Lucifer : 35 [END]

110K 10K 4.8K
                                    

              Hari ini genap 30 hari meninggalnya Ratu Eleanor. Perempuan itu secara mengejutkan meminum racun untuk melindungi harga dirinya. Tak hanya Ratu Eleanor, seluruh keluarga Mandesa juga melakukan hal yang serupa, sehingga meskipun meninggal, mereka tidak menundukkan kepala kepada siapapun.

Tidak bisa dipungkiri, Grace merasa lega. Ratu Eleanor adalah orang yang ia lihat ketika ia dibakar hidup-hidup. Untuk itu, ketika wanita itu meninggal, Grace merasa bebannya terangkat perlahan. Ingatannya akan panas bara api yang membakar tubuhnya di mimpi, tergantikan oleh perasaan yang lebih lapang.

"Takdir pasti berubah," ujar Grace sembari menatap langit Manuala. Perlahan tapi pasti, keadaan mulai membaik. Rakyat mulai melupakan skandal besar yang menimpa kerajaan. Jeno bahkan bertanggung jawab dengan kerusakan yang terjadi di Pulau Wend. Menurut informasi yang Grace dengar, rakyat di sana berhasil menemukan cara untuk bertahan hidup. Benih yang Grace bagikan berhasil tumbuh hingga panen menjelang—meskipun hasilnya tidak terlalu baik. Tapi, setidaknya rakyat di sana tidak lagi kelaparan.

Jeno dan beberapa pejabat secara rutin membimbing rakyat untuk beralih profesi dengan memberikan kelas untuk memulai sebuah bisnis. Modal dan koneksi pun didukung sepenuhnya oleh kerajaan, sehingga bulan ini Grace dengar mereka sudah bisa membuat porselen yang indah. Ada juga industri keramik yang mulai bermunculan, sehingga beberapa dari mereka sudah memiliki pekerjaan yang bisa diandalkan. Grace merasa lega, apalagi minggu kemarin ilmuan berhasil mengembangkan teknologi untuk menyaring limbah minyak yang ada di laut. Jika pantai semakin bersih, peluang dibuatnya pelabuhan semakin besar dan Pulau Wend bisa bangkit dari kehancuran.

"Jadi ingin ke sana..." gumam Grace, menghembuskan napas lelah.

Karena banyak yang harus dikerjakan, Grace juga belum pernah bertemu dengan Jeno. Pria itu memang rutin mengirimkan Amora, tapi tetap saja Grace ingin melihat wajahnya.

"Katakan pada Tuanmu, kalau dia tidak kemari, aku akan membunuhnya," ujar Grace, sembari menyuapi daging untuk Amora. Elang hitam itu semakin bertambah besar. Bahkan ketika Jeno mengirim surat, elang itu akan masuk ke kamar Grace, lalu tidak akan pergi jika belum diberikan daging. Sekarang, setiap Amora datang, Grace rutin memanggil pelayan agar menyiapkan daging segar.

"Kalau makan terus, kau akan semakin gemuk." Grace mengelus bulu hitam Amora. Seolah mengerti, mata elang itu berputar malas. Ia langsung meminggirkan tubuhnya—tidak lagi ada di sekitar ranjang Grace. "Sekarang marah?" Grace tertawa. Kepribadian Amora benar-benar buruk. Dia bahkan marah saat Greyana dekat-dekat dengannya. Greyana sampai sedih, karena menduga Amora tidak ingin disentuh oleh seorang yang kastanya rendah. Padahal Amora seperti itu, karena tidak nyaman disentuh orang asing.

"Dasar," kekeh Grace, lalu mengikatkan surat di kaki Amora. "Sekarang pulanglah, sudah larut." Grace bertepuk tangan sebanyak lima kali, lalu Amora yang sepertinya malas bergerak, merenggut ke arah balkon. Elang itu langsung terbang membelah langit malam.

Grace yang kini ditinggalkan merebahkan tubuhnya di ranjang. Karena sedang liburan, kegiatan Grace hanya berdiam di kastil. Lama-lama ia bisa mati kebosanan.

***

             Pagi harinya, Grace bangun lebih siang dari biasanya. Setelah dirias sedemikian rupa oleh pelayan, Grace turun ke lantai bawah untuk mendapatkan sarapan. Namun, belum sampai di meja makan, Grace mendapati keadaan kastil cukup kacau dari biasanya. Pelayan sepertinya sangat sibuk, mereka berpencar dan berjalan terburu-buru, hingga menimbulkan keributan. Gelas kristal dan ornamen pesta dikeluarkan dari tempat penyimpanan, lalu dipindahkan satu persatu ke tempat perjamuan. Para koki di lantai bawah juga sangat sibuk, sampai mereka tidak menghiraukan Grace yang belum sarapan.

The Lucifer Prince Who Fell For MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang