43. Hujan di Kala Itu

61 18 111
                                    

Setelah mendapati Hauraa yang menangis usai bertemu Zain. Ketiga sahabatnya itu memutuskan untuk kembali ke kamar asrama. Acara makan pun dibatalkan. Hal itu tentu saja membuat Sella kesal. Akan tetapi, ia juga tak mungkin memaksakan kehendaknya. Ia juga tahu keadaan. Tidak mungkin Hauraa ikut ke kantin dalam keadaan menangis bukan?

Setibanya di kamar, bukannya mereda, tangis Hauraa malah semakin pecah. Membuat ketiga sahabatnya semakin kebingungan. Mereka tidak pernah mendapati Hauraa menangis sehisteris ini. Bahkan, saat ia dilanda kebingungan selama delapan bulan ini pun Hauraa tidak menangis. Adalah mungkin, tetapi dalam diam. Lalu sekarang, kenapa sehisteris ini?

"Dia bukan Ustaz Zain," ucap Hauraa di sela tangisnya. "Katakan padaku, dia bukan Ustaz Zain!" Tangis Hauraa tak jua reda. Entah kali keberapa ia mengucapkan kalimat itu. Sedari tadi, hanya kalimat itu yang ia ucapkan.

Ayra menangkup wajah Hauraa yang telah dibanjiri air mata. "Ada apa, Ra?" Hauraa menggeleng sembari memegang kedua tangan Ayra yang tengah menangkup wajahnya. Air matanya masih terus mengalir.

"Dia bukan Ustaz Zain, 'kan? Iya, 'kan?" tanyanya penuh harap. Entah kenapa, tatapan Hauraa membuat hati Ayra terasa tercubit. Ia ikut sedih melihat Kondisi Hauraa saat itu. Sahabatnya itu terlihat benar-benar terpukul.

Ayra tak menjawab, gadis itu hanya menggeleng. Itu artinya, pria tadi benar-benar Zain. Zain yang dipuja-puja santriwati selama ini. Zain yang selalu ingin Hauraa lihat selama ini, dan Zain yang dijodohkan dengannya. Hal itu membuat tangis Hauraa semakin menjadi.

"Ada apa, Ra? Ceritalah! Jangan dipendam sendiri!" kata Aisha yang sedari tadi diam. Dia juga turut sedih melihat kondisi Hauraa sekarang.

Tangis Hauraa sedikit mereda. Ayra pun mengusap air mata Hauraa menggunakan kedua jempolnya. Lalu, tersenyum. "Yok!" Ayra berseru di sela senyumnya. Hauraa pun mengangguk ragu.

"Tunggu!" Tiba-tiba saja Sella menyela kala Hauraa hendak membuka suara.

Hal itu tentu saja membuatnya mendapatkan tatapan menghunus dari Aisha dan Ayra. Baru saja mereka merasa sedikit lega karena Hauraa bersedia bercerita, tetapi gadis Singkong itu malah menghentikannya. Sella selalu mengganggu.

"Baca!" lanjut Sella tanpa memperdulikan tatapan tajam Aisha dan Ayra. Ia pun memberikan buku yang ada ditangannya. Aisha dan Ayra yang tadinya menatapnya jengkel pun berpindah menatap buku yang disodorkan Sella.

Dengan ragu, Hauraa pun mengambil buku tersebut. Selang beberapa saat, kedua pangkal alisnya pun saling bertautan. Bingung lebih tepatnya.

"Tulisan siapa?" tanya Aisha.

"Ini bukan tulisanmu," ucap Ayra seraya mengambil alih buku itu. "Bukan tulisan kita bertiga juga," sambungnya lagi sambil menatap Aisha dan Sella secara bergantian.

Assalamualaikum, Hauraa.
Bagaimana kabarmu? Kuharap kau baik-baik saja.

Subhanallah.
Skanerio Allah sungguh mengagumkan. Tiada kusangka, kita akan kembali bertemu di tempat suci ini. Aku mengira, setelah perpisahan yang tak diinginkan silam menghampiri kita, pertemuan kedua tak akan pernah tiba. Aku sempat berpikir untuk menepis rasa yang ada. Akan tetapi, kenyataannya apa? Takdir benar-benar mempermainkan kita ternyata.

Maaf untuk luka yang tanpa kuinginkan tertoreh di hatimu. Maaf karena telah meninggalkan sepercik lara. Semua itu bukanlah kehendakku, tetapi semestalah yang menentang. Bahkan, Sang Pencipta juga melarang. Hubungan kita salah.

Sekarang, semesta kembali mempertemukan kita. Apa lagi jika bukan memberi kesempatan kedua? Terlebih lagi kita terjerat perjodohan yang sama sekali tak pernah terbayangkan sebelumnya.

BIRU [ On Going ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang