8. Tak Ada Cinta Lagi

2.2K 271 29
                                    


"Apa kabar Ly."

Suara yang cukup mengagetkan Lyora, hari kedua meninggalnya mama tercinta, saat ia sedang menerima tamu yang mengucapkan bela sungkawa dari keluarga besar Chaldera suaminya. Ia segera menoleh dan menemukan wajah Nayaka yang matanya menatap penuh cinta. Lyora segera mendekap lengan Chaldera yang berdiri di sampingnya. Ia berusaha bersikap wajar, menggerakkan bibirnya hingga membentuk seulas senyum.

"Baik, Alhamdulillah, aku harap kau juga baik-baik saja dengan Anya, aku yakin dia sudah lahiran." Lyora menahan suaranya agar tak bergetar, mau tak mau ia tetap emosional saat menatap laki-laki yang dulu sangat ia cintai tapi ternyata memporak-porandakan hidupnya, tapi kini ia tak menyesal telah menerima tawaran cinta dari Chaldera dan membawanya pada hidup yang membuatnya tentram dan damai.

"Akuuu ... sudah berpisah dengan Anya, dan sudah menikah lagi."

"Oh begitu, ya semoga bahagia, seperti kami yang Alhamdulillah sangat bahagia." Lyora semakin mengeratkan dekapannya pada lengan Chaldera yang sejak tadi menatap tajam mata Nayaka. Sejak awal Chaldera yakin di depannya selalu mencari istrinya.

Kemarin ia melihat mata Nayaka yang terus menatap Lyora, yang saat itu masih shock dan enggan bertemu siapapun, dan ternyata kali ia hadir lagi di rumah keluarga Lyora, bukan untuk sekadar mengucapkan bela sungkawa tapi pasti ingin bertemu istrinya.

"Maaf aku ingin beristirahat, silakan lanjutkan dengan suamiku."

Lyora berlalu, ia bukan dendam tapi tak ingin lagi memberikan kesempatan pada Nayaka untuk kembali merusak hidupnya. Mata Nayaka masih menatap nanar tubuh Lyora yang semakin menjauh saat ia mendengar suara Chaldera.

"Maaf, saya rasa Anda lebih baik meninggalkan tempat ini, saya tak mudah mengobati lukanya dan saat ini telah sembuh. Tak ada lagi cinta yang tersisa untuk Anda, ia telah menjadi istri saya dan Andapun telah menikah. Lebih baik kita tidak mengingat masa lalu, kita lanjutkan hidup."

Nayaka tak menjawab ucapan Chaldera ia berbalik dan meninggalkan rumah keluarga Lyora dengan hati penuh luka. Memang rasanya tak waras jika ia masih berharap mata Lyora akan menatapnya penuh cinta, tapi ia tak menyangka jika Lyora seolah benar-benar tak peduli lagi padanya.

.
.
.

"Ada apa kau terlihat gelisah? Apa karena Nayaka belum juga pulang?"

Lestari melihat wajah lugu itu mengangguk, ini sudah hampir jam dua belas malam dan Nayaka tak memberi kabar pada mereka berdua. Tadi pagi hanya pamit akan ke gerai siap sajinya dan ke perusahaan peninggalan bapaknya.

"Pasti ia banyak pekerjaan, tak masalah laki-laki pulang malam, toh ia bekerja untuk keluarga ini."

"Inggih Ibu."

Sementara itu di tempat lain Nayaka sedang duduk menyendiri, ia menyewa privat room di sebuah night club. Menikmati beberapa gelas kecil minuman yang menghangatkan tubuhnya. Nayaka cukup sadar, ia tak sampai mabuk. Nayaka mengingat lagi perjalanan hidupnya yang seolah hancur karena kebodohannya sendiri. Kini Lyora benar-benar tak menganggapnya ada, harusnya ia sadar itu sejak lama dan tak terobsesi untuk terus mengejar Lyora. Kini hanya kecewa yang ia dapatkan, Lyora benar-benar tak terjangkau.

Pintu terbuka, ia menatap ke arah pintu, wanita yang kerap ia panggil datang saat ia jenuh karena masalah apapun, langsung duduk di pangkuannya dan mengusap pipinya. Lalu menciumi leher Nayaka yang wajahnya masih saja tanpa ekspresi.

"Kau masih memikirkannya, tampan?"

Nayaka mengangguk, wajah sedihnya seolah menjawab semua pertanyaan wanita yang tanpa malu-malu bangkit dari pangkuan Nayaka dan membuka bajunya hingga tak tersisa sehelai benangpun.

"Puaskan aku Janet, buat aku mampu melupakannya, Lyora tak bisa aku jangkau, tak akan pernah bisa lagi."

"Kau bodoh! Kau tampan dan banyak uang, hanya menggilai satu orang."

Wanita itu tertawa lirih, ia bantu Nayaka membuka baju yang rasanya enggan bergerak. Meski sulit akhirnya ia berhasil juga, Nayaka tetap di tempat duduknya. Wanita itu menurunkan wajahnya di pangkal paha Nayaka. Nayaka memejamkan matanya tersenyum sambil mengerang saat merasa miliknya memenuhi mulut basah Janet. Di dalam khayalannya wajah Lyora yang mendesah dan mengerang hebat di bawah sana.

"Lyyy ... eeegghhhh ... Lyyyy ..."

.
.
.

Menjelang subuh Nastiti baru melihat suaminya masuk ke kamar. Seperti biasa ia merasakan sikap Nayaka yang sering kali aneh, kadang sangat lembut padanya tapi tiba-tiba saja dingin tak tersentuh. Seperti saat ini suaminya hanya membuka baju dan melangkah ke kamar mandi tanpa bersuara sedikitpun. Ia mendengar suaminya yang mandi, tak lama keluar dari kamar mandi dengan hanya melilitkan handuk di pinggangnya.

Saat semakin dekat ia tertegun karena di beberapa bagian tubuh suaminya ada beberapa tanda merah seperti yang sering ia temukan di tubuhnya saat selesai melalui aktivitas panas berdua. Nastiti ingin bertanya tapi ia takut. Bukan kali ini saja, beberapa waktu lalu juga tapi ia tahan untuk bertanya.

Nastiti menyadari jika ia mulai mencintai suaminya dan hal wajar jika ia ingin hanya dirinya yang memiliki Nayaka. Tapi apa daya ia hanya seorang hamba yang harus mengabdi tanpa batas.

"Mengapa kau menatap aku seperti itu?" Nayaka menatap tajam mata Nastiti yang terlihat ketakutan. Nayaka telah selesai memakai kaos tipis dan celana katun untuk tidur.

"Ti ... tidak apa-apa, hanya mengapa sampai menjelang subuh Mas baru datang?"

Mata Nayaka semakin nyalang menatap Nastiti.

"Kau mulai mengusikku?"

"Ti ... tidaaak, aku hanya khawatir Mas kenapa-napa."

"Tidak usah banyak bertanya, lakukan tugasmu sebagai istri, bantu ibu, jaga kandunganmu dan selalu siap jika aku mau kau kapan saja, mengerti?"

"Iya Mas."

"Aku ingin tidur jangan ganggu aku."

"Apa tidak lebih baik nunggu subuh sekalian Mas?"

"Bisa kan tidak menggangguku?!"

"Ii ... iyaaa."

Nayaka merebahkan badannya dan tak lama terdengar dengkur halusnya. Nastiti melangkah pelan, meraih celana panjang, kemeja, dan celana dalam Nayaka, lalu ke luar kamar hendak menuju area belakang rumah tempat pembantu biasanya mencuci baju keluarga Nayaka.

Sesampainya di depan tempat baju kotor Nastiti berhenti ia memasukkan celana panjang, lalu tertegun saat di kerah kemeja Nayaka tersisa noda lipstik. Jantung Nastiti berdegup kencang, air matanya hendak tumpah. Tapi seketika ia ingatkan lagi siapa dirinya.

Apapun yang dilakukan Nayaka ia harusnya tetap bersyukur. Ia punya tempat bernaung, makanan yang cukup, baju-baju bagus yang tak pernah ia bayangkan yang melekat di tubuhnya saat ini. Juga kebaikan hati ibunda Nayaka, wanita yang selalu melimpahkan kasih sayang berlebih padanya.

Kau harus ikhlas Titi, berbagi tubuh, cinta dan yang lainnya dengan wanita yang lain, jangan tamak, jangan pernah berharap Nayaka hanya milikmu, kau harus sadar siapa dirimu.

Tanpa terasa air mata telah mengalir deras di pipi Nastiti, meski berusaha tabah, tapi hatinya tetap terasa sakit, ia hanya wanita biasa yang ingin suaminya hanya ia yang memiliki.

🥀🥀🥀

6 Februari 2021 (15.46)

Senandung Luka (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang