11| Hari seperti Biasanya

24 9 29
                                    

Sebagian besar siswa setuju bahwa masa paling nikmat ketika sekolah adalah jam kosong. Waktu dimana semua orang bisa mengekspresikan diri mau berbuat apa. Terserah dengan mereka yang kata orang sok pintar. Rasanya mustahil ketika orang-orang yang katanya pintar ini mengeluh saat jadwal belajar dibebaskan. Nyatanya mereka tetap saja menggunakannya dengan senang-senang. 

Pagi ini ketua kelas memutukan untuk mengisi waktu pagi dengan rapat pemilihan perwakilan lomba-lomba antar kelas, biasanya orang-orang menyebutnya class meeting. Acara tahunan yang diselenggarakan oleh pihak sekolah dan dijalankan OSIS yang bekerja sama dengan organisai sekolah lainnya.

Ini acara paling ditunggu semua siswa, saat dimana para jagoan kelas bisa unjuk bakat terpendam yang dimiliki. Walaupun semua perlombaan terlihat menarik, namun terkhusus perlombaan bola besar pasti semuanya menunggu-nunggu. Lapangan utama yang super besar bakalan ramai dengan para suporter dari setiap jurusan. Disetiap jurusan, semuanya bersatu membentuk aliansi guna mendukung tim masing-masing. Tenang, ini dilakukan hanya untuk berpartisipasi meramaikan saja. Walaupun teriakan yel-yel terdengar membara membakar semangat para pemain.

Ulangan semester kemarin cukup membuat otak mendidih. Apalagi mata pelajaran matematika, jangan ditanya bagaiamana cara pertanyaan itu menyusahkan hidup orang banyak. Mungkin bagi mereka yang masuk jurusan IPA akan mudah-mudah saja. Tapi menurut Riana, ini sangat menyiksa.

"Ri, lo mau lomba apa?"

Suara ketua kelas melengking menuntut jawaban. Tangannya memegangi spidol hitam Snowman siap mencatat jawaban Riana.

"apa aja, yang penting jangan suruh mikir berat."

"lomba lari 3000m mau?"

"nggak usah macem-macem!"

"ya mangkanya milih sendiri." jawab ketua kelas itu dengan sabar, "oiya! Lomba karaoke aja mau ngga? Tapi disini syaratnya kudu duet. Pesertanya harus cowo-cewe."

"gini aja. Lo kan punya suara lumayan bagus, ngikut lomba ini aja biar nggak mikir, nggak cape juga. Lo duet sama Nanda." penjelasannya terputus hanya untuk memastikan kalau tidak ada penolakan dari Nanda. "Nan, daripada cuma jadi pengamen kelas mendingan salurin aja bakat terpendamnya, kalo menang kan lumayan. Mau?"

Yang ditanya hanya mengacungkan jempol kiri. Sebab tangan kanannya dijadikan media berkarya Dinda. Seringkali dinda mengecat kuku Nanda dengan kutek legend warna pinknya. Katanya, "ada manis-manisnya gitu kalo dia melakukan kegiatan itu."

Sebenarnya Dinda seringkali membujuk Riana agar mau dengan sukarela dicat kukunya. Berulangkali juga Riana menolak dengan mentah.

"Aby! Lo mau jadi peserta lomba ekonomi?"

Kali ini suara ketua terdengar antusias ketika sosok Abyqian Allana memasuki ruangan kelas. Dari tadi cowok itu memang izin dari rapat karena ada panggilan dari Dimas Arrasya selaku ketua PMR angkatan tahun ini. Semua anak kelas hadir memandang Abyqian dengan tatapan penasaran, ada harapan yang ditunggu dari jawaban Aby untuk meng-iyakan. Sedangkan yang ditanya hanya menggaruk tengkuknya walaupun tidak gatal, tersenyum lalu mengangguk, kemudian berjalan menuju kursi kosong disebelah Riana.

Sesederhana itu namun mampu membuat penghuni kelas bernapas lega.

"gimana? Udah beres?"

"udah .... Oh iyah tadi dapet salam dari bang Reyhan katanya pulang-pulang dia tunggu didepan mading deket lab komputer."

Raut terkejut kentara sekali tergambar diwajah Riana ketika nama itu disebut. Hanya mendengar namanya saja sudah menghidupkan alarm jantung.

"ada dia juga?"

Riana Ziyya (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang