Bab 8

3.9K 543 65
                                    

Mohon baca Bab 7 dulu ya, soalnya saya dobel update :)

*** 

Usai membongkar paket sekaligus membereskannya, tidak terasa hari sudah menjelang malam. Alin melakukan itu mulai jam empat sore, dan sekarang sudah pukul tujuh malam. Alin mulai merasa lapar.

Sebenarnya tadi Dewi sempat bolak-balik beberapa kali untuk menawarkan makanan untuknya, tapi Alin terlalu sibuk sehingga terus menolak. Selain itu, ia masih canggung jika harus makan berdua dengan kakak iparnya mengingat Rio belum pulang. Entah sampai kapan kecanggungan ini akan hilang. Mungkinkah sampai masa lalu bisa dihapuskan? Dalam kata lain mustahil, bukan?

Alin tiba-tiba teringat sesuatu. Bukankah kemarin tukang sate berhenti di depan sekitar jam segini? Alin secepatnya menuju balkon dan senyuman tampak mengembang di bibirnya saat mendapati yang diharapkannya benar-benar ada.

Selain karena lapar dan sate adalah makanan yang disukainya, jika kebetulan ada Sona di sana, Alin akan sekalian mengucapkan terima kasih pada pria itu. Semenyebalkan apa pun Sona, tetap saja tidak menghapus fakta bahwa hari ini pria itu sudah menjadi pahlawannya.

Dalam hitungan detik, Alin sudah menyerbu jaket dan dompetnya. Tidak lupa ponselnya ikut masuk kantong. Alin berjalan menuruni tangga menuju lantai bawah, sepertinya Dewi sedang di kamar, syukurlah kalau begitu sehingga Alin tidak perlu repot-repot menjawab pertanyaan Dewi yang sudah pasti akan bertanya, 'mau ke mana, Lin?'

Saat menyeberang menuju tempat tukang sate berhenti, dari kejauhan tampak seorang pria yang sepertinya sedang memesan sate juga. Anehnya pria itu tampak tidak asing, tapi yang jelas bukan Sona maupun Nino. Tepatnya di mana Alin pernah bertemu pria itu?

Sampai pada akhirnya, Alin sudah tiba dan langsung memesan satenya untuk dimakan di sini. Bersamaan dengan itu, pria yang tampak tidak asing menoleh pada Alin yang baru saja hendak bergabung untuk duduk di kursi paling ujung, agak jauh dari pria itu.

"Alin?"

Astaga ... Alin baru ingat. Pria ini adalah Bayu, pria yang mengaku pernah menjadi kakak kelasnya.

"Ya ampun, baru aja aku kepikiran buat datang ke rumah kamu."

"Eh? Mau ngapain?" Karena tidak enak, Alin akhirnya memutuskan duduk di kursi hadapan pria itu.

"Aku tadi menyesal, nggak sempat minta nomor ponsel kamu," terang Bayu. "Kabar baiknya kita ketemu lagi di sini. Tapi nggak masalah, sih. Toh, tempat tinggal kita deketan."

"Deketan?" Tentu saja Alin tidak tahu karena tadi siang ia sedikit pun tidak menyimak yang Bayu katakan.

"Loh, aku udah bilang tadi siang. Rumahku depan-depanan sama nomor 20, sedangkan tempat tinggal kamu nomor 21." Bayu mengulangi penjelasannya. "Lihat ... itu rumahku, dan itu tempat tinggal kamu," tegasnya kemudian.

Sontak Alin terkejut. Tidak menyangka ia begitu cepat mengenal orang-orang di lingkungan sini. Parahnya lagi, semuanya pria.

Pembicaraan mereka terhenti saat tukang sate itu meletakkan pesanan Bayu di meja, sedangkan pesanan Alin pastinya masih belum jadi.

"Ya ampun, aku lupa sesuatu." Bayu sontak berdiri, membuat Alin mendongak penasaran.

"Aku lupa matiin keran kamar mandi, dan di rumah lagi nggak ada siapa-siapa," jelas Bayu meskipun Alin tidak bertanya. "Aku pulang sebentar, ya," pamitnya kemudian.

Bayu bahkan sempat berbicara sebentar pada tukang sate bahwa pria itu tidak bermaksud kabur meninggalkan pesanannya. Lagi pula pria itu sudah lebih dulu membayarnya saat memesan tadi.

Setelah Bayu pergi, sate Alin pun siap untuk disantap. Alin yang semula fokus pada piringnya, mengira bahwa Bayu hanya memerlukan beberapa detik untuk pulang ke rumah lalu kembali lagi. Bagaimana tidak, Bayu baru saja pergi, sekarang sudah kembali lagi. Bukankah aneh?

Oh My NeighbourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang