terpukul. Terlebih saat mengetahui alasan mengapa Eommanya terbunuh. Semua karena Appanya, karena Appanya memiliki begitu banyak musuh. Bahkan di saat genting seperti itu, Appanya sama sekali tak datang meski hanya sebentar saja. Kekecewaan Jennie benar-benar memuncak saat semua kian buruk dan semakin buruk.
 
Selanjutnya kehidupan Jennie benar-benar seperti di penjara. Tak di izinkan keluar meski hanya pergi ke sekolah sekalipun. Home schooling, les private, dan semua kebutuhan Jennie, Jeon Kuk Hwan yang mengatur. Bahkan tak hanya itu, Jennie selalu di awasi oleh bodyguard 24 jam. Melelahkan! Ya, Jennie mulai lelah hidup sendirian dalam sangkar Appanya. Hingga hari itu, dimana Appanya pulang untuk pertama kalinya membawa seorang wanita dan meminta Jennie memanggil dengan sebutan Eomma.
 
Lucu? Ya! Jennie merasa dirinya tak ada artinya semenjak kepergian Eommanya. Hidup dalam rumah tanpa pernah keluar meski begitu ia ingin bertemu Appanya yang ada di italia, Nyatanya Appanya tak juga pulang meski banyaknya telepon dan sms yang Jennie kirimkan. Tak ada kabar dari Appanya hingga kepulangannya bersama wanita yang tak Jennie kenal.
 
Benci? Ya, Jennie teramat sangat membenci Appanya. Tak ada alasan baginya untuk tetap tinggal dalam rumah tanpa kehadiran Eommanya. Semua alasan yang membuatnya bertahan perlahan menipis dan hilang. Jennie menyerah untuk menuruti semua kemauan Appanya. Jennie lelah untuk tetap diam meski hatinya menjerit kesakitan. Jennie terlalu lelah untuk menjadi anak keluarga Park yang hancur berantakan. Hingga memilih untuk pergi dan mengurus dirinya sendiri.
 
Satu kata yang Jennie tancapkan dalam hatinya "Kematian Eomma dan semua deritaku karena Appa, pembunuh Eomma adalah musuh Appa. Dan Appa hanya diam meski ia tahu semuanya. Aku tak pernah mempunyai Appa yang seperti itu. Dia bukan Appaku! Tidak, aku lah yang bukan siapa-siapa lagi bagi keluarga Park!"
 
*Flasback Of*
 
Perlahan air mata Jennie mengalir, pandangan Jennie yang terlihat kosong membuat Jimin merasa bersalah. Jimin melepaskan genggaman tangannya dan diam menatap mata Jennie. Melihat tumpukan luka yang seakan Jennie sembunyikan dalam-dalam.
 
"Aku tak akan pernah mengucapkan maaf. Dan masuklah ke kamarmu"ucap Jimin dingin.
 
Jennie tersenyum tipis diantara air matanya. Menghapus air mata yang mengalir di pipinya dan menatap Jimin dalam.
 
"Isi surat kontrak"ucap Jennie pelan.
 
".....4. Selama pernikahan tidak saling mencampuri urusan pribadi dan tak ada sentuhan fisik agar proses perceraian dapat dilakukan"
 
Jennie mengulang isi dari surat kontrak yang pernah ia tandatangani. Jimin diam membisu, membuat Jennie tertawa kecil.
"Jadi, Tuan Jimin haruskan aku perjelas lagi agar kau tak mencampuri urusan pribadiku?"
 
"Permintaanmu tak bisa aku terima. Kau lupa? Kau istriku meski di atas kontrak. Kau wajib menuruti semua perintahku, Jendeuki"
 
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu, Jimin!"bentak Jennie marah.
 
"Itu bukan urusanku! Aku ingin memanggilmu dengan nama itu!"
 
Jennie menghela napas dalam "Kau benar-benar monster!”
 
"Ya, aku menyukainya. Jadi masuklah ke kamarmu karena aku tak mengizinkanmu keluar!"bantah Jimin kian dingin.
 
Mendengar kekerasan perintah Jimin membuat Jennie lelah. Jennie tertunduk dalam air mata yang mengalir "Jimin, kumohon. Aku lelah, aku benar-benar lelah untuk berdebat denganmu atau bertengkar karena pendapat kita berbeda. Sekali lagi kumohon, mengertilah meski hanya sedikit saja"Jennie memasang wajah memelas hingga membuat Jimin menaikkan satu alisnya.
"Itu juga bukan urusanku"jawab Jimin dingin.
 
Jennie terlihat putus asa mendengar kata-kata Jimin. Lalu tanpa izin Jimin, Jennie mengangkat teleponnya yang sedari tadi berdering.
 
"Ya, Vee"
 
"Hei, aku tak menemukanmu di halte yang kau sebut. Jadi aku menunggu tak jauh dari rumah suamimu. Bisakah kau keluar sekarang? Aku sedikit lelah untuk menunggu"
 
Jennie tersenyum "Baiklah, tunggu aku sebentar lagi"
 
Jennie mematikan teleponnya dan menatap Jimin yang menatapnya tajam "Aku hanya pergi sebentar. Aku tak akan kabur atau pergi kemana pun"ucap Jennie pelan lalu berlari keluar rumah.
 
Belum sampai tangan Jimin menahan tangan Jennie, Jennie telah pergi dari pandangan Jimin. Membuat Jimin memukulkan tangannya ke udara karena kesal. Namun saat mengingat mata Jennie yang penuh luka, hati Jimin perlahan luluh dan ingin tahu semua hal yang Jennie simpan.
"Kau tak menuruti perintahku kali ini, jadi jangan harap kau bisa kabur dariku! Kita akan tetap ke Italia besok pagi"Jimin berucap yakin lalu dengan langkap pasti kembali mencari undangan dari Appa Jennie.
 
 
 
 

RECIPROCATION [END]Where stories live. Discover now