Satu. Sang Pacar

241K 8.8K 358
                                    


"Iya, Rex. Kali ini aku nggak ketiduran lagi, kok. Ini udah di kampus. Iya. Mm ... Iya. Dah!"

Helaan napas keluar dari mulutku begitu telepon dari Rex terputus. Kenapa dia tidak mengerti, sih? Ini hari Selasa pagi. Untuk orang lain mungkin hari Selasa sama saja dengan hari sibuk lainnya, tapi tidak untukku. Hari Selasa adalah satu-satunya hari liburku dalam seminggu. Satu-satunya hari yang free, tidak ada jadwal kuliah. Satu-satunya hari yang bisa kupakai untuk bermalas-malasan di kamar, tidur sampai siang, nonton, dan baca novel. Tapi, semua rencana menyenangkan itu gagal terlaksana hanya gara-gara telepon dari sang pacar.

Pacar?

Huh! Rasanya benar-benar tidak ikhlas aku menyebut Rex Ivan Dimitrov sebagai pacar. Bagaimana mau ikhlas, kalau pacar yang ini menyebalkannya bukan main. Kadang aku bahkan bingung dengan posisiku sendiri, aku ini pacar apa asisten pribadinya? Heran. Bayangkan saja, cewek waras mana yang mau disuruh menyelesaikan tugas pacarnya sampai harus begadang, sementara tugasnya sendiri terlantar? Cewek waras mana yang mau selalu nyicipin makanan sang pacar terlebih dahulu untuk memastikan makanan itu sesuai dengan selera sang pacar atau tidak? Beruntung kalau makanan itu tidak beracun, karena kalau ada, matilah cewek itu. Matilah aku.

Aku jadi teringat kata-kata Miyan saat aku sedang bertanya-tanya, kenapa juga aku bisa berakhir bersama cowok arogan itu. "Lo bego, tau nggak?! Ngapain masih bingung sama jawaban dari pertanyaan yang sama setelah lo pacaran sama Rex nyaris empat tahun? Harusnya, lo itu udah tau dengan pasti jawabannya. Cinta. Lo udah buta karena cinta. Lo udah cinta mati sama dia!" katanya dengan ekspresi murka.

Cinta mati? Hell! Yang ada malah aku nyaris mati hadapi tingkah absurd cowok itu. Rex itu monster. Dia egois, tukang ngatur, dan pemarah. Apalagi kalau dia sudah melayangkan tatapan super tajam. Wuih! Dijamin, kaki bakalan gemetaran sendiri. Di depannya, aku itu kayak boneka yang bergerak sesuai dengan keinginannya.

Aku adalah seorang pengecut. Aku akui itu. Kalau bukan pengecut, sudah sejak lama aku minta putus darinya. Kalau bukan pengecut, aku tidak akan takut bikin dia marah. Kalau bukan pengecut, aku tidak bakal peduli dengan kemarahannya meskipun itu bisa membuatku terluka. Terluka dalam arti yang sebenarnya. Dia itu orang yang tegaan, tidak peduli ceweknya atau bukan. Kalau sudah marah, tandanya malaikat pencabut nyawa tengah menungguku.

Aku Aurellia Naurah Zafarani, pacar Rex, tengah menunggu keberanian datang padaku agar bisa membebaskan diri dari sang monster. Atau paling tidak, menunggu malaikat cantik dan baik hati yang akan membuat Rex berpaling padanya dan meninggalkanku.

Tuhan, kapan itu akan terjadi?

Lapangan utama kampus lagi ramai-ramainya. Hari ini tengah diadakan pertandingan basket antar fakultas. Entah fakultas mana yang kali ini bertanding. Aku tidak peduli.

Melihat keramaian yang ada, rasanya aku ingin berbalik saja dan mengurung diri di kamar. Hari memang masih pagi, tapi kalau mesti berada di tengah kerumunan orang-orang itu, pasti akan terasa panas. Akan terasa sesak karena orang-orang sekitar sibuk rebutan oksigen secara bersamaan. Belum lagi lengkingan histeris cewek-cewek yang tengah meneriakkan nama idolanya.

Hadeuh!

"Naurah, lo dateng?"

Aku berbalik dan menemukan Miyan, cewek hitam manis yang paling betah menjadi temanku sejak hari pertama aku pindah ke sekolah baru saat SMA. Dia sekarang tengah menatapku heran. Kulihat ada sebotol jus di genggamnya.

"He-eh," jawabku, sambil menganggukkan kepala dengan bibir mengerucut sebal.

"Gue pikir lo masih tidur di rumah."

Rex's Girlfriend (Sebagian Part Sudah Dihapus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang