Berkelit dari rangkulannya lalu mundur dua langkah "Tidak apa - apa Raden, hamba baik - baik saja. Terima kasih sekali lagi." Kemudian berbalik badan dan mengerjabkan mata sambil memberi sugesti pada diri sendiri, layaknya para model yang akan berjalan di cat walk yaitu tetap berjalan lurus ke depan. Pandangan mata fokus pada satu tujuan, jangan jatuh... aku keren... aku keren... jangan jatuh... jangan jatuh.

Badanku tersentak sekali lagi kala Raden membalikan badanku menghadap ke arahnya lagi. Menengadah memandang wajahnya yang terlihat marah "Bisa tidak, sekali saja kau dengarkan aku, Rengganis!" ucapnya geram sambil meremas bahuku.

"Isssshhh..." Aku meringis menahan sakit dan sepertinya berhasil menyadarkan Raden Panji Kenengkung sehingga dia seketika melepas kedua tangannya dari bahuku.

"Sialan!" umpatnya kala menyadari darahku mulai rembes di kain yang membalut bahu kiriku. Memejamkan mata untuk menghilangkan amarahnya lalu berucap pelan, "Maaf, aku menyakitimu." Tangannya bergerak lagi untuk menyentuh bahuku.

Sebaliknya aku mundur lagi untuk menghindarinya "Tenang saja Raden, ha___hamba baik - baik saja!"

Dia maju mendekatiku lagi dan tentu membuatku ikut mundur juga secara otomatis "Aku tidak akan menyakitimu lagi, percayalah. Aku hanya ingin melihat lukamu, itu saja!" ucapnya sambil memandangku khawatir.

"Ti___tidak perlu, Raden. Seperti yang hamba bilang barusan bahwa hamba baik - baik saja!" Berusaha tersenyum sambil berpura - pura tidak merasakan perih menyengat di bahuku.

Jujur, aku sebenarnya penasaran seberapa dalam luka goresan panah pada malam itu di bahuku. Jangan - jangan seharusnya lukaku perlu dijahit, sehingga wajar saja tiga hari tak bisa membuat lukanya mengering. Aku benar - benar butuh bertemu dokter sepertinya, namun itu sama mustahilnya dengan mengharapkan Doraemon datang lewat pintu kemana saja.

"Lukamu itu per___" ucapan Raden Panji Kenengkung terhenti kala terdengar langkah kaki tergesa - gesa.

"Rengganis kau baik - baik saja, lukamu berdarah lagi!" ucapan kaget Sawitri sesaat setelah melihat darahku di kain.

Kehadiran Sawitri kadang - kadang... Oh tidak... tidak... bukan kadang - kadang tetapi selalu menyelamatkanku, saat aku terjebak dalam situasi awkward dengan Raden Panji Kenengkung. Bukan hanya sekali tetapi berkali - kali. Sawitri seakan memiliki misi khusus dari Sang Maha Kuasa dan jujur untuk bagian ini aku sangat berterima kasih padanya.

"Sawitri obati lagi lukanya, lalu ganti kain bebatannya. Jangan lupa jelaskan apa yang harus dia lakukan!" Raden Panji Kenengkung kemudian berbalik badan dan menaiki kudanya lagi setelah memberi perintah.

"Ba__baik Raden, hamba akan laksanakan perintah!" jawab Sawitri terbata.

Memang aura Raden Panji Kenengkung membuat orang - orang segan. Tetapi khusus untukku, pria itu tidak hanya membuatku merasa segan tetapi juga mencintainya... yaa... aku sadar perasaanku terlalu dalam dari sekedar rasa suka. Bagaimana ini Tuhan ... Wahai pembolak balik hati, mohon tolong hamba.

Menghentakkan kuda dengan kakinya agar dapat mulai berderap lalu menengok lagi ke arah kami "Rengganis, ingat pesanku. Berikan langsung padanya!" ucapnya dingin kemudian benar - benar berderap pergi dengan kuda hitamnya itu.

Menghembuskan napas lega kemudian Sawitri berkata, "Mengapa aku selalu gemetar di hadapannya? Tiga hari ini mengerikan sekali!" Badannya bergidik sesaat "Dia memang tidak marah - marah seperti Pangeran Anusapati, jangankan marah berbicara saja jarang. Heem... tetapi bagaimana yaa mengatakannya? Ah, entahlah pokoknya aku merasa tidak nyaman dan aku takut berbuat kesalahan di hadapannya. Jantungku juga rasanya berdetak sangat keras." Tangannya memegang dada sebelah kiri seakan mendramatisir suasana.

SINGASARI, I'm Coming! (END)Where stories live. Discover now