Seorang pria muda bergerak dengan gesit mengantarkan nampan makanan pada setiap anak yang ada. Sesekali ia juga menyahut jika ada yang memanggil namanya, untuk meminta sesuatu. Celemek biru dengan gambar doraemon yang dikenakan sudah tidak serapih tadi pagi, menggambarkan betapa sibuk dirinya hingga siang ini.
"Cah...semua sudah dapat?" Tanya pria itu, yang sudah berdiri ditengah-tengah.
"Sudah!!" Jawab anak-anak serempak.
"Kalau begitu, selamat makan"
Anak-anak berkisar 2-5 tahun itu pun mulai melahap makan siang yang ada dihadapan mereka. Canda tawa tak luput dari pandangan pria tadi, membuat lelahnya sedikit berkurang.
"Kamu gak makan Dev?" Tanya rekan perempuannya bernama Silvira yang sibuk merapikan mainan.
"Mungkin nanti, kakakku bilang dia akan kesini" balas pria itu sambil melihat ponselnya.
"Oh? Tidak biasanya"
"Dia mau ke sekolah si kembar katanya, jadi Evan dititip dulu disini"
Devine Sebastian Dharma merupakan nama lengkap pria berusia 30 tahun tadi. Adik satu-satunya Anna itu sudah berdiri didepan gerbang daycare nya, berniat menyambut sang kakak. Tidak menunggu lama, sebuah mobil hitam berhenti tepat didepan gerbang dengan sang kakak keluar dari dalamnya.
"Dia tertidur"
"Evan tahu kan kalau mau dititipkan?" Tanya Devine ragu namun tetap menggendong keponakannya keluar.
"Dia tahu, tapi mungkin akan seperti biasa. Aku pergi dulu, terima kasih ya"
Devine langsung membawa keponakannya kedalam dan membaringkannya didalam kamar. Setelahnya, ia kembali ke ruang utama untuk membantu rekannya membereskan sisa makan siang.
.
.
.
.
.
Rahel berlari disepanjang koridor sekolah saat mendapat pesan bahwa sang bunda sudah tiba dan menunggunya di pos satpam. Dengan nafas terengah ia menggandeng tangan Anna dan mulai berjalan menuju aula.
"Sudah mulai? Maaf ya bunda telat"
"Baru intro, bunda duduk disini ya aku mau kesana" ucap Rahel menunjuk kumpulan siswa yang sibuk mempersiapkan sesuatu.
"Kakakmu mana?"
"Tadi ada disini, mungkin sedang ke toilet"
Tak berselang lama, sosok yang dicari pun kembali kedalam kelas bersama teman-temannya. Ellie sedikit terkejut melihat sang bunda yang duduk disebelah kembarannya.
"Bunda baru sampai?" Tanya Ellie yang sudah berada di sebelah Anna.
"Iya, kakak tadi kemana?" Tanya Anna mengusap kepala Ellie.
"Aku ke toilet tadi"
"Kutinggal ya bun, nanti rekam aku ya" ucap Rahel lalu bergegas pergi.
"Kalian teman Ellie? Lain kali datang ke rumah ya" ujar Anna sambil tersenyum hangat.
"Iya tante.."
Pertunjukan pentas seni berakhir setelah dua jam berlangsung. Tepuk tangan riuh memenuhi aula, menyambut para siswa yang telah bekerja keras naik keatas panggung. Anna melambaikan tangannya menarik perhatian Rahel agar anak itu melihat kearahnya.
"Bundamu terlihat senang" bisik Irene tepat ditelinga Ellie.
"Hm" balas Ellie.
"Bunda!! Bunda liat semua kan??" Seru Rahel yang sudah berlari menghampiri mereka.
"Iya, bunda juga rekam semua. Hebatnya anak bunda.." balas Anna menciumi seluruh wajah Rahel.
"Ahh bun malu ah" Rahel berkata seperti itu karena terus ditatap Ellie dan teman-temannya.
.
.
.
.
.
Devine harus menahan pening di kepala melihat keponakan bungsunya itu terus menangis mencari sang bunda. Hal yang sudah biasa namun tetap merepotkan jika harus terjadi, terlebih anak itu tidak mau didekati siapapun. Untungnya sore ini keadaan daycare sudah sepi, sehingga pria itu tidak perlu pusing mengurus anak-anak lainnya.
"Bunda hiks..., bunda Ael mana??"
"Sama om dulu ya, kita main yuk" ucap Devine menggerakkan mobil-mobilan dihadapannya.
"Mau bunda!!" Jerit Ael melempar mobil-mobilan yang diberikan.
Melirik jam, Devine menghela nafas lega saat waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Saat merapikan barang bawaan Abigael, suara klakson mobil terdengar dari luar membuatnya bergegas.
"Evan mau ketemu bunda?, ikut om ya" Devine memberikan tangannya dan langsung disambut tangan mungil Abigael.
Walau masih terisak, anak itu tetap menggenggam erat jari tangan pamannya demi segera bertemu dengan sang bunda.
"Bunda!!" Seru Ael saat melihat sosok yang dicarinya sejak tadi. Berlari kencang, bocah lelaki itu langsung memeluk erat sang bunda.
"Kok menangis lagi? Tadi sudah janji kan?"
"Dia tidak mau ditinggal Silvira" jawab Devine.
"Tante Sil.." gumam Ael.
"Oh begitu. Kami pulang dulu ya, terima kasih sudah menjaga Ael" ucap Anna yang sudah memasuki mobil.
"Santai mbak, Evan kan keponakanku juga"
"Bye om" ucap Rahel dari jok belakang.
Devine melambaikan tangannya saat mobil hitam itu mulai bergerak menjauh dari tempatnya.
.
.
.
.
.
Hening menyelimuti ruang makan dimana Rey dan seorang wanita duduk saling menghadap, ditemani makanan yang mulai mendingin. Saling diam tanpa ada yang berbicara, bahkan suara detak jarum jam pun dapat terdengar diantara mereka.
Cklek..
Kedua insan itu langsung menoleh kearah pintu kayu yang terbuka, menampilkan sosok Anna dan anak-anaknya. Anna langsung memalingkan wajah saat pandangannya bertemu dengan wanita itu, memilih untuk melepaskan sepatu Abigael.
"Baru pulang? Sore sekali"
"Iya, ada acara di sekolah. Aku juga baru menjemput Ael dari tempatnya Dev" jawab Anna diangguki suaminya.
"Halo bibi Del" sapa Rahel yang sudah duduk disamping wanita itu.
"Hai sayang"
Adelia Granita, kakak perempuan Rey yang masih single walau sudah berumur 54, pemegang usaha orang tua mereka yang sudah tiada.
"Sudah lama sampai Kak?"
"Lumayan, sampai aku punya waktu untuk memasak makan malam" jawab Adelia dengan nada menyebalkan.
"Kalian pasti lapar, kita makan yuk bibi sudah masak banyak" lanjutnya, menggandeng si kembar menuju meja makan.
"Rey bisa jaga anak-anak sebentar? Aku harus ke butik sekarang"
"Mau kuantar?" Anna menggeleng tipis menjawabnya dan bergegas berjalan keluar.
"Eits...sini sama ayah, bunda mau kerja" Rey menarik kembali Ael yang sudah berlari hingga pintu depan, menatap sedih kepergian sang bunda. Perlahan manik mungilnya terlapisi kristal bening, hingga mengalir keluar membasahi pipi tembamnya.
"Bun...hiks bunda"
"Bunda pergi kerja dulu, kita kedalam ya"
Kerja. Satu-satunya kata yang diartikan Ael bahwa kepergian sang bunda bukanlah masalah besar. Kata yang bisa membuatnya melepas kepergian Anna tanpa harus merengek seperti biasanya. Mengangguk paham, Bocah itu berjalan lesu kedalam dan bergabung dengan yang lain di meja makan.
.
.
.
.
.
YOU ARE READING
DIFFERENT
General Fiction"Pergi kalian dari rumahku!!" Seru seorang pria dengan wajah merah padam. "Kenapa kau marah? Anakmu memang gila" balas seorang wanita menatap remeh bocah lelaki yang menangis dihadapannya. "Ael tidak gila..!!! Tante jahat..!!" Seru bocah itu semakin...
