10. Mengantar Pulang

811 230 27
                                    

Teora menyandarkan kepalanya pada sofa. Sudah dua minggu terakhir suasana hatinya tidak membaik sedikitpun. Pria itu bahkan sudah menghindari Rosetta. Namun, hal tersebut tidak membuat dirinya merasa jauh lebih tenang.

Sesekali ia memijat keningnya yang pusing. Teora meilirik bungkus rokok di meja, dia kembali teringat perkataan Rosetta yang menginginkannya berhenti atau mengurangi merokok. Sebenarnya Teora sudah mulai menguranginya, paling tidak ia tidak sesering sebelumnya dalam menyesap batang rokok tersebut.

Saat matanya mulai terpejam, samar-samar Teora mendengar suara isak tangis. Karena penasaran, Teora memutuskan untuk mencari sumber suara tangis tersebut. Setelah menelusuri, Teora yakin bahwa itu berasal dari luar. Pria itu lantas membuka pintu dan melihat Rosetta yang terduduk di depan pintu kosannya sambil menangis.

Teora dengan sigap langsung menghampiri Rosetta, ia berjongkok dan menanyakan apa yang terjadi. Rosetta langsung melihat ke arah pria itu dengan mata sembab dan pipi yang basah.

"Mas Mino kecelakaan, kata Mama kondisinya kritis. Aku mau pulang, Mas ...," lirihnya.

"Ya, udah. Kalau gitu pulang aja. Pacar kamu bisa nganter? Dia juga udah kasih izin, kan?" tanya Teora.

"Rangga lagi enggak ada di Bandung. Ada acara keluarga di Malaysia, dia bisa pulang lusa. Kalau izin udah aku dapetin, Mas. Aku bingung udah sore gini mana ada bus ke Semarang," ungkap Rosetta dengan wajah sedihnya.

"Kalau aku yang nganter kamu pulang mau?" tawar Teora.

"Tapi ... nanti kerjaan kamu gimana?" tanya Rosetta.

"Nanti aku izin. Kalau kamu mau, sekarang aku pulang ke rumah dulu, bawa mobil. Nanti sekitar jam tujuh malam kita berangkat, gimana?" 

"Maksudnya Mas mau ke Jakarta sekarang?" tanya balik Rosetta.

Teora mengangguk. "Jangan ngerasa gak enak atau ngerepotin. Aku ikhlas, kok bantuin kamu."

"Beneran?" Rosetta menatap penuh harap pada Teora.

Teora tersenyum dan mengangguk. "Udah sana masuk dulu. Siap-siap, nanti pas aku datang kita langsung berangkat. Jangan lupa bawa baju hangat!"

Rosetta pun menuruti perkataan Teora. Ia masuk untuk mandi dan bersiap serta memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas. Sementara itu, Teora langsung pergi ke rumahnya dengan menggunakan jasa taksi online.

19.15 WIB

Rosetta dan Teora memulai perjalanan mereka menuju Semarang. Raut wajah Rosetta masih menunjukkan kekhawatiran dan Teora mengerti akan hal itu. Mino adalah kakak yang baik dan sangat dekat dengannya, sudah sewajarnya jika adik perempuannya tersebut sangat mengkhawatirkan kondisinya saat ini.

"Mas, kamu kalau capek bilang aja. Nanti biar gantian sama aku nyetirnya," kata Rosetta.

Teora pun menolaknya, "Enggak usah. Aku bisa, kok. Kamu kalau capek tidur aja, biar nanti pas nyampe kamu segeran. Kamu jangn mikir aneh-aneh, Mas Mino pasti baik-baik aja, kok."

Rosetta pun mengangguk. Suasana kembali sunyi, Teora fokus pada jalan yang ada di hadapannya. Sedangkan Rosetta, pikirannya tak menentu memikirkan kondisi kakaknya.

Lewat tengah malam akhirnya Teora dan Rosetta sampai di kediaman orang tua Rosetta. Di rumah sudah ada mamanya yang menunggu. Sang papa tidak ada di rumah karena menginap di rumahsakit untuk menemani Mino.

Rosetta langsung memeluk mamanya dan terisak. Wanita paruh baya itu mengusap lembut punggung putri bungsunya.

"Sudah, jangan menangis! Besok kita jenguk Masmu sama-sama. Ayo istirahat dulu, temanmu pasti capek, Nak," kata Mama Rosetta.

Rosetta pun melepaskan pelukannya dari sang mama, ia menyeka air matanya lalu mengajak Teora untuk menuju ruang keluarga. Mamanya menyuguhkan teh manis hangat untuk keduanya.

"Maaf, ya. Rosetta jadi ngerepotin kamu, Nak. Sampai bela-belain mau anterin anak Tante," ucap Mama Rosetta kepada Teora.

Teora tersenyum. "Enggak apa-apa, Tan. Lagipula aku juga pengen ikut jenguk Mas Mino."

"Mino itu banyak cerita soal kamu, katanya kamu baik. Ya, walau sempat ada kesalahpahaman yang terjadi, maafin Mino, ya. Dia kadang emang terlalu cepat menyimpulkan sesuatu. Tante titip Rosetta selama dia ada di Bandung, ya. Kami enggak punya saudara di sana, terkadang kami keluarganya di sini jadi khawatir," ungkap Mama Rosetta.

"Iya, Tante. Aku bantu awasi dan jaga putri Tante, kok. Nanti kalau dia nakal, biar aku laporin langsung sama Mas Mino," sahut Teora.

Rosetta lantas menyenggol lengan Teora. "Ish, apa coba?"

"Ini udah larut malem banget, kalian juga pasti capek. Lebih baik buruan istirahat. Rosetta ke kamar sendiri, ya. Biar Nak Teora tidur di kamar tamu itu," tunjuk Mama Teora ke arah sebuah pintu kamar dekar ruang keluarga.

Karena lelah yang mendera setelah melalui perjalanan hampir enam jam, Rosetta dan Teora pun memutuskan untuk menuju kamar masing-masing. Mereka mengistirahatkan diri mereka untuk kegiatan esok hari.

06.00 WIB

Suara ketukan pintu kamar membuat mimpi yang datang berkunjung pada tidurnya Rosetta membuyar. Wanita itu beranjak dari tempat tidur dengan rasa kantuk yang masih menyelimuti.

"Eh, Mama. Ada apa?" tanya Rosetta seraya mengucek matanya.

"Dek, Masmu ...," lirih Mamanya.

Sontak kesadaran pada diri Rosetta mendadak kembali penuh.

"Ada apa? Mas Mino kenapa?" tanya Rosetta.

Karena suara percakapan sepagi itu, Teora pun ikut terbangun dan keluar dari kamar untuk mencari tahu apa yang terjadi.

"Dek, Papa barusan telepon. Ka--katanya Masmu, Dek ... Mas udah enggak ada," ungkap Mamanya terbata dengan air mata yang mulai membasahi pipi.

Rosetta memegang kedua lengan atas mamanya. "Enggak ada gimana, Ma? Mas kan lagi dirawat, dia bakalan sembuh."

"Papa lagi urus administrasi sama minta ambulan buat bawa Masmu pulang, Nak. Mama juga barusan sudah meng--"

"Assalamualaikum, saya sebagai RT di lingkungan ini mau menyampaikan berita duka. Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un Nak Mino putra pertama dari Bapak Bramantyo telah berpulang pada pukul lima tiga puluh pagi ini di rumah sakit kota. Sejenak mari kita doakan agar Almarhum diterima iman serta Islamnya dan dilapangkan kuburnya, Al-Fatihah."

Pengumuman dari pak RT membuat perkataan mama Rosetta terhenti. Rosetta merasa lemas seketika, ia bahkan ambruk ke lantai. Teora dengan sigap menghampirinya dan membawanya dalam dekapan pria tersebut.

"Enggak ... itu bukan Masku, Masku masih di rumahsakit, hari ini aku mau jenguk dia, toh." Rosetta mulai terisak. Teora semakin mendekapnya dan menenangkan wanita itu.

08.35 WIB

Rosetta menatap gundukan tanah di hadapannya dengan tatapan kosong. Ia bahkan sudah tidak bisa menangis lagi. Perasaannya berkecamuk, kehilangan sosok kakak yang begitu ia sayangi bukanlah hal yang mudah baginya.

Teora tak tinggal diam, ia segera merangkul wanita itu dan mengajaknya untuk pulang. Rosetta awalnya tak bergeming, ia bahkan tak mengeluarkan sepatah kata pun.

"Kita harus pulang, kamu enggak kasihan sama Papa, Mamamu?" bujuk Teora.

Rosetta pun menoleh, ia menatap lekat wajah Teora. "Masku ...," lirihnya.

"Iya, aku tahu. Kita pulang dan kirim doa sama-sama di rumahmu, ya. Langit udah mendung, nanti keburu hujan. Kamu juga harus perhatian sama orang tuamu, Ros. Kasihan mereka. Yuk, pulang!" ajak Teora dengan lembut.

Wanita itu pun luluh. Ia bersedia pulang bersama Teora dan kedua orang tuanya. Rosetta tidak pernah menyangka bahwa ia akan kehilangan kakaknya secepat ini dengan cara yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Kini tidak ada lagi sosok pria yang begitu memperhatikannya, memanjakannya dan selalu siap untuk melindunginya.





Bersambung ....

Voment jusseyo, mian untuk typonya.

BERUANG KUTUB ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang