Sechs ;Потерял!

603 81 20
                                    

Manik biru itu berbinar-binar

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Manik biru itu berbinar-binar.

Dengan senyum sumringah dan kedua tangan yang memeluk sebuah kamera kecil, ia bersenandung riang sepanjang mobil uap mengantar mereka menuju gedung pertemuan.

Suara bising dari mesin mobil, dentingan bel pada pintu-pintu toko di pinggir jalan, tapak kaki kuda yang membawa kereta penumpang, dan juga sapaan orang-orang yang berjalan kaki pagi itu membuat perpaduan riuh rendah yang menyenangkan bagi Armin.

Mobil yang mereka tumpangi tak jauh berbeda dengan yang pertama kali mereka tumpangi Yang membedakannya adalah mobil ini tak mempunyai atap dan juga posisi kursi penumpang lebih tinggi daripada kursi  pengemudi. Hanya ada pembatas pintu di kanan dan kiri setinggi siku lengan.

Maka jangan heran apabila anak laki-laki dengan surai kuning itu tak henti-hentinya memotret setiap bangunan yang ia lewati. Mengundang perhatian beberapa orang yang lewat karena cahaya blitz yang berpendar. Pagi itu langit tak secerah biasanya dan awan kelabu pun berkumpul. Itu mengapa cahaya blitz tetap terlihat walau di pagi hari.

"Oh, Armin, kau tidak harus memotret kucing jalanan itu sayang."

"Kenapa?" Armin menurunkan kamera dan memeluknya kembali. "Aku akan membandingkannya dengan kucing di pulau kita."

"Astaga...." Ibunya terkekeh. "Baiklah, tapi kau harus menghemat roll film-nya oke? Kita hanya diberi lima buah, dan kau sudah memakai dua."

"Tentu! aku janji ini roll film terakhir di Liberio. Sisanya akan kugunakan di pulau kita."

Armin kembali memeluk kameranya seperti semula. Masih sama dengan kedua sudut bibir yang ditarik dan mata yang berbinar. Sampai akhirnya pengemudi itu sedikit menoleh kebelakang.

"Pulau kita? Kalian berasal darimana?"

Pertanyaan dari pengemudi tersebut membuat Amery dan Marine saling bertukar pandang. Sepertinya mereka merasakan 'sesuatu' yang sama.

"Kami dari Paradise!" Armin menjawab riang tanpa rasa khawatir. "Pulau dengan tiga dinding raksasa di seberang pulau Marley. Apakah tuan mengetahuinya?"

"Oh, pulau itu." Pria itu menjawab dengan nada rendah. "Menjijikan," ia berbisik pada dirinya sendiri.

"Maaf, tuan?"

Tak ada jawaban dari pria tersebut. Mobil uap melaju lebih cepat. Yah, sejak awal Arlert menyewa mereka, wajahnya memang tidak ramah ketika melihat ban lengan kelabu yang mereka pakai.

Sepertinya dia tak menyukai pendatang dari luar pulau.

***


"Jangan pergi kemana-mana sampai rapat kami selesai, mengerti?"

Armin mengangguk, "Iya. Armin baik-baik kok."

Paradise ; AruaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang