07. Menghabiskan waktu

554 106 14
                                    








"Semua orang bisa pergi, bahkan setelah mereka berjanji."






















Hari Minggu | pukul 12:42 WIB.

Danau terasa panas sekaligus sejuk oleh angin yang menerpa, membuat pepohonan dan rerumputan bergoyang. Bahkan rambut terurai seorang gadis yang berdiri di pinggir Danau sembari merentangkan kedua tangan, menghirup udara dalam-dalam, ikut menari kesana-kemari.

"Acha!" Suara terdengar setengah teriak memanggil nama depannya, dibuat menoleh dengan tatapan bertanya.

"Makan dulu. Sini," titah wanita setengah baya.

Gadis dengan outfit celana pendek hitam dan tank top crop white, dibalut jaket warna krem yang kini sudah menanggalkannya di sebelah tangan, dan kedua kaki dibalut sepatu putih, sudah 180 derajat menghadap pada Wanita yang memakai cardigan berwarna coklat tua itu. "Makan apa?" tanyanya.

"Sini dulu!" Titahnya lagi.

Mau tak mau Acha berjalan menghampiri Bi Ina yang sedang mengeluarkan makanan berat dan cemilan ditata rapih di atas karpet kecil yang dibawanya.

"Apaan tuh?" Acha meniliknya setelah duduk di hadapan Bi Ina, lalu menghela nafas panjang. "Acha gak mau makan nasi, Bii. Pagi-pagi Acha, kan, udah sarapan."

Bi Ina terdengar menghela nafas berat. Acha selalu seperti ini. Susah makan. "Tadi pagi, kan, sarapannya sama roti. Masa sekarang roti lagi. Acha harus minum obat, jadi harus makan dulu nasi. Biar cepet sembuh."

"Tapi Acha gak sakit, Bii."

"Acha sakit. Pen—"

Tatapan Acha mengunci pada manik coklat milik Bi Ina, menunggu kelanjutan ucapannya.

Beda lain halnya dengan Bi Ina. Wanita itu hampir hilang kendali. Hampir saja ia keceplosan mengatakan yang 'sebenarnya' pada Acha.

Tentu membuat Acha heran. "Pen apa, Bii? Jadi selama ini Acha bener sakit punya penyakit, ya?"

Gelengan kepala cepat jadi jawaban untuk tidak membenarkan pertanyaan Acha. "N–nggak! Maksud Bibi itu penyakit magg Acha. Acha harus makan, ya. Kalo Acha mual takut kalo di isi makan dimuntahin lagi, nanti selese makan minum obat."

"Makan, ya ... please?" Permohonan Wanita yang selama ini mengurusnya menarik kedua tangan Acha, digenggamannya lembut.

Kalau begini bagaimana Acha bisa menolak.

Menghembuskan nafas, gadis cantik itu mengangguk."Oke, deh! Acha makan," jawabnya menurut. Meski jujur, Acha sama sekali tidak nafsu makan nasi. Entahlah, setiap sudah makan selalu berakhir dimuntahkan.

Namun Bi Ina tersenyum lebar senang. Karena berhasil membujuk Acha agar mau makan. Mereka pun langsung memulai acara makan siangnya di depan danau.

Acha menatap Bi Ina. Pikirannya dan tatapannya sama hal terheran-heran dengan Bi Ina yang tumben mengajak Acha berjalan-jalan dan mencari angin di luar di hari libur sekolahnya sekarang.

Katanya, Bi Ina ingin menghabiskan waktu bersamanya di danau. Biasanya jika mengajak ke danau selalu atas keinginan Acha. Namun kini Bi Ina.

Life Acha Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang