Page twenty five

592 142 55
                                    

"You are magic, with no spell."

"Then, are you a magician?"

 
Banyak suara yang gadis ini dengar, tawa, kesedihan, amarah, benci, hinaan hingga doa tulus yang ditujukan padanya. Tidak memiliki salah satu pancaindra bukan masalah baginya, tidak dapat melihat bukan akhir dari hidup.

Besar tanpa orang tua dan bergantung pada lelaki asing yang tidak memiliki hubungan darah sama sekali adalah hal menyedihkan yang lebih ia pikirkan. Meski sesekali si gadis penasaran, bagaimana dunia? Bagaimana wajah kakaknya? Apa warna dari api? Pertanyaan yang tidak ia temukan jawabannya hingga usia menutup.

"Yeina, kau masih menyanyi? Apa kau butuh uang? Apa kau menginginkan sesuatu?"

"Tidak ada, Kak. Aku hanya menghabiskan waktu, bosan rasanya terus berada di rumah. Saat berada di taman, aku senang bisa mendengarkan ragam suara, atau mereka yang bertepuk tangan setelah aku bernyanyi. Jangan terlalu memikirkanku, Kak ...."

"Yeina. Kau dan aku sama-sama tidak punya keluarga, jika aku tidak memikirkanmu, siapa lagi? Bersabarlah beberapa saat, aku berencana untuk pensiun dari pekerjaanku. Setelahnya kita bisa pindah ke kota lain dan membuka kafe sesuai keinginanmu."

Si gadis tersenyum mendengar suara penuh kasih sayang lelaki dengan rambut perak yang tidak pernah ia lihat rupanya itu.

***

"Bagaimana kehidupan?" tanya sebuah suara ramah tapi terdengar sedih pada Yeina. Yeina meletakkan cangkir kopinya perlahan di atas meja, ia menoleh ke arah sumber suara.

"Baik. Kehidupan adalah hal baik yang pernah aku terima. Bagaimana kematian?" tanyanya berbalas. Si pria asing dengan rambut gelap itu tertawa pelan, ia embuskan napas dan bersandar pada kursi tempat mereka duduk. Pandangan mata si pria mengarah pada langit sore, matahari masih berada di tengah, belum benar-benar turun.

"Baik. Kematian adalah hal baik yang akan orang terima, hanya saja tidak banyak dari mereka berpikir seperti itu. Apa menurutmu kematian adalah hal baik?" Si pria membenarkan mantel berwarna hitam yang ia kenakan, sedikit merapatkannya agar tidak ada angin yang menyentuh. Yeina tersenyum sembari melepaskan kacamata hitam yang menutupi matanya.

"Baik dan buruk. Satu-satunya hal buruk dari kematian adalah membayangkan bagaimana orang-orang yang menyayangiku akan begitu merindukanku. Selebihnya tidak ada yang aku khawatirkan. Omong-omong, bukankah kehidupan dan kematian itu berteman baik? Bagaimana menurutmu?" tanya Yeina setelah menjawab. Si pria menatap gadis tersebut dengan tatapan kagum. Senyum masih terlihat, tapi kali ini ia tertunduk.

"Tidak lagi, kehidupan selalu merasa sedih ketika kematian datang. Kematian pun merasa sulit harus merebut apa-apa yang kehidupan punya, tapi dunia harus bekerja, jagat raya tidak bisa berhenti hanya karena rasa sedih. Kehidupan dan kematian sebagaimana air dan api, saling terikat tapi tidak bisa bersatu. Dan ajaibnya, selalu ada manusia di tengah-tengah itu."

Yeina mengangguk mendengar penjelasan si pria, ia merasa semua kata-kata pria adalah benar. Tidak ditambahkan atau dikurangi.

"Manusia selalu mengejar kehidupan, selalu menyenangi kehidupan tanpa tahu jika kematian adalah hal yang paling dekat dengan mereka. Beberapa di antaranya bahkan merasa seperti menjadi takdir, ingin mengubah segalanya, ingin mendapat segalanya, tidak peduli jika kematian hanya sedikit berbelas kasih dan memberikan mereka kesempatan," ungkap si pria dengan wajah lesu. Sepasang bola matanya berkilatan karena matahari, kedua tangan saling menggenggam mengimbangi.

"Bersabarlah, manusia akan tetap jadi manusia. Beberapa di antara manusia hanya ingin mewujudkan keinginannya meski tidak melewati jalan kebaikan." Yeina mengulurkan tangannya, bergerak perlahan seperti mengikuti laju angin dan berhenti di atas pundak si pria. Si pria kembali menegakkan kepala, tidak biasanya ia merasa selega ini saat sedang bicara.

"Kau tidak membenciku?" tanya si pria, Yeina menggeleng menjawab.

"Kenapa? Jika memang sudah waktunya dan sudah ditetapkan seperti itu, aku malah ingin mengucapkan terima kasih karena sudah menyapa lebih dahulu," terangnya dengan tersenyum. Yeina merasa cukup senang karena bisa menghabiskan waktu bersama kakaknya dan Archello ... pria yang memberi sedikit warna pada hidupnya.

"Akan sedikit sakit." Si pria berusaha memperingati.

"Tidak apa-apa," jawab Yeina tanpa ragu. Ada perasaan aneh yang ia rasakan di dadanya, seperti menggelitik. Mungkin rasa takut, mungkin juga rasa penasaran.
Si pria beranjak dari duduknya, membiarkan angin menerpa mantel hitam yang ia pakai. Kedua mata kini terpejam membiarkan waktu kembali berputar, seiring dengan matahari tenggelam dan suara desingan peluru yang menembus kulit ditambah teriakan gaduh manusia.

Dor-

"Ada gadis tertembak! Ambulance! Panggil ambulance!"

"Ya Tuhan!"

Bisik keramaian bercampur dengan derap langkah kaki juga bunyi sirene polisi yang baru saja datang.
Di dalam sebuah gedung yang berada di seberang jalan, seorang pria mengintip situasi lewat Barret M82 miliknya. Bibirnya tersenyum seolah baru saja menyelesaikan tugas mulia.

Helai rambut biru dongker miliknya terlihat samar karena redup cahaya. Lelaki ini beranjak, cepat bergerak membereskan peralatan sebelum langkah kaki meninggalkan gedung tidak terpakai tersebut.
 

***
 

"Baru sampai Pak?" tanya pria berambut perak dengan tersenyum. Lawan bicaranya mengangguk, pria paruh baya dengan tampilan kasual tersebut segera mengambil posisi di samping si pria berambut perak.
Pandangan matanya tertuju pada danau dan dua angsa yang sibuk bermain.

"Jadi, mau ke mana kau hari ini?" tanyanya tanpa menoleh.

"Hanya berkeliling, lalu membeli bunga untuk adik perempuanku dan makan keik di Laurent," jawabnya santai. Aire tersenyum kecil, ia sadar jika atasannya dengan sengaja meluangkan waktu untuk hari ini.

"Tidak buruk. Aire ... aku turut berduka cita atas apa yang terjadi pada adik perempuanmu. Sebagai atasan yang mengaku dan bertindak seolah aku adalah ayahmu, sebagai seorang manusia dan sebagai ayah dari seseorang yang berkaitan dengan kematian Yeina," ungkapnya perlahan. Wajah Si pria paruh baya terlihat tegas seperti biasa, hanya suaranya saja terdengar lebih lemah.

"Pak, aku hanya bersikap egois dan menyalahkan Archello atas semua yang terjadi. Karena aku merasa tidak cukup jika menyalahkan diri sendiri, aku mencari persembunyian, pelarian. Dan apa-apa yang Archello lakukan, tidak berkaitan dengan Anda sama sekali. Pak, Anda sudah mendidik Archello jadi pria yang baik, tidak satu kali pun ia memperlakukan Yeina dengan buruk apa lagi kurang ajar." Aire mendongak, menatap pada matahari yang tertutup awan.

Pria paruh baya itu diam, ia menutup wajahnya dengan tangan perlahan sebelum meletakkan setumpuk dokumen, amplop putih dan kartu persegi berwarna hitam di atas pangkuan Aire.

"Pergilah, kau membutuhkan ini untuk identitas barumu. Aku tahu kau pandai menipu, kau juga pandai berlari, tapi kali ini, aku tidak ingin kau berlari. Aku ingin kau membuka hidup baru, kau adalah orang yang baru, dengan nama dan wajah baru. Temui orang-orang yang ada di dalam dokumen itu, pergi ke kota yang dituliskan di atas tiket itu, pakai uang yang ada di dalam kartu itu. Kita tidak akan bertemu lagi setelah ini, jangan menolak kumohon. Lakukanlah perintah orang tua ini dengan benar, dengarkanlah, satu kali ini. Sisanya aku dan semua saudaramu di ASIS yang akan mengurus."

Aire terperangah karena deretan kalimat yang atasannya ucapkan, ia sulit untuk percaya jika ada orang lain yang mempercayainya di luar dari Yeina. Genangan air sudah berkumpul di pelupuk mata, tidak bisa lagi ia keluarkan suara.

"Tidak ada waktu untuk menangis haru dan berpelukan. Semua saudara dan rekan kerjamu mempercayaimu, mereka berharap kau bisa bahagia dan merasa bangga. Aire Detroit Florite, selamat ulang tahun." Loki menepuk pelan pundak Aire, bibirnya tersenyum manis sebelum tangan yang menepuk menjadi mendorong perlahan tubuh Aire.

Aire masih mematung, masih menatap pada sosok pria paruh baya yang kini sudah beranjak meninggalkannya. Berjalan ringan menemui seseorang yang bersembunyi di balik pohon besar menunggu cerita mereka berakhir. Sosok itu terlihat, seorang wanita muda berambut panjang memakai jaket kulit hitam. Melambaikan tangan ke arah Aire dengan senyum menahan tangisnya.
 

Aire Detroit Florite sudah tewas hari itu, di tangan komandan besar ASIS disaksikan semua pasukannya.

Garden Of Mirror [ Noir ] [ COMPLETE - TERBIT E-BOOK ]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن