Part 4 'Ujian Persahabatan Palsu'

Mulai dari awal
                                        

“Kalian lebih milih teman karena kekayaan… bukan karena ketulusan dalam pertemanan.”
Aku bertanya dengan nada yang mulai bergetar oleh rasa kesal yang sejak tadi kutahan.

Benarkah sekarang pertemanan diukur dari isi dompet orang tua?
Bukankah kami semua masih sekolah? Uang yang mereka pamerkan, barang yang mereka banggakan… bukan milik mereka sendiri. Itu semua hasil kerja keras orang tua mereka. Entah kenapa hal sesimpel itu tidak pernah mereka pikirkan.

Belum sempat aku menarik napas, sebuah suara malas terdengar dari arah belakang.

“Emang kenapa masalah buat lo?”

Itu suara Aiden.

Cowok itu baru saja bangun dari tidurnya. Rambutnya berantakan, dan wajahnya menunjukkan jelas kalau ia terganggu oleh suara ribut-ribut kecil antara aku dan Gracia.

Dengan langkah santai namun penuh rasa tidak peduli, Aiden bangkit dari kursinya.
Ia menguap sebentar, lalu berjalan mendekat ke arah meja tempat Gracia duduk, seakan ingin menanyakan apa yang membuat teman-temannya berisik pagi-pagi seperti ini.

Tatapan matanya sekilas mengarah padaku—dingin, datar, seperti tak ada satu pun dari ucapanku yang layak didengarkan.

“Karena orang miskin kayak lo.”
Aiden mengucapkannya sambil menudingkan jari ke wajahku. Tatapannya benar-benar merendahkan, seperti aku ini bukan manusia yang pantas berdiri di hadapannya.

“Bisanya cuma manfaatin orang yang punya duit kayak kita.” tambahnya dengan nada sinis, seolah kalimat itu adalah fakta yang tidak bisa dibantah.

Dadaku langsung terasa panas.
“Tapi… nggak semua orang kayak gitu,” jawabku, mencoba menahan diri agar suaraku tidak pecah.

Aku tahu, di dunia ini memang ada orang yang hanya mendekati orang lain karena uang. Aku nggak menutup mata soal itu. Tapi tidak berarti semua orang miskin seperti itu, kan?
Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku:
Apa orang miskin tidak boleh berteman dengan orang kaya?
Apa kami harus selalu berteman dengan yang ‘sederajat’?
Kenapa seolah semua itu ditentukan oleh angka di rekening orang tua?

“Itu menurut lo,” Gracia ikut menyahut sambil menyilangkan tangan di dada, wajahnya penuh penghinaan. “Kalau menurut kita semua? Ya iya. Emang begitu.”

Ucapan itu membuat seisi kelas seperti membeku. Hanya suara bisik-bisik kecil dari beberapa murid yang ikut menatapku dengan pandangan meremehkan, seolah aku membuktikan semua prasangka mereka.

Dan untuk sesaat, rasanya seperti seluruh dunia berdiri melawanku seorang diri.

“Kalian memang dari keluarga orang kaya. Tapi IQ kalian rendah.”
Kata-kataku keluar begitu saja—lidahku terasa pahit, tapi aku tidak menyesal.
“Kalian bisa masuk sekolah ini bukan karena otak kalian, tapi karena uang orang tua kalian.”

Suasana kelas langsung hening. Beberapa siswa terbelalak, sebagian lagi hanya melongo, mungkin tidak menyangka aku berani berkata sejauh itu. Aku tidak menunggu reaksi mereka. Tidak ada gunanya.
Tanpa menoleh lagi, aku berbalik dan melangkah keluar dari kelas, meninggalkan tatapan jijik dan bisikan-bisikan kecil yang mengikutiku.

Aku tahu… setiap orang tua pasti ingin anaknya sukses. Tapi kalau mereka menempuh jalan yang salah, memanjakan anak sampai buta arah, apa anak itu tidak ikut tersesat?
Di sekolah ini, banyak yang datang hanya untuk pamer, bukan belajar. Mereka menjadikan orang lain sebagai pelampiasan, lalu tertawa seolah dunia ini milik mereka.
Tidak pernah sekali pun mereka memikirkan seberapa sakitnya orang yang mereka tindas.

Lost Between Names (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang