Pendekar Mabuk

15.6K 26 6
                                    


__________________________________________________________________________
01. Calon Panglima Kiang-sui
DI sekitar tahun 600, Tiongkok berada di bawah pemerintahan Kaisar Yang Ti yang lalim dan
berlaku sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Kaisar ini memeras dan memaksa rakyatnya
untuk membuat bangunan-bangunan dan pekerjaan-pekerjaan raksasa dalam usahanya
memperkuat pertahanan negaranya dan juga demi kesenangannya sendiri. Kota Lokyang di
bangun kembali dengan hebat mempergunakan tukang-tukang dan ahli-ahli yang didatangkan
dari tempat jauh di sebelah selatan sungat Yangtse. Sebagian dari para pekerja ini boleh
dibilang dipekerjakan sampai mati.
Hasil pekerjaan paksa yang banyak makan jiwa rakyat Tiongkok itu masih dapat disaksikan
hingga sekarang. Kaisar Yang Ti memerintahkan untuk menggali saluran besar yang
memanjang dari utara sampai ke selatan sungai Yangtse, yakni sampai ke Hongcou.
Pekerjaan besar ini selain membutuhkan banyak sekali tenaga manusia, juga membutuhkan
banyak biaya hingga kekayaan istana kaisar dikeduk habis. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu
dan dengan kejam sekali Kaisar Yang Ti kembali memeras rakyat dengan memerintahkan
agar pajak-pajak dibayar sepuluh tahun di muka.
Selain pembuatan saluran besar itu, Kaisar Yang Ti juga memerintahkan agar supaya tembok
besar diperbaiki dan dibetulkan, yang kembali memerlukan tenaga ahli dan tukang-tukang
yang pandai serta tenaga pekerja-pekerja yang ribuan orang banyaknya.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa apabila pemimpin jahat, anak buahnya pun kurang benar.
Kaisar yang lalim itu bagaikan seorang guru memberi contoh buruk sekali kepada pembesarpembesarnya
hingga pada waktu itu, para pembesar sebagian besar merupakan pemeraspemeras
rakyat yang bahkan lebih kejam lagi dari pada Kaisarnya sendiri. Mereka
mempergunakan segala macam akal dan kesempatan untuk memperkaya diri, sama sekali
tidak memperdulikan keadaan rakyat yang diperas habis-habisan. Dan pada saat-saat yang
amat menyedihkan bagi rakyat Tiongkok inilah cerita ini terjadi.
****
Di sebelah selatan kota raja terdapat sebuah kota bernama Kiang-sui. Kota ini cukup ramai
dan besar karena dekat dengan ibukota dan di situ terdapat banyak sekali rumah-rumah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 2
gedung yang indah dan megah. Hal ini tidak aneh oleh karena para pembesar dan hartawan
mempergunakan kesempatan untuk memakai tenaga para ahli bangunan yang didatangkan
oleh kaisar itu guna mendirikan gedung-gedungnya sendiri.
Di tengah-tengah kota Kiang-sui terdapat sebuah gedung yang terbesar dan paling megah
nampak dari luar, dan apabila orang masuk ke dalamnya, ia akan kagum melihat keindahan
gedung itu. Perumahan ini tidak hanya terdiri dari satu bangunan, akan tetapi ada beberapa
bangunan yang bentuknya menarik, ada yang bertingkat tiga, ada pula yang tidak bertingkat
akan tetapi kesemuanya indah dan merupakan sekelompok bangunan yang dikelilingi tembok
dua tombak tingginya. Kalau dilihat dari luar, yang nampak hanya dinding ini dan lotengloteng
yang bercat warna warni menyedapkan mata.
Gedung indah ini adalah tempat tinggal Residen atau Kepala Daerah di Kiang-sui yang
bernama Liok Ong Gun. Kepala daerah ini memang keturunan bangsawan dan semenjak
dahulu nenek-moyangnya memang orang-orang berpangkat yang setia dan mempunyai
kedudukan tinggi. Ia amat berpengaruh, tidak saja karena kedudukannya sebagai Kepala
daerah, akan tetapi juga karena kekayaannya. Pada waktu itu, siapa yang kaya ia berkuasa,
sedangkan Liok Ong Gun ini memang semenjak lahir boleh dibilang hidup di atas tumpukan
harta benda.
Liok Ong Gun berusia kurang lebih empat puluh tahun, bertubuh tegap dan memelihara
jenggot pendek yang hitam menghias muka bagian bawah, dari bawah telinga kiri sampai ke
bawah telinga kanan. Sepasang matanya lebar dan bersinar tajam. Ia seorang yang pandai
dalam ilmu sastera dan silat, dan di waktu mudanya ia telah mencapai gelar siucai setelah
lulus dalam ujian di kotaraja. Dalam hal ilmu silat, iapun tidak lemah oleh karena ia menjadi
murid dari ketua cabang Go-bi-pai yang pada waktu itu meninggal dunia karena sakit.
Permainan goloknya cukup lihai dan hal ini membuat ia lebih disegani orang.
Dalam pernikahannya dengan seorang gadis bangsawan yang selain cantik juga berbudi halus,
Liok Ong Gun memperoleh seorang anak tunggal. Anak ini perempuan dan diberi nama Liok
Tin Eng yang kini telah menjadi seorang gadis remaja yang cantik seperti ibunya. Akan tetapi
beradat keras dan galak seperti ayahnya. Biarpun dalam hal kepandaian membaca dan
menulis, dara ini tidak sepandai ayahnya dan dalam hal pekerjaan tangan tidak sepandai
ibunya, namun terdengar desas-desus orang bahwa dalam hal ilmu silat, dara ini jauh melebihi
kelihaian ayahnya sendiri!
Tin Eng sebagai puteri tunggal tentu saja manja sekali dan biarpun ia disohorkan sebagai
kembang kota Kiang-sui dan banyak sekali pemuda merindukannya, akan tetapi tak
seorangpun di antara mereka berani mengajukan pinangan.
Kedudukan Liok Ong Gun memang amat kuat, selain ia sendiri memiliki kegagahan, iapun
selalu dikawal oleh pasukan perwira Sayap Garuda yang berkepandaian tinggi. Selain para
pengawal ini, iapun selalu didampingi oleh seorang kunsu atau penasehat yang cerdik pandai
bernama Lauw Lui Tek yang bertubuh gemuk.
Demikianlah keadaan penghuni gedung-gedung Kepala daerah itu dan selanjutnya masih
banyak pula para pelayan yang mengerjakan segala macam pekerjaan sehingga gedunggedung
di situ selain nampak indah juga bersih. Liok-hujin, isteri Liok Ong Gun tak pernah
mencampuri urusan suaminya dan nyonya ini selalu tinggal di dalam, mengatur rumah tangga
dan mengepalai semua pelayan yang amat taat dan tunduk terhadap nyonya yang berbudi
halus itu. Dari pelayan wanita yang bekerja di dalam kamar sampai pelayan laki-laki yang
bekerja di kebun atau di kandang kuda, semua amat taat dan setiap saat bersedia melakukan
perintah Liok-hujin dengan senang hati.
Pada suatu hari, seorang penjaga pintu gerbang melaporkan kepada Liok Ong Gun bahwa di
luar datang tiga orang tamu yang minta bertemu dengan Kepala daerah itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 3
“Siapakah mereka itu?” tanya Liok Ong Gun yang sedang duduk dengan Lauw Lui Tek dan
beberapa orang perwiranya guna membicarakan perintah kaisar untuk membangun sebuah
istana di atas bukit Bwee San sebelah timur kota Kiang-sui.
“Hamba telah bertanya tentang nama mereka, akan tetapi mereka tidak mau memberi tahu,
hanya supaya hamba melaporkan kepada taijin,” jawab penjaga itu dengan hormat.
“Tamu-tamu yang tidak mau menyebutkan namanya tak perlu diterima,” kata Lauw Lui Tek,
penasehat Kepala daerah itu dengan sikapnya yang hati-hati.
“Kenapa kau tidak usir saja mereka dan berani melaporkan kedatangan orang-orang yang
mencurigakan itu?” Liok Ong Gun menegur sehingga penjaga itu menjadi pucat.
”Ampun, taijin. Tiga orang tamu itu bukanlah orang-orang biasa, maka hamba tidak berani
bertindak sembarangan. Seorang di antara mereka adalah seorang hwesio gundul yang telah
tua dan memelihara jenggot panjang, sikapnya agung dan di pundaknya tergantung pedang.
Orang kedua juga seorang tosu tua yang gagah. Menurut pandangan hamba yang bodoh,
mereka ini bukanlah orang-orang jahat, maka hamba berani berlaku lancang memberi laporan
kepada taijin.”
Liok Ong Gun merasa heran mendengar bahwa tamu-tamunya adalah dua orang pertapa dan
seorang pemuda. Ketika Lauw Lui Tek hendak memaki penjaga itu, Liok Ong Gun
mendahuluinya dan berkata kepada penjaga tadi,
“Cobalah kau panggil mereka masuk.”
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara halus menegur,
“Liok Ong Gun, kau benar-benar memegang aturan keras sekali!”
Pembesar itu terkejut dan segera bangun dari tempat duduknya dan menuju ke ruang depan,
diikuti oleh Lauw Lui Tek dan para perwira Sayap Garuda. Ketika mereka tiba di ruangan
depan, muncullah tiga orang tamu tadi. Memang benar, ketiga orang itu terdiri dari seorang
hwesio tua yang gagah, seorang tosu tua dan seorang anak muda yang tampan sekali.
Melihat Hwesio berjubah hitam itu Liok Ong Gun merasa terkejut sekali dan ia cepat-cepat
menjura dengan hormatnya dan berkata,
“Ah tidak tahunya susiok-couw (kakek guru) yang datang. Mohon maaf sebanyaknya karena
teecu tidak mengetahui kedatangan susiok-couw terlebih dahulu hingga tak dapat
mengadakan penyambutan yang layak.”
Hwesio itu tertawa bergelak dengan senangnya. Ia menoleh kepada tosu itu dan berkata,
“Bong Bi Toyu, apa kataku tadi? Biarpun telah menjadi seorang pembesar tinggi, namun Liok
Ong Gun tidak melupakan hubungan antara guru dan murid.”
Tosu itu mengangguk-angguk puas dan tersenyum. Siapakah mereka ini? Hwesio tua itu
sebenarnya adalah seorang tokoh besar dari Go-bi-san yang bernama Seng Le Hosiang dan
kakek ini adalah paman guru dari suhu Liok Ong Gun, dengan demikian maka hwesio ini
masih terhitung paman kakek gurunya! Adapun tosu itu juga bukan sembarang orang, karena
ia ini adalah Bong Bi Sianjin, seorang yang sangat ternama dalam kalangan persilatan,
sebagai tokoh besar dari Kim Lun San yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tosu ini
adalah kawan baik Seng Le Hosiang.
Liok Ong Gun dengan amat hormatnya lalu membungkukkan diri dan berkata, Susiok-couw
dan kedua jiwi (tuan berdua) silahkan masuk dan duduk di dalam.”
Seng Le Hosiang sambil tersenyum di balik kumis dan jenggotnya yang putih itu berkata
memperkenalkan, “Ketahuilah dulu, Liok Ong Gun. Kawanku ini adalah Bong Bi Sianjin,
pertapa di bukit Kim Lun San, dan anak muda ini bernama Gan Bu Gi, murid Bong Bi
Sianjin. Untuk keperluan mereka berdua inilah maka pinceng datang menjumpaimu.”
Liok Ong Gun menjura kepada Bong Bi Sianjin dan Gan Bu Gi. Lalu ia memperkenalkan
pula Lauw Lui Tek kepada mereka, demikian pula kelima orang perwira yang berada di situ.
Kemudian mereka semua masuk ke ruang dalam dan ketiga orang tamu itu tiada habisnya
mengagumi keindahan gedung itu dan sekalian isinya. Dinding-dinding yang putih bersih
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 4
penuh digantungi lian (kain penghias dinding yang ditulis sajak) dan lukisan-lukisan indah.
Semua perabot rumah tangga tersebut dari kayu-kayu mahal yang terukir indah dan halus,
bahkan lantainya berkembang indah dan di sana-sini terbentang permadani Turki
berkembang.
“Bagus, bagus, rumahmu bagus sekali,” Seng Le Hosiang memuji dan memandang kagum.
Gan Bu Gi yang semenjak kecil berada di atas gunung juga memandang ke kanan-kiri dengan
kagum dan mata terbelalak lebar. Ia merasa malu-malu dan ketika kakinya menginjak lantai
yang berkembang dan halus mengkilap itu, ia merasa takut kalau-kalau sepatunya akan
merusak lantai maka ia berjalan dengan hati-hati sekali!
Setelah semua orang mengambil tempat duduk di ruangan tamu, Liok Ong Gun menanti
sampai pelayan datang membawa minuman.
“Susiok-couw suka minum apa? Arak wangi atau teh wangi? Juga Bong Bi Locianpwe dan
Gan-hiante ingin minum apa?” Liok Ong Gun menawarkan dengan ramah tamah.
“Arak saja, boleh keluarkan arak yang paling wangi!” kata Seng Le Hosiang dengan gembira
hingga diam-diam para perwira merasa heran mengapa ada hwesio yang suka minum arak.
Bagi Bong Bi Sianjin, tidak ada pantangan minum arak, akan tetapi dengan malu-malu Gan
Bu Gi menjawab,
“Harap taijin jangan terlalu merepotkan penyambutan. Siauwte biasanya hanya minum air
gunung.”
Jawaban pemuda yang sederhana ini membuat semua orang tersenyum dan Liok Ong Gun
merasa suka kepadanya. Ia heran melihat betapa Bong Bi Sianjin yang terkenal akan
kegagahannya itu mempunyai murid yang demikian lemah lembut.
Setelah semua orang minum, pembesar itu bertanya kepada susiok-couwnya, “Teecu merasa
mendapat kehormatan besar sekali dengan kunjungan ini. Apakah kiranya yang dapat teecu
lakukan untuk sam-wi?”
“Sudah pinceng katakan tadi bahwa kedatanganku semata-mata hanya untuk urusan kedua
orang ini, terutama sekali untuk memperkenalkan Gan Bu Gi kepadamu. Ketahuilah, Liok
Ong Gun bahwa sahabatku Bong Bi Sianjin ini datang bersama muridnya kepadaku dengan
permintaan agar pinceng menjadi orang perantara terhadap dua hal yang hendak
kukemukakan kepadamu, yaitu pertama: sukakah kiranya kau menerima pemuda ini dan
memberi pekerjaan yang layak karena ia telah tamat belajar silat pada gurunya dan tentang
kepandaian silat patut kupuji dan dengan adanya pemuda ini di sini, agaknya kedudukanmu
akan makin kuat.”
Sambil berkata demikian, hwesio tua itu melirik ke arah para perwira yang duduk di pinggir.
“Terus terang saja aku berani menyatakan bahwa tenaganya akan jauh lebih berguna dari pada
tenaga dua puluh orang pengawalmu yang terpandai.”
Mendengar ucapan ini, tentu saja para perwira merasa mendongkol dan tak senang, akan
tetapi mereka tidak berani menyatakan dengan terang-terangan, hanya menundukkan kepala
dengan muka berubah merah. Sedangkan Kepala daerah itupun merasa tak enak hati terhadap
para perwiranya, maka ia lalu menjawabnya,
“Tentang hal itu, karena susiok-couw yang menjadi penghubung, tentu saja teecu akan
memberi pekerjaan yang layak bagi Gan-hiante sesuai dengan kepandaiannya.”
“Boleh diuji, boleh diuji!” kata Seng Le Hosiang sambil meraba jenggotnya yang putih.
“Jangan diterima demikian saja, sebelum kau menguji kepandaian. Akan tetapi hal ini boleh
dilakukan belakangan. Sekarang soal kedua. Pinceng tahu bahwa kau mempunyai seorang
puteri yang baik, dan karena pinceng sudah tahu jelas akan keadaan Gan Bu Gi ini, maka atas
persetujuan kami bertiga, pinceng dan sahabatku Bong Bi Sianjin ini bermaksud
menjodohkan Gan Bu Gi dengan puterimu! Tentu saja kalau puterimu itu belum
dipertunangkan dengan orang lain.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 5
Bukan main terkejutnya hati Liok Ong Gun mendengar ini. Tiba-tiba wajahnya menjadi
merah padam akan tetapi ia tidak berani menyatakan marahnya. Siapakah orang muda ini
yang hendak dijodohkan dengan puterinya? Mengapa susiok-couwnya demikian lancang?
Diam-diam ia memandang tajam kepada Gan Bu Gi yang menundukkan kepalanya. Memang
pemuda ini cukup tampan dan sikapnya baik akan tetapi hal ini belum cukup pantas menjadi
menantunya, menjadi suami Tin Eng puteri tunggalnya.
“Maafkan teecu, susiok-couw. Tentang hal perjodohan puteri teecu, sungguhpun puteriku itu
belum dipertunangkan, akan tetapi agaknya hal ini tidak dapat diputuskan dengan tergesagesa
dan harus mendapat pertimbangan semasak-masaknya dari teecu sekeluarga. Bukan
teecu tidak percaya kepada susiok-couw yang tentu tidak akan memuji sembarangan saja,
akan tetapi biarlah hal perjodohan ini ditunda dulu, karena betapapun juga, puteri teecu itu
baru berusia lima belas tahun dan masih terlalu muda untuk meninggalkan orang tua.”
Seng Le Hosiang tertawa terbahak-bahak dan memandang kepada Bong Bi Sianjin. “Nah, kau
telah mendengar sendiri, toyu. Pinceng hanya menjadi orang perantara, segala keputusan
tergantung dari cucu-muridku.”
Sambil mengelus-elus jenggotnya yang juga sudah putih semua, tosu ini mengangguk ke arah
Liok Ong Gun dan berkata, “Terima kasih banyak atas segala perhatianmu, taijin. Muridku
adalah seorang anak muda yang bodoh dan masih hijau serta hanya memiliki sedikit
kepandaian yang tak berarti belaka. Oleh karena pinto ingin melihat muridku yang bodoh itu
mencari pengalaman dan ikut membantu pemerintah, mengangkat nama sendiri sebagai orang
yang gagah, maka harapanku yang terutama ialah agar supaya taijin sudi menolongnya dan
memberi pekerjaan yang layak. Sudah tentu saja ia perlu diuji terlebih dahulu dan pinto
mempersilahkan kepada taijin untuk menguji.”
“Memang harus diuji!” kata Seng Le Hosiang dengan gembira.
Liok Ong Gun merasa serba salah. Ia percaya bahwa pemuda itu tentu memiliki kepandaian
berarti sungguhpun nampaknya lemah, akan tetapi ia masih ragu-ragu untuk menguji yang
tentu saja seakan-akan merupakan kekurangpercayaan terhadap Bong Bi Sianjin, terutama
sekali terhadap susiok-couwnya. Dengan ragu-ragu ia lalu mengerling kepada penasehatnya
yang selalu dapat diharapkan pertolongannya di waktu ia terdesak oleh suatu keadaan.
Lauw Lui Tek dengan tenang lalu berdiri dan membungkukkan tubuhnya yang gemuk ke arah
para tamu,
“Maafkan kalau saya berlancang mulut karena sudah menjadi kewajiban saya untuk
memecahkan segala persoalan yang dihadapi oleh taijin. Mendengar segala uraian jiwi losuhu
tadi, saya dapat menduga bahwa kongcu ini tentu memiliki ilmu kepandaian silat dan
yang dimaksudkan dengan pekerjaan tentulah dalam bidang keperwiraan. Sebagaimana
lazimnya apabila kami menerima seorang perwira baru, ia harus diuji lebih dulu dan cara
pengujiannya itu biasanya diadakan sebuah pertandingan adu kepandaian antara perwira baru
itu dengan kepala-kepala pengawal untuk menentukan sampai di mana tingkat kepandaiannya.
Oleh karena itu, menurut pendapat saya, hendaknya diadakan ujian seperti itu pula kepada
kongcu ini dan para pengujinya ialah kelima ciangkun yang sekarang hadir di sini.”
Mendengar ini, diam-diam kelima orang perwira Sayap Garuda itu menjadi girang. Tadinya
mereka merasa mendongkol sekali karena dirinya dipandang rendah oleh tamu-tamu itu dan
sekarang mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan rasa mendongkolnya. Hendak
mereka beri hajaran kepada pemuda yang datang hendak mendesak kedudukan mereka itu!
Mereka adalah panglima-panglima terkemuka di Kiang-sui yang memiliki ilmu kepandaian
silat tinggi, sedangkan pemuda itu kelihatan demikian malu-malu dan bodoh seperti pemuda
gunung. Apa susahnya mengalahkan pemuda macam itu dalam pertandingan pibu (silat)?
Sementara itu, Liok Ong Gun mengangguk-angguk dan berkata kepada Seng Le Hosiang,
“Susiok-couw, memang tepat ucapan Lauw-toako tadi dan demikianlah memang sudah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 6
menjadi kebiasaan di sini, juga kebiasaan di kota raja apabila kaisar hendak mengangkat
perwira baru.”
Bong Bi Sianjin bangun berdiri dan berkata, “Bagus, memang seharusnya demikian, taijin.
Harap jangan berlaku sungkan dan marilah kita menyaksikan ujian itu dilaksanakan sekarang
juga.”
Liok Ong Gun lalu mempersilahkan mereka menuju ke belakang gedung di mana terdapat
kebun kembang yang indah dan di tengah-tengah terdapat pekarangan luas yang memang
dipergunakan sebagai lian-bu-tia (tempat berlatih silat). Ketika mereka beramai-ramai tiba di
tempat itu, kebetulan sekali puteri Kepala daerah itu sedang berlatih silat pedang seorang diri.
Gadis itu berusia kurang lebih lima belas tahun, tubuhnya kecil padat, pinggangnya ramping.
Wajahnya cantik jelita dan manis sekali, diramaikan oleh sepasang mata yang lebar berseriseri
dan mulut yang manis berwarna merah delima. Rambutnya hitam dan tebal digulung ke
belakang dan dihiasi dengan bunga segar warna merah yang dipetiknya di kebun itu.
Segumpalan rambut menghias di depan telinganya, terurai sampai ke pipinya menambah
kecantikannya. Bajunya ringkas dengan lengan baju pendek sampai di bawah siku, baju itu
berwarna biru dengan pinggiran merah dan ikat pinggang warna merah pula. Celana berwarna
hijau menutupi kedua kakinya yang ringan gerakannya, sepatunya kecil berwarna hitam.
Biarpun pakaiannya itu sederhana saja, akan tetapi bahan pakaiannya terbuat dari sutera
mahal yang halus dan lemas.
Selain kembang hidup yang menghiasi rambutnya, gadis ini tidak mengenakan perhiasan lain
sebagaimana biasa dipakai oleh puteri-puteri bangsawan yang kaya. Memang Tin Eng tidak
suka memakai segala macam perhiasan emas permata yang mahal dan mewah. Namun
kesederhanaannya ini tidak mengurangi kecantikannya, bahkan membuat kejelitaannya makin
menonjol dan asli.
Tin Eng demikian asyiknya bermain silat pedang hingga ia tidak memperhatikan mereka yang
datang. Disangkanya bahwa mereka yang datang hanyalah ayahnya dan para perwira yang
sudah berada di situ dan ia tidak menghiraukannya.
Semua perwira di dalam gedung itu merasa kagum dan segan terhadap gadis itu karena
maklum bahwa ilmu kepandaian gadis itu amat tinggi, bahkan tidak berada di sebelah
kepandaian perwira yang manapun juga di kota Kiang-sui! Tadinya tak seorangpun
menyangka bahwa Tin Eng memiliki ilmu silat tinggi dan lihai dan hanya menyangka bahwa
gadis itu pernah belajar ilmu silat karena ayahnya pun seorang yang pandai ilmu silat, akan
tetapi semenjak terjadi sebuah peristiwa yang mengagumkan, barulah mereka tahu bahwa
gadis itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Bahkan Liok Ong Gun sendiri tadinya tidak
pernah menyangka bahwa puterinya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari
pada ilmu silatnya sendiri!
Hal itu terjadi beberapa bulan yang lalu. Ketika itu, kota Kiang-sui kedatangan seorang
pencuri yang lihai sekali. Kepala daerah Liok telah mengerahkan para penjaga dan perwira
untuk menangkap pencuri itu, akan tetapi maling itu ternyata amat tangguhnya hingga tak
dapat ditangkap, bahkan ketika pada suatu malam dikepung, maling itu telah melukai
beberapa orang perwira! Dalam kesombongannya karena tidak menemukan tandingan, maling
itu akhirnya berani mendatangi gedung Liok Ong Gun untuk mencuri! Dan di tempat inilah ia
menemui tandingannya, yakni Tin Eng sendiri!
Ketika maling itu sedang mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba ia diserang oleh Tin Eng dan
mereka bertempur hebat sekali. Ribut-ribut ini terdengar oleh Liok Ong Gun yang segera
mengerahkan para perwira dan menyusul ke atas di mana dengan bengong mereka
menyaksikan sebuah pertempuran hebat antara Tin Eng dan maling itu! Bukan main kagum
hati mereka ketika akhirnya Tin Eng berhasil merobohkan maling itu yang segera dibekuk dan
dihukum. Dan semenjak malam itulah maka Tin Eng terbuka rahasianya, dan semua orang,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 7
termasuk ayah sendiri, baru maklum bahwa dara jelita itu memiliki ilmu silat yang lebih
tinggi dari pada para perwira di kota Kiang-sui.
Pada saat Liok Ong Gun dan tamu-tamunya datang di kebun itu, Tin Eng sedang berlatih silat
pedang yang mempunyai gerakan-gerakan luar biasa cepatnya. Sinar pedangnya bergulunggulung
menyelimuti tubuhnya dan angin sabetan pedang menyambar-nyambar sampai jauh.
Para perwira memandang kagum, demikian pula Liok Ong Gun karena tidak mudah untuk
menyaksikan ilmu silat puterinya itu yang belum pernah mau memperlihatkan kepandaiannya
kepada siapapun juga.
Sementara itu, melihat kecantikan gadis yang hendak dijodohkan dengannya, pemuda murid
Bong Bi Sianjin tercengang dan pada saat itu yang kelihatan olehnya hanya kecantikan Tin
Eng, sama sekali tidak memperdulikan ilmu pedang yang dimainkan oleh dara itu.
Akan tetapi, Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin saling pandang dengan mata mengandung
keheranan besar. Selama mereka hidup, baru satu kali saja mereka pernah menyaksikan ilmu
pedang seperti ini, yaitu ketika mereka masih muda. Inilah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat
yang jarang terlihat di atas dunia ini. Pencipta ilmu pedang ini telah meninggal dunia puluhan
tahun yang lalu, dan orang itu setahu mereka tidak mempunyai murid, bagaimana ilmu
pedangnya kini terjatuh kepada puteri Liok Ong Gun?
Dengan penuh perhatian, kedua kakek itu memandang ilmu pedang yang dimainkan Tin Eng.
Mereka maklum bahwa ilmu pedang itu benar-benar hebat sekali, akan tetapi sayang dara itu
masih belum sempurna kepandaiannya dan terdapat kesalahan di sana-sini, sungguhpun
mereka berdua juga tidak paham ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat (ilmu pedang garuda sakti),
namun sebagai ahli-ahli ilmu silat mereka dapat melihat kesalahan-kesalahan dan cacat dalam
permainan gadis itu.
Sementara itu, Bong Bi Sianjin tak dapat menahan lagi kegembiraannya dan berseru, “Bagus
sekali Kiam-hoat ini!”
Mendengar seruan ini, barulah Tin Eng sadar bahwa di antara rombongan terdapat orang
asing, maka ia segera melompat mundur dan menahan gerakan pedangnya. Dengan mata
mengandung keheranan ia memandang ke arah dua orang kakek dan pemuda yang tak dikenal
itu, kemudian ia mengundurkan diri dengan malu-malu.
Liok Ong Gun menghampiri puterinya dan sambil tertawa berkata, “Tin Eng, kau berhadapan
dengan susiok-couw, beliau inilah yang bernama Seng Le Hosiang, susiok dari mendiang
suhuku.”
Tin Eng terkejut sekali dan segera menjura dengan hormatnya.
“Bagus, bagus! Kau patut menjadi puteri Liok Ong Gun. Cantik jelita dan kepandaian hebat
pula! Entah siapa yang memberi pelajaran ilmu pedang tadi kepadamu.”
Tin Eng tidak menjawab, hanya memberi hormat kepada Bong Bi Sianjin dan Gan Bu Gi
ketika ayahnya memperkenalkan mereka kepadanya. Mendengar bahwa pemuda yang tampan
dan nampak malu-malu itu hendak masuk menjadi perwira dan kini akan diuji kepandaiannya,
Tin Eng merasa gembira dan segera berdiri di tempat yang agak jauh dari situ untuk
menonton. Ayahnya tak dapat melarang puterinya yang manja dan keras hati ini, maka ia
mendiamkan saja.
Di dekat tempat gadis itu berdiri, terdapat seorang pelayan muda yang sedang mencabuti
rumput pengganggu pohon kembang. Dan melihat pemuda ini, Tin Eng segera berkata,
“Gwat Kong, tolong beritahu kepada ibu bahwa aku berada di sini untuk menyaksikan ujian
perwira baru!”
Pemuda itu mengangguk dan menjawab, “Baik, siocia.” Dan sebelum ia pergi jauh tiba-tiba
Liok Ong Gun memanggilnya. Ia segera berjalan kembali dan pembesar itu berkata,
“Kalau kau masuk ke dalam, sekalian ambil dua buah kursi untuk jiwi locianpwe ini!”
“Baik, taijin,” kata pemuda pelayan itu setelah memandang sekilas ke arah Seng Le Hosiang
dan Bong Bi Sianjin.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 8
“Siapakah pemuda itu?” tanya Seng Le Hosiang kepada Liok Ong Gun. Ia merasa tertarik
karena melihat betapa sepasang mata pelayan muda itu mengeluarkan cahaya yang tajam.
“Ah, dia adalah seorang pemuda she Bun yang telah tiga tahun bekerja di sini sebagai
pelayan. Orangnya jujur, pendiam, dan pekerjaannya baik,” jawab Liok Ong Gun sambil lalu.
Sementara itu, Liok Ong Gun lalu memberi perintah kepada seorang perwiranya untuk bersiap
menguji pemuda yang hendak menjadi perwira itu. Perwira ini adalah seorang perwira yang
sudah berusia empat puluh tahun lebih dan bernama Thio Sin. Dia memang dianggap sebagai
pimpinan para panglima yang berjumlah lima orang dan kepandaiannya dianggap paling
tinggi.
“Thio-ciangkun, harap kau segera melakukan upacara ujian ini sebagaimana mestinya dan
boleh kau pilih siapakah yang diharuskan maju untuk berpibu dengan Gan-kongcu,” kata Liok
Ong Gun kepadanya.
“Biarlah siauwte maju dan mengujinya, Thio-twako,” kata seorang perwira yang bermuka
hitam dan bertubuh tinggi besar. Perwira ini adalah Lie Bong yang beradat kasar. Ia tadi
merasa penasaran dan mendongkol sekali, maka kini ia hendak menggunakan kesempatan
untuk membalas penghinaan tadi.
Thio Sin mengangguk sambil tersenyum. Ia percaya penuh kepada kegagahan Lie Bong yang
memiliki tenaga besar dan ilmu silat cukup tinggi.
“Majulah, Lie-lote, akan tetapi hati-hatilah,” kata Thio Sin.
Lie Bong berseru girang dan segera bersiap sedia. Ia membereskan topinya yang dihias bulu
garuda panjang, lalu memasukkan kuncir rambutnya ke dalam punggung bajunya dan
menyingsing lengan bajunya, kemudian ia melompat ke tengah lapangan. Di tengah lapangan
itu terdapat sebongkah batu besar yang biasanya digunakan untuk melatih tenaga. Melihat
batu besar itu dengan congkaknya Lie Bong lalu menempelkan kakinya kanannya kepada batu
itu dan sekali ia menggerakkan kaki, batu itu terlempar jauh ke bawah pohon.
Setelah melakukan demonstrasi untuk memperlihatkan kehebatan tenaganya itu, Lie Bong
lalu menjura ke arah pemuda gunung yang masih berdiri sambil tersenyum malu-malu di
dekat suhunya sambil berkata,
“Gan-kongcu, aku mendapat kehormatan untuk melayani bermain-main denganmu. Silahkan
maju!”
Gan Bu Gi berpaling kepada suhunya seakan-akan minta perkenan dan setelah Bong Bi
Sianjin mengangguk, ia lalu berjalan dengan tenang ke dalam lapangan itu, menghadapi Lie
Bong.
Pada saat itu, pelayan muda yang diperintah mengambil kursi telah datang. Biarpun hanya
disuruh mengambil dua buah kursi, pemuda itu ternyata membawa empat buah kursi. Dua
buah diletakkan di belakang kedua pendeta tua itu, sebuah diberikan kepada Liok Ong Gun
dan yang sebuah lagi lalu ia bawa menuju tempat Tin Eng berdiri dan ia memberikan kursi
kepada gadis itu!
Tak seorangpun memperhatikan pekerjaan ini dan Liok Ong Gun juga sudah lupa bahwa ia
tadi hanya memerintahkan mengambil dua buah kursi saja untuk Seng Le Hosiang dan Bong
Bi Sianjin. Mereka duduk dan memperhatikan ujian yang hendak dilangsungkan, sedangkan
pemuda pelayan yang bernama Bun Gwat Kong itu lalu melanjutkan pekerjaan mencabuti
rumput sambil kadang-kadang menengok ke arah tempat duduk Tin Eng.
“Gan-kongcu,” kata Lie Bong dengan suara keras. “Menurut kebiasaan, pibu ini dilakukan
dua kali. Pertama kali dengan bertangan kosong, dan kedua kalinya menggunakan senjata
untuk menguji kepandaian main senjata dari calon perwira. Sekarang marilah kita main-main
sebentar dengan bertangan kosong. Harap kau suka menanggalkan jubahmu yang panjang itu
agar supaya gerakanmu lebih leluasa.”
02. Pelayan Muda Kepala Daerah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 9
Memang pemuda itu memakai jubah pendeta yang panjang dan berlengan baju lebar sekali
maka tentu saja dalam pakaian seperti itu, gerakannya akan kurang leluasa. Akan tetapi,
sambil tersenyum Gan Bu Gi menjawab,
“Ciangkun, ujian ini hanya main-main belaka, bukan? Biarlah siauwte tetap memakai jubah
ini, hanya siauwte harap ciangkun suka menaruh kasihan kepadaku.” Biarpun Gan Bu Gi
berkata demikian, akan tetapi bibirnya tetap tersenyum hingga bagi Lie Bong seakan-akan
pemuda itu mengejeknya dan memandang rendah. Menghadapinya dengan pakaian seperti itu
saja berarti sudah memandangnya rendah, maka ia menjadi marah sekali.
“Kalau begitu, jangan kau menggunakan alasan bajumu itu kalau nanti kau roboh!” katanya
sambil memasang kuda-kuda.
“Seranglah, ciangkun,” kata Gan Bu Gi yang masih tenang-tenang saja dan berdiri biasa
seakan-akan tidak menghadapi lawan yang hendak menyerangnya. Tin Eng merasa geli dan
juga heran melihat sikap pemuda itu dan ia menduga bahwa dalam satu-dua jurus saja Lie
Bong tentu akan menjatuhkan.
“Awas seranganku!” Lie Bong berseru keras dan maju menyerang dengan gerakan Go-yangpok-
sit atau kambing lapar tubruk makanan. Pukulannya keras sekali dan gerakannya cepat
hingga serangan pertama ini saja agaknya sudah cukup merobohkan lawan yang kurang gesit.
Akan tetapi, dengan masih tenang pemuda itu mengelak ke samping hingga serangan lawan
mengenai tempat kosong.
Lie Bong melanjutkan serangannya dengan pukulan Siok-lui-kik-ting atau Petir sambar
kepala. Serangan kedua ini lebih hebat dan pukulan yang ditujukan ke arah kepala Gan Bu Gi
itu. Kalau mengenai sasaran mungkin akan menghancurkan kepala pemuda itu. Sekali lagi
pemuda itu mengelak dengan cepat luar biasa sehingga Lie Bong mulai merasa panas dan
penasaran.
Ia tiada hentinya menyerang bertubi-tubi, kini tidak sungkan-sungkan lagi dan mengeluarkan
serangan-serangan yang paling berbahaya. Namun sungguh mengherankan, jangankan
mengenai tubuh pemuda itu, ujung baju yang panjang dari pemuda itu saja ia tak mampu
menyentuhnya! Pemuda itu berkelebat ke kanan-kiri dengan gerakan yang luar biasa
cepatnya, gesitnya melebihi burung walet dan setelah menyerang belasan jurus, belum juga
Lie Bong berhasil memukul lawannya.
Kini barulah para perwira merasa terkejut, sedangkan Tin Eng sendiri merasa kagum melihat
kelincahan pemuda itu yang ternyata memiliki ilmu gin-kang atau keringan tubuh yang luar
biasa sekali. Makin cepat Lie Bong menyerang, makin cepat pula pemuda itu bergerak
sehingga sebentar saja tubuhnya seakan-akan menjadi tiga atau empat karena cepatnya
gerakannya. Lie Bong mulai merasa pening karena ia tidak melihat dengan jelas ke jurusan
mana lawannya mengelak dan tahu-tahu lawannya telah berada di kanan, di kiri, bahkan di
belakangnya.
Tak terasa lagi Liok Ong Gun bertepuk tangan saking gembiranya.
“Gan-kongcu, balaslah, jangan sungkan!” teriaknya, lupa bahwa pertandingan itu sebetulnya
hanya merupakan ujian bagi calon perwira itu.
Mendengar ini, Gan Bu Gi berkata kepada Lie Bong,
“Ciangkun, maafkan siauwte!” Baru saja kata-kata ini diucapkan, tahu-tahu Lie Bong
memekik dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak jauhnya, jatuh berdebuk dengan pantat
di depan ke atas tanah sehingga debu mengepul ke atas dan ia merasa pantatnya sakit sekali!
Ternyata bahwa ketika ia sedang memukul, secepat kilat pemuda itu mengelak dan melompat
ke samping dan ketika ia melanjutkan serangannya dengan sebuah tendangan, sambil
mengelak pemuda itu lalu mendorong tubuh belakangnya dari samping dengan tenaga yang
luar biasa besarnya sehingga tidak ampun lagi ia terbawa oleh tenaga tendangan dan dorongan
itu sehingga terlempar jauh!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 10
Terdengar suara terbahak-bahak dari Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin, dibarengi tepuk
tangan Liok Ong Gun yang merasa kagum sekali.
Dengan mendongkol, malu, dan pemasaran Lie Bong merayap bangun dan hendak melawan
dengan menggunakan senjata, akan tetapi ternyata bahwa tubuh belakangnya terasa sakit
sekali sehingga ketika ia berdiri, ia merasa bahwa tak mungkin baginya untuk maju
bertanding lagi. Ia hanya berdiri dan mengurut-urut pantatnya sambil meringis kesakitan!”
Sementara itu, empat orang perwira lainnya merasa penasaran sekali melihat betapa Lie Bong
dipermainkan demikian mudahnya oleh pemuda itu. Thio Sin sebagai kepala perwira merasa
penasaran dan melompat maju sambil menjura kepada Liok Ong Gun dan berkata,
“Taijin, oleh karena saudara Lie Bong sudah kalah dan tidak mungkin untuk melakukan ujian
senjata, biarlah siauwte sendiri yang maju untuk melakukan ujian ini.”
Liok Ong Gun mengangguk dengan girang dan Thio Sin mencabut sepasang siang-kiam
(sepasang pedang) yang tajam dan tipis. Ia terkenal sebagai ahli main siang-kiam yang jarang
mendapat tandingan maka ia yakin bahwa kini ia akan dapat mengalahkan pemuda yang
hendak mendesak kedudukannya itu. Hatinya merasa iri sekali melihat betapa Liok Ong Gun
agaknya tertarik dan kagum sekali kepada Gan Bu Gi.
Setelah melompat dengan ringan dan gesitnya kehadapan pemuda itu, Thio Sin lalu berkata
sambil menyilangkan sepasang pedangnya di dada.
“Gan-kongcu, harap kau suka mengeluarkan senjatamu agar kita dapat segera menguji
kepandaian masing-masing. “ Dengan hati–hati Thio Sin menyebut “menguji kepandaian
masing-masing” dan tidak menguji kepandaian pemuda itu, oleh karena ia menduga bahwa
pemuda itu tentu berkepandaian tinggi dan belum tentu ia dapat mengalahkannya.
Gan Bu Gi balas menjura, “Ciangkun, biarlah kau saja yang mempergunakan senjata, siauwte
akan menghadapimu dengan bertangan kosong saja. Bukankah kita hanya hendak main-main
saja?”
Thio Sin marah sekali dalam hatinya karena jawaban ini. Biarpun tidak dikeluarkan untuk
menghinanya akan tetapi maksudnya sama dengan memandang rendah. Ia adalah perwira
kelas satu di kota Kiangsui, bahkan apabila ia menjadi perwira di kotaraja, sedikitnya akan
menduduki kelas tiga. Ilmu silatnya tinggi dan sudah dikenal oleh semua orang. Apakah
sekarang ia harus menghadapi seorang pemuda gunung yang bertangan kosong ini dengan
senjatanya? Sungguh memalukan sekali. Jangankan sampai kalah, biarpun ia mendapat
kemenangan, namanya akan jatuh dan ia akan ditertawakan orang karena sebagai seorang
perwira tinggi ia melawan dan menjatuhkan seorang pemuda tak ternama yang bertangan
kosong dengan menggunakan siang-kiam! Maka ia lalu berkata,
“Gan-kongcu, aku percaya bahwa kau memiliki ilmu silat yang luar biasa tingginya. Akan
tetapi kalau kau tidak menghadapiku dengan senjata, terpaksa ujian ini tidak dapat
dilanjutkan.”
Mendengar ucapan ini, Bong Bi Sianjin lalu bangun dari tempat duduknya dan berkata
dengan suara keras,
“Ciangkun, kalau muridku sudah menggunakan senjata, maka pertandingan ini tidak akan
menarik lagi. Akan tetapi oleh karena memang sudah menjadi peraturan, biarlah muridku
mempergunakan senjata dan kau bersama tiga orang kawanmu itu maju berbareng hingga
pertempuran ini akan menarik dan sedap ditonton! Bu Gi, kau pergunakanlah senjatamu, akan
tetapi jangan yang tajam, cukup dengan jubahmu itu saja,” perintahnya kepada muridnya.
Gan Bu Gi mengangguk dan segera menanggalkan jubahnya yang panjang itu. Ternyata
bahwa di sebelah dalam ia memakai pakaian yang ringkas dan kini ia nampak gagah sekali. Ia
menggulung jubahnya itu dan memegang di tangan kanan, lalu berkata kepada Thio Sin,
“Ciangkun, kau telah mendengar usul suhu tadi. Harap kau dan ketiga orang kawanmu itu
maju berbareng dan marilah kita main-main sebentar!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 11
Saking marah dan mendongkolnya melihat kesombongan Bong Bi Sianjin yang mengusul
agar muridnya itu dikeroyok empat, Thio Sin tak dapat mengeluarkan kata-kata dan hanya
memandang dengan mata terbelalak marah. Akan tetapi ketiga orang kawannya tak dapat
menahan kemarahan hatinya lagi. Mereka ini adalah tiga saudara yang disebut Kiangsui Sameng
atau Tiga Pendekar Kiangsui karena sebelum mereka menjadi perwira-perwira pengawal
Liok Ong Gun, memang mereka ini merupakan tiga saudara cabang atas di kota itu.
Kepandaian mereka tidak rendah, hanya kalah sedikit saja dari Thio Sin, maka kini
mendengar kesombongan itu, mereka menjadi marah sekali dan berbareng mereka melompat
ke tengah lapangan sambil mencabut pedang masing-masing!
“Baik, kami akan maju bareng!” kata Thio Sin. “Akan tetapi, ini bukan kehendak kami.”
Kemudian ia menghadapi Liok Ong Gun untuk minta perkenan pembesar itu.
Liok Ong Gun juga merasa penasaran ketika melihat betapa para perwiranya dipandang
rendah. Ia ingin sekali melihat apakah benar-benar pemuda itu dengan sepotong jubah saja
sanggup menghadapi keempat orang perwira yang memegang pedang, maka ia lalu
mengangguk dan berkata,
“Karena mereka yang meminta, biarlah kalian mulai saja.”
Tin Eng merasa semakin kagum dan heran. Ia kagum melihat kelihaian pemuda itu dan heran
melihat keberaniannya. Ia maklum bahwa empat orang perwira ayahnya itu memiliki
kepandaian yang tidak rendah dan apabila mereka maju bersama, maka mereka merupakan
merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi diam-diam ia merasa gembira oleh karena ia
akan menyaksikan pertandingan yang benar-benar hebat.
Sementara itu, pelayan muda yang tadi masih mencabuti rumput dan hanya menonton
pertandingan yang terjadi antara Gan Bu Gi dengan Lie Bong, kini juga tertarik sekali hingga
lupa untuk melakukan pekerjaannya. Dengan tangan kiri memegang sekepal rumput yang
sudah dicabut, ia berjongkok tanpa bergerak dan nongkrong di situ sambil memandang
dengan hati berdebar.
Gan Bu Gi dengan tenangnya berdiri menghadapi empat orang perwira itu dengan jubah
tergulung dalam tangannya. Sikapnya tenang, senyumnya tak pernah meninggalkan bibirnya
sehingga Liok Ong Gun makin lama makin kagum saja melihatnya. Pemuda yang baru
berusia paling banyak dua puluh tahun itu benar-benar mengagumkan, baik kepandaian
maupun keberaniannya.
Melihat sikap pemuda itu, Thio Sin lalu berkata sambil menahan marahnya, “Kongcu, kau
sendiri yang memilih senjatamu, jangan kau menyesal kalau nanti roboh di tangan kami.”
“Tidak akan ada penyesalan dalam hal ini dan silahkan mulai, cuwi ciangkun!” jawab Gan Bu
Gi yang memperlebar senyumnya. Pemuda ini merasa gembira sekali bukan karena
kemenangannya, akan tetapi oleh karena ia maklum bahwa Tin Eng gadis bidadari itu sedang
memandangnya dengan penuh perhatian dan ia mendapat kesempatan untuk memamerkan
kepandaiannya kepada dara jelita yang telah membetot hatinya.
Thio Sin dan kawan-kawannya lalu mulai menyerang dengan senjata mereka. Gerakan
mereka itu gesit dan cepat sekali, setiap serangan yang mereka lakukan amat berbahaya. Akan
tetapi pemuda itu dengan tenangnya lalu menggerakkan jubah di tangannya dan sekali gus
saja semua senjata lawan dapat ditangkis dengan hebat. Empat orang perwira itu merasa
terkejur sekali ketika merasa betapa tenaga yang keluar dari tangkisan itu hebat dan kuat
sekali, maka mereka lalu maju lagi mendesak dari segala jurusan dengan berpencar. Sebentar
saja pemuda itu terkepung dari empat penjuru dan datangnya serangan lawan bagai hujan.
Akan tetapi ia segera berseru keras dan Tiba-tiba jubah di tangannya yang kini menjadi
sebatang senjata yang keras dan kuat itu, diputar demikian cepatnya sehingga tubuhnya
tertutup sama sekali oleh gulungan sinat senjata istimewa ini.
Tak terasa lagi Tin Eng berseru dengan suara nyaring, “Bagus sekali!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 12
Sementara itu, pelayan muda Bun Gwat Kong yang juga merasa kagum, tak terasa pula
meremas-remas rumput digenggamannya sehingga menjadi hancur. Kini ia tidak berjongkok
lagi akan tetapi berdiri dan memandang tanpa berkedip. Ia kagum melihat kehebatan
permainan silat Gan Bu Gi dan diam-diam merasa iri hati melihat betapa senjata istimewa
pemuda itu dapat melindungi dirinya sedemikian rupa terhadap kurungan lima batang pedang
dari keempat perwira itu. Memang Gan Bu Gi hendak mendemonstrasikan kepandaiannya dan
ia hanya memperlihatkan kekuatan menahan semua serangan itu tanpa membalas sedikit pun.
Tiga puluh jurus lebih telah berjalan dan senjata empat orang perwira itu ternyata sama sekali
tidak dapat mendesak padanya. Kini barulah mereka maklum dan mengakui keunggulan
pemuda itu dan merasa kuatir karena tadinya mereka sama sekali tak pernah menyangka
bahwa pemuda gunung itu demikian lihai.
“Bu Gi, rampas senjata mereka!” Tiba-tiba Bong Bi Sianjin berseru dengan gembira.
Mendengar perintah suhunya ini, Gan Bu Gi lalu berseru keras dan gulungan baju panjang di
tangannya lalu bergerak secara luar biasa sekali. Kini baju itu bergulung-gulung dan sebentar
saja ia berhasil melibat sepasang siang-kiam dari Thio Sin dan sekali membetot, sepasang
pedang itu terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai! Tiga pendekar Kiangsui terkejut
melihat ini dan sebelum mereka sempat mengelak, pedang mereka telah terlibat pula dan
terbetot sehingga terlepas dari pegangan pula!
Pada saat itu juga, Lie Bong yang berhati curang melihat kekalahan kawan-kawannya, dari
belakang lalu mengirim tusukan dengan pedangnya tanpa memberi peringatan lebih dulu.
Tin Eng yang bermata tajam dapat melihat gerakan ini dan ia tak dapat menahan jeritannya,
sedangkan pelayan muda yang berdiri di belakangnya lalu tanpa disadarinya menggerakkan
tangan yang mengepal hancuran rumput tadi. Gerakan ini dilakukannya karena ia pun melihat
hal itu dan terkejut. Maksudnya hendak mencegah kecurangan itu, akan tetapi karena ia tidak
berani maju, maka tangannya secara otomatis lalu melempar bubukan rumput itu ke arah
pedang yang ditusukkan!
Gan Bu Gi juga merasa datangnya angin tusukan senjata, maka secepat kilat ia memutar tubuh
dan menggerakkan jubahnya untuk menangkis! Semua kejadian ini terjadi cepat sekali dan
semua mata ditujukan ke arah Lie Bong dan Gan Bu Gi hingga tak seorangpun melihat
datangnya hancuran rumput itu. Dengan tenaga yang luar biasa, hancuran rumput itu
memukul pedang Lie Bong dan sambil berteriak keheranan, perwira ini merasa betapa
pedangnya disambar oleh sebuah tenaga raksasa sehingga pedangnya terlepas dari pegangan!
Sementara itu, jubah di tangan Bu Gi sudah menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi,
‘senjata rahasia’ yang membentur dan melemparkan pedang Lie Bong tadi, terpental dan
dengan tenaga yang masih hebat kini meluncur ke arah jubah Gan Bu Gi. “Brettt!” Jubah itu
tertembus oleh hancuran rumput dan menjadi bolong!
Gan Bu Gi terkejut sekali dan cepat menarik kembali jubahnya yang ketika diperiksa ternyata
telah menjadi bolong! Ia mengerling ke arah Tin Eng yang memandangnya dengan dada lega
karena pemuda itu dengan secara lihai sekali telah menyelamatkan diri. Tak seorangpun tahu
bahwa ada senjata rahasia yang aneh telah menolong pemuda itu. Orang satu-satunya yang
tahu hanyalah Gan Bu Gi sendiri dan pemuda ini pun menyangka bahwa nona jelita itulah
yang telah menolongnya, maka diam-diam ia menjadi girang sekali dan juga terkejut karena
tak disangkanya bahwa nona itu sedemikian lihai sehingga tenaga sambitannya berhasil
membuat jubahnya menjadi berlubang!
Dengan senyum manis Gan Bu Gi mengangguk ke arah Tin Eng dan berkata perlahan-lahan,
“Terima kasih!”
Hal ini membuat Lie Bong merasa heran karena tadipun ia tak mengerti mengapa tiba-tiba
pedangnya terlepas sedangkan jubah di tangan lawannya itu belum menyentuh sendjatanya.
Juga Tin Eng merasa terheran karena ia tidak mengerti mengapa pemuda itu berterima kasih
kepadanya. Yang paling merasa heran adalah si pelayan muda itu sendiri. Tanpa disengaja ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 13
menyambit ke arah pedang Lie Bong dan melihat betapa benda lunak yang disambitkannya itu
dapat melemparkan pedang perwira itu, bahkan menembus jubah di tangan Gan Bu Gi, ia
merasa terheran-heran dan menjadi bengong! Kemudian ia lalu pergi dari situ, masuk ke
dalam kandang kuda di mana ia duduk melamun sambil mengelus-elus kuda yang menjadi
sahabat baiknya.
Sementara itu, Thio Sin dan kawan-kawannya lalu menjura kepada Gan Bu Gi dan dengan
jujur berkata, “Gan taihiap benar-benar hebat! Kami berlima mengaku bahwa kau memiliki
ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari pada kami. Sudah sepatutnya kalau kau diangkat menjadi
Panglima Tertinggi di Kiangsui!”
Memang Thio Sin seorang yang cerdik. Tadinya ia merasa penasaran karena pemuda ini
dianggap sebagai pendesak kedudukannya. Akan tetapi setelah menyaksikan betapa lihainya
pemuda ini, ia merasa lebih baik menjadikannya sebagai sahabat dari pada sebagai musuh,
maka ia lalu memuji-mujinya untuk mengambil hati.
Liok Ong Gun merasa girang bukan main. Ia menghampiri pemuda itu dan melepaskan ikat
pinggang berikut pedangnya, diberikan kepada Gan Bu Gi sambil berkata, “Gan-hiante, mulai
sekarang kau kuangkat menjadi kepala perwira di daerah Kiangsui ini dan terimalah pedangku
ini sebagai tanda pangkatmu!”
Gan Bu Gi lalu menjatuhkan diri berlutut menghaturkan terima kasih.
Sementara itu, Bong Bi Sianjin dan Seng Le Hosiang juga menghampiri sambil tertawa
tergelak-gelak.
“Liok Ong Gun,” kata Seng Le Hosiang. “Tugasku telah selesai dan pinceng merasa girang
sekali bahwa kau dapat menerima Gan Bu Gi. Sekarang aku hendak kembali karena masih
ada urusan lain yang harus pinceng selesaikan.”
“Pinto juga mau pergi, taijin. Tentang perjodohan itu, biarlah lain kali kita bicarakan! Bu Gi,
berhati-hatilah dalam pekerjaanmu!”
Setelah berkata demikian, dua orang kakek pertapa itu berkelebat dan bagaikan dua ekor
burung saja, tahu-tahu tubuh mereka telah berada di atas dinding yang mengelilingi gedung
itu! Sekali lagi mereka melambaikan tangan kemudian berkelebat lenyap dari situ.
Tin Eng memandang semua itu dengan kagum dan ketika ia melihat betapa Gan Bu Gi sekali
lagi memandangnya dengan mata mengandung penuh perasaan, ia menjadi malu. Wajahnya
menjadi merah dan cepat-cepat ia berlari masuk ke dalam gedung.
****
Bun Gwat Kong yang berdiri termenung di kandang kuda sambil mengelus-elus leher kuda itu
masih saja terheran-heran. Ia lalu membungkuk dan mengambil sekepal makanan kuda yang
sudah hancur, lalu ia sambitkan makanan kuda itu ke arah tiang dengan sekuat tenaga.
Dengan mudah saja benda itu melesat ke dalam tiang kayu yang keras! Bukan main herannya
sehingga ia bergidik sendiri karena ngerinya. Bagaimana ia bisa mempunyai kelihaian seperti
itu?
Memang, di luar tahunya, pemuda ini memiliki kepandaian dan tenaga lweekang yang luar
biasa sekali. Hal ini memang aneh sekali, akan tetapi baiklah kita berhenti sebentar untuk
mengikuti pengalaman pemuda ini semenjak ia masih kecil sehingga ia menjadi pelayan di
rumah gedung keluarga Liok.
Bun Gwat Kong ini sebenarnya adalah putera tunggal seorang tihu di kota Lam-hoat sebelah
selatan. Ayahnya adalah seorang tihu yang amat adil dan bijaksana, serta jujur menjalankan
tugasnya. Ketika Gwat Kong masih kecil, ayahnya, yakni Bun-tihu, memeriksa perkara
seorang hartawan yang diadukan oleh orang-orang kampung karena memeras mereka dan
merampas tanah hak milik rakyat tani. Sebagai seorang tihu yang adil, Bun-tihu menjatuhkan
keputusan yang adil, mendenda hartawan itu dan merampas tanah itu untuk dikembalikan
kepada yang berhak, orang-orang kampung yang miskin.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 14
Hal itu tentu saja membuat hartawan she Tan itu menjadi sakit hati dan dengan pengaruh
uangnya, Tan-wangwe (hartawan she Tan) itu lalu memfitnahnya kepada pembesar yang lebih
tinggi pangkatnya dan dengan curang sekali ia menyuruh seorang penjahat untuk mencuri
harta dan cap kebesaran pembesar itu lalu disembunyikan ke dalam kamar Bun-tihu.
Kemudian Tan-wangwe mendakwa tihu itu sebagai seorang kepala pencuri yang diam-diam
mengepalai serombongan pencuri untuk mengumpulkan harta kekayaan. Rumah Bun-tihu
diperiksa dan benar saja, harta dan cap yang tercuri itu telah diketemukan di dalam kamarnya,
sedangkan maling yang melakukan perbuatan itu pun lalu menyerahkan diri dan mengaku
bahwa ia adalah anak buah Bun-tihu yang menjadi kepala gerombolan maling. Tentu saja
semua ini adalah tipu muslihat Tan-wangwe yang sudah memberi suapan besar kepada
pembesar itu sehingga Bun-tihu akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman. Diam-diam maling
yang telah membantu itu dibebaskan, bahkan banyak mendapat hadiah dari Tan-wangwe.
Peristiwa ini merupakan malapetaka besar bagi keluarga Bun. Bukan hanya karena hukuman
itu, akan tetapi yang lebih menyedihkan hati Bun-tihu ialah kehancuran namanya. Nama yang
tadinya putih bersih dan yang dijaganya dengan baik itu tiba-tiba saja menjadi ternoda kotor
dan hina. Ia tak kuat menahan kesedihannya dan akhirnya membunuh diri di dalam tahanan!
Nyonya Bun telah menjadi janda yang miskin karena setelah Bun-tihu ditangkap, harta
bendanya dirampas semua dengan alasan bahwa harta benda itu datang dari hasil rampokan
dan curian. Dengan kejamnya pembesar-pembesar atasan mengusir Nyonya Bun serta putera
tunggalnya dari rumah itu. Nyonya ini lalu meninggalkan Lam-hoat dan dengan hati hancur,
nyonya bangsawan yang tidak biasa hidup melarat ini merantau ke utara.
Ketika malapetaka itu menimpa keluarganya Bun Gwat Kong baru berusia lima tahun dan
anak kecil yang belum tahu apa-apa ini hanya dapat menangis di sepanjang perjalanan karena
sebagai putera bangsawan ia pun tidak biasa melakukan perjalanan jauh dan sengsara seperti
itu! Akhirnya ibu dan anak ini setelah mengalami kesengsaraan hebat, tiba di sebuah kota di
sebelah utara Lam-hoat. Kota ini adalah kota Ki-hong dan di sinilah nyonya Bun memilih
tempat tinggal. Mereka mondok di tempat seorang petani miskin dan nyonya Bun lalu
mempergunakan kepandaiannya untuk membuat kain sulaman indah dan menyuruh puteranya
menjual hasil kerajinan tangan itu ke rumah orang-orang hartawan. Karena hasil kerjanya
memang indah dan bermutu tinggi, maka barang-barang itu laku baik dan mendatangkan
penghasilan yang cukup untuk biaya sehari-hari.
Kalau ia mau, nyonya Bun tentu saja dapat pergi ke rumah orang tua atau keluarga lainnya
yang terdiri dari orang-orang hartawan, akan tetapi nyonya ini mempunyai keangkuhan yang
tinggi dan ia tidak mau menumpangkan diri membikin repot orang lain. Selain ini, ia pun
merasa malu karena tahu bahwa nama keluarganya telah menjadi cemar karena peristiwa itu.
Hatinya berduka dan sakit sekali kalau teringat betapa suaminya telah meninggal dunia dalam
keadaan yang amat menggenaskan. Kalau dia tidak mengingat puteranya, Gwat Kong, tentu
nyonya ini telah membunuh diri pula karena sedih dan malu.
Kini ia hidup hanya untuk putera tunggalnya. Dengan rajin ia mendidik puteranya itu dalam
hal kepandaian membaca dan menulis. Gwat Kong belajar dengan tekun dan rajin sehingga ia
dapat memiliki kepandaian itu dengan baik karena otaknya memang tajam. Selama lima tahun
sehingga usianya menjadi sepuluh, Gwat Kong merupakan seorang anak yang rajin bekerja
membantu ibunya dan rajin belajar pula hingga kesedihan hati ibunya banyak terhibur
karenanya.
Akan tetapi, sudah menjadi lazimnya bagi seorang anak laki-laki untuk bermain-main dan
bergaul dengan sesama kawannya. Di waktu senggang, Gwat Kong keluar dari rumah dan
bermain-main dengan banyak kawan di kota itu dan memang sesungguhnya bahwa pergaulan
itu mempengaruhi hidup dan tabiat seseorang. Setelah banyak bergaul dengan pemudapemuda
yang nakal maka mulai berubahlah sifat Gwat Kong yang tadinya pendiam dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 15
penurut. Ia mulai malas belajar, bahkan kadang-kadang pada saat ibunya menyuruh dia
mengantarkan hasil sulaman, anak itu tidak ada di rumah, entah pergi bermain-main di mana.
Ibunya mulai berkuatir, apalagi setelah makin lama Gwat Kong makin menjadi malas, bahkan
kini berani pula pergi membawa uang yang dimintanya dari nyonya itu. Nyonya Bun mulai
menegur anaknya, akan tetapi tidak ada hasilnya. Diam-diam Gwat Kong telah kena pengaruh
pergaulan yang kurang baik.
Kawan-kawannya yang suka berjudi itu menyeretnya sehingga anak remaja yang baru berusia
sepuluh tahun itu kini gemar berjudi dan bertaruh mengadu jangkrik. Bahkan, yang lebih
hebat lagi Gwat Kong mulai belajar minum arak dengan kawan-kawannya. Dan yang aneh,
anak ini ternyata kuat sekali minum arak dan dalam beberapa bulan saja, tidak ada seorang
pun anak di kota itu yang berani bertanding minum arak dengan Gwat Kong. Oleh karena itu,
maka tak lama kemudian Gwat Kong disebut oleh kawan-kawannya ‘Ciu-siauwkoai’ atau
setan arak kecil!
Baiknya bukan hanya keburukan yang ia dapat dari pergaulannya dengan anak-anak jahat itu,
akan tetapi juga ada hasilnya yang baik yakni kepandaian silat. Ia mulai gemar belajar silat
karena selalu kalau sedang bermain-main dan berkelahi, ia menjadi korban yang menderita
kekalahan. Dan seperti juga dalam hal minum arak, dalam hal ilmu silat pun setelah ia mulai
belajar dari guru silat kota itu yang menerima bayaran, tak seorangpun di antara kawankawannya,
biar yang lebih besar sekalipun, dapat melawannya dalam perkelahian. Selain
tenaganya besar, iapun memiliki kecerdikan sehingga dapat mempergunakan sedikit ilmu silat
yang dipelajarinya dengan baik dan praktis, sedangkan sebagian besar kawan-kawannya itu
hanyalah mempelajari ilmu silat untuk dipakai berlagak belaka, bagus dilihat kalau bersilat
seorang diri, akan tetapi tidak ada gunanya jika menghadapi lawan.
Melihat keadaan puteranya ini, luka di hati nyonya Bun kambuh kembali. Tadinya hatinya
yang terluka karena peristiwa yang menimpa keluarganya itu mulai sembuh dan terhibur, akan
tetapi kini melihat keadaan puteranya, ia teringat kembali kepada suaminya dan berpikir
bahwa anaknya takkan menjadi demikian apabila suaminya masih hidup! Hal ini amat
mendukakan hatinya dan nyonya yang bernasib malang itu jatuh sakit. Barulah Gwat Kong
merasa terkejut dan menyesal sekali melihat ibunya jatuh sakit, dan sekali gus ia lalu
menghentikan kebiasaannya pergi bermain dan meninggalkan rumah itu. Ia berdiam saja di
rumah menjaga, akan tetapi terlambat. Penyakit nyonya ini bukanlah penyakit biasa, akan
tetapi penyakit yang timbul dari kesedihan hati dan akhirnya, setelah menghabiskan uang
simpanan untuk membeli obat guna menyembuhkan ibunya ternyata penyakit itu mengantar
nyonya Bun pulang ke alam baka.
Sebelum menghembuskan napas terakhirnya itu, dengan suara terputus-putus menceritakan
kembali peristiwa yang menimpa keluarganya kepada Gwat Kong yang telah lupa sama sekali
akan hal itu. Setelah mengubur jenazah ibunya atas bantuan beberapa orang kawan Gwat
Kong yang baru berusia dua belas tahun itu, tak pernah dapat melupakan sakit hatinya yang
timbul serentak setelah mendengar cerita ibunya. Ia bersumpah di depan kuburan ibunya
untuk membalas dendam ini kepada Tan-wangwe yang tinggal di Lam-hoat. Dengan tabah
anak yang baru berusia dua belas tahun itu lalu pergi ke Lam-hoat dan setelah mendapatkan
rumah gedung Tan-wangwe ia lalu masuk kedalam rumah itu dan memaki-maki lalu
mengamuk.
Akan tetapi, apakah daya seorang anak tanggung yang hanya memiliki kepandaian silat
pasaran? Ia dianggap anak gila yang datang mengacau dan setelah menerima gebukangebukan
dari para penjaga sehingga tubuhnya bengkak-bengkak dan kulitnya matang biru, ia
dibebaskan dan diusir bagaikan seekor anjing.
Bukan main hancur dan gemasnya hati Bun Gwat Kong menerima hinaan ini. Ia lalu keluar
meninggalkan Lam-hoat dan terus merantau ke utara. Akhirnya ia sampai di kota Kiangsui
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 16
dan setelah mencari pekerjaan di sana-sini, akhirnya ia diterima sebagai seorang pelayan di
gedung keluarga Liok, Kepala daerah Kiangsui yang kaya raya itu.
Pada waktu itu, Gwat Kong telah berusia tiga belas tahun. Dengan pikiran dewasa telah
membuat ia dapat merahasiakan keadaannya. Ia bekerja dengan rajin sekali. Sikapnya yang
sopan dan pendiam membuat ia disukai oleh Liok Ong Gun dan orang-orang yang tinggal di
gedung itu.
Cita-cita Gwat Kong hanyalah untuk bekerja dengan baik, mengumpulkan hasil upahnya
untuk kemudian dipakai biaya mencari guru silat dan kemudian membalas sakit hati orang
tuanya.
Di antara semua orang yang tinggal di gedung besar itu, yang paling menarik hatinya ialah
puteri tunggal keluarga Liok, yakni Tin Eng. Semenjak ia melihat anak perempuan itu, ia
merasa kagum sekali dan timbul perasaan yang aneh dalam dadanya. Biarpun Tin Eng selalu
memperlakukannya dengan kasar dan menyuruhnya mengerjakan ini itu dengan lagak seorang
majikan memerintah hambanya, namun selalu Gwat Kong melakukannya dengan taat dan
girang. Entah mengapa, ia merasa girang sekali apabila ia dapat melakukan sesuatu untuk
menyenangkan hati gadis cilik itu!
Dengan adanya Tin Eng inilah maka Gwat Kong seakan-akan lupa akan segala. Lupa akan
kesukaannya minum arak, lupa akan cita-citanya belajar silat dan bahkan lupa pula akan
maksudnya membalas dendam sakit hati orang tuanya! Makin lama ia tinggal di situ, makin
betahlah ia dan sedikitpun tidak ada keinginan dalam hatinya untuk meninggalkan tempat itu.
Bahkan ia bekerja makin rajin hingga ia makin disuka saja.
Ia tahu bahwa Tin Eng suka sekali akan kembang-kembang indah, maka tiap hari ia merawat
kebun kembang di belakang gedung itu, menjaganya baik-baik, menanaminya dengan bungabunga
indah dan setiap hari selain menyapu kebun itu sehingga bersih, ia pun mencabuti
rumput-rumput yang tumbuh di situ. Tanpa diperintah ia lalu menggulung lengan baju dan
mencangkuli tanah yang ditumbuhi tumbuhan liar di sebelah barat kebun itu untuk
memperluas kebun kembang.
Dan kerajinannya inilah yang mendatangkan hal yang sama sekali tak pernah diduganya dan
yang kemudian mengubah keadaan hidupnya sama sekali.
Pada suatu hari, ketika dengan rajinnya ia pagi-pagi sekali mencangkul tanah liar yang keras
karena banyak terdapat batu-batu di tempat itu, Tiba-tiba ia berseru keras karena kaget. Ia
telah memukul benda yang amat keras dengan cangkulnya dan ketika diperiksanya ternyata
cangkulnya telah patah ujungnya! Dengan heran ia lalu menggali tanah itu, karena kalau
hanya batu yang terpukul cangkulnya tadi, tak mungkin cangkul itu sampai rusak. Benar saja
dugaannya, setelah ia menggali di bawah tanah itu terdapat sebuah peti logam yang kecil,
akan tetapi berat dan kokoh kuat sekali.
03. Cinta Kasih Pelayan Muda
Dengan hati berdebar ia membersihkan peti besi itu dan ternyata bahwa tutup peti itu tidak
terkunci. Ia lalu membukanya dan karena tertutup itu rapat sekali, maka tidak ada tanah yang
masuk ke dalam peti. Akan tetapi, kalau tadinya ia menyangka akan mendapatkan harta
pusaka di dalam peti, ia kecewa, karena ternyata bahwa isi peti itu tak lain hanyalah tiga buah
kitab yang kertasnya telah menjadi kuning saking tuanya. Terutama yang sebuah dan yang
paling tebal, sudah amat tuanya dan pinggirannya telah banyak di makan kutu, akan tetapi
tulisan di dalamnya masih lengkap.
Dengan ingin tahu sekali Gwat Kong membuka-buka kitab itu satu demi satu. Kitab pertama
adalah sebuah kitab kecil yang berisi tulisan kecil-kecil dan ternyata kitab ini adalah semacam
kamus yang menerangkan arti tulisan-tulisan kuno. Kitab kedua adalah semacam kitab
pelajaran ilmu silat tangan kosong dan ilmu silat pedang yang ditulis dengan huruf-huruf amat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 17
buruk, akan tetapi mudah dimengerti isinya. Adapun kitab ketiga yang tertua dan paling tebal
itu, pada sampulnya terdapat lukisan Burung Garuda yang indah sekali dan ketika ia
membukanya ternyata bahwa kitab ini penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang bukan main
bagusnya. Akan tetapi sayang sekali, tulisan-tulisan itu agaknya dilakukan oleh seseorang di
jaman dahulu sehingga bahasanya adalah bahasa kuno yang sukar untuk dimengerti.
Gwat Kong merasa girang juga karena mendapatkan kitab pelajaran ilmu silat itu dan
mengambil keputusan untuk mempelajari ilmu silat dari buku itu. Ia segera mengubur kembali
peti kosong itu dan membawa ketiga kitab tadi ke dalam kamarnya. Kedua kitab yang besar
itu ia bawa dan kitab kecil seperti kamus itu ia masukkan ke dalam saku bajunya.
Dan pada saat itu, datanglah Tin Eng dari dalam. Ketika itu, Tin Eng baru berusia tiga belas
tahun dan Gwat Kong berusia lima belas tahun. Akan tetapi, gadis yang baru berusia tiga
belas tahun itu telah nampak cantik sekali dan ilmu silatnya telah cukup baik karena ia
mendapat didikan dan latihan dari ayahnya sendiri yang menjadi anak murid Gobi-san.
Melihat Gwat Kong membawa dua buah kitab tebal, Tin Eng segera menghampirinya dan
bertanya,
“Eh, Gwat Kong! Apakah yang kau bawa itu?”
Kalau saja yang melihat bukan Tin Eng, pemuda itu tentu segan untuk memperlihatkan kitabkitabnya,
akan tetapi ia memang ingin sekali menyenangkan hati Tin Eng, maka jawabnya,
“Siocia, tadi aku telah mendapatkan sebuah peti terpendam di dalam tanah yang berisi kitabkitab
pelajaran silat!” katanya dengan dengan wajah berseri.
Tin Eng merasa tertarik dan menghampiri lebih dekat.
“Coba kulihat kitab itu!” perintahnya dan tanpa disengaja Gwat Kong memberikan kitab yang
tertua dan yang amat tebal itu. Tin Eng membuka-bukanya sebentar, akan tetapi ia sama
sekali tidak mengerti, bahkan banyak huruf yang tak dikenalnya. Memang gadis ini kurang
pandai tentang ilmu membaca, maka sebentar saja kepalanya yang bagus itu telah menjadi
pening ketika ia membalik-balik beberapa helai kertas dalam kitab itu.
“Ah, ini adalah kitab kuno!” katanya dan perhatiannya menipis.
“Apa isi kitab itu, siocia?” tanya Gwat Kong.
Tin Eng adalah seorang gadis cilik yang cerdik dan tinggi hati. Ia tidak mau kalau sampai
pelayan ini mengetahui bahwa ia tidak mengerti atau tak dapat membaca kitab itu, maka
dengan lagak gagah ia berkata sambil mengembalikan kitab itu,
“Ini adalah kitab berisi syair zaman kuno semacam kitab To Tik King hasil karya Lo cu!”
Mendengar ini Gwat Kong menahan gelinya di dalam hati, karena biarpun ia hanya mengerti
sedikit saja akan isi kitab kuno itu, namun ia tahu bahwa kitab ini bukanlah kitab syair!
Tin Eng lalu memeriksa kitab kedua dan makin lama wajahnya makin berseri-seri.
“Inilah kitab pelajaran silat yang hebat!” serunya dengan bisikan dan kedua pipinya menjadi
merah. “Gwat Kong, kitab ini kau berikan kepadaku saja!”
“Boleh saja, siocia. Untuk apakah kitab seperti itu padaku?” jawab Gwat Kong, padahal kalau
lain orang yang minta, belum tentu akan ia berikan begitu saja.
Akan tetapi, setelah membaca halaman pertama dari kitab itu, Tin Eng lalu berkata lagi,
“Gwat Kong, kau harus merahasiakan hal ini dari siapa pun juga, bahkan kepada ayah sendiri
kau tidak boleh menceritakan tentang kitab ini, mengerti? Kitab kuno itu boleh kau simpan,
akan tetapi jangan sampai ketahuan orang lain!”
Gwat Kong mengangguk, akan tetapi ia tidak dapat menahan keinginan hatinya untuk
mengetahui sebabnya, maka ia bertanya,
“Baik, siocia. Akan tetapi, bolehkah aku mengetahui sebabnya maka hal ini harus
dirahasiakan?”
Tin Eng memandangnya dengan mata merah. “Kau tidak perlu tahu!” katanya, akan tetapi
agaknya ia merasa bahwa ia berlaku keterlaluan, maka sambil membuka halaman pertama tadi
ia berkata, “ Ini, kau baca sendiri!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 18
Gwat Kong melihat betapa pada halaman pertama itu, di sebelah bawah, terdapat tulisan yang
tadi ia tidak memperhatikannya dan tulisan itu berbunyi demikian,
“Yang mendapatkan kitab ini berarti ada jodoh dan boleh mempelajari ilmu silat ini, akan
tetapi dengan syarat bahwa ia sama sekali tidak boleh memberitahukan kepada orang lain
tentang pelajaran ini.”
Biarpun sepintas lalu saja, Gwat Kong sudah dapat membaca habis kalimat itu, akan tetapi ia
berpura-pura tidak mengerti dan memandang dengan bodoh.
“Aku, tak dapat membacanya, siocia.”
“Ah, ya ...... aku lupa,” kata Tin Eng sambil menarik napas panjang. “Seorang pelayan muda
seperti kau tentu saja tak pandai membaca.” Kemudian ia lalu membacakan kalimat itu
kepada Gwat Kong dan berkata,
“Karena itu, kita harus merahasiakan hal ini dari siapapun juga, dan kitab syair kuno itu boleh
kau simpan atau kau bakar saja karena tiada gunanya.”
“Kalau siocia sudah mempelajari ilmu silat ini tentu akan menjadi pandai sekali,” kata Gwat
Kong dengan mata berseri.
“Sudahlah, jangan banyak mengobrol, lekas kau sembunyikan kitab tebal itu sebelum orang
lain melihatnya,” kata Tin Eng tergesa-gesa dan ia menyembunyikan kitab pelajaran silat itu
di dalam bajunya, lalu masuk ke dalam gedung dan langsung menuju ke kamarnya sendiri.
Gwat Kong juga segera masuk ke dalam kamarnya dan menyembunyikan kitab tebal itu. Dan
barulah ia teringat akan kitab kamus kecil di dalam saku bajunya, maka iapun segera
menyimpan pula kitab kecil itu. Setelah itu ia kembali ke kebun dan melanjutkan
pekerjaannya, akan tetapi hatinya selalu memikirkan penemuan kitab-kitab itu. Giranglah
hatinya memikirkan bahwa ia telah memberi kesempatan kepada Tin Eng untuk mempelajari
kitab itu dan kalau kelak Tin Eng menjadi seorang yang pandai, maka jasanyalah itu.
Setelah malam hari tiba, Gwat Kong mulai mengeluarkan kedua kitab tadi dan membukabukanya.
Alangkah girangnya bahwa kamus kecil itu adalah catatan-catatan yang
menerangkan isi kitab kuno itu sehingga ia mulai dapat membacanya dan bukan main
terperanjat dan gembiranya ketika mendapat kenyataan bahwa kitab kuno itu adalah pelajaran
ilmu silat tinggi terdiri dari tiga bagian.
Bagian pertama adalah pelajaran latihan lweekang dan ginkang, bagian kedua pelajaran ilmu
silat tangan kosong yang disebut Sin-eng Kun-hoat, bagian ketiga adalah pelajaran ilmu silat
pedang yang disebut Sin-eng Kiam-hoat! Kini mengertilah ia bahwa kitab yang dibawa oleh
Tin Eng tadi hanyalah salinan dari pada kitab kuno ini dan yang disalin hanya bagian ilmu
pedangnya saja, akan tetapi menurut dugaannya karena melihat buruknya tulisan penyalin itu,
maka salinan itupun tidak sempurna. Inilah kitab aslinya, kitab kuno peninggalan seorang
sakti yang kini dapat ia pelajari dengan pertolongan kamus kecil ini. Bukan main girangnya
hati Gwat Kong dan ia segera berlutut sambil mengangkat tinggi-tinggi kitab itu dan berbisik,
“Teecu akan mempelajari isi kitab ini, harap locianpwe memberi berkah dan ijin.”
Semenjak saat itu, setiap malam ia mempelajari isi kitab itu dengan penuh ketekunan. Ia
memperhatikan isi kitab itu dari baris pertama dan mempelajarinya dengan penuh kerajinan
dan ketekunan, dengan bantuan kamus itu. Ternyata susunan pelajaran itu rapi sekali dan ia
mulai mempelajari bagian pertama di mana terdapat pelajaran-pelajaran bersemedi dan latihan
napas untuk memperkuat lweekang dan ginkang.
Demikian pula keadaan Tin Eng. Gadis ini dengan diam-diam mempelajari ilmu silat pedang
yang tidak diketahui namanya itu di dalam kamarnya. Dengan girang ia mendapat kenyataan
bahwa ilmu pedang itu benar-benar lihai dan hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu
silat yang ia pelajari dari ayahnya.
Selama dua tahun lebih, Tin Eng dan Gwat Kong mempelajari isi kitab itu dalam kamar
masing-masing, akan tetapi tentu saja Tin Eng tidak tahu bahwa pemuda pelayan yang bodoh
itu pun sedang mempelajari ilmu silat yang sama dengan yang dipelajarinya, bahkan yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 19
aslinya. Gadis ini hanya melihat betapa tubuh pelayan itu makin kurus saja seperti orang sakit.
Ia tidak pernah menduga bahwa hal ini adalah karena Gwat Kong hampir tak pernah tidur di
waktu malam untuk mempelajari ilmu itu dengan penuh ketekunan.
Dan dalam hal mempelajari ilmu itu, Gwat Kong jauh lebih rajin dari pada Tin Eng dan juga
pemuda itu tidak sering terganggu karena gadis itu tinggal di dalam gedung dan sewaktuwaktu
ibunya dan ayahnya tentu datang ke kamarnya. Sedangkan Gwat Kong tidur di dekat
kandang kuda karena tugasnya pula untuk merawat kuda, jarang sekali mendapat gangguan.
Baik Tin Eng maupun Gwat Kong, keduanya tidak sadar sama sekali bahwa mereka telah
mempelajari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat yang pada ratusan tahun yang lalu telah
menggemparkan dunia persilatan! Bahkan penyalin yang buruk tulisannya itu ketika masih
hidup, merupakan jago silat yang tak terkalahkan sungguhpun ia hanya mempelajari ilmu silat
itu dengan kurang sempurna oleh karena orang itu kurang pandai menyalin isi kitab!
Kedua orang muda itu tidak tahu bahwa di dalam tubuh mereka telah memiliki ilmu
kepandaian yang amat mengagumkan. Terutama sekali Gwat Kong yang mempelajari kitab
aslinya dan yang mempelajari dari tingkat permulaan. Pemuda itu sama sekali tidak merasa
bahwa ia telah memiliki kepandaian kepandaian yang sukar diukur tingginya.
Ketika terjadi pertempuran melawan maling sakti dan berhasil mengalahkan maling itu,
barulah Tin Eng sadar akan kelihaian ilmu pedang yang secara rahasia dipelajarinya itu dan
tentu saja ia menjadi girang dan bangga sekali, akan tetapi pada waktu itu, tetap saja Gwat
Kong sendiri belum menyadari bahwa ia telah memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi dari pada Tin Eng!
Gadis yang keras hati dan manja ini tetap memegang teguh rahasianya sehingga biarpun
ayahnya sendiri yang bertanya karena terheran melihat kemajuannya setelah ia berhasil
menangkap maling, tidak diberitahunya tentang kitab itu.
Maka tibalah saatnya Gwat Kong menyadari dan mengherankan kelihaiannya sendiri yakni
ketika terjadi pertandingan sebagai ujian terhadap pemuda Gan Bu Gi itu. Tanpa disengaja ia
menyambit dengan hancuran rumput yang digenggamnya dan ternyata bahwa berkat latihan
lweekang dari kitab itu, ia memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya sehingga
bidikannya mengenai sasaran dengan tepat!
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, Gwat Kong termenung di kandang kuda sambil
mengelus-elus leher kuda itu. Semalam suntuk ia tidak dapat tidur, karena selain ia merasa
bangga dan girang mendapat kenyataan tentang kelihaian ilmu silatnya. Iapun merasa amat
gelisah.
Pemuda yang bernama Gan Bu Gi itu amat tampan dan gagah dan agaknya Tin Eng tertarik
hatinya kepada pemuda yang kini diangkat menjadi panglima dalam gedung keluarga Liok. Ia
tidak tahu tentang percakapan kedua kakek itu dengan Liok Ong Gun tentang perjodohan.
Kalau ia tahu, tentu ia akan merasa makin gelisah lagi! Diam-diam dan di luar tahunya,
pemuda yang kini menjadi pelayan ini telah terkena panah asmara yang menancap dalamdalam
di lubuk hatinya.
****
Kawan-kawan baik yang merupakan hiburan bagi Gwat Kong hanyalah kuda-kuda di dalam
kandang dan juga sebuah suling bambunya. Setahun yang lalu ketika ia membabat bambubambu
di dalam kebun kembang, ia merasa suka melihat bambu kecil yang hijau dengan
bintik-bintik kuning, maka dalam waktu senggangnya ia lalu membuat sebatang suling. Ia
tidak pandai menyuling, akan tetapi oleh karena tidak ada hiburan lain, ia mulai mempelajari
dan dapat juga meniup beberapa lagu dari suling buatan sendiri itu.
Akan tetapi ia jarang sekali meniup sulingnya. Malam hari itu, bulan bersinar terang dan
Gwat Kong membawa sulingnya menuju ke kebun kembang. Ia merasa sedih sekali malam itu
karena banyak hal yang mengganggu hatinya. Pertama-tama hal Gan Bu Gi. Telah enam
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 20
bulan lamanya pemuda tampan itu bekerja pada Kepala daerah Liok dan kini pemuda itu
selalu mengenakan pakaian panglima yang menambah kegagahannya.
Ternyata pemuda gunung yang dulu amat sederhana itu, setelah mendapat kedudukan tinggi
dan tinggal di kota besar, kini menjadi seorang pesolek. Hal ini bukan merugikan baginya,
karena ia tampak makin tampan dan makin gagah saja sehingga tidak heranlah apabila Tin
Eng merasa tertarik hatinya. Hal ini amat menggelisahkan dan menyusahkan hati Gwat Kong.
Hal kedua yang membuatnya bersedih pada malam hari itu adalah kenangan tentang dendam
hatinya terhadap Tan-wangwe.
Ia kini telah memiliki kepandaian dan seharusnya ia boleh mencoba kepandaiannya itu untuk
membalas dendam orang tuanya. Akan tetapi bagaimana ia bisa meninggalkan pekerjaan? Ia
tidak merasa berat untuk meninggalkan pekerjaan, karena iapun tidak terlalu suka menjadi
pelayan seumur hidupnya, akan tetapi yang berat baginya ialah bahwa ia harus meninggalkan
Tin Eng. Tak sanggup rasanya untuk pergi meninggalkan dara jelita yang telah merebut
hatinya itu. Jangankan harus meninggalkan sampai lama dan jauh, sedangkan sehari saja tidak
jumpa, rasa hidupnya menjadi sunyi dan kosong!
Gwat Kong duduk di bawah pohon kembang sambil memandangi bulan yang nampaknya
meluncur maju, melayang-layang dan menari-nari di antara mega-mega putih. Bulan yang
bundar itu tiba-tiba berubah bentuknya, bermata, berhidung dan bermulut lalu perlahan-lahan
terbentuklah wajah Tin Eng yang tersenyum padanya. Ia menggosok-gosok matanya dan
pemandangan itu menjadi buyar lagi. Ah, ... mengapa ia demikian tergila-gila? Ia sama sekali
tidak mempunyai harapan dan mana bisa seorang pelayan rendah seperti dia menjadi jodoh
puteri Kepala daerah yang kaya raya dan berkedudukan tinggi? Berpikir tentang keadaannya
sebagai pelayan, tiba-tiba mengalir air mata dari kedua mata Gwat Kong. Teringatlah ia akan
keadaannya di masa kecil dan kalau saja ia masih menjadi putera Bun-tihu dan tinggal di
gedung besar berpakaian indah, tentu ia mempunyai banyak harapan dan tidak usah khawatir
menghadapi seorang saingan seperti Gan Bu Gi!
Akan tetapi Gwat Kong adalah seorang pemuda yang telah banyak menelan pengalaman pahit
getir sehingga hatinya menjadi kuat dan tabah. Segera ia mengusap pipinya yang basah dan
dipaksanya senyum keluar menghias bibirnya. Sambil menatap bulan di atas kepalanya, ia
berkata dalam hati,
“Kau goblok! Kalau kau masih menjadi putera tihu di Lam-hoat, mana bisa kau bertemu
dengan dia? Mungkin kau menjadi seorang pemuda pemabukan!”
Ia tersenyum lagi dan teringatlah ia akan segala pengalamannya ketika masih kanak-kanak
dan bermain gila dengan kawan-kawannya di kota Ki-hong. Ia merasa menyesal sekali karena
kesesatannya itulah yang membuat ibunya sampai meninggal dunia.
“Aku harus membalas sakit hati ayah ibuku. Harus dan secepat mungkin! Kalau mungkin
besok pagi aku harus pergi.”
Akan tetapi kembali bulan di atasnya itu berubah menjadi wajah Tin Eng yang cantik jelita,
membuat ia menjadi ragu-ragu dan keputusannya tadi menjadi goyah!
“Tin Eng ..... Tin Eng .....” ia berbisik.
Tiba-tiba terdengar suara halus menegurnya, “Gwat Kong, mengapa kau menyebut-nyebut
namaku?”
Gwat Kong terkejut sekali dan menoleh. Ternyata di belakangnya telah berdiri Tin Eng yang
nampak ayu sekali tertimpa cahaya bulan purnama.
“Kau .... siocia, eh ... tidak, aku tidak menyebut-nyebut nama siapapun juga .....” jawabnya
gugup.
Tin Eng lalu duduk di atas rumput dekat Gwat Kong, membuat pemuda itu merasa berdebardebar
jantungnya. Memang Tin Eng tidak merasa sungkan atau malu-malu pada Gwat Kong
karena biarpun mereka itu majikan dan pelayan namun karena telah empat tahun mereka
tinggal bersama di satu tempat, dan hubungan mereka telah terjadi semenjak Tin Eng baru
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 21
berusia sebelas tahun dan Gwat Kong tiga belas tahun, maka Tin Eng menganggap Gwat
Kong sebagai seorang pelayan dan sahabat yang baik.
Gadis itu duduk sambil memandang bulan, wajahnya tertimpa cahaya bulan sepenuhnya, yang
menimbulkan pemandangan yang membuat hati Gwat Kong berdenyut-denyut lebih cepat
dari pada biasanya.
“Alangkah indahnya bulan itu,” kata Tin Eng dengan wajah berseri-seri.
“Nona, kau nampak gembira sekali,” kata Gwat Kong perlahan, mengagumi wajah cantik itu
selagi pemiliknya memandang bulan dan tidak memperhatikannya.
“Mengapa tidak? Hidup ini memang penuh kegembiraan,” jawab Tin Eng sambil tersenyum
manis, dan dara itu tetap memandang bulan.
Gwat Kong juga mengalihkan pandangannya kepada bulan lalu bertanya tanpa menoleh,
“Kalau begitu kau tentu berbahagia, siocia?”
“Tentu saja!” jawab yang ditanya secara langsung. “Mengapa aku tidak bahagia?”
Gwat Kong memandang kepada gadis itu lagi dan mereka bertemu pandang karena ketika
menjawab tadi, Tin Eng juga menatap wajahnya.
“Kau berhak menikmati kebahagiaan, siocia,” katanya perlahan.
“Setiap manusia berhak berbahagia,” jawab Tin Eng memandang tajam. “Gwat Kong, apakah
kau hendak berkata bahwa kau tidak bahagia?”
“Gwat Kong memandang ke arah bulan lagi. “Bahagia ...? Apakah bahagia itu ...?”
pertanyaan ini diucapkan dengan ragu-ragu dan perlahan, seakan-akan ia menggajukan
pertanyaan itu kepada bulan dan sang bulan agaknya tidak dapat menjawab karena buktinya ia
menyembunyikan dirinya di balik awan untuk menghindari pandang mata dan pertanyaan
Gwat Kong yang sulit itu!
Tin Eng merasa penasaran. “Setiap orang berhak berbahagia!” ia mengulangi. “Dan kau juga!
Mengapa kau tidak harus berbahagia? Apakah bedanya kau dan aku? Setiap hari aku makan
nasi dan kau pun juga. Aku boleh bergembira dan kau pun juga. Apakah perbedaan antara
kita?” Tiba-tiba ia sadar dan segera disambungnya cepat-cepat, “Ah, barangkali karena kau
merasa diri hanya sebagai seorang pelayan dan aku seorang puteri bangsawan. Di situkah
letak perbedaannya? Akan tetapi Gwat Kong, hal itupun tidak menjadi penghalang bagimu
untuk menikmati kebahagiaan hidup.” Memang gadis ini pandai sekali menghubungkan
sesuatu dengan filsafat hidup yang banyak dibacanya ketika ia dipaksa mempelajari ilmu
kesusasteraan oleh ayahnya.
Gwat Kong merasa tidak enak untuk melanjutkan percakapan ini, maka ia lalu berkata,
“Entahlah, siocia, akan tetapi buktinya hingga sekarang aku masih belum tahu apakah artinya
kebahagiaan, yang ada hanyalah penderitaan dan kekecewaan,” ia menghela napas.
“Kasihan kau, Gwat Kong,” kata Tin Eng dan untuk beberapa lama keduanya diam saja
memandang bulan yang telah muncul kembali, terbenam dalam lamunan masing-masing.
Tiba-tiba Gwat Kong insyaf betapa berbahagianya keadaan ini. Belum pernah ia mengadakan
percakapan semesra ini dengan gadis impiannya itu dan ia maklum bahwa kalau sampai Lioktaijin
melihat mereka duduk berdua di atas rumput menikmati cahaya bulan, akan
berbahayalah jadinya. Teringat akan hal ini, ia merasa khawatir, bukan untuk diri sendiri,
akan tetapi khawatir kalau-kalau gadis itu akan mendapat teguran dan marah dari ayahnya.
“Sudahlah, siocia, mari kita bicarakan tentang lain hal. Bagaimanakah dengan .... dengan
kitab pelajaran silat itu?”
Mendengar pertanyaan yang tiba-tiba ini, Tin Eng agak terkejut dan ia sadar kembali dari
lamunannya.
“Kitab itu? Ah, justru inilah maksud kedatanganku. Aku sengaja mencarimu dengan dua
maksud, Gwat Kong. Pertama-tama untuk mengucapkan terima kasihku atas penemuan kitab
pelajaran itu. Kalau bukan kau yang mendapatkan kitab itu dan menyerahkan kepadaku serta
menjaga sehingga rahasia ini tertutup baik-baik, aku takkan mendapat kemajuan sehebat ini.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 22
Gwat Kong pura-pura tidak mengerti dan bertanya, “Jadi kitab itu berguna bagimu, siocia?”
“Berguna? Bukan main! Sepuluh orang guru silat yang mengajarku belum tentu sebesar itu
gunanya! Setelah aku menangkap maling dulu itu, barulah aku merasa betapa hebatnya
kemajuan silatku, bahkan kini kepandaianku sudah lebih tinggi dari pada kepandaian ayah
sendiri!”
“Aduh, hebat sekali, siocia!” kata Gwat Kong dengan kagum dan girang.
“Karena itu, maka aku mengucapkan banyak terima kasih kepadamu dan sebagai pembalasan
budi, kalau kiranya kau perlu akan sesuatu, aku bersedia membantumu, Gwat Kong. Kau
ajukanlah permintaanmu dan aku akan memberikannya sebagai hadiah.”
Gwat Kong memandang dengan muka merah. “Apakah yang dapat kuminta, siocia? Aku ...
aku tidak membutuhkan sesuatu.”
“Uang misalnya, atau pakaian? Aku akan memberi dengan suka hati.”
Gwat Kong menggelengkan kepalanya. Pada saat itu, hanya satu hal yang dikehendaki dari
gadis itu, akan tetapi seribu ujung pedang takkan kuasa memaksanya membuka mulut, karena
yang dibutuhkan itu adalah .... hati penuh cinta kasih dari gadis itu. “Tidak, siocia, aku tidak
membutuhkan sesuatu. Terima kasih atas kebaikanmu.”
Tin Eng menghela napas panjang. “Kau mengecewakan hatiku, Gwat Kong. Dengan
demikian maka aku tetap berhutang budi kepadamu dan entah kapan aku dapat membayarnya.
Sekarang hal kedua, yaitu aku hendak minta tolong kepadamu.”
“Bagaimanakah aku yang bodoh ini dapat menolongmu, siocia?”
“Dengarlah. Kau tentu tahu sendiri betapa lihai ilmu silat Gan-ciangkun yang kita saksikan
ketika ia diuji dulu itu.”
Kalau saja cahaya bulan bukannya memang sudah pucat, tentu Tin Eng akan dapat melihat
betapa wajah pemuda itu menjadi pucat ketika mendengar kata-kata ini. “Kau maksudkan
pemuda yang bernama Gan Bu Gi itu, siocia?”
Tin Eng mengangguk. “Ya, dialah, akan tetapi jangan sekali-kali kau menyebut namanya
begitu saja, harus menyebut Gan-ciangkun karena ia telah menjadi perwira kelas satu, bahkan
menjadi panglima dari ayah. Nah, aku ingin sekali mencoba kepandaiannya, kau harus
menyampaikan kepadanya akan keinginan hatiku ini. Kalau mungkin, besok malam suruhlah
dia datang ke tempat ini untuk mengadu kepandaian dengan aku. Kalau belum mengukur
kepandaiannya dengan ilmu pedangku sendiri, aku masih belum puas.”
Untuk beberapa saat Gwat Kong tak dapat berkata-kata. Hatinya merasa perih sekali karena ia
dapat menduga bahwa gadis ini tertarik oleh ketampanan wajah panglima muda itu, maka
hendak mencoba kepandaiannya pula sebagai pembukaan isi hatinya!
“Bagaimana, Gwat Kong? Kau mau menolongku atau tidak?”
“Tentu saja, siocia. Besok pagi aku berusaha menyampaikan hal ini kepadanya. Akan tetapi,
bagaimana kalau sampai ayahmu mendapat tahu?”
“Ah, hal itu tidak mengapa. Bukankah sudah lazim bagi orang-orang berkepandaian silat
untuk mengadakan pibu (adu kepandaian)? Dan pibu inipun hanya untuk menguji kepandaian
masing-masing saja. Kalau ayah marah, biarlah aku yang menghadapinya!” Anak manja ini
memang tidak takut kepada ayahnya.
Sambil menekan hatinya yang perih, Gwat Kong mengangguk dan berkata, “Baiklah, siocia.
Mudah-mudahan ia tidak akan mengecewakanmu.”
“Eh, eh, apa maksudmu?”
“Tidak apa-apa, siocia. Maksudku mudah-mudahan dia mau menerima tantanganmu ini
sehingga kau tidak akan menjadi kecewa.”
Tin Eng lalu meninggalkan Gwat Kong yang duduk termenung di tempat semula. Kini ia
lebih berduka lagi dan makin tetap keputusannya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Akan
tetapi, betapapun juga ia harus memenuhi kehendak Tin Eng dulu dan iapun hendak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 23
menyaksikan sampai di mana kepandaian gadis itu, dan apakah ia akan dapat menandingi Gan
Bu Gi yang lihai itu.
Pada keesokan harinya, Gwat Kong mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Gan Bu Gi.
Dengan cepat ia menghampiri dan berkata,
“Gan-ciangkun, saya membawa pesan dari Liok-siocia untukmu.”
Panglima muda ini nampak tercengang dan memandang heran. Ia sudah kenal kepada pemuda
pelayan ini yang pandai membawa diri maka ia lalu bertanya, “Gwat Kong, jangan kau mainmain!
Pesan apakah yang dapat disampaikan Liok-siocia kepadaku?”
Melihat di situ tidak ada orang lain, Gwat Kong lalu berkata, “Siocia minta agar supaya
ciangkun suka datang di kebun bunga malam nanti untuk mengadu kepandaian pedang.”
Gan Bu Gi merasa makin terkejut, “Apa maksudmu? Mengadu pedang bagaimana?”
“Ah, benar-benarkah kau tidak tahu, ciangkun? Pendeknya siocia ingin mengajak pibu
kepadamu dan harap saja ciangkun suka menerima tantangan ini. Malam nanti siocia menanti
di taman bunga.”
Karena pada saat itu muncul pelayan lain, Gwat Kong lalu tinggalkan panglima muda yang
masih berdiri dengan mata terbelalak itu. Gan Bu Gi masih terlampau muda dan kurang
pengalaman untuk dapat mengetahui isi hati Tin Eng yang hendak mengukur sampai di mana
tingkat ilmu silatnya itu. Namun ia merasa girang juga mendapat kesempatan untuk bertemu,
bhakan mungkin bercakap-cakap dengan gadis yang cantik. Selama ia berada di situ sampai
enam bulan, ia hanya mendapat kesempatan sedikit saja untuk bertemu muka dengan Tin Eng.
Karena ia harus berlaku sopan dan menjaga diri agar jangan sampai tercela oleh Liok-taijin.
Pada malam hari itu, bulan masih bersinar terang, akan tetapi Gwat Kong tidak seperti
biasanya, tidak keluar dari kamarnya, karena ia tidak mau mengganggu Tin Eng yang hendak
mengadu kepandaian dengan Gan Bu Gi, sungguhpun ia ingin sekali menyaksikannya. Selagi
ia duduk termenung di dalam kamarnya tiba-tiba pintu kamarnya diketuk orang.
Ketika ia membuka daun pintu, ternyata bahwa yang mengetuk itu adalah Tin Eng. Memang
kamar Gwat Kong yang berada di dekat kandang kuda itu tidak jauh letaknya dari kebun
kembang.
“Gwat Kong, kau harus ikut menyaksikan pibu ini hingga kalau sampai ketahuan oleh ayah
aku mempunyai saksi bahwa aku tidak bermaksud buruk dalam hal ini.”
Gwat Kong menyembunyikan rasa girangnya. Ia bergirang oleh karena tidak saja ia mendapat
kesempatan menyaksikan pertandingan, juga karena ternyata bahwa gadis itu benar-benar
berhati bersih dan hanya ingin menguji kepandaian Gan Bu Gi belaka tanpa maksud-maksud
lain.
Mereka lalu menuju ke tengah kebun kembang di mana memang terdapat lapangan berlatih
silat yang dulu dipergunakan untuk menguji kepandaian Gan Bu Gi itu. Mereka tidak usah
lama menanti, oleh karena Gan-ciangkun tak lama kemudian datang dengan sikapnya yang
gagah. Ia menjura dengan hormat kepada Tin Eng yang dibalas dengan selayaknya. Jelas
nampak kekecewaan membayang pada muka yang tampan itu ketika ia melihat Gwat Kong
berada di situ pula.
“Saya mendengar dari Gwat Kong tentang pesanan siocia maka sekarang saya datang untuk
memenuhi pesanan itu. Sebetulnya apakah kehendak siocia?” tanyanya.
“Tidak lain aku ingin mengadu kepandaian pedang denganmu, ciangkun. Marilah kita main
pedang sebentar untuk menambah pengalaman,” jawab Tin Eng singkat dan ia agak malumalu.
Gan Bu Gi tersenyum, senyum yang manis memikat dan yang membuat dada Gwat Kong
terasa panas.
“Siocia, kepandaianmu telah kusaksikan dan aku masih berterima kasih atas pertolonganmu
dulu itu. Baiklah, kalau kau masih penasaran dan hendak mengujiku, silahkan!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 24
Biarpun Tin Eng merasa heran mendengar ucapan yang tidak dimengertinya ini, akan tetapi ia
tidak mau membuang waktu lagi dan mencabut pedangnya. Juga Gan Bu Gi mencabut pedang
dari pinggangnya sedangkan Gwat Kong yang mengerti bahwa panglima itu salah sangka
ketika dulu ia membantunya terhadap serangan gelap dari perwira Lie Bong, lalu duduk di
atas rumput dan menonton mereka mengadu kepandaian.
“Silahkan menyerang, siocia,” kata Gan Bu Gi dengan tenang dan ia memasang kuda-kuda
dengan melintangkan pedang pada dadanya dan tangan kirinya diangkat ke atas dengan sikap
yang amat menarik.
“Awas pedang!” seru Tin Eng yang segera maju menyerang dan menggunakan ilmu pedang
Garuda Sakti yang baru dipelajarinya selama hampir tiga tahun itu.
04. Penolakan Jodoh Puteri Kepala Daerah
Ketika pertama kali datang di tempat itu, Gan Bu Gi sudah menyaksikan gadis ini berlatih
pedang, maka ia maklum bahwa ilmu pedang gadis ini tinggi dan lihai serta tak boleh
dianggap ringan, maka ia lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menjaga diri dan
jangan sampai dikalahkan.
Tangkisan pedang di tangan Gan Bu Gi membuat Tin Eng merasa terkejut sekali karena
ternyata olehnya bahwa tenaga lweekang dari pemuda itu masih jauh melebihi tenaganya
sendiri, sedangkan gerakan pemuda itu pun gesit sekali, menandakan bahwa ginkangnya
sudah sempurna. Namun berkat ilmu pedangnya yang mempunyai gerakan-gerakan aneh dan
sukar diduga perubahannya, ia dapat mendesak pemuda itu dengan serangan-serangan kilat.
Sementara itu, begitu melihat mereka bertempur dan setelah memperhatikan jalannya
pertempuran selama belasan jurus, tahulah Gwat Kong bahwa ilmu pedang Tin Eng masih
jauh dari sempurna dan banyak sekali terdapat kesalahan-kesalahan. Ia maklum bahwa hal ini
adalah kesalahan penyalinan kitab itu yang agaknya tidak begitu paham tentang isi tulisan
kuno itu, akan tetapi harus diakui bahwa biarpun hanya salinan yang buruk, namun apa yang
telah dipelajari oleh gadis itu merupakan ilmu pedang yang kalau sudah dilatih sempurna akan
sukar menemukan tandingan! Dan ia maklum pula bahwa ternyata Gan Bu Gi mempunyai
ilmu kepandaian yang berisi dan dalam hal lweekang dan ginkang, pemuda itu jauh lebih
unggul dari pada Tin Eng.
Betapapun juga, kalau saja Tin Eng mempelajari ilmu pedang itu sedikitnya lima tahun saja,
belum tentu Gan Bu Gi akan dapat dengan mudah mempertahankan diri terhadap seranganserangan
yang aneh itu. Pada saat itu Gan Bu Gi sendiri menjadi terkejut dan ia maklum
bahwa kalau ia tidak segera mendahuluinya dan mempergunakan tenaga untuk merampas
pedang Tin Eng, mungkin sekali ia akan terkena bencana di ujung pedang lawannya karena
gerakan ilmu pedang ini benar-benar aneh dan belum pernah dihadapinya seumur hidupnya.
“Maaf, siocia!” serunya keras setelah mereka bertanding tiga puluh jurus lebih dan dengan
sekuat tenaga ia menyampok pedang Tin Eng dengan pedangnya, sedangkan tangan kirinya
diulur untuk menangkap pergelangan lengan gadis itu! Tenaga sampok dan yang disertai
tenaga lweekang, sepenuhnya ini tentu saja tak dapat tertahan oleh Tin Eng yang hanya
mendapat latihan dari ayahnya dalam hal lweekang, maka sambil berteriak kaget ia terpaksa
melepaskan pegangannya pada gagang pedangnya sehingga pedang itu mencelat ke atas
sedangkan lengannya sudah terpegang oleh lengan Gan Bu Gi.
Tin Eng merasa malu sekali dan membetot lengannya. Gan Bu Gi juga melepaskan lengan
yang halus sekali kulitnya itu dan ia menyambar pedang Tin Eng yang melayang turun, lalu
memberikan pedang itu kepada Tin Eng sambil menjura,
“Ilmu pedangmu hebat sekali, nona, hingga terpaksa aku menggunakan tenaga untuk
merampasnya. Maaf, maaf!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 25
Dengan muka merah karena jengah Tin Eng menerima pedangnya dan berkata, “Kau lihai,
ciangkun!” Lalu gadis ini berlari menuju ke dalam gedung.
Gan Bu Gi masukkan pedang dalam sarung pedangnya dan menoleh kepada Gwat Kong yang
masih duduk di atas rumput, “Gwat Kong ...”
“Ya, Gan-ciangkun.”
“Gadis itu .....”
“Kau maksudkan, Liok-siocia? Ya, mengapa dia ....?”
“Gadis itu ..... sungguh manis sekali!”
“Memang manis dan lihai ilmu pedangnya.”
“Kulihat dia itu ......”
“Teruskanlah, ciangkun, jangan malu-malu.”
“Agaknya sudah pantas kalau ia menjadi isteriku yang tercinta. Bagaimana pendapatmu, Gwat
Kong?”
Akan tetapi Gwat Kong membalikkan tubuhnya dan terdengar suaranya, “Hm ..... entahlah,
aku ingin menengok kuda di kandang. Malam ini dingin sekali, kuatir kalau-kalau mereka
gelisah.” Dan Gwat Kong lalu lari ke kamarnya di dekat kandang kuda.
Gan Bu Gi tidak memperdulikan hal ini, lalu melangkah dengan senyum di bibir, kembali ke
kamarnya yang berada di gedung sebelah timur. Hatinya puas dan lega sekali, harapannya
makin membesar dan malam itu ia mendapat mimpi indah dalam tidurnya.
****
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Gwat Kong sudah membuat persiapan untuk pergi
dari situ. Ia membungkus pakaiannya yang tak seberapa banyak itu dalam sebuah buntalan
kain kuning dan bersiap untuk menghadap Liok-taijin dan minta ijin serta menyatakan terima
kasih. Wajahnya pucat sekali oleh karena selain berduka, ia juga tidak tidur semalam suntuk,
mengenang nasibnya yang buruk.
Akan tetapi, ketika ia berjalan menuju ke ruang dalam ia bertemu dengan seorang penjaga
yang berkata kepadanya, “Gwat Kong, kau beritahu taijin bahwa Seng Le Hosiang, hwesio
yang dulu datang itu, kini datang minta bertemu.”
Gwat Kong terpaksa menunda maksudnya dan menyampaikan laporan itu kepada Liok Ong
Gun yang baru saja bangun dari tidurnya. Pembesar ini lalu berdandan dan menyambut
kedatangan susiok-couwnya dengan hormat sekali.
“Liok Ong Gun, pinceng datang untuk melanjutkan urusan perjodohan dulu itu. Bong Bi
Sianjin tak dapat datang karena ia sedang menghadapi urusan penting, maka akulah yang
mewakilinya. Bagaimana dengan keadaan Bu Gi?” Hwesio ini dengan suaranya yang besar
datang-datang membicarakan urusan perjodohan dan tidak perduli sama sekali bahwa di situ
terdapat Gwat Kong dan dua orang pelayan lain.
Liok Ong Gun menjawab sambil tersenyum. “Gan-ciangkun baik-baik saja dan sebentar lagi
ia tentu akan datang ke sini. Adapun tentang perjodohan itu, susiok-couw, harus teecu
tanyakan dulu kepada isteriku dan juga kepada anak itu sendiri!”
Gwat Kong menjadi pucat karena ia maklum bahwa yang dibicarakan ini tentulah perjodohan
antara Gan Bu Gi dan Tin Eng!
“Ha ha ha! Liok Ong Gun, kau ternyata berhati lemah. Kalau kau sendiri sudah setuju, tentu
saja anak isterimu juga setuju. Bagaimanakah pendapatmu sendiri?”
Dengan terus terang Kepala daerah itu menjawab, “Bagi teecu sendiri memang Gan-ciangkun
merupakan seorang pemuda yang baik dan memenuhi syarat, akan tetapi teecu tidak mau
memutuskan sebelum mendengar pendapat anak isteri teecu.”
Pada saat itu, Gan Bu Gi yang telah diberitahu akan kedatangan hwesio itu lalu datang dan
berlutut di depan Seng Le Hosiang sebagai penghormatan.
“Bagus, Bu Gi, kau nampak makin gagah saja. Ketahuilah, kedatanganku ini mewakili
suhumu untuk mematangkan urusan perjodohanmu dengan puteri Liok Ong Gun.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 26
Merahlah wajah pemuda itu mendengar kata-kata yang terus terang ini. Ia merasa malu-malu
dan juga bergirang hati. Kemudian ia duduk di dekat hwesio itu dan Liok Ong Gun lalu
berkata kepada Seng Le Hosiang, “Apakah teecu harus memberi keputusan sekarang juga,
susiok-couw?”
“Tentu, sekarang juga. Tak usah sungkan-sungkan, tinggal menyatakan setuju atau tidak,
habis perkara. Pinceng tak dapat tinggal terlalu lama di sini.” Dari kata-katanya, dapat
diketahui bahwa hwesio tua yang lihai ini mempunyai tabiat terus terang dan kasar.
Liok Ong Gun lalu minta permisi untuk merundingkan hal itu dengan anak isterinya, lalu ia
memerintahkan dua orang pelayan yang berada di situ bersama Gwat Kong untuk
mengeluarkan arak wangi dan menjamu hwesio itu bersama Gan-ciangkun. Dua orang
pelayan itu segera mengambil arak dan hidangan pagi, dan dengan hati tak keruan rasa, Gwat
Kong lalu menuangkan arak pula pada cawan mereka.
Sambil minum arak dan makan buah kering, Gan Bu Gi menceritakan tentang pertandingan
malam tadi dengan Tin Eng. Mendengar ini Seng Le Hosiang tertawa-tawa girang sehingga
arak cawannya tumpah sedikit membasahi jubahnya. Akan tetapi ia tidak memperdulikan hal
ini, bahkan lalu berkata kepada Gan Bu Gi sambil tertawa, “Ha ha ha, kalau begitu, sudah
sepuluh bagian perjodohanmu akan berhasil. Nona itu ternyata menaruh perhatian kepadamu.
Ha ha ha! Siapakah pelayan yang baik hati dan yang menjadi perantara mempertemukan
kalian berdua itu?”
Gan Bu Gi tersenyum dan menunjuk ke arah Gwat Kong, “Dia inilah orangnya yang telah
begitu baik hati, locianpwe.”
Seng Le Hosiang memandang kepada Gwat Kong dan kembali ia tertawa besar, “Ha ha ha ....
orang seperti kau ini tidak pantas menjadi pelayan, anak muda. Hayo kau duduk di sini dan
menemani kami minum arak!”
Tentu saja Gwat Kong tidak berani melakukan hal itu dan dengan takut-takut ia menjawab,
“Ah, losuhu, mana siauwte yang rendah ini berani berlaku kurang ajar?”
“Tidak ada yang rendah atau tinggi, semua orang sama saja! Mari kau minum arak dengan
kami,“ kata hwesio itu.
Gan Bu Gi sudah maklum akan tabiat hwesio tua itu, maka ia lalu berdiri dari kursinya,
memegang lengan Gwat Kong dan menariknya perlahan.
“Marilah, Gwat Kong, mari kau minum sedikit arak agar kegirangan kami bertambah.”
Terpaksa Gwat Kong duduk di sebelah kursi Gan Bu Gi dan kedua orang pelayan kawannya
memandang dengan terheran-heran, akan tetapi mereka tidak berani ikut mencampuri hal ini
karena takut kepada Gan-ciangkun. Menghadapi secawan arak wangi dalam keadaan hati
menderita sedih, timbullah kembali nafsunya terhadap minuman keras itu. Nafsu minum arak
bermabuk-mabukan yang selama empat tahun dapat dipadamkan dan terpendam di dasar
perutnya itu, kini tiba-tiba menyala kembali dan berkobar membakar dadanya. Hanya araklah
yang akan menghilangkan rasa sedih yang menggerogoti hatinya, pikirnya sambil
menghabiskan arak secawan itu dengan sekali teguk!
Bukan main herannya kedua pelayan itu melihat betapa cara Gwat Kong minum arak
menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli minum kawakan! Juga Gan Bu Gi memandang
heran, akan tetapi Seng Le Hosiang tertawa terbahak-bahak dan memenuhi cawan pemuda itu
sampai penuh sekali.
“Ha ha ha! Betul dugaanku tadi, kau tidak pantas menjadi pelayan, dan ternyata kau seorang
laki-laki sejati. Hayo minum lagi, anak muda!” Sambil berkata demikian, hwesio yang doyan
arak ini mengangkat cawan araknya yang telah dipenuhinya dan mereka minum lagi.
Arak yang diminum oleh Gwat Kong itu adalah arak tua yang wangi dan sudah tersimpan
lama maka kerasnya bukan main. Biarpun dulu, empat tahun yang lalu, Gwat Kong kuat
sekali minum arak, akan tetapi karena dulu ia belum pernah minum arak sekeras ini dan juga
telah lama sekali perutnya tidak berkenalan dengan minuman keras, pula karena malam tadi ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 27
tidak tidur sama sekali dan perutnya tidak diisi, maka setelah minum enam cawan arak wangi,
ia mulai terkena pengaruh minuman keras itu. Tubuhnya bergoyang-goyang dan ia mulai
memandang kepada Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang dengan sinar mata berani dan tidak
malu-malu seakan-akan mereka itu kawan-kawan baiknya sendiri, sedangkan ia kini mulai
ikut tertawa-tawa senang.
Melihat hal ini, baik kedua orang pelayan yang melayani mereka maupun Gan-ciangkun dan
Seng Le Hosiang, merasa geli dan gembira sekali.
“Tambah arak, tambah arak!” kata Seng Le Hosiang dengan girang dan kedua pelayan itu
tidak berani membantahnya, karena mereka maklum bahwa hwesio tua ini adalah susiokcouw
dari Liok-taijin dan memiliki ilmu yang hebat sekali.
Setelah minum lagi beberapa cawan, Gwat Kong menjadi mabuk betul-betul. Ia tersenyumsenyum
dan kedukaan lenyap sama sekali dari wajahnya.
Ia mengangkat cawan dan memberi selamat kepada Gan-ciangkun, “Gan-ciangkun, kionghi,
kionghi ....”
“Nanti dulu,” kata Gan Bu Gi sambil tertawa, “Kau memberiku selamat untuk apakah?”
“Bukankah kau telah berhasil memetik setangkai bunga indah di dalam taman keluarga Liok?
Kiongho, sekali lagi kionghi (selamat) .... kau berbahagia sekali!” Dengan iringan suara
ketawa riang mereka bertiga minum kembali araknya.
“Memang perempuan itu seperti kembang ....” Gwat Kong mulai mengoceh.
“Ha ha ha! Kau pandai membuat syair agaknya,” kata Seng Le Hosiang. “Belum pernah aku
bertemu dengan pelayan sehebat kau. Teruskan, teruskan!”
Sambil tersenyum-senyum dan berdiri dari kursinya memandang ke kanan kiri seperti seorang
pemain sandiwara sedang berlagak, Gwat Kong melanjutkan kata-katanya dengan suara
merayu, “Perempuan itu bagaikan kembang ... kembang yang indah jelita ....”
“Betul, betul!” kata Gan Bu Gi yang juga sudah kemasukan ‘setan’ arak.
“Kembang indah membuat setiap laki-laki ingin memetiknya .... akan tetapi kembangnya
yang indah selalu berduri ......”
Gan-ciangkun dan Seng Le Hosiang tertawa lagi dengan girang.
“Perempuan itu bagaikan bintang di langit yang cemerlang ...” kata pula Gwat Kong yang
makin ‘panas’ otaknya. “Setiap orang ingin sekali terbang ke sana. Akan tetapi, yang tidak
bersayap jangan harap akan dapat mencapainya, dan sayap itu harus terbuat dari pada emas
permata ....”
“Eh, Gwat Kong, apakah kau tidak ingin pula memetik kembang indah juita dan terbang ke
bintang gemilang?” tanya Seng Le Hosiang sambil tertawa-tawa lagi.
“Aku ... aku pelayan hina dina yang miskin, yatim piatu yang bernasib malang, mana dapat
dibandingkan dengan dia ...? Perempuan itu akan memandang rendah kepadaku, paling
banyak hanya akan memerintah ini-itu, atau bermurah hati sedikit memberi senyum tak berarti
..... aku .... bagianku hanya di kandang kuda.”
“Ha ha ha! Jangan berkata demikian, anak muda. Kau cukup tampan dan baik, hati wanita
akan tergerak melihat mukamu,” kata Seng Le Hosiang.
Gwat Kong menggeleng-geleng kepalanya. “Tak mungkin! Aku mencintainya semenjak
pertama kali melihatnya, memujanya bagaikan dewi, akan tetapi bagaimana aku dapat
menyatakan cintaku? Kalau dia menjadi bulan, aku hanyalah sebatang rumput kering yang
hanya dapat mengharapkan cahayanya yang sejuk pada saat ia muncul. Kalau ia tidak muncul,
aku hanya boleh mengeluh dan menderita atau makin mengering!”
Tiba-tiba Gan Bu Gi bangun berdiri dan dengan mata memandang tajam ia membentak.
“Gwat Kong! Siapakah perempuan yang kaumaksudkan itu?”
Akan tetapi Gwat Kong sudah lupa betul-betul akan keadaan dirinya itu dan yang kini
mendapat jalan untuk menumpahkan semua isi hati dan kesedihannya, tidak memperdulikan
pertanyaan ini dan terus mengoceh sambil memukul-mukul, “ha ha, namanya juga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 28
perempuan! Mudah sekali terpikat oleh harta benda, kedudukan, wajah tampan! Sekali saja
melihat ketiga hal itu menjadi satu dalam diri seorang pemuda, lupalah ia akan pemuda lain
yang miskin dan hina. Padahal akulah yang memberinya kesempatan untuk mempelajari ilmu
pedang ....”
“Gwat Kong!” sambil membentak marah Gan Bu Gi mengulur tangan mendorong tubuh Gwat
Kong sehingga pemuda itu terdorong ke belakang, akan tetapi Gwat Kong tidak roboh
tertelentang, bahkan lalu berjumpalitan ke belakang, sampai empat kali dalam gerakan yang
aneh dan indah sekali. Ia jatuh berdiri dan tertawa bergelak-gelak.
Bukan main terkejutnya Gan Bu Gi menyaksikan kehebatan ginkang ini, bahkan Seng Le
Hosiang juga terperanjat. Tak disangkanya sama sekali bahwa pemuda ini memiliki kelihaian
seperti itu.
“Anak muda, kau siapakah sebenarnya?” tanya Seng Le Hosiang dengan suara keras.
“Ha ha ha !” Gwat Kong tertawa terbahak-bahak. “Aku siapa? Aku adalah seorang pelayan
hina-dina, mana dapat dibandingkan dengan Gan-ciangkun. Seorang wanita akan memilih
dengan mudah. Ia tak mau memandang sebelah mata kepadaku walaupun aku yang telah
mendpapatkan kitab pelajaran pedang .... memang dia sudah lupa akan budi ....!”
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan tahu-tahu Tin Eng sudah melompat ke ruang tamu itu
dengan pedangnya di tangan. Wajahnya merah padam karena marahnya.
“Gwat Kong! Tutup mulutmu, atau kau ingin kubunuh dengan pedang ini?” Sambil berkata
demikian gadis itu mengancam dengan pedangnya dan menggigit bibirnya dengan gemas.
“Ha ha ha!” Gwat Kong tertawa lagi. “Kau sudah lihai, dan mau bunuh aku? Silahkan, siocia,
silahkan!”
Dengan marah sekali pedang di tangan Tin Eng bergerak dan menusuk ke arah dada Gwat
Kong. Akan tetapi pemuda itu mengangkat dadanya dan menerima tusukan itu dengan kedua
mata terbuka lebar sehingga Tin Eng tiba-tiba merobah arah tusukannya, akan tetapi masih
saja mengenai lengan kanan Gwat Kong sehingga merahlah lengan bajunya karena darah
yang mengalir keluar dari luka di lengannya. Akan tetapi sedikit pun pemuda itu tidak
memperlihatkan rasa sakit maupun takut.
“Ilmu pedang itu ....” kembali ia mengoceh.
“Gwat Kong, diam! Dan pergi dari sini!” Tin Eng membentak lagi sambil menodongkan
pedangnya pada tenggorokan Gwat Kong. “Kau benar-benar mau menghinaku?”
Mendengar pertanyaan ini, Gwat Kong berseru keras dan mulai melangkah mundur perlahanlahan.
Pikirannya mulai terang dan ia dapat mengingat kembali keadaan. Bukan main
menyesalnya bahwa ia telah menimbulkan kehebohan dan bahkan menghina nama gadis yang
dicintainya. Ia mundur terus dan Tin Eng melangkah maju sambil terus mendorong lehernya.
Akhirnya, Gwat Kong menubruk pilar besar di belakangnya dan ia berdiri mepet pada pilar itu
dan berkata,
“Maaf, maaf .... siocia, maafkan aku ... ah, tidak, tidak! Aku tak dapat dimaafkan ....
bunuhlah! Teruskanlah pedangmu itu, tusukkanlah dan bunuh saja pelayan hina dina ini .....”
Entah mengapa, melihat keadaan Gwat Kong sedemikian itu tiba-tiba saja meloncat keluar
dua butir air mata dari kedua mata Tin Eng. Ia tadinya marah sekali karena sudah lama ia
mengintai dan mendengarkan segala ocehan Gwat Kong dan baru ia melompat keluar ketika
Gwat Kong menyebut tentang kitab pelajaran ilmu pedang.
Sementara itu, Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi berdiri sambil memandang peristiwa itu
dengan terheran-heran. Juga dua orang pelayan memandang dengan heran dan takut kalaukalau
pedang itu akan benar-benar menusuk tenggorokan Gwat Kong.
“Kau ... kau berani menghina, berani kau mencemarkan namaku di depan orang lain ... kau ....
benar-benar kurang ajar ....!”
Dengan dada naik turun dan napas tersengal dara yang sedang marah itu berkata dengan suara
hampir tak dapat terdengar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 29
Gwat Kong tak berani menentang pandang mata Tin Eng, hanya memandang kepada pedang
yang mengancamnya. “Memang, aku kurang ajar dan hina dina, kau teruskanlah seranganmu,
nona.”
Pada saat yang menegangkan itu, Liok Ong Gun yang mendengar suara ribut-ribut masuk ke
dalam ruangan tamu itu dan alangkah terkejutnya melihat betapa puterinya sedang menodong
Gwat Kong dengan pedangnya dan agaknya hendak membunuh pemuda itu.
“Tin Eng!” teriaknya, “Apakah kau sudah gila?”
Mendengar teriakan ayahnya, Tin Eng sadar kembali dari marahnya dan dengan isak tertahan
ia lalu menarik kembali pedangnya dan berlari ke kamarnya di mana ia banting tubuhnya di
atas pembaringan sambil menangis.
Sementara itu, Gwat Kong yang setengah sadar setengah mabuk itu lalu berlutut di depan
Liok Ong Gun dan berkata,
“Taijin, hamba telah melakukan dosa besar, mohon taijin suka memberi maaf sebanyaknya
dan ijinkanlah hamba pergi.”
Liok Ong Gun merasa amat marah dan malu melihat betapa pelayannya yang tadinya
dianggap baik ini ternyata mendatangkan keributan sehingga menimbulkan malu kepada
keluarganya, maka tanpa banyak pikir lagi lalu berkata,
“Pergilah segera dan jangan kau muncul lagi di depanku!”
Gwat Kong bangkit berdiri lalu berjalan ke arah kamarnya dengan terhuyung-huyung,
mengambil buntalannya dan segera meninggalkan gedung itu dengan hati perih. Luka di
lengannya tak dirasakan lagi. Akan tetapi luka di hatinya terasa menyakitkan seluruh
tubuhnya. Pikirannya tidak dapat digunakan dengan baik oleh karena terkacau oleh pengaruh
minuman keras. Setelah keluar dari kota Kiangsui, ia lalu lari. Pengaruh arak membuat ia tak
sadar betapa larinya itu cepat sekali, oleh karena tanpa disengaja ia telah mempergunakan
ginkang yang selama ini dilatih dengan secara diam-diam di dalam kamarnya. Buku pelajaran
silat yang tebal itu dibawanya di dalam buntalan pakaian yang kini berada di atas
punggungnya, berikut juga sejumlah uang yang ia kumpulkan dari hasil upahnya.
Sementara itu, setelah Gwat Kong pergi, Liok Ong Gun menjura kepada susiok-couwnya
menyatakan maafnya, sedangkan hwesio tua itu dengan masih terheran-heran bertanya,
“Ong Gun, sebetulnya siapakah anak muda tadi? Ku lihat ginkangnya tidak rendah!”
Kepala daerah itu merasa heran mendengar ini. “Ginkang? Ah, pemuda itu semenjak berusia
tiga belas tahun telah berada di tempat ini sebagai pelayan dan sama sekali tidak pernah
mempelajari ilmu silat, bagaimana bisa memiliki ginkang?” Kemudian dengan singkat ia
menceritakan keadaan Gwat Kong yang rajin dan jujur.
Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi merasa heran sekali karena tadi mereka benar-benar telah
menyaksikan kepandaian Gwat Kong. Dorongan Gan Bu Gi tadi bukanlah sembarangan
dorongan, akan tetapi adalah gerakan ilmu silat yang disebut Jeng-kin-jiu-pai-san atau Tangan
Seribu Kati Menolak Gunung. Tenaga dorongan itu sedikitnya ada tiga ratus kati dan
jangankan orang yang tidak mengerti ilmu silat bahkan orang yang ilmu silatnya tidak tinggi
dan tidak memiliki lweekang sempurna, tentu akan terdorong roboh. Akan tetapi, Gwat Kong
pelayan yang dianggap bodoh tadi tidak roboh, bahkan memperlihatkan ginkang yang
mengagumkan karena dalam keadaan setengah mabuk dapat berjumpalitan empat kali ke
belakang dan jatuh dalam keadaan berdiri.
Akan tetapi karena cerita Liok Ong Gun amat meyakinkan, mereka menganggap bahwa hal
itu mungkin terjadi karena kebetulan saja dan hal itu tidak dibicarakan pula.
“Bagaimana, apakah sudah ada keputusanmu tentang perjodohan ini?” tanya Seng Le Hosiang
secara langsung oleh karena setelah ia merasa kenyang dan telah cukup lama berada di situ, ia
ingin segera pergi pula.
“Teecu berdua isteri telah setuju dan dapat menerima pinangan ini, akan tetapi sebelum teecu
bertanya kepada Tin Eng sendiri, teecu tidak berani memberi keputusan.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 30
Tiba-tiba Gan Bu Gi yang merasa amat kecewa setelah mendengar dan melihat sendiri
peristiwa yang terjadi antara Tin Eng dan Gwat Kong, diam-diam menaruh hati curiga dan
cemburu terhadap Tin Eng dan pelayan itu, maka lalu berkata cepat,
“Seng Le Locianpwe dan Liok-taijin saya harap hal ini ditunda dulu saja dan dengan
perlahan-lahan diurus, karena baru saja siocia mengalami kekagetan. Mengapa harus amat
tergesa-gesa?”
Akan tetapi Seng Le Hosiang mencelanya, “Bu Gi, kau harus tahu bahwa pinceng datang
menguruskan soal perjodohan ini untuk mewakili suhumu, dan kau tentu tahu pula bahwa
pinceng tidak biasa menunda-nunda urusan. Kau tak usah ikut-ikut membicarakan hal ini!
Bagaimana Liok Ong Gun, apakah pinceng dapat menentukan urusan ini untuk memberi
jawaban kepada Bong Bi Sianjin ?”
Didesak sedemikian rupa, terpaksa Liok Ong Gun yang sebenarnya sudah setuju untuk
mengambil Bu Gi sebagai menantu, menjawab, “Baiklah, susiok-couw, pinangan ini boleh
dianggap sudah diterima dan ikatan jodoh sudah disyahkan, hanya tentang pernikahan,
baiknya diputuskan kemudian untuk menetapkan waktunya. Teecu tidak bisa mendesak
terlalu keras terhadap anak tunggal sendiri, sungguhpun teecu dapat menduga bahwa anakku
tentu takkan keberatan terhadap hal ini.”
Barulah hati hwesio tua itu merasa lega mendengar ini. Ia tertawa tergelak-gelak dan berkata,
“Bagus, bagus! Nah, kalau begitu pinceng pergi sekarang juga dan penetapan hari pernikahan
akan ditentukan kemudian!”
Baik Gan Bu Gi maupun Liok-taijin, tak dapat menahan hwesio yang mempunyai adat kasar
dan aneh itu, hanya mengantarnya sampai di luar gedung.
Setelah itu, Liok-taijin lalu masuk ke dalam gedungnya kembali dengan maksud untuk
menegur puterinya tentang peristiwa tadi dan sekalian menyampaikan hal pinangan itu
kepadanya. Akan tetapi ketika ia tiba di luar kamar Tin Eng, ia mendengar suara isterinya
membujuk-bujuk dan suara Tin Eng menangis.
Ia masuk ke dalam kamar itu dan isterinya segera berdiri melihat ia masuk, akan tetapi Tin
Eng diam saja sambil terisak-isak di atas pembaringannya.
“Tin Eng, sungguh aku tidak mengerti melihat sikapmu tadi. Mengapa kau marah-marah dan
hendak membunuh Gwat Kong di depan para tamu?” Liok-taijin menegur puterinya.
Mendengar pertanyaan ini, bukannya menjawab bahkan Tin Eng menangis makin keras.
Ayahnya menggeleng-geleng kepala dan berkata kepada isterinya, “Coba kau lihat betapa
keras kepala anak kita ini! Sebetulnya mengapa pula ia menangis?”
“Entahlah, semenjak tadi aku bertanya akan tetapi ia hanya menangis saja, memang sukar
sekali mengurus Tin Eng!”
Kedua orang tua itu tentu saja tidak dapat tahu betapa hati dara itu merasa sakit sekali.
Ucapan-ucapan yang keluar dari mulut Gwat Kong masih bergema di telinganya dan biarpun
hal ini masih membuatnya marah akan tetapi kemarahannya tidak sebesar penyesalannya
teringat akan sikapnya sendiri yang hampir saja membunuh pelayan itu, bahkan telah melukai
lengannya. Gwat Kong selama ini berlaku amat baik kepadanya dan apakah pembalasannya?
Ia teringat betapa ia pernah menyatakan berhutang budi kepada pelayan itu dan belum
membalasnya. Ia merasa kasihan kepada Gwat Kong, terutama kalau ia kenangkan ucapanucapan
pemuda tadi yang dengan terang-terangan menyatakan cinta kasihnya!
“Tin Eng,” ayahnya berkata keras. “Jangan kau berlaku seperti anak kecil! Ketahuilah, usiamu
telah enam belas tahun lebih dan kau telah menjadi seorang dewasa. Perlakuanmu terhadap
Gwat Kong tadi tidak seharusnya dilakukan oleh seorang gadis bangsawan seperti engkau.
Boleh jadi pelayan itu membuat kesalahan, akan tetapi kau tidak berhak untuk turun tangan
sendiri kepadanya di depan susiok-couw dan calon suamimu.”
Mendengar sebutan terakhir ini tiba-tiba Tin Eng serentak bangun duduk dan memandang
kepada ayahnya dengan mata masih merah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 31
Ibunya menaruh tangannya di atas pundak Tin Eng. “Anakku, kau telah dipinang untuk
dijodohkan dengan Gan-ciangkun dan menurut pandangan mata kami berdua, pemuda itu
sudah pantas untuk menjadi suamimu.”
Sebetulnya, hati Tin Eng memang amat tertarik oleh Gan Bu Gi yang selain tampan dan
gagah, juga memiliki kepandaian yang lebih tinggi darinya. Akan tetapi, sama sekali belum
terpikir olehnya tentang perjodohan, maka ia merasa terkejut sekali mendengar ini. Pula,
ucapan-ucapan Gwat Kong yang masih bergema di telinganya itu membuyarkan sama sekali
perasaan hatinya yang agak condong kepada Gan-ciangkun.
“Ayah, aku tidak ingin menikah dengan siapapun juga!” jawabnya keras dan dengan suara
tetap.
“Anak bodoh! Ayah ibumu telah menerima pinangan itu. Siapa lagi kalau bukan Gan Bu Gi
yang pantas menjadi menantuku?”
“Ya, pantas menjadi menantumu, ayah, akan tetapi aku tidak ingin menjadi isterinya, atau
isteri siapapun juga!” jawab Tin Eng bersikeras.
Marahlah Liok Ong Gun melihat kebandelan anaknya ini. “Tin Eng! Jangan kau berkeras
kepala! Kurang apakah pemuda seperti Gan Bu Gi? Ia cukup tampan, berkepandaian tinggi,
berkedudukan baik, dan beradat baik pula!”
Teringat dara itu kepada ucapan dan sindiran-sindiran Gwat Kong, maka dengan muka merah
ia menjawab, “Boleh jadi ia cakap, gagah, kaya, berkedudukan tinggi. Akan tetapi aku
bukanlah gadis yang tergila-gila akan kekayaan dan kedudukan maupun ketampanan dan
kegagahan. Ayah, aku tidak mau!”
Maka meluaplah kemarahan dalam hati Liok Ong Gun. Ia mengangkat tangan dan menampar
muka Tin Eng sehingga gadis itu menekap pipinya yang tertampar dan air matanya mengalir
kembali. Belum pernah ia ditampar oleh ayahnya dan hal ini amat menyakitkan hatinya.
“Anak tidak berbakti! Kau terlalu dimanja sehingga menjadi keras kepala! Aku memberi
waktu sampai malam nanti untuk kau menyehatkan kembali pikiranmu yang tersesat! Malam
nanti aku menanti jawabanmu yang memastikan dan sekali-kali kau tidak boleh banyak
berbantah dalam hal ini!” Setelah berkata demikian, Liok-taijin tinggalkan kamar itu dan
menutup pintu kamar anaknya keras-keras.
Tin Eng menjatuhkan diri di atas pembaringannya dan menangis sedih. Ibunya memeluknya
dan membujuk-bujuk. Akan tetapi gadis itu tak dapat dihibur dan menangis tersedu-sedu
sehingga habis air matanya ditumpahkan membasahi bantalnya.
05. Pertikaian Murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai
SEMENTARA itu Liok-taijin lalu memanggil kedua orang pelayan yang tadi melayani Seng
Le Hosiang. Ia menyuruh kedua pelayan ini menceritakan segala peristiwa yang terjadi pada
waktu keributan tadi. Karena takut untuk menyembunyikan sesuatu, kedua pelayan itu lalu
menceritakan segala yang mereka dengar dan lihat.
Bukan main marahnya hati Liok Ong Gun mendengar akan kekurang ajaran Gwat Kong dan
ia merasa menyesal mengapa tadi ia membiarkan pemuda itu pergi. Kalau ia tahu akan
menghukumnya. Dan yang paling menyebalkan hatinya ialah pernyataan-pernyataan dan
ucapan-ucapan Gwat Kong yang seakan-akan menyindirkan keadaan Tin Eng dan
menyatakan cinta kasihnya terhadap anaknya. Puteri tunggalnya seorang dara puteri Kepala
daerah, bangsawan dan kaya raya. Orang paling berkuasa di kota Kiangsui, dicinta oleh
seorang bujang pelayan yang rendah dan hina? Kurang ajar sekali anak itu!
Dan ketika memikirkan hal ini, teringatlah ia akan penolakan Tin Eng terhadap perjodohan
itu, maka ia menduga-duga apakah hubungannya penolakan ini dengan kekurang ajaran Gwat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 32
Kong? Makin marahlah ia dan dengan mata terbelalak ia berkata kepada dua orang pelayan
itu, “Kalian berdua harus dapat menutup mulut dan jangan diceritakan segala peristiwa yang
terjadi tadi kepada siapapun juga! Aku akan mencari dan menjatuhi hukuman kepada Gwat
Kong si keparat, dan kalau sampai ada orang luar mendengar tentang peristiwa memalukan
itu, tentu kaulah yang bocor mulut dan awas! Aku takkan memberi ampun kepadamu!”
Kedua orang pelayan itu lalu mengundurkan diri dengan ketakutan dan tentu saja mereka
tidak berani membuka mulut tentang peristiwa yang terjadi pagi tadi, jangankan kepada orang
lain, kepada isteri mereka sendiri mereka tidak berani menceritakan!
Pada malam hari itu, dengan hati penuh harapan, Liok Ong Gun masuk ke dalam kamar
puterinya bersama isterinya untuk meminta jawaban dari gadis itu. Mereka mendapatkan Tin
Eng masih duduk di atas pembaringan sambil termenung.
“Tin Eng, pikirkan baik-baik bahwa kami berdua hanya ingin menunjukkan jalan kebahagiaan
untukmu, maka sebagai seorang anak berbakti kau pun harus mendatangkan kesenangan
dalam hati orang tuamu dengan jawaban yang baik,” kata Liok Ong Gun dengan suara halus
sungguhpun hatinya masih merasa marah karena teringat akan cerita kedua pelayan tadi.
Sampai lama Tin Eng tidak menjawab, hanya memandang kepada kedua orang tuanya.
Kemudian, setelah berkali-kali menarik napas panjang, ia berkata. “Ayah, aku masih belum
bersedia untuk terikat oleh perjodohan, harap kau suka maafkan, ayah.”
Timbullah lagi kemarahan dalam hati Liok-taijin, akan tetapi ditahan-tahannya ketika ia
bertanya dengan muka merah, “Sudah kau pikirkan baik-baik?”
“Sudah, ayah,” jawab gadis itu sambil menundukkan kepalanya.
“Apakah alasanmu maka kau menampik? Apakah tidak suka kepada Gan-ciangkun?”
Tin Eng menggeleng kepalanya. “Tidak ada alasan apa-apa, ayah. Hanya aku belum ada
pikiran untuk menikah. Aku tidak suka mengubah keadaan hidupku dan ingin tinggal seperti
biasa saja.”
“Anak bandel!” Liok-taijin membentak dan kini ia tidak dapat menahan marahnya yang tadi
ditekan-tekannya. Kemarahannya meluap dan ia berkata, “Kau anak tidak berbakti yang
hanya mengecewakan dan membikin malu orang tua! Diatur baik-baik kau tidak menurut, dan
membiarkan dirimu dihina oleh cinta seorang pelayan rendah!”
“Ayah!” Tin Eng memandang ayahnya dengan mata terbelalak.
“Hmm, kaukira aku tidak tahu? Anjing she Bun yang hina dina itu telah berani menyatakan di
depan pelayan lain dan susiok-couw bahwa ia mencintaimu! Alangkah rendahnya, sungguh
memalukan! Dan kau .... kau sekarang menolak pinangan Gan-ciangkun, bukankah ini
menimbulkan dugaan seakan-akan kau .... membalas cinta anjing itu ...??”
“Ayah ....!!”
“Tutup mulutmu, aku tidak menyangka bahwa kau membalas cintanya karena tadi pun kau
hendak membunuhnya. Akan tetapi, kalau kau menolak pinangan ini, tentu akan timbul
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 33
dugaan seperti itu dalam hatiku. Pendeknya kau harus menerima pinangan ini dan hari
pernikahan akan ditetapkan kemudian, dan kau tidak boleh membantah. Aku telah menerima
pinangan itu dan tak boleh dibatalkan lagi!”
“Ayah ...!” Akan tetapi Liok Ong Gun telah melangkah pergi, diikuti oleh isterinya yang takut
kalau-kalau suaminya marah apabila ia tinggal di kamar puterinya.
Tin Eng menangis lagi dengan sedihnya. Ia merasa mendongkol dan gemas sekali kepada
Gwat Kong karena pemuda itulah yang menimbulkan gara-gara ini. Kalau saja Gwat Kong
tidak bersikap seperti pagi tadi, tentu ia lebih mudah untuk menolak pinangan itu. Apa daya?
Ayahnya telah memaksa dan ia cukup maklum akan kekerasan hati ayahnya.
Pada keesokan harinya, ketika pelayan wanita memasuki kamar Tin Eng, ia mendapatkan
kamar itu kosong karena Tin Eng telah pergi tak meninggalkan bekas. Gegerlah di dalam
gedung itu dan ternyata kemudian bahwa Tin Eng telah minggat dari rumahnya malam tadi,
membawa beberapa potong pakaian, tanpa meninggalkan pesan sesuatu!
Liok-taijin merasa marah dan malu sekali maka ia lalu memberi perintah kepada para pelayan
dan penjaga di gedung agar hal ini jangan sampai tersiar di luar. Kemudian ia lalu memanggil
Gan Bu Gi dan memberi perintah kepada calon menantu ini untuk membawa beberapa orang
perwira dan pergi mencari Tin Eng. Juga dipesan kalau bertemu dengan Gwat Kong supaya
dibunuh saja pelayan yang menimbulkan kekacauan itu.
****
Bun Gwat Kong yang melarikan diri terus ke selatan tiba di dalam hutan dan ia duduk
beristirahat. Setelah berlari dan keluar peluh, pusingnya akibat arak itu lenyap dan ketika
duduk di tempat teduh dan mendapat siliran angin lalu, terkenanglah ia akan segala peristiwa
yang terjadi dan timbul penyesalan hebat di dalam hatinya. Ia merasa lengannya yang tertusuk
ujung pedang Tin Eng, dan tersenyumlah dia. Luka itu telah mengering, tanda bahwa tiap luka
tentu lambat laun akan sembuh, sebagaimana juga dengan hatinya yang terluka pada saat itu.
Ia maklum bahwa dengan terjadinya peristiwa itu, Tin Eng tentu amat membencinya. Ah, ini
lebih baik lagi, agar ia tidak selalu memikirkan gadis itu karena bukankah gadis itu akan
menjadi isteri orang lain, isteri Gan-ciangkun?
Mendengar siliran angin dan karena perutnya amat lapar, ia lalu berpindah tempat, mencari
tempat yang enak di bawah pohon, tertutup oleh serumpun alang-alang dan sebentar saja ia
sudah tidur pulas.
Belum beberapa lama ia tidur, tiba-tiba terdengar suara ribut tak jauh dari tempat itu sehingga
Gwat Kong terbangun dengan terkejut. Ketika ia memperhatikan, terdengarlah suara senjata
tajam beradu, tanda bahwa di dekat situ terdapat orang-orang sedang bertempur. Dengan
heran Gwat Kong mengintai dari balik rumpun alang-alang itu dan terkejutlah ia ketika ia
melihat bahwa yang bertempur itu adalah seorang tosu tua yang ia kenal sebagai Bong Bi
Sianjin, guru Gan Bu Gi yang dulu datang di gedung Liok-taijin. Tadinya ia menyangka
bahwa kakek itu sedang bertempur dengan dua orang pemuda yang gagah perkasa. Gwat
Kong belum pernah melihat pemuda-pemuda itu, akan tetapi melihat wajah mereka yang
tampan itu membayangkan kegagahan, begitu melihat ia telah merasa suka.
Sebetulnya, pertandingan yang sedang berlangsung itu hebat sekali karena gerakan Bong Bi
Sianjin dan kedua orang lawannya yang muda itu benar-benar lihai dan cepat. Kalau orang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 34
biasa yang melihatnya tentu ia akan menjadi pening dan pandang matanya menjadi kabur.
Akan tetapi, Gwat Kong tanpa menyadari keadaannya sendiri, dapat melihat jalan
pertempuran itu dengan jelas. Ia melihat betapa kedua orang muda itu terdesak hebat oleh
sepasang tangan Bong Bi Sianjin, sungguhpun keduanya menggunakan senjata pedang.
Kedua pemuda itu bertubuh tegap dan berwajah tampan, seorang di antara mereka berbaju
biru dan yang seorang pula berbaju putih. Ilmu pedang mereka gesit dan kuat sehingga
pedang yang dimainkan merupakan gulungan sinar yang menyambar-nyambar. Akan tetapi
Bong Bi Sianjin yang menghadapi mereka dengan tangan kosong itu dengan tenang dapat
menghindarkan semua serangan pedang dengan ginkangnya yang tinggi hingga tubuhnya
dapat melayang di antara sinar pedang dan membalas dengan pukulan-pukulan yang
digerakan dengan tenaga khikang.
Kadang-kadang tangannya mencengkeram dengan Ilmu Eng-jiauw-kang dan angin
pukulannya ternyata kuat sekali. Kini sepasang pemuda itu telah terdesak hebat, dan tibalah
tendangan Siauw-cu-twi yang datangnya bertubi-tubi dan berhasil mengenai tangan pemuda
baju putih yang memegang pedang sehingga pedang itu terlempar ke atas! Akan tetapi,
pemuda itu ternyata hebat juga, karena ia dapat melompat ke atas dan menangkap kembali
gagang pedang itu!
“Bagus, anak muda murid Hoa-san tidak mengecewakan!” Tosu itu memuji dan mengirim
serangan lagi makin hebat sehingga kedua anak muda itu kini hanya dapat menangkis saja,
karena kedua ujung lengan tosu itu kini dugunakan sebagai senjata yang mengirim pukulan
dan totokan luar biasa!
Gwat Kong yang melihat guru Gan Bu Gi, merasa tidak senang karena betapapun juga ia
menganggap bahwa Gan Bu Gi adalah perusak kebahagiaannya. Ia mengambil tiga buah uang
tembaga dari buntalannya dan dari tempat sembunyinya ia menyambit ke arah tubuh Bong Bi
Tosu di tiga bagian!
Pada saat itu, Bong Bi Sianjin telah mendesak amat hebatnya dan telah dapat dibayangkan
bahwa tak lama kemudian tentu kedua orang muda itu akan roboh ditangannya. Tiba-tiba
nampak berkelebat tiga cahaya menuju ke tosu itu yang menjadi amat terkejut oleh karena
belum juga benda itu sampai, anginnya telah menyambar tiba terasa olehnya!
Dengan cepat Bong Bi Sianjin melompat ke kiri, akan tetapi sebuah di antara tiga senjata
rahasia itu malah melayang ke arah dada sehingga dengan cepat ia menyampoknya dengan
ujung lenagn bajunya. “Brett!” dan terkejutlah Bong Bi Sianjin karena biarpun senjata yang
ternyata hanya sebuah uang tembaga itu dapat dipukul ke samping akan tetapi ujung lengan
bajunya menjadi berlubang.
Padahal ketika menyampoknya tadi, ia telah mengerahkan lweekangnya dan jangankan baru
sebuah uang logam, bahkan baja sekalipun tak mungkin dapat membikin ujung baju itu
berlubang! Ia maklum bahwa pasti ada seorang sakti yang membela kedua pemuda lawannya
itu, maka sambil melompat mundur ia berseru, “Sahabat, terima kasih atas pertunjukkanmu
tadi. Harap suka keluar untuk bertemu muka.”
Akan tetapi, Gwat Kong diam saja dan hanya mengintai dari balik alang-alang itu tanpa
berani bergerak. Bong Bi Sianjin merasa marah sekali dan menganggap bahwa orang sakti itu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 35
tentu memandang rendah kepadanya, maka ia lalu menjura dan berkata, “”Biarlah, kalau ada
orang pandai melindungi anak murid Hoa-san, lain kali pasti bertemu lagi!” Setelah berkata
demikian, Bong Bi Sianjin melempar pandang mengejek ke arah kedua orang muda itu, lalu
tubuhnya berkelebat dan pergi dari tempat itu.
Kedua orang muda itu lalu memandang ke arah rumput alang-alang dan sambil mengangkat
kedua tangan memberi hormat, si baju biru yang lebih tua berkata, “Inkong (tuan penolong),
kami menghaturkan terima kasih dan harap inkong sudi memperlihatkan diri.”
Akan tetapi tidak ada jawaban sehingga kedua orang muda itu saling pandang dan
mengangkat pundak masing-masing.
“Mungkin dia sudah pergi lagi, “ kata pemuda baju putih.
“Mari kita lihat,” kata yang berbaju biru.
Mereka lalu melangkah maju dan menyingkapkan rumpun alang-alang itu dan bukan main
heran hati mereka ketika melihat di situ hanya ada seorang pemuda yang berpakaian pelayan
sedang berbaring dengan sebuah buntalan digunakan sebagai bantal!
“Kaukah yang menolong kami tadi?” tanya si baju putih dengan ragu-ragu, karena ia tidak
percaya kalau anak muda ini yang berhasil mengusir tosu yang amat lihai itu.
“Siapa yang menolong?” balas Gwat Kong dengan sikap tak acuh. “Aku tidak suka kepada
tosu yang mengganggu tidurku itu dan setelah kuberi tiga potong uang tembaga barulah
pengemis tua itu pergi.” Setelah berkata demikian, Gwat Kong lalu bangun duduk dan
mengambil buntalannya.
“Ah, kalau begitu benar kau yang telah menolong kami. Terima kasih, sahabat, marilah kita
bicara di tempat yang lebih enak,” kata pemuda yang berbaju biru sambil mempersilahkan
berdiri. Sedangkan si baju putih lalu memegang buntalan Gwat Kong untuk dibawakan.
“Biarlah siauwte membawakan bungkusanmu,” katanya, akan tetapi alangkah terkejutnya
ketika ia merasa betapa beratnya bungkusan yang dipegang oleh Gwat Kong itu. Ia merasa
penasaran dan mengerahkan tenaganya untuk mengambil bungkusan itu, akan tetapi
bungkusan yang terpegang oleh pemuda berpakaian pelayan itu sama sekali tak dapat ia
gerakan. Ia maklum bahwa pemuda pelayan itu memiliki kepandaian tinggi dan tenaga
lweekang yang luar biasa maka ia lalu melepaskan buntalan itu dan membungkuk-bungkuk
memberi hormat sambil berkata, “Maaf, maaf!”
Mereka lalu keluar dari tempat itu dan berjalan menuju ke tempat dua ekor kuda yang
ditambatkan pada sebatang pohon. Ternyata bahwa kedua pemuda itu datang menunggang
kuda.
“Saudara yang gagah perkasa, kami telah berhutang budi kepadamu, karena kalau tidak ada
kau yang menolong, tentu tosu tadi tidak mau memberi ampun dan akan membinasakan kami.
Bolehkah kami mengetahui namamu yang mulia dan dari perguruan manakah kau datang?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 36
Gwat Kong merasa bingung karena tidak tahu harus menjawab bagaimana, dan tiba-tiba ia
teringat akan rasa lapar yang menyerang perutnya, maka ia bahkan balas bertanya, “Apakah di
dekat ini ada yang menjual makanan? Perutku lapar sekali!”
Kedua orang muda itu saling pandang lagi dengan mata terheran karena mereka merasa
betapa anehnya sikap Gwat Kong itu.
“Kau lapar? Ah, kebetulan sekali kami membawa arak dan roti kering.”
“Bagus! Kalau begitu biarlah aku akan membeli makananmu itu,” kata Gwat Kong sambil
mengeluarkan uang dari buntalannya.
“Ah, mengapa kau berlaku sungkan-sungkan,” kata si baju biru dan si baju putih segera
mengambil makanan dan seguci arak dari punggung kuda.
“Marilah, sahabat, makanlah roti dan arak kami ini.”
Gwat Kong menggeleng-geleng kepala. “Tidak, kalau tidak mau menerima uangku, aku tidak
berani makan makanan orang lain.”
“Akan tetapi kami bukanlah orang lain lagi, sobat baik!”
Si baju biru berseru, “Kami adalah kakak beradik, namaku Pui Kiat dan ini adikku Pui Hok
dan sudilah kau memberi tahukan namamu yang mulia.”
“Namaku Bun Gwat Kong dan aku adalah seorang bekas pelayan biasa saja. Tentang
makanan .... kalau kalian menawarkan dengan rela, aku takkan menolaknya!” Dengan girang
Pui Kiat dan Pui Hok lalu mengajak Gwat Kong duduk di atas rumput dan makan roti kering
bersama arak.
Melihat betapa lahapnya Gwat Kong minum arak, kedua saudara Pui itu menjadi makin
kagum.
“Mengapa kalian bertempur dengan tosu itu?” tanya Gwat Kong. Pui Kiat lalu menceritakan
sebab-sebab pertempuran tadi. Kedua saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai dan
dalam beberapa bulan akhir-akhir ini pihak Hoa-san-pai memang menanam permusuhan
dengan pihak Go-bi-pai. Mula-mula hanya terjadi karena perkelahian antara anak murid saja,
akan tetapi lama kelamaan menjalar sampai ke tokoh-tokohnya, sehingga bertandinglah Seng
Le Hosiang tokoh Go-bi-pai melawan Sin Ceng Cu tokoh Hoa-san-pai yang berakhir dengan
kekalahan bagi Seng Le Hosiang.
Hwesio ini merasa penasaran dan mencari sahabat untuk membantunya, yakni Bong Bi
Sianjin tokoh Kim-san-pai itu. Oleh karena itulah, maka tiap kali Bong Bi Sianjin bertemu
dengan murid-murid Hoa-san-pai, ia selalu menyerang dan membikin malu mereka! Karena
kedua pihak tidak ada yang mau mengalah maka permusuhan itu makin menjalar, bahkan
sudah ada yang saling bunuh di antara anak murid Hoa-san-pai melawan anak murid Go-bipai!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 37
“Ah, tak kusangka sama sekali bahwa tokoh-tokoh persilatan itu tak lain hanya anak-anak
kecil yang nakal dan gemar berkelahi saja!” kata Gwat Kong terheran-heran dan menghela
napas panjang.
Kedua saudara Pui itu merasa amat heran melihat pemuda yang berkepandaian demikian lihai,
akan tetapi yang kelihatannya seperti orang bodoh dan tidak berpengalaman. “Bolehkah kami
mengetahui, Bun-taihiap ini anak murid cabang manakah?”
Gwat Kong tersenyum, bangkit berdiri sambil menyambar buntalan pakaiannya dan
menjawab, “Aku tidak mempunyai guru!” Dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah lari jauh
sekali!
Kedua saudara Pui itu hanya dapat saling pandang dengan bengong dan tiada hentinya mereka
membicarakan kehebatan dan keanehan pemuda itu, yang telah menolong mereka dari
desakan Bong Bi Sianjin.
“Bukan main!” akhirnya Pui Hok berkata. “Siapakah sebenarnya orang aneh tadi? Ia masih
muda, jauh lebih muda dari pada kita, paling banyak baru delapan belas tahun, akan tetapi
lweekang dan ginkangnya sudah sehebat itu! Suhu sendiri belum tentu dapat mengatasinya!”
Demikianlah, kedua saudara Pui itu menduga-duga kagum dan heran.
****
Sambil berlari terus menuju ke kota Kihong, Gwat Kong mulai merasa tertarik akan
penghidupan merantau. Ia kagumi kedua saudara Pui yang gagah perkasa dan merasa gembira
telah dapat berkenalan dengan dua orang pemuda itu. Kini ia maklum mengapa Seng Le
Hosiang begitu mati-matian membela Bong Bi Sianjin dan muridnya, tidak sedan-segan
mempergunakan pengaruhnya terhadap cucu muridnya, yaitu Liok Ong Gun untuk memberi
kedudukan baik kepada Gan Bu Gi serta memungut menantu pemuda itu.
Ia dapat menduga bahwa Seng Le Hosiang tentu mengharapkan bantuan Bong Bi Sianjin
dalam usahanya menghadapi pihak Hoa-san-pai, sebagaimana terbukti dari penuturan kedua
saudara Pui tadi. Karena ia memang tidak suka kepada Seng Le Hosiang dan Bong Bi Sianjin
yang timbul karena tidak sukanya kepada Gan Bu Gi, maka otomatis ia berpihak kepada
kedua saudara Pui atau kepada pihak Hoa-san-pai.
Dengan ginkangnya yang di luar pengetahuan sendiri telah mencapai tingkat tinggi itu, Gwat
Kong berlari cepat sekali hingga setelah hari mulai menjadi gelap ia tiba di kota Kihong. Ia
masih ingat di mana jenazah ibunya dimakamkan, maka ia langsung menuju ke tempat
kuburan itu dan ketika melihat betapa makam ibunya kini ditumbuhi rumput alang-alang yang
tinggi dan liar sehingga kuburan itu terlantar karena tidak terawat, ia menjadi terharu dan
bersedih. Ia merasa berdosa kepada ibunya, teringat akan segala kenakalannya ketika ia masih
tinggal bersama ibunya di Kihong. Ia menjatuhkan diri berlutut di depan kuburan ibunya dan
menangis sedih.
Pada keesokan harinya, ia menggulung lengan baju dan mulai membabat dan mencabut
rumput alang-alang itu, membersihkan kuburan ibunya. Kemudian ia pergi ke kota dan
membeli hio-swa dan kembang untuk bersembahyang di depan makam ibunya. Dua hari dua
malam ia tinggal di situ dan tidak tidur sedikitpun, hanya duduk bersila di depan kuburan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 38
sambil mengenangkan semua peristiwa di waktu ia masih kecil dan yang masih dapat teringat
olehnya. Ia teringat akan pesan ibunya untuk membalas dendam kepada Tan-wangwe
(hartawan Tan) yang tinggal di Lam-hwat dan yang telah memfitnah ayahnya sehingga orang
tuanya itu menerima bencana hebat yang menyebabkan semua keluarganya menderita.
Pada hari kedua, karena lelah dan mengantuk, Gwat Kong tak dapat bertahan lagi dan ia
merebahkan tubuhnya di atas tumpukan rumput alang-alang yang dibabatnya. Angin pagi
berselir membuat matanya sukar untuk menahan ngantuknya sehingga tak lama kemudian ia
tertidur dengan nyenyak.
Ia tidak tahu bahwa belum lama setelah ia jatuh pulas, enam orang yang berpakaian perwira
Sayap Garuda datang di tempat itu dan kini keenam orang itu berdiri memandangnya dan
dengan lagak mengancam. Mereka ini bukan lain ialah Gan Bu Gi sendiri dengan lima orang
kepala perwira dari gedung Kepala daerah Kiang-sui yakni Thio Sin, Lie Bong, dan Kiang-sui
Sam-eng ketiga jago dari Kiang-sui!
Melihat Gwat Kong tertidur di dekat segunduk tanah kuburan, Gan Bu Gi yang mendapat
perintah dari calon mertuanya untuk membunuh Gwat Kong segera mencabut pedangnya dan
hendak menikam dada pemuda itu.
“Tahan dulu, ciangkun!” kata Thio Sin yang melihat gerakan ini sehingga perwira muda itu
menahan pedangnya dan memandang dengan heran.
“Mengapa, Thio-twako? Liok-taijin telah memberi perintah kepada kita untuk membunuhnya,
bukan?”
“Sesungguhnya kurang sempurna kalau kita yang disebut orang-orang gagah dari Kiang-sui
harus membunuh seorang pelayan lemah yang sedang tidur pulas! Bagaimana kalau sampai
terlihat oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Biarpun tidak akan mereka ketahuinya
setidaknya kita akan merasa malu terhadap batin sendiri!”
Bu Gi yang muda itu menjadi serba salah dan mengangkat pundak. “Habis, bagaimana
baiknya ? Aku hanya hendak memenuhi tugas yang diperintahkan oleh Liok-taijin.”
“Lebih baik kita tangkap padanya, kalau dia melawan, barulah kita mempunyai alasan untuk
membunuhnya. Biarpun hendak dibunuh harus dalam keadaan sadar dan tidak sedang tidur
seperti ini!” Thio Sin lalu menghampiri Gwat Kong yang sedang tidur dan mengeluarkan
sehelai tambang yang kuat. Dengan bantuan Lie Bong dan kawan-kawan lain ia lalu mengikat
kedua lengan Gwat Kong yang masih tidur nyenyak itu dengan erat. Ternyata Gwat Kong
yang terlampau lelah dan mengantuk itu tidak merasa sama sekali betapa kedua lengannya
ditelikung ke belakang dan dibelenggu erat-erat bagaikan kerbau hendak disembelih itu.
“He, Gwat Kong! Bangunlah!” Thio Sin menggoyang-goyang tubuhnya dan ketika pemuda
itu belum juga terbangun, timbullah gemasnya. “Dasar orang malas, malas dan tolol!”
Gan Bu Gi tertawa geli, menertawakan Thio Sin yang dianggap mencari kerepotan sendiri.
Mengapa harus berlaku sungkan-sungkan terhadap seorang pelayan seperti Gwat Kong?
Sekali tusuk dengan pedang dan habis perkara!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 39
“Kau memang terlampau lemah, Thio-twako. Biarlah aku tamatkan saja pelayan malas agar
kita tidak pusing-pusing lagi.” Kembali Gan Bu Gi mencabut pedangnya, akan tetapi pada
saat itu Lie Bong telah datang membawa tempat air yang dibekalnya dalam perjalanan.
Perwira muka hitam yang tinggi besar ini lalu membuka tutup mulut tempat air itu dan
menyiram muka Gwat Kong yang telentang. Usaha ini ternyata berhasil baik karena Gwat
Kong segera terjaga dari tidurnya dengan gelagapan! Ia bermimpi naik perahu dengan ibunya
dan ketika tiba di tengah-tengah telaga, perahu itu terguling hingga ia dan ibunya tenggelam
ke dalam air yang membuatnya gelagapan.
“Tolong ...!” teriaknya sambil menggerak-gerakan tangan. Akan tetapi karena kedua
tangannya dibelenggu, maka ia membuka mata dan memandang di sekelilingnya dengan
terheran-heran. Ia melihat enam orang perwira mengelilingi sambil tertawa bergelak-gelak
karena merasa geli melihat ia gelagapan dan minta tolong tadi.
Begitu melihat orang-orang ini, maklumlah Gwat Kong bahwa ia berada dalam bahaya.
Kedatangan mereka ini tentu tidak mengandung maksud baik, pikirnya.
“Cuwi-ciangkun, kalian datang mengganggu tidurku dengan maksud apakah?” tanyanya
sambil memandang kepada Thio Sin yang sudah dikenalnya baik-baik.
“Gwat Kong, menurut perintah Liok-taijin, kau harus ditangkap,” jawab Thio Sin.
“Bukan hanya ditangkap, bahkan harus dibunuh!” kata Gan Bu Gi dengan gemas karena ia
teringat akan Tin Eng yang melarikan diri dari rumah. Dalam kesedihan dan kekecewaannya,
panglima muda ini menyalahkan Gwat Kong dalam hal ini, maka timbullah kebenciannya
semenjak Gwat Kong membuka rahasia hatinya dalam keadaan mabok itu.
Mendengar ucapan mereka yang hendak menangkap dan membunuhnya, Gwat Kong menjadi
terkejut sekali. Tanpa sengaja ia mengerahkan tenaganya dan menggerakkan kedua lengannya
yang diikat erat-erat. “Kreekkk!” dengan sekali renggut saja, putuslah semua tali yang
mengikatnya dan ia melompat berdiri lalu menyambar buntalan pakaian yang tadi ia gunakan
untuk bantal kepala!”
Bukan main terkejut dan herannya semua perwira yang mengepungnya, bahkan Thio Sin
memandang dengan melongo! Tambang yang digunakan untuk mengikat tangan Gwat Kong
itu adalah tambang yang kuat dan besar, maka mana mungkin pemuda itu dapat memutuskan
dengan sekali renggut saja?
Akan tetapi Gan Bu Gi yang sudah dapat menduga bahwa Gwat Kong memiliki ilmu
kepandaian tinggi karena dulu pernah menyaksikan kepandaian ginkang pelayan muda itu, tak
mau membuang waktu lagi dan segera menyerangnya dengan pedang di tangannya. Serangan
ini cepat dan hebat sekali dan pedangnya menyambar ke arah leher Gwat Kong. Begitu cepat
datangnya pedang yang menyambar ini sehingga semua perwira yang lain menyangka bahwa
leher Gwat Kong tentu akan putus seketika, akan tetapi bukan main heran dan terkejutnya hati
mereka ketika melihat betapa dengan amat mudahnya Gwat Kong melompat ke samping
sambil berseru, “Ayaaaa ...” dan sabetan pedang itu mengenai tempat kosong!
“Kurung, tangkap atau bunuh dia!” teriak Gan Bu Gi. “Jangan biarkan dia lolos!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 40
Mendengar perintah ini, barulah lima orang perwira Sayap Garuda itu menjadi sadar dan
segera bergerak maju dengan kedua tangan bermaksud untuk menangkap Gwat Kong. Mereka
masih merasa ragu-ragu untuk mempergunakan senjata, karena mereka merasa malu untuk
mengeroyok seorang pelayan muda yang bertangan kosong itu dengan senjata, padahal
mereka semua berenam! Akan tetapi, segera mereka merasa terkejut sekali oleh karena tubuh
Gwat Kong tiba-tiba berkelebat dan melompat tinggi sekali melewati kepala mereka dan
pemuda itu hendak melarikan diri.
“Kejar!” teriak Gan Bu Gi sambil melompat dan mengirim sebuah tusukan ke arah punggung
Gwat Kong. Pemuda ini yang belum menyadari betapa tinggi ilmu silatnya, mendengar suara
angin tusukan pedang dan otomatis tubuhnya yang sudah terlatih itu miring untuk mengelak
serangan tadi. Kemudian mengikuti gerakan tubuhnya yang sudah dapat bergerak dengan
otomatis menurut pelajaran yang dilatihnya selama ini, kaki kirinya menendang ke arah
pergelangan tangan Gan Bu Gi. Tendangan ini tak terduga sekali datangnya dan selain cepat,
juga dilakukan dalam kedudukan yang sukar sehingga Gan Bu Gi tak dapat mengelak lagi. Ia
berteriak kesakitan dan pedangnya terlepas dari pegangannya karena pergelangan tangannya
tertendang dengan cepat sekali oleh ujung kaki Gwat Kong!
Sementara itu lima orang perwira Sayap Garuda telah memburu dengan senjata masingmasing
di tangan, lalu maju menyerbu ketika melihat betapa Gan Bu Gi dalam sekali gebrak
saja telah kehilangan pedangnya! Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi karena dapat
menduga bahwa diluar sangkaan, pelayan muda itu ternyata memiliki ilmu silat yang lihai!
Melihat hasil kelitan dan tendangannya, Gwat Kong menjadi gembira sekali. Gan Bu Gi yang
gagah perkasa itu dapat dibikin tak berdaya dalam sekali gebrakan saja! Kini dengan sikap
berani ia lalu menghadapi kelima orang perwira itu, bahkan hendak menguji kepandaian
sendiri dan menghadapi mereka dengan tangan kosong dan sikap tenang sekali.
Ketika lima orang perwira itu maju dengan senjata mereka, menyerang Gwat Kong dari
semua jurusan, tiba-tiba Gwat Kong berseru keras dan tubuhnya berkelebat cepat sekali ke
arah para penyerangnya. Sambil menyampok tiap senjata yang meluncur ke arahnya, ia
menggunakan tangan kiri yang digerakan ke arah kepala penyerangnya dan lima kali ia
bergerak, ternyata ia telah dapat merampas semua bulu garuda yang menghias topi para
perwira tadi! Kelima lawannya belum mengetahui hal ini akan tetapi ketika Gwat Kong
melompat jauh lalu berdiri sambil menjura dan memperlihatkan bulu-bulu itu, mereka terkejut
sekali lebih-lebih ketika mereka meraba topi mereka dan tidak mendapatkan lagi penghias
topi yang merupakan tanda pangkat itu!
“Thio-ciangkun, tanpa bulu garuda topimu, kau kelihatan seperti seorang petani saja.” Gwat
Kong menggoda. Sambil berkata demikian tiba-tiba ia menggerakkan tangannya yang
memegang bulu-bulu itu dan lima batang bulu yang bergagang runcing itu meluncur bagaikan
anak panah dan sebelum kelima orang perwira itu dapat mengelak, bulu-bulu itu dengan
tepatnya telah menancap ke topi mereka.
Mereka segera menanggalkan topi masing-masing dan ketika melihat betapa bulu-bulu itu
menancap dengan tepat seperti semula, mereka merasa makin terkejut dan heran sehingga kini
mereka memandang dengan mulut ternganga ke arah pelayan muda itu seakan-akan belum
percaya kepada pandang matanya sendiri. Topi mereka masih terpegang di tangan masingmasing!
06. Keturunan Tihu dari Lam-hwat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 41
MELIHAT hal ini, Gan Bu Gi merasa marah sekali. Dia adalah anak murid yang tersayang
dari Bong Bi Sianjin. Tokoh ternama dari Kim-san-pai yang telah membuat nama besar, maka
kalau kini ia sampai dikalahkan dengan secara demikian mudahnya oleh seorang pelayan
muda yang tidak ternama dan bodoh, alangkah akan malunya! Ia telah memungut kembali
pedangnya yang tadi terlepas karena tendangan Gwat Kong dan sambil berseru keras ia lalu
menubruk maju sambil putar-putar pedangnya dengan gerakan hebat sekali.
Memang tadi dalam segebrakan saja ia kena tertendang oleh Gwat Kong dan hal ini
sebetulnya karena ia tidak pernah menyangka bahwa Gwat Kong akan dapat bergerak
sedemikian cepatnya dan karena ia tadinya memandang rendah maka ia sampai terkena
tendangan. Akan tetapi sekarang ia telah tahu bahwa Gwat Kong bukanlah orang
sembarangan, maka selain berlaku hati-hati, iapun lalu mengeluarkan ilmu pedang Kim-san
Kiam-hoat yang memang kuat dan cepat gerakan itu. Sambil menyerang, tak lupa ia
mengerahkan tenaga lweekangnya sehingga serangannya makin lihai.
Melihat betapa sinar pedang di tangan Gan Bu Gi amat kuat dan cepat menyambar-nyambar
ke arah tubuhnya, Gwat Kong terkejut juga. Biarpun ia kini telah dapat mengetahui akan
tingkat kepandaiannya sendiri yang boleh diandalkan. Akan tetapi ia belum pernah bertempur
melawan musuh tangguh, dan boleh dibilang semua kepandaian itu masih terpendam dan
belum pernah digunakan.
Ia sama sekali belum mempunyai pengalaman bertempur, maka kini menghadapi Gan Bu Gi
yang tangguh, ia merasa jerih dan segera mengeluarkan kepandaian yang dianggapnya paling
hebat di antara semua pelajaran yang telah dipelajari dari kitab kuno itu, yakni ilmu pedang
Sin-eng Kiam-hoat. Ia berseru keras dan mencabut sulingnya yang tersembul keluar ujungnya
dari buntalan pakaian. Memang suling inilah yang selalu ia gunakan dalam latihan pedang di
kamarnya, karena sebagai seorang pelayan, dari mana ia bisa mendapatkan pedang?
Ketika ia telah memegang suling itu, hatinya menjadi tetap kembali karena memang ia telah
biasa mainkan suling ini sebagai pedang dalam latihan-latihan. Suling adalah benda yang
amat ringan. Maka ketika ia mainkan Sin-eng Kiam-hoat yang lihai, tentu saja suling itu lalu
terputar-putar hebat dan cepat sekali merupakan segulung sinar kekuning-kuningan yang
mengurungi tubuhnya sendiri.
Kagetlah Gan Bu Gi melihat ini dan ia lalu menyerbu dengan hebat. Akan tetapi gerakan
Gwat Kong amat cepatnya sehingga sukar untuk diikuti dengan pandang mata. Pedang Gan
Bu Gi tidak berdaya karena ia telah menjadi bingung ke arah mana ia harus menyerang.
Tubuh lawannya sebentar-sebentar berpindah tempat dan tanpa mengetahui bagaimana
lawannya itu bergerak, tahu-tahu ujung suling telah mengancam semua jalan darahnya
sehingga Gan Bu Gi merasa pening dan bingung.
Kelima orang perwira yang tadi telah dipermainkan oleh Gwat Kong, makin kagum dan
terheran-heran melihat sepak terjang pelayan itu. Mereka tidak dapat melihat lagi tubuh
pemuda itu karena tertutup oleh sinar sulingnya yang digerakan secara luar biasa. Mereka
hanya melihat betapa Gan Bu Gi terdesak dan terkurung oleh sinar kuning itu sehingga
panglima yang mereka anggap sudah amat gagah perkasa itu berkelahi sambil mundur dan
hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas lawannya! Tiba-tiba mereka
mendengar Gan Bu Gi menjerit keras dan tubuh panglima itu terhuyung mundur sedangkan
pedangnya sekali lagi terpental dan terlepas dari pegangannya. Terdengar suara Gwat Kong
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 42
tertawa girang dan pemuda pelayan itu lalu melompat pergi dan berlari cepat meninggalkan
mereka.
Kelima orang perwira itu segera maju menolong dan mengangkat bangun pada Gan Bu Gi
yang menolak pertolongan mereka dengan muka bersungut-sungut dan marah sekali. Ternyata
tadi bahwa ketika ujung suling Gwat Kong secara aneh sekali dan bertubi-tubi menyerang dan
mengancam jalan darahnya, dengan marah dan nekad panglima muda ini lalu memukul suling
itu sekerasnya dengan pedang untuk mengadu tenaga. Akan tetapi. Bukan suling lawan yang
terpental, bahkan telapak tangannya merasa gemetar karena ternyata bahwa tenaga lweekang
lawannya luar biasa sekali kuatnya! Kemudian, selagi ia masih belum dapat mengembalikan
dan menenangkan keadaannya, ujung suling itu telah meluncur cepat dan mengetuk pundak
kanannya sehingga ia merasa pundaknya sakit sekali sampai terasa di hulu hati! Pedangnya
terpental dan terlepas sedangkan tubuhnya terhuyung ke belakang!
Dengan marah dan bersungut-sungut, Gan Bu Gi mengajak kawan-kawannya untuk kembali
ke Kiang-sui. Ia memesan kepada kelima orang perwira itu agar jangan menceritakan
peristiwa tadi kepada siapapun juga dan hanya melaporkan kepada Liok-taijin bahwa mereka
tidak berhasil menangkap Gwat Kong yang telah melarikan diri entah ke mana. Kelima orang
perwira itu setuju karena mereka telah dipermainkan oleh bekas pelayan itu.
Sementara itu, Gwat Kong dengan hati girang sekali melanjutkan larinya ke arah selatan
karena ia hendak pergi ke Lam-hwat untuk mencari musuh besarnya, yaitu Tan-wangwe yang
telah mendatangkan mala petaka kepada orang tuanya! Ia merasa girang sekali oleh karena
sekarang ia tidak ragu-ragu lagi akan kepandaiannya yang telah terbukti dengan
perlawanannya terhadap Gan Bu Gi tadi. Ia masih belum tahu bahwa sebenarnya bukan Gan
Bu Gi kurang lihai, akan tetapi adalah ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari itulah
yang luar biasa.
Setelah melakukan perjalanan selama tiga hari, sampailah Gwat Kong di kota Lam-hwat,
tempat kelahirannya dan di mana dulu ayahnya menjadi tihu yang disegani karena jujur dan
adil. Akan tetapi oleh karena ia telah dibawa pergi oleh ibunya dari kota ini ketika ia masih
amat kecil maka ia tidak ingat sama sekali tentang kota ini dan memasuki kota Lam-hwat
sebagai seorang asing yang belum pernah melihatnya.
Gwat Kong lalu mencari sebuah kamar di hotel dan oleh karena pakaiannya sebagai seorang
pelayan itu, membuat para pengurus dan pelayan hotel memandangnya dengan curiga karena
jarang sekali ada seorang pelayan bermalam di sebuah hotel, maka ia lalu keluar dan membeli
pakaian di toko pakaian. Dengan pakaian barunya walaupun yang dibeli hanyalah pakaian
sederhana, ia nampak lebih gagah. Rambutnya yang panjang dan hitam itu ia ikat dengan
sehelai sapu tangan biru yang lebar sehingga keningnya nampak lebar menambah kegagahan
wajahnya. Setelah ia mengenakan pakaian dan sepatu baru, maka semua pelayan di hotel
tempat ia bermalam itu bersikap lebih hormat kepadanya sehingga diam-diam Gwat Kong
merasa geli melihat kepalsuan ini.
Pada keesokan harinya, Gwat Kong mulai mencari keterangan tentang rumah keluarga Tanwangwe,
akan tetapi ia merasa kecewa sekali oleh karena di kota Lam-hwat tidak ada seorang
hartawan bernama Tan-wangwe, sungguhpun banyak sekali bernama keturunan Tan tinggal di
kota itu. Gwat Kong tidak putus asa dan terus menyelidiki bertanya ke sana kemari, bahkan ia
mulai bertanya tentang nama ayahnya, yakni Bun Tiang Ek yang dulu menjadi tihu di kota
Lam-hwat. Akan tetapi, oleh karena hal itu telah terjadi belasan tahun yang lalu dan kota
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 43
Lam-hwat telah banyak kedatangan orang-orang baru, maka agaknya nama ini telah dilupakan
orang! Tak seorangpun menyatakan pernah mendengar Bun-tihu ataupun Tan-wangwe.
Gwat Kong mulai merasa putus harapan dan dengan kecewa sekali ia masuk ke dalam sebuah
rumah makan dan memesan makanan. Seorang pelayan tua mengantarkan makanan yang
dipesannya. Melihat pelayan tua ini, teringatlah Gwat Kong bahwa ia telah melakukan
kesalahan, ketika mencari keterangan tadi tidak seharusnya ia bertanya kepada orang-orang
muda, yang mengetahui atau mengenal ayahnya serta Tan-wangwe tentulah orang-orang tua
yang telah lama tinggal di Lam-hwat. Maka ketika pelayan itu hendak meninggalkan mejanya
ia menahan dan bertanya,
“Lopeh (uwak), apakah lopeh sudah lama tinggal di kota ini?” Ia sengaja bertanya sambil lalu
seakan-akan untuk mengadakan percakapan biasa saja.
Pelayan tua itu memandangnya dengan bibir tersenyum. Ia menganggukan kepalanya dan
menjawab, “Tentu saja, kongcu, selama hidupku aku tinggal di kota ini, bahkan aku
dilahirkan di Lam-hwat.”
Mendengar pengakuan ini, giranglah hati Gwat Kong, akan tetapi sungguhpun ia merasa
betapa dadanya berdebar, ia berusaha agar wajahnya tetap biasa saja.
“Lopeh, marilah kau temani aku makan minum. Harap kau menambah sebuah mangkok
kosong dan sepasang sumpit lagi untukmu.”
Pelayan itu memandang heran, belum pernah ada seorang tamu minta seorang pelayan makan
bersama, dan selama puluhan tahun menjadi pelayan, baru kali ini ia mengalami pengalaman
ganjil itu.
“Maksud kongcu .... aku kau minta makan minum bersama di meja ini?” Ia menegaskan
dengan ragu-ragu.
“Ya, lopeh. Aku merasa tidak bisa makan seorang diri, kurang sedap rasanya kalau tidak ada
teman yang diajak mengobrol sambil makan minum. Marilah!”
Pelayan tua itu menengok ke kanan kiri dan di situ hanya terdapat seorang tamu lain yang
bertubuh tinggi besar dan penuh cambang bauk pada mukanya. Akan tetapi tamu ini makan di
meja lain dan agaknya sama sekali tidak memperdulikan mereka.
“Kongcu, kau seorang yang ramah sekali. Akan tetapi aku tidak boleh mengganggumu dan
kalau kau ingin mengajak bercakap-cakap sambil makan, kau makanlah seorang diri, biar aku
berdiri saja di sini menemanimu bercakap-cakap.”
“Ah, kau terlalu sungkan, lopeh,” cela Gwat Kong.
“Bukan sungkan-sungkan, kongcu, akan tetapi kalau majikanku melihat aku duduk makan
minum dengan seorang tamu, tentu ia akan marah-marah dan mungkin aku kehilangan
pekerjaanku.”
Gwat Kong mengangguk-angguk dan mengambil beberapa potong uang tembaga dari saku
bajunya lalu memberikan uang itu pada si pelayan sambil berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 44
“Kalau begitu, terimalah uang ini untuk kau pakai membeli makanan nanti.”
Pelayan tua itu girang sekali dan menerima uang itu sambil mengucapkan terima kasih.
“Lopeh, kau tentu kenal dengan seorang hartawan besar yang beberapa belas tahun yang lalu
tinggal di kota ini. Ia bernama keturunan Tan dan disebut Tan-wangwe. Tahukah kau di mana
sekarang dia tinggal?”
Pelayan tua itu mengerutkan kening mengingat-ingat. “Ya, ya. Aku kenal, siapa yang takkan
mengenalnya belasan tahun yang lalu. Dulu dia adalah seorang yang terkenal paling
berpengaruh dan paling kaya di kota ini! Kongcu, apakah kau masih terhitung keluarga Tanwangwe
itu?” tanyanya tiba-tiba sambil memandang tajam.
Gwat Kong merasa girang sekali dan oleh karena ia tidak ingin memberitahukan tentang
maksudnya mencari hartawan itu, maka tanpa memperdulikan sesuatu ia lalu mengangguk
dan menjawab, “Ya, aku adalah seorang keponakannya dan tahukah kau di mana ia sekarang
tinggal?”
Tiba-tiba pelayan itu nampak berubah air mukanya mendengar bahwa Gwat Kong adalah
keponakannya Tan-wangwe. Bahkan ia lalu mengambil keluar uang tembaga pemberian Gwat
Kong tadi dan menaruh uang itu di atas meja kembali sambil berkata, “Kongcu, aku tidak
berhak menerima uangmu ini, oleh karena aku tidak dapat melayanimu lebih lagi. Aku harus
pergi ke dapur, di sana banyak pekerjaan.” Kemudian ia lalu berlari menuju ke dapur rumah
makan itu.
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan ia menunda makanannya sambil
memandang dengan bengong.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa keras dan ketika ia memandang, ternyata yang tertawa itu
adalah orang tinggi besar bercambang bauk itu yang kini memandang kepadanya.
“Mengapa kau tertawa?” tanya Gwat Kong penasaran sambil pandang muka orang yang
usianya telah enam puluh tahun lebih itu.
“Mengapa aku tertawa? Karena melihat kau hendak mencari keterangan sambil menyuap
dengan uang, persis seperti perbuatan Tan-wangwe di waktu dahulu. Kau memang pantas
sekali menjadi keponakannya! Ha ha ha!”
Mendengar ini, timbul lagi harapan dalam hati Gwat Kong. Orang ini tentu kenal baik kepada
hartawan itu, bahkan mungkin masih ada hubungan, kalau tidak, mana ia tahu tentang
kebiasaan menyuap uang dari hartawan itu? Maka ia segera bangun berdiri dan menjura,
“Sahabat baik, aku benar-benar perlu mengetahui keadaan Tan-wangwe, maka kalau kiranya
kau tahu tentang dia mohon kau suka menerangkan kepadaku. Marilah kita minum arak untuk
menambah kegembiraan dan aku yang muda mengundangmu dengan hormat untuk makan
bersama di mejaku.”
Kembali laki-laki tinggi besar itu tertawa bergelak. “Kau hendak mencari Tan-wangwe?
Boleh, boleh dan mudah sekali. Marilah kau ikut, akan kuantarkan ke tempat Tan-wangwe!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 45
Bukan main girangnya hati Gwat Kong mendengar ini. Tak pernah disangkanya bahwa ia
akan demikian mudah mendapatkan tempat tinggal Tan-wangwe, bahkan orang kasar ini
sanggup mengantarkannya untuk berjumpa dengan musuh besarnya itu.
Segera ia membayar makanan orang itu sekalian, lalu ia mengajak orang itu keluar. Setelah
orang itu berjalan barulah Gwat Kong melihat betapa orang itu berjalan sambil menyeret kaki
kirinya yang telah cacat. Akan tetapi, biarpun berjalan dengan sebelah kaki diseret, ternyata
orang itu dapat berjalan cepat dan gerakannya gesit, tanda bahwa dia mengerti ilmu silat.
Orang itu berjalan saja tanpa banyak berkata sehingga Gwat Kong merasa tidak enak hati.
“Sahabat, siapakah namamu? Kau telah berlaku baik untuk mengantarku menemui Tanwangwe,
seharusnya kuketahui namamu.”
“Namaku A Sam, Gui A Sam,” jawab laki-laki itu singkat.
Mereka berjalan terus dan dengan heran Gwat Kong melihat betapa mereka menuju keluar
kota.
“Masih jauhkah tempat tinggal Tan-wangwe?” tanyanya.
“Dekat di depan itu!” kata A Sam sambil menunjuk ke depan.
Gwat Kong merasa heran. Yang ditunjuk oleh laki-laki pincang itu sebuah hutan yang besar.
“Apa? Di hutan itu?”
“Ya, dan jangan kau banyak bertanya. Bukankah kau ingin bertemu dengan dia?”
Gwat Kong terpaksa menutup mulutnya dan terus mengikuti orang itu menuju ke dalam
hutan. Setelah masuk ke dalam hutan itu, yang sunyi dan liar, Gwat Kong tak dapat menahan
lagi perasaan heran dan curiganya. Ia berhenti dan bertanya,
“Sahabat, jangan kau main-main! Benar-benarkah seorang kaya raya seperti Tan-wangwe itu
tinggal di tempat seperti ini?”
Tiba-tiba A Sam berhenti pula dan tertawa terbahak-bahak dengan wajah yang menyeramkan
sekali.
“Anak muda, benar-benarkah kau keponakan Tan Kia Swi atau Tan-wangwe?”
Dengan terheran-heran Gwat Kong mengangguk.
“Dan kau ingin bertemu dengan hartawan Tan itu?”
“Benar, di mana tinggalnya?”
“Mari ku antar kau bertemu dengan si keparat itu!” Sambil berkata demikian tiba-tiba Gui A
Sam melangkah maju dan secepat kilat mengirim pukulan ke arah dada Gwat Kong. Inilah
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 46
pukulan Hek-houw-to-sim atau Macan Hitam Menyambar Hati yang dilakukan dengan tenaga
keras dan kalau saja pukulan ini mengenai dada seorang biasa, maka kalau dada itu tidak
hancur pasti sedikitnya beberapa tulang iga akan patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong
mempunyai urat syaraf halus dan perasa sekali sehingga tubuhnya dapat bergerak otomatis
sehingga begitu angin pukulan menyambar, ia telah miringkan tubuhnya sehingga pukulan
tangan A Sam itu mengenai angin.
“Eh, eh, tahan dulu kawan!” serunya kaget, akan tetapi Gui A Sam berseru marah dan
mengirim serangan lagi yang lebih hebat. Kini si tinggi besar itu memukul dengan kepalan
tangannya yang sebesar paha itu ke arah kepala Gwat Kong. Pemuda itu mulai penasaran dan
juga ingin tahu sekali mengapa orang kasar ini menyerangnya dan memusuhinya tanpa sebab!
Ia mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan yang memukul itu. A Sam hendak
kembali menarik tangannya, akan tetapi tangan itu tidak dapat terlepas dari pegangan Gwat
Kong. Dengan heran dan makin marah, A Sam lalu menggunakan tangan kirinya untuk
memukul ke lambung Gwat Kong. Pemuda itu cepat mendahuluinya dan menotok pundak kiri
sehingga tangan kirinya yang hendak memukul itu tiba-tiba menjadi lumpuh!
Akan tetapi ketika Gwat Kong melepaskan tangan kanan yang tadi dipegangnya, A Sam
dengan nekad lalu menggunakan tangan yang masih dapat bergerak ini untuk menyerang lagi!
Terpaksa Gwat Kong mempergunakan kecepatannya dan menotok pundak kanan lawannya
sehingga kini Gui A Sam berdiri dengan dua lengan tergantung tak berdaya sama sekali.
Akan tetapi ternyata keberanian orang ini hebat sekali. Dengan kedua mata melotot ia
memandang pemuda itu dan berkata, “Telah dua kali aku dikalahkan oleh orang-orang
pembela anjing setan itu, maka kalau kau mau bunuh boleh bunuh! Aku takkan malu
menghadapi Bun-tihu, karena aku telah menunaikan tugasku dengan baik dan sebagai seorang
gagah!”
Hampir saja Gwat Kong menjerit ketika ia mendengar ini. Wajahnya menjadi pucat dan ia
memandang orang itu dengan mata terbelalak.
“Apa katamu? Kau kenal kepada Bun-tihu? Siapakah kau sebenarnya?”
Sambil mengangkat dadanya, A Sam menjawab, “Aku tidak takut mengaku terus terang,
karena aku tidak takut mati! Ketahuilah, hai anak muda keponakan anjing rendah Tanwangwe,
aku adalah perwira kepala penjaga dari Bun-tihu yang adil dan jujur. Pamanmu yang
jahat itu telah berhasil menghancurkan keluarga Bun bahkan akupun telah menderita cacat,
akan tetapi, nama keluargamu akan busuk selama-lamanya dan akan dikutuk oleh setiap
orang!”
Bukan main girang hatinya ketika mendengar ini. Gwat Kong lalu menghampiri dan berkata,
“Sahabat baik, kau lupa tadi dan belum bertanya namaku.”
“Aku tak perlu mengetahui nama segala anjing keluarga Tan-wangwe!”
“Juga tidak perduli kalau aku memberi tahu padamu bahwa namaku sama sekali bukan Tan,
akan tetapi aku sebenarnya bernama Bun Gwat Kong?” Sambil berkata demikian secepat kilat
kedua tangan Gwat Kong bergerak ke arah pundak A Sam dan totoknya telah dibebaskan dari
tubuh orang kasar itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 47
Sementara itu, Gui A Sam memandang kepada Gwat Kong dengan wajah pucat dan bengong,
seakan-akan ia melihat setan pada siang hari.
“Bun Gwat Kong ...?? Akan tetapi ... bukankah kau tadi mencari Tan-wangwe dan hendak
bertemu dengannya ....?”
Gwat Kong tersenyum dan mengangguk. “Aku memang mencarinya dan hendak bertemu
dengannya untuk membuat perhitungan dan membalas dendam orang tuaku.”
Tiba-tiba Gui A Sam mengeluarkan keluhan seperti orang menangis dan ia menjatuhkan
dirinya dan berlutut di depan Gwat Kong. “Bun-kongcu ... ah. Kau masih kecil sekali ketika
peristiwa itu terjadi ... bagaimana dengan ... Bun-hujin, ibumu?”
Gwat Kong dengan hati terharu mengangkat bangun laki-laki tinggi besar itu dan berkata,
“Ibu telah meninggal dunia kurang lebih lima tahun yang lalu. Gui-pepeh, di manakah
sebenarnya tempat tinggal si keparat she Tan itu?”
“Duduklah kongcu, marilah kita duduk. Kepalaku masih pening karena kenyataan yang tibatiba
ini, dan ilmu silatmu yang hebat itu benar-benar membuat aku tak mengerti. Bagaimana
kau dalam sejurus saja dapat mengalahkan aku! Hebat sekali! Ah, alangkah girangnya hati
Bun-taijin kalau dapat melihatmu, putera tunggalnya yang kini menjadi seorang gagah ini.
Dan ingin sekali melihat muka si keparat she Tan itu kalau ia masih dapat merasakan
kehebatan pembalasanmu!”
“Apa? Dia sudah tidak ada lagi?” tanya Gwat Kong dengan kaget dan kecewa.
Gui A Sam menarik napas panjang lalu menuturkan bahwa semenjak dapat memfitnah
keluarga Bun sehingga keluarga itu menjadi hancur berantakan, hartawan Tan menjadi buruk
sekali namanya. Biarpun ia hartawan besar dan berpengaruh, akan tetapi oleh karena seluruh
penduduk Lam-hwat yang amat mencintai Bun-tihu, sekarang membencinya dan bahkan
beberapa orang berusaha membunuhnya, akhirnya Tan-wangwe tidak betah tinggal di kota itu
lalu pindah ke Kang-lam. Gui A Sam sendiri yang tadinya bekerja sebagai kepala pengawal
dari Bun-tihu, mencoba untuk membalas dendam, akan tetapi bukan berhasil baik, bahkan ia
mendapat luka hebat pada kakinya sehingga ia menjadi pincang.
Ternyata beberapa tahun kemudian setelah pindah ke Kang-lam, Tan-wangwe yang bernama
Tan Kia Swi itu meninggal dunia karena sakit dan isterinya pun meninggal dunia tak lama
kemudian.
Pada waktu itu di Kang-lam menjalar penyakit menular yang hebat dan agaknya hartawan
yang jahat itu telah terlampau banyak menumpuk dosa hingga biarpun ia dilindungi oleh para
pengawal yang berkepandaian tinggi dan memiliki banyak sekali harta benda yang dapat
melindunginya pula dari musuh-musuhnya, karena dengan jalan menyuap para pembesar ia
mendapat pengaruh dan kekuasaan besar, namun akhirnya Thian yang membalas dan
menghukumnya.
Gwat Kong menarik napas panjang, “Kalau begitu, sia-sialah saja cita-citaku untuk membalas
dendam.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 48
“Tidak, kongcu, masih ada yang harus dibalas!” kata Gui A Sam dengan suara keras
menyatakan kegemasan hatinya. “Hartawan Tan itu mempunyai seorang turunan, seorang
anak perempuan, dan dia ini harus dibinasakan sebagai pengganti ayahnya!”
Bun Gwat Kong memandang A Sam dengan mata heran dan tidak setuju. “Ayahnya yang
berbuat salah, mengapa harus mengganggu anaknya yang tidak berdosa?”
“Kau keliru, Bun-kongcu! Ketika hartawan Tan itu mencelakakan ayahmu, maka yang
menderita bukan hanya ayahmu, bahkan banyak sekali para pelayan dan pekerja ayahmu ikut
pula menderita. Oleh karena setelah ayahmu diganti oleh seorang tihu lain yang curang dan
suka makan uang sogokan, maka keadilan boleh dibilang tidak ada arti di Lam-hwat. Siapa
beruang dia menang dalam segala perkara. Maka sudah sepatutnya kalau keparat she Tan itu
pun dibinasakan seluruh keturunan dan keluarganya agar habislah riwayatnya yang busuk.
Orang sejahat dia tentu mempunyai anak yang jahat pula!”
Gwat Kong tersenyum dan berkata, “Aku belum yakin benar tentang kebenaran pendapatmu
ini, Gui-pehpeh.”
“Apa? Belum yakin? Akan tetapi sudah ada buktinya, kongcu! Ketahuilah, anak tunggal
hartawan Tan itu biarpun seorang wanita akan tetapi telah menjadi iblis wanita yang amat
lihai dan jahat! Entah beberapa banyak orang-orang gagah yang menjadi korbannya. Gadis itu
kabarnya ganas dan kejam sekali, juga amat sombongnya sehingga tiap kali mendengar
adanya seorang gagah di daerah Kang-lam, ia tentu akan mendatangi dan merobohkannya
dalam pibu. Karenanya maka ia diberi nama poyokan Dewi Tangan Maut, karena banyak
sudah orang-orang kangouw terbunuh olehnya.”
Tertarik hati Gwat Kong mendengar ini, bukan untuk melimpahkan dendamnya kepada gadis
itu, akan tetapi ingin bertemu dan mencoba kegagahan gadis yang amat disohorkan oleh Gui
A Sam ini.
“Kalau saja kakiku tidak bercacat seperti ini ... ah, tentu akan kucari siluman wanita itu untuk
mengadu jiwa, biarpun aku pasti akan kalah menghadapinya,” kata A Sam sambil menarik
napas panjang dan memandang kakinya.
“Apakah dia selihai itu, sehingga kau takkan dapat menang terhadapnya?” tanya Gwat Kong.
“Dia memang lihai sekali. Tiga orang kawanku yang telah membuat nama besar, masih tak
kuat menghadapinya dan biarpun mereka mengeroyoknya, akan tetapi akhirnya ketiga orang
kawanku itu tewas di ujung pedangnya. Padahal tiga orang itu apabila dibandingkan dengan
kepandaianku mereka jauh lebih lihai.”
Diam-diam Gwat Kong tercengang mendengar ini dan ia pun merasa agak penasaran
mendengar betapa gadis itu demikian ganas dan kejam sehingga membunuh orang sedemikian
mudahnya.
“Biar aku akan mencarinya,” katanya kepada diri sendiri akan tetapi oleh karena ucapan ini
dikeluarkan dengan keras, maka Gui A Sam menjadi gembira sekali dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 49
“Kalau kau yang menghadapinya, pasti ia akan mampus, kongcu! Dan dengan membinasakan
iblis wanita itu, bukan saja kau berarti telah berbakti kepada mendiang ayahmu, tetapi juga
berarti melenyapkan seorang iblis, pengganggu rakyat jelata.”
Kemudian, Gwat Kong dipaksa-paksa oleh A Sam untuk bersama-sama makan minum dan
karena A Sam kini telah menjadi seorang pedagang, sehingga ia mempunyai uang cukup,
maka ia menjamu Gwat Kong dengan meriah. Dalam kesempatan ini, kembali Gwat Kong
minum arak sepuas-puasnya sehingga A Sam menjadi terheran-heran melihat betapa kuatnya
pemuda itu minum arak tanpa menjadi mabok sedikitpun.
“Kau betul-betul patut disebut Ciu hiap (Pendekar Arak), Bun-kongcu!” katanya dengan
memandang kagum.
Gwat Kong yang merasa gembira mengangguk-anggukan kepala dan berkata, “Sebuah
sebutan yang tidak buruk!”
Setelah menghaturkan terima kasih atas sebutan yang amat menggembirakan dari bekas
petugas ayahnya itu, Gwat Kong lalu berpamit untuk melanjutkan perjalanannya, kini ia
langsung menuju ke Kang-lam yang memerlukan perjalanan sedikitnya setengah bulan. Gui A
Sam berpesan agar supaya pemuda itu suka memberi kabar apabila ia telah berhasil
menewaskan Dewi Tangan Maut!
****
Kita ikuti perjalanan Liok Tin Eng, dara jelita yang keras hati dan yang telah menggegerkan
keadaan gedung Liok-taijin karena diam-diam ia telah minggat dari kamarnya pada malam
harinya itu.
Sebelum mengambil tindakan nekad itu, Tin Eng, sepeninggal ayahnya yang mengeluarkan
ancaman dan memaksanya untuk menerima pinangan Gan Bu Gi, menangis sedih di dalam
kamarnya seorang diri. Ia teringat segala kelakuannya terhadap Gwat Kong dan timbullah
perasaan menyesalnya yang amat besar. Memang, kalau ia teringat pula akan segala kata-kata
pemuda pelayan itu, ia masih terasa mendongkol dan marah, akan tetapi ia harus tahu bahwa
segala ucapan itu dikeluarkan oleh Gwat Kong dalam keadaan mabok! Buktinya, kemudian
pemuda itu minta maaf dan merasa demikian menyesal sehingga tidak penasaran kalau
dibunuh. Gwat Kong bahkan minta agar supaya ia membunuhnya untuk menebus dosa. Ah,
kasihan sekali pemuda itu. Tak pernah diduganya bahwa pemuda pelayan yang jujur, rajin dan
setia itu diam-diam menaruh hati cinta kasih kepadanya!
Tin Eng menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya. Alangkah malang nasibnya!
Dipaksa menerima pinangan seorang pemuda yang sungguhpun tampan dan gagah, akan
tetapi entah mengapa, dalam perasaan hatinya tak tertarik kepada Gan Bu Gi itu, terdapat
sesuatu yang membuat ia ragu-ragu. Ada sesuatu pada diri pemuda itu yang menimbulkan
ketidak percayaannya dan yang membuatnya yakin bahwa ia takkan dapat hidup bahagia
sebagai isteri Gan Bu Gi.
Adapun tentang Gwat Kong, memang pemuda pelayan itu seorang yang jujur dan baik. Akan
tetapi mencintai padanya? Gila benar! Seorang pelayan mencintai puteri Kepala daerah yang
kaya raya dan berpengaruh, lagi pula Gwat Kong hanyalah seorang pelayan yang bodoh, tak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 50
mengerti ilmu silat dan buta huruf pula. Mengingat akan hal ini merahlah muka Tin Eng
karena marah dan malu!
Ia menjadi serba salah. Ia tidak mau dipaksa kawin dengan Gan Bu Gi atau dengan siapapun
juga. Ia belum bersedia mengikat diri dengan perkawinan. Akan tetapi, untuk membantah
ayahnya pun sukar, karena ia maklum akan kekerasan hati orang tua. Kedua hal inilah yang
membuatnya mengambil keputusan untuk merantau dan meluaskan pengalaman, untuk
mengumpulkan pakaiannya yang terbaik dan semua perhiasannya untuk bekal di dalam
perjalanan. Kemudian setelah membungkus semua itu menjadi sebuah buntalan besar yang
ditalikan pada punggungnya. Ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk keluar dari jendela
kamarnya, melompat naik ke atas genteng, lalu berlari pergi dengan cepat! Beberapa kali ia
menengok ke arah gedung di mana ayah dan ibunya tinggal, akan tetapi ia dapat mengeraskan
hatinya dan terus lari pergi keluar kota dan menuju ke selatan. Ia tidak lupa untuk membawa
kitab pelajaran ilmu pedang Garuda Sakti yang dimasukkan pula kedalam buntalannya.
Pedang ia gantung pada pinggang dan sekantong piauw (senjata rahasia yang disambitkan)
tergantung pula di dekat pedang.
Biarpun sudah tak bundar lagi, namun bulan masih muncul malam itu sehingga Tin Eng dapat
melanjutkan perjalanannya. Ketika berlari di dalam cahaya bulan seorang diri, di atas jalan
yang sunyi itu, ia merasa gembira seperti seekor burung yang terlepas terbang bebas di udara.
Akan tetapi menjelang tengah malam, ketika ia tiba di pinggir sebuah hutan yang sunyi dan
hawa malam yang dingin menyerang tubuhnya, ia mulai merasa tak enak dan takut.
Sebagai puteri seorang bangsawan, belum pernah ia melakukan perjalanan malam seorang diri
dan perasaan takut dan menyesal mulai menyerang hatinya. Ia tidak takut segala maling atau
perampok, akan tetapi melihat bayang-bayangan pohon dan tetumbuhan yang menghitam dan
nampak menyeramkan bagaikan setan-setan di bawah sinar bulan itu, ia benar-benar menjadi
takut dan meremanglah bulu tengkuknya. Hawa dingin mengingatkan ia kepada kamarnya
yang hangat dan enak. Biasanya pada saat seperti itu ia sudah meringkuk di bawah lindungan
selimutnya yang tebal dan halus.
07. Dewi Tangan Maut
TERINGAT akan hal ini, ia segera berhenti di bawah sebatang pohon besar dan membuka
buntalannya untuk mengeluarkan baju tebalnya yang segera dipakai untuk menahan dingin. Ia
menunda perjalanannya dan duduk di bawah pohon menanti datangnya fajar. Akhirnya karena
berduka dan lelah, ia tertidur juga di bawah pohon itu sampai pagi.
Beberapa hari kemudian, ia menjadi biasa dengan segala penderitaan ini dan dapat
melanjutkan perjalanan dengan hati ringan. Ia tidak mau lagi bermalam di udara terbuka dan
selalu menunda perjalanannya dalam sebuah kota atau kampung di waktu malam dan
bermalam dalam sebuah kamar di rumah penginapan.
Ia mendengar tentang keindahan kota Ki-ciu yang telah dikagumi semenjak lama dari bukubuku
atau penuturan orang-orang ketika ia masih tinggal di gedung ayahnya, maka ia ingin
mengunjungi tempat itu. Ia mendengar keterangan pelayan hotel bahwa untuk menuju ke Kiciu
lebih baik mengambil jalan air, yakni berlayar sepanjang sungai Liang-ho yang selain
cepat, juga mempunyai pemandangan yang indah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 51
“Memang masih ada bajak air yang suka mengganggu,” kata pelayan tua itu sambil
memandang ke arah pedang yang tergantung di pinggang Tin Eng. “Akan tetapi, kurasa nona
adalah seorang gagah yang tidak takut akan segala bajak pula. Kalau dibandingkan lebih
banyak perampok yang mengganggu jalan darat dari pada bajak yang mengganggu jalan air.”
“Terima kasih, lopeh,” jawab Tin Eng. “Keteranganmu ini penting sekali dan aku akan
menurut nasehatmu. Akan tetapi, di manakah adanya sungai Liang-ho itu dan apakah aku bisa
mendapat perahu untuk dipakai menyeberang?”
“Dari kota ini, nona pergilah ke barat kurang lebih dua puluh mil jauhnya, nona akan tiba di
sebuah dusun kecil di pinggir sungai Liang-ho dan di situ nona akan mendapatkan banyak
sekali perahu para nelayan yang dapat disewa. Akan tetapi, lebih baik nona memilih perahu
yang berlayar putih dan jangan menyewa perahu berlayar hitam.”
“Mengapakah, lopeh?”
“Aku mendengar bahwa kini ada perkumpulan Layar Hitam yang melakukan banyak
pemerasan dan perbuatan jahat.”
Setelah mengucapkan banyak terima kasih dan memberi persen kepada pelayan rumah
penginapan itu, Tin Eng lalu melanjutkan perjalanannya menuju ke barat sebagaimana yang
ditunjukkan oleh kakek pelayan itu. Benar saja, setelah berlari cepat sejauh kurang lebih dua
puluh li, ia tiba di sebuah dusun yang cukup ramai di dekat sungai yang lebar. Rumah-rumah
para nelayan memenuhi dusun-dusun itu dan hampir di setiap rumah tentu terlihat jala yang
dijemur atau sedang dijahit dan dibetulkan oleh pemiliknya.
Di pinggir sungai terdapat banyak sekali perahu besar kecil. Benar saja sebagaimana
perkiraan pelayan hotel tadi, nampak dua macam layar pada perahu-perahu itu, baik layar
yang masih digulung maupun yang sudah dibuka itu. Ada yang berwarna hitam seluruhnya
dan ada pula yang berwarna putih. Layar-layar itu sudah penuh tambalan, lebih-lebih yang
putih. Beberapa orang nelayan bekerja di perahu masing-masing, ada yang menambal layar,
ada yang membetulkan papan perahu, ada pula yang menambal dasar perahu yang bocor.
Tin Eng menghampiri dua orang yang sedang menambal layar putih di pinggir sungai. Kedua
orang itu melihat seorang nona muda menghampiri, segera menunda pekerjaan mereka dan
bertanya,
“Apakah nona hendak menyewa perahu?”
“Ya, aku ingin pergi ke Ki-ciu, apakah kalian dapat mengantarkan aku ke sana dengan
perahumu dan berapakah sewanya?”
Kedua orang itu saling pandang dan yang memakai topi nelayan lebar lalu berkata, “Biasanya
kalau hanya menyeberang saja sih tidak mahal, nona, akan tetapi ke Ki-ciu ...” ia berhenti
sebentar mengingat-ingat. “Dulu pernah ada orang pergi ke sana dan membayar lima tail
perak.”
Tiba-tiba datang seorang tinggi besar ke tempat mereka dan orang ini sambil cengar cengir
lalu bertanya kepada Tin Eng, “Apakah nona hendak menyewa perahu? Kemanakah?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 52
Tin Eng memandang tak senang kepada orang itu dan berkata, “Aku tidak ada urusan dengan
kamu!”
Kemudian tanpa memperdulikan orang itu, Tin Eng berkata kepada kedua nelayan yang
diajaknya bicara tadi. “Begini saja lopeh, aku minta kau mengantar aku ke Ki-ciu dan untuk
itu akan kubayar sewanya secukupnya, akupun berani membayar sedemikian.”
“Lima tail perak?” kata orang tinggi besar itu menyela. “Murah amat! Sedikitnya harus lima
belas tail perak!” Sambil berkata demikian orang itu menolak pinggang dan memandang
kepada kedua orang nelayan itu dengan mata mengancam.
Tin Eng tanpa memperdulikan orang itu lalu berkata kepada dua orang nelayan tadi,
“Bagaimana? Berapakah kalian minta?”
Dengan suara berat dan menundukkan kepalanya, nelayan yang lebih tua itu menjawab,
“Sedikitnya lima belas tail perak, nona.”
Tin Eng tercengang dan ia mulai mengerling ke arah orang tinggi besar itu dengan penuh
perhatian. Ternyata orang itu berwajah kejam dan usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
matanya lebar dan bertopi nelayan pula, Melihat gerak geriknya, ia tentu seorang yang
bertenaga kuat dan mengerti ilmu silat pula. Tin Eng menduga-duga siapakah adanya orang
ini, akan tetapi ia tidak mau mencari pertengkaran maka ia lalu menjawab nelayan tua itu,
“Baiklah, lopeh aku mau membayar lima belas tail perak.”
Kedua nelayan itu memandang kepada Tin Eng dengan mata mengandung rasa kasihan, akan
tetapi tiba-tiba nelayan tinggi besar yang berdiri di belakang Tin Eng itu berkata lagi,
“Harus dibayar di muka sepuluh tail dulu, baru bisa berangkat!”
Kini Tin Eng tak dapat menahan kemarahannya lagi. Ia cepat memutar tubuh menghadapi
orang tinggi besar itu sambil membentak,
“Bangsat kasar, tutup mulutmu yang busuk!”
Nelayan tinggi besar itu memandang dengan senyum menyeringai, seakan-akan memandang
rendah kepada Tin Eng, lalu berkata, “Aduh, jangan galak-galak, nona. Paling baik kau lekas
keluarkan uang muka sepuluh tail perak, kalau tidak jangan harap kau bisa menyewa perahu
di sini!”
“Orang liar! Aku tidak berurusan dengan kau dan tidak sudi menyewa perahumu! Mengapa
kau harus mencampuri urusanku. Pergilah!” Sambil berkata demikian, Tin Eng gunakan
tangan kirinya untuk mendorong orang itu, akan tetapi sambil tertawa cengar cengir orang itu
berkata,
“Ah, agaknya kau mau mengenal kelihaianku!” Lalu cepat ia mengulur tangan hendak
menangkap lengan Tin Eng yang mendorongnya itu. Akan tetapi, Tin Eng tentu saja tidak
mau ditangkap lengannya begitu saja. Ia lalu menarik kembali tangannya dan mengirim
tendangan ke arah lambung nelayan kasar itu. Tendangannya tepat mengenai lambung
nelayan itu, akan tetapi biarpun nelayan itu terguling-guling sampai beberapa kali, ia tidak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 53
menjadi kapok, bahkan dengan amat marahnya ia lalu melompat bangun dan mencabut
goloknya.
“Bangsat perempuan, kau mau mampus?” bentaknya sambil menyerang, akan tetapi dengan
cepat sekali Tin Eng telah mencabut pedangnya dan sekali saja pedangnya berkelebat dalam
gerakan yang aneh, nelayan kasar itu menjerit ngeri, goloknya terlempar dan lengan
tangannya berlumuran darah.
“Bajingan kasar, kalau aku mau, lehermu telah putus!” kata Tin Eng dan nelayan itu tanpa
berani berkata apa-apa lagi lalu berlari pergi.
“Siapakah dia?” tanya Tin Eng.
Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Kau mencari penyakit, nona. Dia adalah seorang
anggauta Layar Hitam yang telah lama merajalela di sini, dan kami perkumpulan Layar Putih
selalu diperasnya. Kami harus menyerahkan setengah bagian dari pada hasil yang kami
peroleh kepada mereka, karena itulah maka mereka yang menetapkan tarif sewa perahu.”
“Bangsat benar! Jangan kuatir, aku akan membasmi mereka!” kata Tin Eng dengan marah
sekali.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar bentakan keras yang nyaring dari atas sebuah perahu
besar, dan ketika Tin Eng dan kedua orang nelayan itu menengok, ternyata di atas perahu
besar yang berlayar putih dan masih tergulung, berdiri seorang perempuan muda dengan sikap
gagah. Perempuan itu usianya sebaya dengan Tin Eng, tubuhnya tegap langsing dan
rambutnya dikuncir panjang, akan tetapi yang pada saat itu diselipkan di dalam punggungnya.
Kepalanya memakai sebuah kopiah bulu yang halus, pakaiannya dari sutera mahal. Ia berdiri
dengan gagah dan berteriak nyaring,
“Hek-liong-ong (Raja Naga Hitam) ! Keluarlah untuk terima binasa!”
Teriakan ini ia keluarkan berulang-ulang. Beberapa nelayan yang bertopi seperti nelayan
tinggi besar yang dikalahkan oleh Tin Eng tadi melompat naik sambil memaki. Akan tetapi
beberapa kali saja dua kaki gadis gagah itu bergerak, empat orang nelayan yang mencoba
untuk menyerbunya itu kena ditendang dan tercebur ke dalam air.
“Ha ha!” Gadis itu tertawa keras. “Kalian ini anjing-anjing rendah, mengapa tak tahu diri dan
berani mendekati Dewi Tangan Maut? Suruh Hek-liong-ong si anjing tua itu keluar. Aku
tidak sudi berurusan dengan anjing-anjing kentut sekalian!”
Tin Eng memandang kagum dan ia bertanya kepada nelayan tua yang berdiri dengan wajah
pucat. “Lopeh, siapakah Hek-liong-ong yang ia tantang itu?”
“Hek-liong-ong adalah ketua dari perkumpulan Layar Hitam! Kalau nona itu betul-betul Dewi
Tangan Maut, akan hebatlah pertempuran nanti!”
“Siapakah Dewi Tangan Maut?” tanya pula Tin Eng dengan hati amat tertarik.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 54
Nelayan tua itu memandang kepada Tin Eng dengan mata heran karena ada orang yang belum
mendengar nama ini. “Dia adalah seorang pendekar wanita yang ditakuti orang karena gagah
berani dan ganas!”
Tin Eng merasa suka kepada nona pendekar itu, maka ia lalu berjalan lebih dekat untuk
melihat apa yang akan terjadi. Tak lama kemudian, dari dusun itu keluarlah seorang laki-laki
berbaju putih bercelana hitam dan yang memakai topi seperti para anggauta Layar Hitam itu.
Tindakan kakinya tetap dan kuat, menandakan bahwa ilmu silatnya tinggi. Mukanya hitam
dan rambutnya sudah banyak yang putih, akan tetapi mukanya amat kejam dan sepasang
matanya mengeluarkan cahaya liar.
Ia diikuti oleh belasan orang anggauta Layar Hitam. Dengan langkah lebar ia lalu
menghampiri perahu di mana Dewi Tangan Maut itu masih berdiri, dan ketika nona itu
melihat kedatangan Hek-liong-ong, ia tertawa dan sambil tersenyum manis ia berkata,
“Hek-liong-ong! Aku telah datang untuk menghancurkan kau yang penuh kejahatan itu!”
Marahlah Hek-liong-ong mendengar hinaan ini. Dengan gerakan ringan sekali ia melompat ke
atas perahu besar, sedangkan dua orang kawannya pun melompat ke atas perahu kecil yang
berada di dekat perahu besar itu, siap untuk membantu Hek-liong-ong. Kedua orang ini adalah
dua orang wakil kepala Layar Hitam yang berkepandaian tinggi pula, seorang setengah tua
yang menjadi sute (adik seperguruan) Hek-liong-ong dan seorang pula masih muda dan
berkopiah putih yang juga memiliki ilmu silat tinggi.
Sementara itu, belasan orang anak buah perkumpulan Layar Hitam berdiri di tepi sungai
sambil bertolak pinggang. Agaknya hendak menghadang kalau Dewi Tangan Maut akan
melarikan diri ke atas darat! Sikap mereka mengancam dan bengis sekali.
Setelah berada di atas perahu besar dan berdiri menghadapi Dewi Tangan Maut yang
memandangnya dengan mengejek dan bertolak pinggang, Hek-liong-ong menunjuk dengan
tangan kirinya dan berkata keras,
“Dewi Tangan Maut! Kau mau merajalela di darat mengapa berlancang tangan dan
mengotorkan keadaan di sungai? Apa kau kira aku Hek-liong-ong takut kepadamu?”
“Hek-liong-ong,” jawab dara pendekar itu sambil tersenyum tenang. “Tak perlu dipersoalkan
darat atau sungai, tak perlu dipersoalkan pula tentang kau takut kepadaku atau pun tidak!
Akan tetapi yang penting ialah bahwa kau telah berlaku terlampau kejam dan berbuat
sewenang-wenang! Kau telah menyiksa seorang nelayan, menyeretnya di atas tanah dengan
berkuda sehingga orang itu hampir mati tersiksa sedangkan kemarin kau telah menyiksa pula
seorang nelayan yang kau ikat kaki tangannya dan kau tenggelamkan berkali-kali ke dalam air
sehingga ia mati! Perbuatan ini lebih kejam dari pada perbuatan binatang liar, dan setelah aku
Dewi Tangan Maut mendengar tentang hal ini, apa kau kira aku bisa mendiamkan saja
kekejaman ini merajalela, biar di atas sungai sekalipun?”
“Dewi Tangan Maut! Kau tak perlu mencampuri urusanku! Hal yang terjadi itu adalah urusan
dalam perkumpulanku sendiri dan tak seorangpun boleh mencampurinya! Aku menghukum
nelayan-nelayan yang berdosa, apakah sangkut pautnya dengan kau?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 55
Kembali nona pendekar itu tertawa menghina. “Kalau kau menghukum orang-orangmu
sendiri yang kesemuanya terdiri dari bajak-bajak dan penjahat-penjahat, aku takkan perduli
sama sekali! Akan tetapi justru yang kau siksa itu adalah nelayan-nelayan biasa, orang baikbaik
yang tidak mau menurut perintahmu!”
Makin marahlah Hek-liong-ong. Ia mencabut keluar senjatanya, yakni sepasang dayung dan
membentak, “Perempuan sombong! Habis kau mau apa?”
“Bagus, bagus sudah kuduga bahwa anjing tua yang mau mampus tentu akan menyalaknyalak
dulu!” jawab nona itu sambil mencabut pedangnya.
Hek-liong-ong menyerbu dengan sepasang dayungnya yang hebat itu, akan tetapi lawannya
mengelak dengan mudah dan mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya.
Pertempuran hebat itu ditambah pula dengan majunya dua orang wakil ketua Layar Hitam
sehingga menjadi makin seru. Gadis yang diberi julukan Dewi Tangan Maut itu benar-benar
gagah perkasa, karena biarpun dikeroyok oleh Hek-liong-ong yang mainkan sepasang dayung
secara hebat dan oleh dua orang yang mainkan golok secara buas pula.
Namun ia dapat melayani mereka dengan baik bahkan melancarkan serangan-serangan
pembalasan yang benar-benar merupakan tangan maut karena sekali saja serangan pedangnya
mengenai sasaran, pasti lawannya yang terkena akan tewas di saat itu juga. Tin Eng merasa
kagum dan juga bergidik, karena ternyata bahwa ilmu pedang gadis itu benar-benar ganas
sekali.
Sementara itu, belasan orang yang menjadi anak buah Layar Hitam itu kini telah bertambah
jumlahnya dan menjadi kurang lebih tiga puluh orang. Sikap mereka mengancam sekali dan
ketika mereka melihat betapa ketiga orang ketua mereka tak dapat menangkan Dewi Tangan
Maut, mereka mulai berteriak-teriak hendak maju mengeroyok.
Tiba-tiba terdengar seorang di antara mereka berseru, “Tenggelamkan perahunya! Biarkan ia
tenggelam dalam air, tentu tidak berdaya!”
Tin Eng merasa terkejut mendengar maksud keji ini dan ia telah melihat betapa belasan orang
mulai menyeburkan diri ke dalam air untuk menggulingkan perahu di mana ketiga pemimpin
Layar Hitam itu sedang mengeroyok Dewi Tangan Maut.
“Cici, kau lompatlah segera ke darat! Mereka hendak menggulingkan perahu!” Tin Eng
berteriak keras sambil melompat mendekati pantai dan ketika tiga orang anggauta Layar
Hitam dengan marah menyerangnya, ia merobohkan mereka dengan sekali dorong.
Dewi Tangan Maut merasa marah sekali mendengar tentang maksud curang ini. Pedangnya
bergerak cepat dan terdengar jerit kesakitan dan darah tersembur keluar dari dada seorang di
antara ke tiga pengeroyoknya, yakni sute dari Hek-liong-ong. Korban ini roboh dengan dada
tertembus pedang dan tewas pada saat itu juga. Hal ini membuat Hek-liong-ong dan seorang
kawannya menjadi jerih.
Pada saat itu perahu sudah mulai bergoyang-goyang dan Dewi Tangan Maut segera melompat
ke darat, diikuti oleh Hek-liong-ong dan anak buahnya yang mengejar. Maka terjadilah
pertempuran di darat yang lebih hebat dari pada pertempuran di atas perahu tadi. Dewi
Tangan Maut dikeroyok oleh puluhan orang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 56
Akan tetapi sambil putar-putar pedangnya, nona pendekar itu masih sempat memandang
kepada Tin Eng dan tersenyum manis sambil berkata, “Adik yang baik, terima kasih.”
Melihat betapa nona pendekar itu dikeroyok oleh demikian banyak orang yang semuanya
memegang senjata, Tin Eng menjadi tak tega dan sambil mencabut pedangnya, ia menyerbu
dan membentak,
“Kawanan tikus tak tahu malu! Jangan mengandalkan keroyokan menghina orang!”
Hebat sekali permainan pedang Tin Eng ini. Setiap kali pedangnya berkelebat, tentu senjata
seorang lawan kena dibikin terlepas dan tangan yang memegang terluka. Terdengar jerit dan
pekik karena sakit dan terkejut, bahkan Dewi Tangan Maut itu sendiri merasa kagum dan
terkejut melihat kehebatan sepak terjang Tin Eng. Akan tetapi, Tin Eng tidak seganas dia
sehingga lawan-lawan yang kena dirobohkan oleh Tin Eng tidak ada yang menderita luka
berat, sungguhpun mereka itu tak dapat maju mengeroyok pula.
Sedangkan Dewi Tangan Maut ketika melihat kehebatan Tin Eng, tidak mau kalah. Ia berseru
nyaring dan ketika pedangnya berkelebat cepat beberapa kali, robohlah tiga orang anak buah
Layar Hitam dengan dada tertembus pedang atau leher terbacok sehingga mereka tewas pada
saat itu juga.
Melihat ini Tin Eng mendapat pikiran untuk merobohkan kepala penjahat dulu, karena kalau
dilanjutkan semua anak buah Layar Hitam ini bisa mati semua dalam tangan Dewi Tangan
Maut yang ganas. Ia melompat dan cepat mengirim serangan kepada Hek-liong-ong yang
menjadi terkejut karena menghadapi serangan Dewi Tangan Maut sendiri saja ia sudah
merasa sibuk, apalagi kini ditambah oleh seorang lawan lain yang tidak kalah lihainya.
Di dalam kegugupannya, tangan kanannya tersabet oleh pedang Tin Eng sehingga sambil
menjerit, ia melepaskan dayungnya dan segera teriakannya itu disambung dengan pekik hebat
karena Dewi Tangan Maut telah menggerakkan pedangnya menabas batang lehernya. Pemuda
yang menjadi pembantunya itu melihat kejadian ini menjadi terkejut dan kesima, sehingga
sebelum ia tahu apa yang terjadi, kembali pedang Dewi Tangan Maut menyambar dan
menusuk dadanya sehingga iapun rebah mandi darah dan tewas.
Tin Eng merasa ngeri sekali dan segera ia menahan pedangnya. Akan tetapi dengan wajah
gembira, Dewi Tangan Maut mengamuk terus sehingga beberapa orang anak buah Layar
Hitam kembali menjadi korban pedangnya.
“Cici, tahan dan ampuni mereka!” kata Tin Eng sambil melompat dan menahan amukan
pendekar wanita yang ganas itu. Kemudian Tin Eng berseru kepada semua anggauta Layar
Hitam, “Lemparkan senjata dan berlututlah untuk menyerah!”
Memang semua anggauta gerombolan itu telah menjadi ketakutan dan ngeri melihat
kehebatan kedua pendekar wanita itu, maka mendengar bentakan ini mereka lalu melempar
pedang masing-masing dan berlutut minta ampun.
Dewi Tangan Maut tertawa bergelak dan sambil menggerak-gerakkan pedangnya
mengancam, ia berkata, “Untung bahwa hari ini ada bidadari penolong yang mintakan ampun
untuk jiwa anjing kalian, kalau tidak, jangan harap ada seorang pun penjahat yang dapat lolos
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 57
dari ujung pedangku! Mulai sekarang, jangan kalian berani-berani lagi mengganas. Uruslah
semua mayat ini baik-baik dan harap kalian dapat bekerja sama dengan para nelayan lain.
Kalau lain kali aku mendengar lagi akan kejahatan kalian, aku takkan mau memberi ampun
lagi, biarpun kalian berlutut seribu kali!”
Para anggauta Layar Hitam itu lalu mengangkat semua mayat dan mengurusnya baik-baik,
dibantu oleh nelayan-nelayan biasa dan anggauta-anggauta Layar Putih yang diam-diam
merasa girang sekali karena kejahatan yang selalu menekan dan mengganggu mereka itu
akhirnya dapat terbasmi sekali gus. Dewi Tangan Maut menghampiri Tin Eng dan sambil
tersenyum bertanya,
“Adik yang gagah perkasa, siapakah kau? Ilmu pedangmu sungguh-sungguh mengagumkan
hatiku!”
“Kepandaianku biasa saja, mana dapat dibandingkan dengan cici yang benar-benar
merupakan Dewi Penyebar Maut? Aku bernama Liok Tin Eng, tidak tahu cici ini bernama
siapakah?”
“Namaku Kui Hwa, she Tan. Aku anak murid Hoa-san-pai dan aku paling benci kepada
kejahatan. Adik Eng, kau ternyata berhati lemah dan sebenarnya keliru sekali perbuatanmu
tadi yang memberi ampun kepada para penjahat. Orang-orang kejam macam mereka itu harus
dibasmi, barulah keadaan menjadi benar-benar aman!”
“Akan tetapi, Tan-cici, mereka juga manusia dan kalau kiranya masih dapat diusahakan, lebih
baik mengampuni mereka agar mereka berubah menjadi orang baik-baik.”
Kui Hwa tersenyum, lenyaplah sifat galaknya, bahkan dalam pandangan Tin Eng, dara
pendekar ini nampak cantik jelita dan manis sekali, pantas disebut Dewi. “Mungkin kau
benar, adikku, akan tetapi, lebih besar kemungkinan kau akan kecele, karena biasanya orang
yang mempunyai dasar jahat sukar sekali untuk diperbaiki lagi.”
Tin Eng hanya tersenyum saja mendengar pendapat Dewi Tangan Maut itu, tidak mau
membantah sungguhpun di dalam hatinya ia tidak setuju dengan pendapat ini.
“Adik Tin Eng, sebetulnya kau hendak ke manakah maka sampai bisa datang ke tempat ini?”
tanya Kui Hwa yang ramah tamah.
“Aku hendak menyewa perahu ke Ki-ciu. Telah lama aku mendengar keindahan Ki-ciu dan
ingin merantau ke sana meluaskan pengalaman. Kebetulan sekali aku bertemu dengan
gerombolan Layar Hitam sehingga kalau seandainya cici tidak datang turun tangan, tentu aku
pun akan bertempur dengan mereka.” Tin Eng lalu menceritakan tentang pertempurannya
dengan seorang anggauta Layar Hitam yang kasar tadi.
Si Dewi Tangan Maut mengangguk-angguk dan berkata, “Memang tadi telah kulihat betapa
lihainya ilmu silatmu. Aku ingin memperkenalkan kau kepada kawan-kawanku dan biarlah
lain kali kita bertemu pula.”
Kemudian Tin Eng menyewa perahu Layar Hitam yang paling baik dan dua orang anggauta
Layar Hitam yang telah berubah amat baik dan menghormati sikapnya, lalu mendayung
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 58
perahu itu ke tengah sungai. Setelah tiba di sungai, layar dikembangkan dan perahu kecil itu
melaju menuju Ki-ciu.
Benar saja, pemandangan alam di kanan kiri sungai itu amat indahnya sehingga Tin Eng
merasa gembira sekali. Terutama apabila ia teringat kepada Dewi Tangan Maut yang kini
telah menjadi seorang kenalan baik. Ia merasa kagum kepada nona pendekar itu dan hatinya
makin gembira apabila ia ingat bahwa di dalam perantauan ini ia tentu akan bertemu dengan
orang-orang gagah seperti nona she Tan itu. Ia sama sekali tidak pernah menduga bahwa pada
waktu itu Bun Gwat Kong, pelayannya yang menjadi biang keladi perantauannya ini sedang
menuju ke Kang-lam untuk mencari Tan Kui Hwa atau Dewi Tangan Maut yang menjadi
puteri dari musuh besarnya.
Juga gadis ini tidak pernah menduga bahwa ia sedang berada di dalam bahaya dan bahwa
ucapan Dewi Tangan Maut tadi yang menyatakan bahwa penjahat-penjahat itu patut dibasmi
karena dasarnya jahat akan tetap jahat! Karena di luar persangkaannya, kedua orang anggauta
Layar Hitam yang kini mengemudi perahu yang ditumpanginya ternyata mengandung maksud
jahat terhadap dirinya.
Hari telah mulai senja ketika perahu itu tiba di dalam sebuah hutan yang amat luas dan gelap.
Juga sungai menjadi lebar ketika tiba di tempat ini, akan tetapi karena tidak ada angin, maka
layar digulung dan perahu itu bergerak maju mengandalkan tenaga pendayung dari kedua
orang itu. Perahu maju perlahan-lahan dan ketika tiba di sebuah tikungan, tiba-tiba perahu itu
berhenti.
Tin Eng hendak menegur kedua orang yang berhenti mendayung, akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara suitan keras dari pinggir sebelah kiri dan kedua orang itu lalu membalas suara
itu dengan bersuit keras pula. Sebelum Tin Eng dapat bertanya, kedua orang itu tiba-tiba lalu
menyeburkan diri ke dalam air dan berenang ke pantai, meninggalkan perahu yang berhenti di
tengah-tengah sungai.
Karena memang mereka tadi sengaja menghentikan perahu di tempat yang terhalang oleh
batu-batu karang yang menonjol di tengah-tengah sungai. Tin Eng merasa terkejut dan heran
sekali dan hatinya mulai merasa tidak enak.
“Hai! Kalian hendak pergi kemana?” tegurnya kepada dua orang pendayung tadi, akan tetapi
kedua orang itu telah mendarat lalu lari ke dalam hutan dan lenyap.
Tin Eng merasa bingung sekali. Untuk mendayung perahu itu ia tidak sanggup karena ia
memang tidak pernah mengemudikan perahu. Untuk melompat ke tepi pun tak mungkin
karena letaknya kedua tepi di kanan kiri itu sedikitnya ada lima belas tombak dari perahunya.
Berenangpun ia tak pandai.
Tak lama kemudian, dari pantai sebelah kiri muncullah banyak sekali orang yang membawa
perahu-perahu kecil yang segera diturunkan ke dalam air. Mereka ini ternyata adalah bajak air
yang telah mendapat berita dari dua orang anggauta Layar Hitam yang sengaja hendak
membalas dendam.
Sebelumnya para anggauta Layar Hitam itu adalah bekas-bekas bajak air yang mengandalkan
kekejaman mereka atas pengaruh bajak air ini dan mereka selalu membagi hasil-hasil
pemerasan mereka kepada bajak-bajak ini sehingga tentu saja ketika mendengar betapa tiga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 59
orang pemimpin Layar Hitam terbunuh dan perkumpulan itu diobrak-abrik oleh Tin Eng dan
Dewi Tangan Maut, mereka menjadi marah dan hendak membalas dendam.
Akan tetapi yang menarik perhatian kepala bajak itu adalah cerita kedua orang anggauta
Layar Hitam tadi bahwa gadis yang menumpang di dalam perahu mereka dan yang telah ikut
menghancurkan perkumpulannya adalah seorang gadis cantik jelita. Kepala bajak ini adalah
seorang bajak muda yang rakus akan paras cantik, maka begitu mendengar berita ini ia lalu
mengerahkan anak buahnya untuk pergi mengeroyok dan menangkap gadis itu.
Melihat orang banyak itu, Tin Eng maklum bahwa mereka tentulah penjahat-penjahat yang
bermaksud jahat, maka ia segera mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi serbuan
mereka. Diam-diam ia merasa gemas sekali kepada dua orang tukang perahu tadi dan
mengakui kebenaran ucapan Dewi Tangan Maut, maka ia mengambil keputusan untuk
membasmi orang jahat ini sampai ke akar-akarnya.
Perahu-perahu kecil itu segera di dayung dan sebentar saja perahu yang ditumpangi oleh Tin
Eng dikurung dari segala jurusan. Kepala bajak yang mengenakan pakaian biru dan dengan
sepasang kampak di tangan berdiri di kepala perahu terdepan dengan sikap gagah. Di
sebelahnya berdiri dua orang tukang perahu anggauta Layar Hitam yang melapor tadi.
Tin Eng memandang ke arah mereka dengan mata merah. “He, kalian hendak berbuat
apakah?” tanyanya dengan gemas.
08. Kehilangan Kitab Pusaka
KEDUA orang anggauta Layar Hitam itu tertawa saja dan seorang di antaranya lalu berkata
dengan suara mengejek, “Nona, kau hendak kami jodohkan dengan Liang-ho Siauw-liong
(Naga Muda dari Liang-ho), tentu kau akan mengalami kesenangan besar! Ha ha ha!”
“Bangsat rendah! Kau telah mendapat ampun, apakah benar-benar kalian hendak mencari
mampus?”
Tiba-tiba kepala bajak itu tertawa dengan girang. Ia telah melihat bahwa dara muda itu benarbenar
cantik jelita, maka kini mendengar suaranya yang nyaring dan sikapnya yang gagah, ia
lalu berkata,
“Nona manis, kau telah terkurung dan berada dalam kekuasaanku, lebih baik kau menyerah
saja karena percuma kalau kau mau melawan juga!”
“Bangsat keji! Kau kira nonamu takut menghadapi tikus-tikus air semacam kau dan anak
buahmu? Naiklah kalian semua ke sini kalau hendak mencari mampus di ujung senjataku!”
tantang Tin Eng dengan tabah dan marah.
Liang-ho Siauw-liong tertawa bergelak-gelak lalu memberi perintah kepada anak buahnya,
“Tangkap padanya, akan tetapi jangan melukainya! Gunakan tali untuk menyeretnya ke air
dan kemudian mengikatnya kuat-kuat!”
Mendapat perintah ini, para bajak lalu mendayung perahu mereka mendekati perahu di mana
Tin Eng berdiri menanti dengan pedang ditangan. Mereka membawa senjata berupa tambang
dan kaitan-kaitan kayu, ada pula yang membawa dayung untuk mendorong gadis itu ke dalam
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 60
air. Dengan mata tajam Tin Eng melihat lagak itu dan hanya menjaga untuk segera bergerak
begitu ada bajak naik ke atas perahu.
Benar saja, dari sebelah kiri perahu melompat dua orang bajak yang membawa tambang,
disusul oleh tiga orang pula yang melompat ke kanan perahu. Akan tetapi mereka itu segera
menjerit kesakitan ketika Tin Eng menyambar dengan pedangnya dan begitu ia menggerakkan
tangannya, pedang itu telah melukai mereka yang segera terguling ke dalam air.
Bajak lain menjadi jerih. Tak pernah mereka sangka bahwa gadis itu selihai ini, maka kini
tidak ada yang berani mencoba untuk naik ke perahu Tin Eng lagi. Bahkan perahu-perahu
kecil itu segera di dayung menjauhi dan para bajak yang terluka tadi lalu ditolong.
“Ilmu pedangnya lihai sekali, harap tai-ong berhati-hati,“ kata dua orang anggauta Layar
Hitam tadi.
Liang-ho Siauw-liong merasa marah sekali melihat betapa lima orang anak buahnya dengan
amat mudah dijatuhkan oleh Tin Eng, maka ia lalu memberi aba-aba.
“Terjun ke air dan gulingkan perahunya!”
Tin Eng merasa terkejut sekali mendengar perintah ini. Kalau mereka benar-benar
menggulingkan perahunya, maka celakalah dia! Biarpun di darat ia tak perlu takut
menghadapi keroyokan mereka, akan tetapi kalau sampai ia terjatuh ke dalam air, jangankan
menghadapi keroyokan, baru menghadapi seorang bajak biasa yang pandai berenang saja ia
takkan berdaya sama sekali. Ia melihat betapa bajak-bajak itu meninggalkan perahunya dan
mulai terjun ke dalam air untuk berenang menghampiri perahu di mana ia berdiri.
Tin Eng teringat akan kantong piauwnya, maka dengan gemas ia lalu mengeluarkan
segenggam piauw dan memindahkan pedang ke dalam tangan kiri. Ia pernah mempelajari
ilmu melepas piauw dari ayahnya dan dalam hal kepandaian melempar piauw ia telah
memiliki kepandaian yang boleh juga. Ia membidik dengan hati-hati dan begitu tangannya
berayun ke arah bajak yang berenang di air, piauw itu tepat sekali menancap di tubuh bajak
sehingga bajak itu menjerit kesakitan dan terus tenggelam ke dalam air. Tin Eng membagibagi
hadiah dengan piauwnya itu ke seluruh penjuru. Di mana terlihat tubuh bajak bergerak di
dalam air, ia segera mengayun tangannya hingga tak lama kemudian banyak sekali bajak yang
ia tewaskan.
Dalam kegembiraannya ia telah menghabiskan banyak sekali senjata piauwnya dan ketika ia
merogoh kembali ke kantong piauw, ia merasa terkejut sekali, karena piauwnya hanya tinggal
tiga buah lagi! Ia membawa dua puluh batang piauw dan ternyata ia telah menyambitkan
tujuh belas batang yang kesemuanya mengenai sasaran dengan tepat. Kini para bajak itu tidak
berani berenang di permukaan air dan segera menyelam untuk menghindarkan diri dari piauw
gadis yang tangguh itu, sehingga Tin Eng mulai kuatir sekali.
Melihat betapa kepala bajak itu berdiri di kepala perahu dan memberi perintah, ia menjadi
gemas dan segera tangannya terayun dan sekali gus tiga batang piauwnya menyambar ke arah
kepala bajak itu dan ke arah dua orang anggauta Layar Hitam yang berdiri di dekat Liang-ho
Siauw-liong. Terdengar jerit kesakitan dan tubuh kedua orang anggauta Layar Hitam itu
terjungkal dari perahu, masuk ke dalam air sungai. Akan tetapi sambil tertawa bergelak dan
sama sekali tidak memperdulikan dua orang yang menjadi korban senjata rahasia itu, ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 61
menggerakkan kampak di tangan kanannya untuk menangkis piauw yang menyambar ke arah
tubuhnya sehingga senjata kecil itu terpukul jatuh ke dalam air.
Kini Tin Eng merasa betul-betul gelisah. Piauwnya telah habis dan apa dayanya? Ia melihat
ke kanan kiri dan ke dalam air, akan tetapi tidak melihat ada anggauta bajak yang berenang di
bawah permukaan air dan kini perahunya tiba-tiba mulai bergoyang-goyang.
Hampir saja Tin Eng terjatuh, ia terhuyung-huyung dan mempertahankan dirinya di atas
perahu agar supaya tidak terlempar keluar ke dalam air. Akan tetapi perahu itu makin miring
dan sebentar pula tentu terbalik. Tin Eng melihat sebuah perahu bajak kosong, yang jauhnya
tiga tombak lebih dari tempatnya, maka sambil berseru keras ia melompat ke arah perahu itu.
Akan tetapi, begitu ia turun menginjak perahu itu, ia segera terjatuh karena perahu kecil itu
tidak kuat menerima tubuhnya yang melompat dengan keras. Perahu itu terguling,
membawanya ikut terguling ke dalam air.
Tin Eng bergulat dengan air yang membuatnya tak berdaya. Beberapa kali ia terpaksa minum
air sungai dan ketika ia merasa ada tangan meraba dan hendak menangkapnya, ia memukul
dengan tangan kanannya sehingga bajak yang mencoba untuk menangkapnya itu memekik
dan melepaskan pegangannya. Biarpun berada dalam keadaan tak berdaya, namun Tin Eng
masih berbahaya dan tak mudah ditangkap.
“Biarkan dia lemas dulu!” terdengar suara Liang-ho Siauw-liong berkata keras sambil
mendayung perahunya mendekat.
Tin Eng sudah menjadi lemas sekali dan hampir pingsan. Ia masih mendengar betapa tiba-tiba
terdengar suara gaduh dan teriakan-teriakan para bajak itu dan ia merasa betapa tubuhnya
terikat oleh sehelai tali yang kuat, lalu tubuhnya di tarik ke sebuah perahu. Ia tak dapat
melihat lagi siapa yang melakukan ini, akan tetapi ia merasa tubuhnya diangkat ke dalam
perahu. Ia membuka mata dan melihat bahwa yang menolongnya adalah Tan Kui Hwa si
Dewi Tangan Maut.
Nona pendekar itu tersenyum dan berkata, “Untung kau belum terlalu banyak minum air,
adikku yang baik. Akan tetapi sedikit air yang memenuhi perutmu itu perlu dikeluarkan. Kau
menurutlah saja!”
Setelah berkata demikian, Kui Hwa lalu peluk tubuh Tin Eng dan menjungkirkan tubuh itu
dengan kaki ke atas dan kepala di bawah. Maka mengalirlah air dari mulut Tin Eng.
Setelah air yang memenuhi perut itu dikeluarkan, Tin Eng lalu berkata,
“Cici, Kui Hwa, mana keparat-keparat itu?”
“Mereka melarikan diri ke darat.”
“Mari kita kejar!” kata Tin Eng dengan marah sekali.
Kedua orang gadis itu lalu mendayung perahu mereka ke darat. Ternyata bahwa Kui Hwa
merasa curiga terhadap dua orang anak buah Layar Hitam yang mendayung perahu Tin Eng
dan dengan diam-diam ia lalu mengikuti perahu itu dari darat. Ia melihat betapa Tin Eng
dikeroyok, maka dapat menolong pada saat yang tepat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 62
Dengan mudah ia melompat ke dalam perahu itu dan merampas tambang yang tadinya hendak
digunakan untuk mengikat kaki dan tangan Tin Eng. Dengan kepandaiannya yang
mengagumkan, Dewi Tangan Maut itu berhasil melemparkan ujung tali yang mengikat tubuh
Tin Eng dan menolong gadis itu sebelum terjatuh ke dalam tangan bajak.
Liang-ho Siauw-liong pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut, maka melihat pendekar
wanita itu muncul ia lalu memerintahkan semua anak buahnya untuk melarikan diri.
Setelah mendarat, Kui Hwa dan Tin Eng lalu mengejar ke dalam hutan. Tak lama kemudian
mereka dapat mencari tempat tinggal para bajak itu di tengah hutan dan kedua nona itu segera
menyerbu dengan pedang di tangan.
“Serahkanlah kepala bajak itu kepadaku, cici!” kata Tin Eng yang merasa marah sekali.
Kawanan bajak menjadi kacau balau karena tidak pernah menyangka bahwa kedua orang dara
itu berani menyerbu ke dalam hutan yang liar dan gelap, maka mereka lari cerai berai.
Sedangkan kepala bajak Liang-ho Siauw-liong beserta beberapa belas orang yang memiliki
kepandaian dan menjadi pembantu-pembantunya segera mengeroyok Kui Hwa dan Tin Eng.
Akan tetapi mereka bukanlah lawan dari kedua pendekar wanita ini dan sebentar saja
beberapa orang bajak yang mengeroyok telah kena dirobohkan. Liang-ho Siauw-liong sendiri
didesak hebat oleh Tin Eng dan biarpun permainan sepasang kampak di tangannya amat lihai
dan cepat, akan tetapi menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh Tin Eng, ia
menjadi terdesak hebat dan pada satu saat pedang Tin Eng berhasil membacok putus sebelah
lengannya.
Kepala bajak itu roboh pingsan dan Tin Eng merasa lega serta tidak tega untuk mengirim
tusukan yang terakhir. Ia meninggalkan tubuh lawan, dan membantu Kui Hwa mengamuk,
sehingga para bajak itu menjadi jerih dan sisanya yang masih hidup lalu melarikan diri, tak
kuat menghadapi dua ekor harimau betina yang mengamuk itu.
Kemudian Tin Eng mencari buntalan pakaiannya yang terampas dan untung sekali bahwa
buntalannya masih terdapat di situ. Hatinya menjadi lega ketika ia memeriksa buntalannya,
ternyata barang-barangnya berikut kitab pelajaran pedang Sing-eng Kiam-hoat masih ada di
dalam bungkusan.
Ia memeluk Kui Hwa dan berkata, “Cici Kui Hwa, terima kasih atas pertolonganmu tadi.
Kalau tidak ada yang menolong entah bagaimana jadinya dengan aku.”
“Ah, tak perlu kau berterima kasih, kawan! Orang-orang seperti kita harus tolong menolong.
Akupun amat membutuhkan pertolonganmu untuk menghadapi musuh-musuhku.”
“Musuh-musuhmu? Siapakah mereka, cici?”
Kui Hwa lalu menceritakan tentang permusuhan dengan orang-orang cabang Go-bi-pai.
“Kami pihak Hoa-san-pai selalu mengalah, akan tetapi orang-orang Go-bi-pai itu benar-benar
tak tahu diri dan selalu mencari permusuhan dengan kami. Terutama sekali Seng Le Hosiang
yang tiada hentinya berusaha menebus kekalahannya dan mulai menghasut orang-orang gagah
dari luar untuk memusuhi kami.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 63
Bukan main terkejutnya hati Tin Eng mendengar penuturan ini. Betapapun juga, ia boleh
dibilang seorang anak murid Go-bi-pai pula.
“Cici yang baik, terus terang saja kau telah menuturkan keburukan Go-bi-pai kepada seorang
anak muridnya!”
Kui Hwa melompat mundur dan memandang dengan mata terbelalak. “Apa?? Kau juga anak
murid Go-bi? Ah, jangan kau main-main kawan. Ku lihat ilmu pedangmu sama sekali bukan
dari Partai Go-bi-san. Aku kenal baik ilmu silat Go-bi-pai, maka jangan kau mencoba untuk
mempermainkan dan membohongi aku!”
Tin Eng tersenyum, lalu berkata, “Kau lihatlah baik-baik, cici!” Setelah berkata demikian,
dara muda ini lalu bersilat dengan ilmu silat Go-bi-pai sebagaimana yang dipelajari dari
ayahnya. “Kenalkah kau ilmu silat ini?” tanyanya lalu menghentikan gerakannya.
Kui Hwa lalu mencabut pedangnya dan berseru, “Kau benar-benar anak murid Go-bi-pai!
bagus mari kita akhiri di ujung pedang!”
Tin Eng mengangkat kedua tangannya ke atas sambil berkata, “Cici yang baik, kau tadi
menyatakan heran bahwa orang-orang Go-bi-pai selalu memusuhi kalian orang-orang Hoasan-
pai. Akan tetapi melihat sikapmu ini, bukankah kau yang menunjukkan sikap
bermusuhan? Lihatlah saja, Kau mencabut pedang terhadap aku yang tidak menganggapmu
sebagai musuh, bukankah ini tidak sesuai dengan kata-katamu tadi?”
Kui Hwa tersadar dan ia cepat memasukkan kembali pedangnya ke dalam sarung pedang lalu
tersenyum dan berkata dengan muka merah, “Maaf, adik Tin Eng. Baru sekarang aku melihat
seorang anak murid Go-bi-pai tidak mengambil sikap bermusuhan terhadapku, maafkan
sikapku tadi.”
Tin Eng memegang lengan Kui Hwa dan berkata,” Cici Kui Hwa, agaknya kau telah dibikin
sakit hati sekali oleh orang-orang Go-bi-pai, maka kau membenci mereka. Akan tetapi kau
lihat sekarang bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat dan memusuhimu.
Marilah kita melanjutkan perjalanan sambil bercakap-cakap, bukankah kau hendak ke Kiciu?”
“Tidak, adik Tin Eng. Aku hendak kembali ke Kang-lam, dan kau lanjutkanlah perjalananmu
ke Ki-ciu. Akan tetapi, lebih baik kau ambil jalan darat saja. Dari sini kau terus ke selatan,
setelah tiba di dusun kedua kau membelok ke timur. Ki-ciu terletak kurang lebih lima puluh li
dari situ.”
“Cici, melihat mukaku apakah kau mau menghabisi saja permusuhan dengan pihak Go-bi?
Aku merasa sedih sekali melihat kau bermusuhan dengan pihak Go-bi, karena secara tak
langsung akupun anak murid Go-bi-san, sebab ayahku adalah murid Go-bi-san pula. Seperti
kau ketahui, permusuhan itu merupakan permusuhan pribadi dan jangan membawa-bawa
cabang persilatan menjadi musuh, buktinya akupun tidak memusuhi kau, cici!”
Kui Hwa menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. “Adikku yang baik, agaknya
kau belum banyak merantau dan belum banyak mengalami hal-hal yang mengecewakan,
sehingga kau tidak mengetahui keadaan. Permusuhan ini sudah amat mendalam dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 64
sesungguhnya bukan datang dari pihak kami. Sudah banyak kami menerima hinaan dari pihak
Go-bi, maaf, adik Tin Eng. Memang sesungguhnya jarang sekali terdapat anak murid Go-bipai
seperti kau!”
“Apakah kau pernah mengalami hinaan? Dari siapakah?”
Kembali Kui Hwa menarik napas panjang. “Kalau diceritakan sungguh membuat orang
menjadi penasaran sekali. Semenjak memiliki sedikit kepandaian silat, sudah menjadi
kebiasaan ku untuk membasmi orang-orang jahat yang mengganggu rakyat. Beberapa bulan
yang lalu pernah aku mengejar seorang jai-hwa-cat (penjahat pengganggu anak bini orang)
dan kebetulan sekali penjahat itu juga memiliki ilmu-ilmu silat dari cabang Go-bi. Ia telah
tersusul olehku dan tentu ia akan binasa di ujung pedangku, kalau saja ia tidak ditolong oleh
seorang tosu dan muridnya, yang terang-terangan membela orang-orang Go-bi-pai. Aku
dikalahkan oleh murid tosu itu dan mendapat hinaan dari mereka. Tosu itu bernama Bong Bi
Sianjin dan muridnya bernama Gan Bu Gi.”
Tin Eng merasa terkejut sekali, akan tetapi ia dapat menahan perasaan ini dan berkata,
“Hinaan apakah yang mereka lakukan terhadapmu, cici?”
“Biarlah lain kali saja kuceritakan padamu, adik Tin Eng. Sekarang telah jauh malam, lebih
baik kita melanjutkan perjalanan masing-masing.”
Tin Eng maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa dan gadis
itu yang baru saja dikenalnya masih belum percaya penuh untuk menceritakan hal itu
kepadanya. Mereka lalu berpisah dan Tin Eng melanjutkan perjalanannya menuju ke Ki-ciu
dan setelah keluar dari hutan, lalu melalui jalan sebagaimana yang ditunjukkan oleh Kui Hwa.
Sementara itu Kui Hwa mengambil jalan lain ke Kang-lam.
****
Dua hari kemudian Tin Eng tiba di Ki-ciu. Ia mendapat kenyataan bahwa kota ini memang
benar-benar indah sehingga gadis ini merasa amat gembira. Selain bangunan-bangunan yang
besar dan megah memenuhi kota hingga membuat kota itu nampak indah dan toko-toko besar
membuktikan kemakmuran kota itu. Juga di sepanjang pantai sungai Liang-ho yang mengalir
di dekat kota itu telah dibangun tempat istirahat yang indah, penuh ditanami kembangkembang
dan didirikan menara-menara dan bangunan lain yang amat bagus. Di situ
disediakan pula perahu-perahu kecil bagi para pelancong yang hendak menghibur hati dan
setiap hari terdengar tetabuhan yang-kim dan suling merayu-rayu.
Tin Eng bermalam dalam sebuah hotel terbesar, memilih kamar di loteng. Hanya pada malam
hari saja ia berada di dalam kamarnya, karena pada pagi dan sore hari ia selalu keluar dari
hotel untuk berjalan-jalan dan mengagumi keindahan kota dan segala pemandangannya.
Pada hari kedua, ketika ia masuk ke dalam kamarnya setelah sehari penuh berpelesir di atas
perahu dan mendengarkan tetabuhan yang merdu, ia menjadi terkejut sekali melihat bahwa
buntalan pakaiannya telah lenyap dari kamar itu.
Ia segera berteriak memanggil pelayan dan ketika pelayan datang ia memberitahukan bahwa
barang-barangnya telah lenyap. Pelayan itu menjadi pucat sekali dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 65
“Aneh sekali, siocia! Kami selalu menjaga di bawah dan tak seorangpun kami lihat naik ke
loteng ini. Bagaimana barang-barangmu bisa tercuri? Kalau memang ada pencuri yang
mengambilnya, dari mana ia bisa naik ke sini?”
Melihat betapa pelayan itu memandangnya seakan-akan tidak percaya kepadanya bahwa
barang-barangnya benar telah hilang, hampir saja Tin Eng menamparnya. Akan tetapi ia
menahan kemarahannya dan melakukan pemeriksaan. Ternyata buntalannya yang berisi
pakaian, perhiasan, uang dan juga kitab pelajaran ilmu pedang telah lenyap tak berbekas.
Ketika ia menjenguk ke luar jendela kamarnya, ia melihat sehelai sapu tangannya terletak di
luar jendela, maka tahulah dia bahwa pencurinya adalah seorang pandai ilmu silat yang
memasuki kamarnya dengan jalan melompat dari bawah dan masuk dari jendela.
“Celaka!” serunya marah sekali, sedangkan pelayan yang melihat hal inipun dapat menduga
pula, bahwa yang datang mencuri barang-barang tamunya tentu seorang maling yang pandai,
maka ia mulai menggigil seluruh tubuhnya.
“Bagaimana baiknya, siocia? Apakah saya harus melaporkan saja kepada penjaga kemanan?”
“Tak usah!” bentak Tin Eng marah sekali. “Aku akan mencarinya sendiri dan kalau maling
keparat itu sampai terjatuh ke dalam tanganku, kepalanya akan kuhadiahkan kepadamu!”
Dengan wajah makin pucat karena ngeri, pelayan itu lalu lari dari loteng, menuruni anak
tangga secepatnya.
Tin Eng duduk termenung. Apa daya? Kemana ia harus mencari seorang maling yang tidak
ada jejaknya? Kota Ki-ciu demikian besarnya sehingga untuk mencari seorang yang pernah
dilihatnya saja sudah merupakan pekerjaan yang tidak mudah, apalagi harus mencari seorang
maling yang belum dilihatnya sama sekali. Semua barang-barangnya berada dalam bungkusan
itu dan yang tertinggal padanya hanya pakaian yang dipakai, sedikit uang yang dibawahnya
untuk bekal siang tadi dan pedangnya. Untuk membayar sewa kamar pun ia tidak punya.
Semua ini tidak begitu menyusahkan hatinya, akan tetapi yang paling ia sedihkan ialah kitab
pelajaran ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Ia sayang kepada kitab itu melebihi seluruh barang
yang dibawanya dan kalau sampai kitab itu terjatuh ke dalam tangan seorang penjahat, ia
merasa ngeri memikirkan hal ini.
Kemudian Tin Eng mengambil keputusan untuk keluar dan mencari-cari ke mana saja nasib
membawa dirinya. Siapa tahu kalau-kalau barang-barang itu dijual oleh pencuri dan terlihat
olehnya dipakai orang. Ia akan dapat mengenali barang-barang dan pakaiannya sendiri.
Malam hari itu, Tin Eng kembali berjalan-jalan di sekeliling kota, akan tetapi tentu saja ia tak
dapat bertemu dengan yang dicarinya. Akhirnya karena sedih, kecewa dan putus harapan, ia
pergi ke tepi sungai yang sunyi dan duduk seorang diri melamun, sambil mendengarkan riak
air yang berdendang tiada hentinya itu.
Ia memikirkan nasibnya yang amat buruk. Dipaksa kawin, melarikan diri untuk merantau, dan
kini seluruh barangnya habis tercuri orang. Ia mulai merasa menyesal mengapa ia
meninggalkan rumah. Akan tetapi, kalau ia kembali, ia harus tunduk kepada kehendak
ayahnya dan ia tidak mau menikah dengan Gan Bu Gi. Apalagi setelah ia mendengar dari Kui
Hwa bahwa Gan Bu Gi dan suhunya membantu orang-orang Go-bi-san dan memperbesar
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 66
permusuhan, bahkan pernah menghina kepada Kui Hwa, kawan baiknya itu. Ia tidak suka
menikah dengan panglima muda itu.
Ia lalu teringat Gwat Kong. Kasihan sekali pelayan muda itu. Kalau teringat betapa ia pernah
melukai lengan Gwat Kong dengan pedangnya bahkan pernah menodongnya dengan ujung
pedang menempel pada tenggorokan pemuda itu! Kalau teringat betapa pemuda itu
memandangnya dengan sayu dan sedikitpun tidak merasa takut, biarpun lehernya hendak
ditusuk pedang, bahkan minta kepadanya untuk membunuhnya saja. Kalau ia ingat betapa
Gwat Kong yang sedikitpun tidak merintih bahkan berkejap matapun tidak ketika menderita
luka pada lengannya. Ah, kalau ia teringat akan itu semua, timbul penyesalan besar dalam
hatinya.
Pemuda pelayan itu amat baik dan setia kepadanya, bahkan kitab ilmu pedang Sin-eng Kiamhoat
yang kini hilang itupun pemberiannya. Akan tetapi ia membalas pemuda itu dengan
tusukan pedang, bahkan dengan ancaman membunuh, hanya karena pemuda itu dengan berani
karena mabuknya, mencela di depan Gan Bu Gi dan Seng Le Hosiang, bahkan di dalam
mabuknya berani membayangkan perasaan cinta kasihnya kepada puteri majikannya.
Hal ini bagi Tin Eng memang dulu merupakan sebagai penghinaan. Betapa seorang puteri
tunggal Kepala daerah yang berdarah bangsawan, takkan merasa terhina kalau dicinta oleh
seorang pelayan dan tukang kebunnya sendiri. Akan tetapi sekarang ia bukanlah Tin Eng yang
dulu. Sekarang ia hanya seorang gadis perantau yang telah kehilangan semua barangnya,
seorang gadis semiskin-miskinnya karena pakaian pun hanya memiliki satu stel yang melekat
pada tubuhnya saja dan uang hanya tinggal sedikit, bahkan hutangnya pada hotel juga belum
dapat terbayar.
Kepada siapakah ia harus minta tolong? Kalau saja ia dapat bertemu dengan Gwat Kong,
pelayannya yang amat setia itu, tentu Gwat Kong akan suka menolongnya dari kesulitan ini
biarpun pemuda itu pernah hendak dibunuhnya, telah dilukainya, akan tetapi pasti pemuda itu
akan bersedia menolongnya. Hal ini ia yakin benar karena baru sekarang ia merasa betapa
besar cinta kasih pemuda itu kepadanya. Baru sekarang ia teringat betapa pemuda itu selalu
berusaha untuk menyenangkan hatinya!
Tak terasa lagi Tin Eng lalu menangis dan terisak-isak di pinggir sungai. Ia merasa berduka
sekali tanpa mengetahui dengan pasti apakah yang menimbulkan rasa duka ini. Entah karena
menyesal telah meninggalkan gedung orang tuanya. Entah karena menyesal akan
perlakuannya terhadap Gwat Kong, atau barangkali juga karena teringat akan barangbarangnya
yang hilang.
“Nona, aku hendak bicara padamu,” tiba-tiba terdengar suara orang laki-laki dan Tin Eng
melompat dengan terkejut sambil mencabut pedangnya dan memutar tubuhnya. Di depannya
berdiri seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, memakai pakaian hitam dan ikat
kepala hitam pula. Laki-laki itu segera menjura ketika Tin Eng mencabut pedang.
“Sabar, nona. Aku bukan datang dengan maksud jahat, bahkan hendak menolongmu
mendapatkan kembali kitabmu yang hilang.”
Tin Eng merasa gembira sekali. “Di mana kitabku itu? Siapa yang mencurinya?” pertanyaan
ini diajukan dengan suara mengancam dan pedangnya telah menggigil dalam tangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 67
“Sabar, sabar, nona dan jangan salah sangka. Bukan aku yang melakukan pencurian itu.
Biarpun aku, Lok Ban si Tangan Seribu dianggap sebagai kepala semua pencuri dan pencopet
di Ki-ciu, akan tetapi aku belum pernah mengulurkan tangan panjang untuk mengambil milik
orang!”
“Katakanlah siapa yang mencuri barang-barangku dan di mana kitab itu?” Tin Eng mendesak
pula tidak sabar.
“Masukkan dulu pedangmu itu di dalam sarungnya, nona. Andaikata kau dapat membunuh si
Tangan Seribu sekalipun, kau takkan dapat menemukan kembali kitabmu tanpa
pertolonganku.”
Tin Eng sadar akan hal ini maka ia menekan perasaan marahnya dan memasukkan pedangnya,
lalu berkata. “Maaf, sahabat. Sekarang ceritakanlah apa sebenarnya maksud kedatanganmu
ini.”
“Seorang kawan kami secara kebetulan telah mendapat kitab itu di dalam bungkusan barangbarangmu.
Tentu saja tidak ada aturannya seorang pencuri mengembalikan barang-barang
berharga yang dicurinya, akan tetapi kitab itu ....”
“Aku tidak memperdulikan segala macam barang-barangku, asalkan kitab itu kembali
kepadaku,” kata Tin Eng memotong.
Lok Ban si Tangan Seribu itu tersenyum. “Inilah maksud kedatanganku, nona. Kami para
anggauta Perkumpulan Tangan Panjang di kota Ki-ciu biarpun melakukan pekerjaan yang
orang biasa menganggapnya jahat, akan tetapi kami memiliki cabang persilatan sendiri dan
sama sekali menjadi pantangan besar bagi kami untuk mencuri ilmu silat orang lain. Tanpa
disengaja, seorang kawan kami mendapatkan kitab pelajaran ilmu pedang dalam
bungkusanmu. Sudah menjadi kewajiban kami untuk mengembalikan kitab itu asal kau suka
memberi sedikit ‘uang lelah’ kepada kawan kami itu.”
Bukan main marahnya hati Tin Eng mendengar ini. Orang-orang telah mencuri kitabnya dan
sekarang masih hendak memeras lagi. Akan tetapi ia maklum bahwa ia tidak berdaya dan
seakan-akan berada dalam kekuasaan kepala maling ini. Kalau ia menjadi marah dan
menyerang kepala maling itu, makin jauhlah harapannya untuk mendapatkan kembali kitab
itu. Sedangkan untuk menebus dan memenuhi kehendak kepala maling ini, ia tidak
mempunyai uang. Tin Eng secara cerdik menyembunyikan perasaannya dan berkata,
“Hal itu mudah sekali. Pasti aku takkan melupakan kebaikan ini dan aku rela memberikan
semua harta bendaku asalkan kitab itu bisa kembali ke tanganku. Akan tetapi, apakah
buktinya bahwa kitab itu betul-betul berada pada kawanmu? Bagaimana kalau kau menipuku?
Kalau aku melihat sendiri kitab itu, barulah aku percaya.”
“Nona, jangan kau sembarangan mengeluarkan ucapan. Aku Lok Ban biarpun menjadi kepala
maling akan tetapi tak pernah membohong atau menipu orang. Kalau kau tidak percaya, mari
kau lihat sendiri buktinya!” Sambil berkata demikian kepala maling ini lalu memutar tubuh
dan berlari keras, memberi tanda agar supaya Tin Eng mengikutinya.
Tin Eng pun melompat dan menyusul, akan tetapi tiba-tiba ia mendapat pikiran yang baik
sekali. Bagaimana kepala maling ini mau mempercayainya dan membawanya ke tempat kitab
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 68
itu berada? Kalau kepala maling ini melihat bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu ia akan
menyesatkannya dan mungkin akan menjebaknya karena merasa jerih kepadanya. Oleh
karena ini ia sengaja memperlambat larinya hingga sebentar saja ia tertinggal jauh.
Beberapa kali Lok Ban menengok dan melihat betapa gadis itu tertinggal jauh sekali, ia lalu
berhenti dan membalikkan diri menghampiri Tin Eng sambil tertawa.
“Mengapa kau lari secepat itu? Jangan tergesa-gesa!” kata Tin Eng yang sengaja bernapas
tersengal-sengal. Lok Ban tertawa dan berkata dengan suara menyatakan kegirangan hatinya,
“Nona, kita telah salah jalan, seharusnya ke sana!” Sambil berkata demikian, ia lalu berlari ke
arah yang bertentangan dengan tadi dan kini ia berlari perlahan agar Tin Eng tak sampai
tertinggal lagi. Diam-diam Tin Eng merasa girang karena usahanya berhasil dan ternyata
bahwa tadi kepala maling ini benar-benar hendak mengujinya dan membawanya ke arah jalan
yang bertentangan.
Tak lama kemudian, tibalah mereka di dalam sebuah rumah yang besar dan yang berdiri di
luar sebuah hutan. Ketika mereka tiba di tempat itu, di luar terdapat belasan orang yang
agaknya sedang merundingkan sesuatu. Yang sedang bercakap-cakap hanyalah tiga orang saja
sedangkan yang lain hanya mendengarkan.
Ketika melihat kedatangan Lok Ban dan Tin Eng, seorang di antara ketiga orang yang
bercakap-cakap tadi, yakni seorang yang bertubuh kecil pendek dan berkepala botak, segera
lari menyambut dan berkata kepada Lok Ban sambil memandang ke arah Tin Eng dengan
tersenyum,
“Lok-pangcu (ketua Lok), kitab itu telah dibeli oleh dua orang tuan yang baru datang itu!”
Sambil berkata demikian, ia mengangkat dan memperlihatkan sebuah kantong yang terisi
uang kepada ketua maling ini.
“Jadi kaukah yang mencuri kitab dan barang-barangku?” Tin Eng membentak marah.
“Kembalikan kitabku dan jangan menjualnya kepada orang lain kalau kau sayangi jiwamu!”
Sambil berkata demikian, Tin Eng lalu mencabut pedangnya dan melompat ke dekat si kepala
botak sambil mengancam.
“Kitab sudah berada di tangan mereka,” kata si maling yang berkepala botak itu sambil
melompat pergi dan melarikan diri, Tin Eng hendak mengejar, akan tetapi Lok Ban tertawa
dan berkata,
“Nona, kau telah didahului orang, maka kalau kau hendak mengambil kembali kitabmu, kau
boleh berusaha membelinya kembali dari kedua orang itu!”
Bukan main marahnya hati Tin Eng yang merasa dipermainkan, akan tetapi oleh karena
mendapatkan kembali kitab itu lebih penting baginya dari pada berurusan dengan segala
maling, ia lalu berlari secepatnya terbang ke arah dua orang tadi. Lok Ban terkejut sekali
melihat gerakan kaki Tin Eng ini karena jauh sekali bedanya dengan kecepatan lari gadis tadi.
Otaknya yang cerdik segera dapat menduga bahwa ia tadi kena ditipu oleh gadis itu, maka ia
lalu memberi tanda kepada semua anak buahnya yang segera lari pergi meninggalkan tempat
itu. Maling-maling ini tidak perlu lagi dengan Tin Eng maupun dengan dua orang yang datang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 69
membeli kitab, oleh karena uang pembelian kitab sudah diterima dan mereka tidak mau
mencari penyakit dan mencampuri urusan itu.
Oleh karena ini, maka yang berada di situ kini hanyalah Tin Eng dan dua orang laki-laki
pembeli kitab pelajaran Sin-eng Kiam-hoat tadi. Tin Eng memperhatikan kedua orang itu dan
ternyata mereka adalah orang-orang yang bertubuh tegap, membawa pedang pada pinggang
masing-masing dan berusia kurang lebih empat puluh tahun dan sikapnya gagah sekali.
Tin Eng menjura kepada mereka dan berkata, “Jiwi harap suka mengembalikan kitab itu
kepadaku, karena kitab itu adalah milikku yang dicuri oleh gerombolan maling itu!”
Kedua orang laki-laki itu saling pandang kemudian tersenyum dan setelah mereka tersenyum
dan memandangnya, tahulah Tin Eng bahwa kedua orang inipun bukanlah orang baik-baik
karena senyum dan pandang matanya ternyata kurang ajar sekali.
“Nona, kitab ini kami beli dengan harga lima puluh tail perak!”
Tin Eng menjadi bingung. Ia tidak mempunyai uang sebanyak itu, maka terpaksa ia
menjawab,
“Maaf, pada waktu ini saya tidak membawa uang sebanyak itu. Akan tetapi, kalau jiwi pergi
ke Kiang-sui dengan membawa suratku kepada Kepala daerah Kiang-sui, jiwi akan menerima
uang pengganti seratus tail.”
Tiba-tiba berubahlah muka kedua orang itu mendengar disebutnya kota Kiang-sui. “Jadi kau
mendapatkan kitab ini di Kiang-sui, nona?” tanyanya.
“Tak perlu kalian tahu dari mana aku mendapatkan kitab ini, yang terpenting ialah bahwa
kitab itu adalah kitabku dan kalian harus mengembalikannya kepadaku!” kata Tin Eng yang
sudah menjadi tidak sabar lagi.
“Nona, kenalkah kau kepada Bu-eng-sian, Dewa Tanpa Bayangan?”
Baru kali ini Tin Eng mendengarkan nama itu maka ia menggelengkan kepala.
Orang kedua yang agaknya tidak percaya kepada sangkalan Tin Eng ini, bertanya lagi,
“Benar-benar kau tidak kenal pada Leng Po In, pengemis tua hina dina itu?”
Tin Eng menjadi hilang sabar. “Sudahlah, tak perlu kita bicarakan hal-hal yang tidak perlu
kumengerti. Pendeknya, betapapun juga kalian harus mengembalikan kitabku itu!” Ia
menggerak-gerakkan pedangnya.
Kedua orang itu tertawa cekakakan sambil mencabut pedang masing-masing.
“Nona manis, mudah saja kau bicara! Seandainya kitab ini tidak tercuri dari tanganmu, kalau
kami mengetahui bahwa kau membawa kitab ini, pasti kami akan turun tangan merampasnya,
baik dengan halus maupun dengan kasar. Ketahuilah bahwa guru-guru kami telah bertahuntahun
mencari kitab ini, dan karenanya lebih baik kau mengaku terus terang saja dari mana
mendapatkan kitab ini dan ada di mana pula adanya kitab tebal yang asli. Kalau kau mau
berterus terang, tentu kami takkan melupakan budimu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 70
“Siapa sudi mendengar ocehanmu! Kembalikan kitab itu!” Sambil berkata demikian, Tin Eng
menyerbu dengan pedang di tangan kanan digerakkan menyerbu, sedangkan tangan kiri diulur
untuk merampas kitab yang dipegang oleh seorang di antara mereka. Akan tetapi dengan gesit
orang itu melompat dan sebelum Tin Eng sempat mengejarnya, yang seorang lagi telah
menyerbu dan menyerangnya.
09.
“BAGUS, kalian mencari mampus!” teriak Tin Eng yang segera memutar pedangnya
sedemikian rupa menurut gerakan-gerakan Sin-eng Kiam-hoat. Sebetulnya pelajaran pedang
Sin-eng Kiam-hoat yang dipelajari oleh Tin Eng masih belum matang betul, akan tetapi ilmu
pedang itu benar-benar hebat. Gerakan-gerakannya demikian cepat dan tidak tersangka
sehingga seakan-akan merupakan seekor Garuda Sakti yang menyambar dan menyerang
mempergunakan paruh, sepasang cakar, dan sepasang sayapnya. Biarpun kedua orang itu
mengeroyoknya dengan sengit, namun Tin Eng dapat mendesak mereka dengan seranganserangan
hebat.
“Kalau tidak dikembalikan kitab itu, kalian mampus!” Kembali Tin Eng mengancam oleh
karena sesungguhnya ia tidak bermaksud membunuh orang-orang yang sama sekali tidak
mempunyai permusuhan dengannya itu. Akan tetapi, kedua orang lawannya tanpa banyak
cakap mengadakan perlawanan hebat, agaknya merekapun tidak mau mengalah dan hendak
mempertahankan kitab itu dengan nyawa mereka.
“Twako, kau bawalah kitab itu kepada suhu! Biar aku yang menahan iblis wanita ini,” seru
yang seorang dan orang yang membawa kitab itu lalu melompat jauh dan lari pergi. Tin Eng
merasa marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba orang yang lari itu berseru
girang,
“Suhu telah datang!” Dan dengan pedang di tangan ia lalu menyerbu lagi!
Tin Eng memandang dan ternyata lima orang yang usianya rata-rata empat puluh tahun berlari
seperti terbang cepatnya menyerbu ke tempat itu.
“Suhu, perempuan ini hendak merampas kitab Sin-eng Kiam-hoat!”
Mendengar ini, seorang di antara mereka yang berbaju hitam panjang berseru, “Robohkan dia,
akan tetapi jangan membunuhnya!”
Sehabis berkata demikian, orang ini lalu melepaskan ikat pinggangnya, yang ternyata terbuat
dari kulit yang panjang dan kuat, merupakan senjata cambuk! Juga empat orang lain
mengeluarkan senjata mereka yang hebat, karena senjata mereka itu semua berlainan. Seorang
memegang tongkat besar yang kepalanya melengkung berbentuk kepala naga, seorang lain
memegang sebuah pedang pendek, orang ketiga memegang sebatang pedang panjang dan
orang keempat memegang sebatang golok kecil. Akan tetapi gerakan mereka ternyata gesit
dan bertenaga.
Tin Eng merasa terkejut sekali dan segera memutar pedangnya untuk menghadapi lima orang
itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 71
“Jangan turun tangan!” kata pemegang cambuk kepada kawan-kawannya. “Gunakan bubuk
Ang-hoa!” Kelima orang itu lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dan ketika mereka
mengebut, maka berhamburanlah bubuk bunga merah dan bau yang amat wangi keras
menyerang hidung Tin Eng, yang tiba-tiba menjadi pening. Bumi yang dipijaknya terasa
berputar-putar dan betapapun dia menguatkan tubuhnya, akhirnya ia menjadi limbung,
terhuyung-huyung dan roboh pingsan.
Kelima orang itu tertawa dan si pemegang cambuk berkata, “Nona manis, terpaksa kami tidak
ingin kau menderita luka atau binasa!” Ia menghampiri Tin Eng untuk memondongnya. Akan
tetapi baru saja ia mengulurkan tangan, tiba-tiba ia menarik tangannya sambil berseru kaget.
Ternyata sebutir buah le mentah telah menyambar dan tepat mengenai tangannya dan
sungguhpun buah itu kecil dan tidak keras, akan tetapi tangannya terasa sakit sekali.
Ia bangun berdiri, memandang ke sekelilingnya dan berseru, “Siapakah yang berani mainmain
dengan Ngo-heng-kun Ngo-hiap?” Seruan ini keras sekali sehingga menggema sampai
jauh. Akan tetapi tidak ada jawaban, hanya suara gemercik air sungai yang menjadi
jawabannya.
Ketika mereka hendak mengangkat tubuh Tin Eng tanpa memperdulikan penyambit itu, tibatiba
berhamburanlah batu-batu kecil yang tepat menghantam tubuh mereka sehingga mereka
menjadi kaget dan wajah mereka jadi pucat sekali. Si pemegang cambuk tahu bahwa ada
orang luar biasa yang datang menolong gadis itu, maka karena kitab telah berada di tangan
mereka, ia lalu memberi tanda dan kelima orang itu bersama dua orang muridnya lalu
melompat pergi dan lari dari tempat itu.
Setelah mereka pergi jauh, muncullah seorang pemuda yang tadi bersembunyi di balik sebuah
pohon yang tumbuh di dekat sungai kecil dekat tempat itu. Pemuda ini dengan tenang lalu
menghampiri tubuh Tin Eng sambil membawa seguci arak yang diturunkan dari gendongan.
Guci arak ini besar dan pada lehernya diberi gantungan sehingga mudah dibawa ke manamana.
Ia lalu berlutut membuka mulut Tin Eng dan menuangkan sedikit arak ke dalam mulut
gadis itu kemudian ia menggunakan arak pula untuk dipercikan ke arah muka Tin Eng.
Tak lama kemudian gadis itu bergerak dan membuka mata. Bukan main herannya ketika ia
melihat pemuda itu berjongkok di dekatnya. Ia melompat bangun dan berseru keras,
“Gwat Kong .....!!”
Pemuda itu tersenyum lalu berdiri dan menjura memberi hormat kepadanya.
“Liok-siocia, apakah selama ini kau baik-baik saja?” suaranya masih halus dan merendah,
seperti sikapnya dulu ketika masih menjadi pelayan di rumah keluarga Liok.
Mendengar pertanyaan dan melihat sikap Gwat Kong ini, tiba-tiba merahlah seluruh muka Tin
Eng dan tak dapat ditahannya lagi, ia segera menangis tersedu-sedu. Ia merasa malu,
menyesal dan juga gemas, karena teringat akan kitabnya yang hilang.
Ketika tadi ia duduk di tepi sungai Liang-ho, termenung memikirkan keadaan dan nasibnya, ia
merasa berduka dan mengharapkan kedatangan seorang seperti Gwat Kong yang tentu dapat
dimintai tolong. Akan tetapi setelah sekarang benar-benar Gwat Kong yang muncul dengan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 72
tak tersangka-sangka, ia menjadi makin sedih. Bagaimana pemuda lemah ini dapat
menolongnya?
Selain membutuhkan uang untuk membayar sewa kamar dan biaya melanjutkan
perantauannya, juga ia membutuhkan bantuan orang pandai seperti Dewi Tangan Maut untuk
merampas dan mencari kembali kitabnya yang hilang. Gwat Kong mempunyai apa yang dapat
digunakan untuk membantunya dalam hal-hal itu? Namun, hatinya terharu juga melihat
pelayan ini.
“Nona, janganlah kau bersedih, nona. Bagaimanakah kau bisa sampai tiba di tempat ini?”
Tin Eng menyusut air matanya dan memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Pemuda ini nampak lebih tegap dan air mukanya yang lebar dan jujur itu, kini nampak berseri
dan kulitnya kemerah-merahan, menandakan bahwa selain hatinya riang gembira, juga
keadaannya sehat sekali. Pakaiannya masih sederhana, walaupun bukan seperti pakaian
pelayan lagi dan rambutnya diikat pula oleh sehelai sapu tangan lebar.
“Gwat Kong, apakah kau tidak marah kepadaku?” tanya Tin Eng, sambil mengerling ke arah
lengan tangan Gwat Kong, seakan-akan hendak menembus lengan baju untuk melihat bekas
luka karena tusukan pedangnya dulu itu.
“Liok-siocia, mengapa kau ajukan pertanyaan ini? Mengapa aku mesti marah kepadamu?”
Gwat Kong memandang dengan mata terbuka lebar karena ia memang benar-benar merasa
heran.
“Aku ... aku telah melukaimu bahkan ... hampir membunuhmu.”
Gwat Kong mengerti dan ia tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Liok-siocia, harap kau jangan mengingatkan aku akan hal itu lagi. Aku masih merasa
menyesal sekali kepada diri sendiri karena perbuatanku yang kurang ajar itu dan kau memang
berhak untuk melukaiku, bahkan kalau kau membunuhku, akupun tidak merasa penasaran.”
“Gwat Kong, kau benar-benar seorang yang baik hati dan aku ... ah, aku seorang tak tahu budi
yang bernasib malang.”
Kembali Tin Eng mengalirkan air mata dari kedua matanya karena terharu.
“Nona, sebenarnya mengapa kau bisa berada di tempat ini? Aku mendapatkan kau dalam
keadaan pingsan dan melihat bangsat-bangsat itu berlari pergi. Kau datang dari manakah dan
hendak kemana?”
“Bangsat-bangsat itu telah mencuri kitab pelajaran ilmu pedang yang dulu kauberikan
kepadaku!” kata Tin Eng dengan gemas. “Ketahuilah, Gwat Kong, setelah kau pergi, ayah
memaksaku untuk menerima pinangan Gan Bu Gi.”
Gwat Kong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Aku telah tahu dan dapat
menduga akan hal itu, siocia, dan sekali lagi aku menghaturkan selamat kepadamu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 73
“Tariklah kembali ucapanmu itu!” kata Tin Eng sambil merengut. “Siapa yang butuh ucapan
selamat dalam keadaan seperti ini?”
“Eh eh, bukankah kau memang .... suka kepada panglima muda itu, siocia?” Gwat Kong
memandang tajam.
“Kalau aku suka, mengapa aku bisa sampai di tempat ini. Dengarlah baik-baik, Gwat Kong
dan jangan memotong penuturanku. Terus terang saja, aku memang tertarik kepada Ganciangkun
yang pandai sekali ilmu silatnya. Akan tetapi itu bukan berarti aku suka kepadanya.
Karena belum mempunyai keinginan untuk mengikat diri dengan perjodohan, maka aku
menolak kehendak ayah itu, sehingga ia menjadi marah sekali dan ... ayah telah menamparku,
satu hal yang belum pernah ia lakukan selama hidupku! Dan aku .... karena dipaksa-paksa,
aku lalu melarikan diri pada malam hari. Aku merantau sehingga sampai di Ki-ciu ini. Malang
sekali bagiku. Buntalan pakaian berikut semua uang bekal, perhiasan dan juga kitab pelajaran
ilmu pedang itu telah dicuri orang. Dalam usahaku mencarinya aku bertemu dengan kepala
maling di kota ini dan dibawa kesini untuk menerima kembali kitab yang harus ditebus.
Biarpun aku tidak mempunyai uang, aku ikut padanya dengan maksud untuk merampasnya
kembali. Tidak tahunya, kitab itu telah dijual kepada dua orang yang tidak mau
mengembalikannya kepadaku, sehingga kami bertempur dan selagi aku berhasil mendesak
dua orang itu, datanglah lima orang guru mereka yang lihai. Dan menghadapi kelima orang
itu aku tidak berdaya karena mereka mempergunakan bubuk yang disebar kepadaku dan yang
membuatku pening dan roboh pingsan. Aku tidak ingat apa-apa lagi sehingga tahu-tahu kau
berada di sini menolongku.”
“Barang-barang sudah tercuri orang, mengapa harus bersedih, siocia? Memang daerah Ki-ciu
ini banyak terdapat maling-maling yang lihai sehingga seringkali pengunjung-pengunjung
dari luar kota menjadi korban mereka.”
“Kehilangan pakaian dan barang-barang sih tidak sangat menyusahkan hatiku, sungguhpun
sekarang aku telah kehabisan uang sama sekali, hingga untuk membayar sewa kamar pun aku
tidak mempunyai uang. Akan tetapi yang paling menyusahkan hatiku ialah kitab itu.”
“Mengapa pula, siocia? Bukankah kitab itu telah berada lama di tanganmu? Apakah kau
belum hafal dan belum mempelajari semua isi kitab itu?”
Tin Eng menarik napas panjang. Sukar baginya untuk membicarakan tentang kitab itu kepada
seorang yang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. “Gwat Kong, biarpun aku telah hafal,
akan tetapi belum matang benar dan perlu sekali aku mempelajari lebih mendalam. Terutama
sekali, kitab itu adalah kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi dan apabila pelajaran itu terjatuh
dan dipelajari oleh seorang jahat, maka ia akan menjadi seorang penjahat yang amat
berbahaya. Aku harus mendapatkan kembali kitab itu. Lebih baik melihat kitab itu terbakar
musnah dari pada melihat ia terjatuh ke dalam tangan orang jahat.”
“Kalau begitu, mengapa tidak kau kejar saja mereka?” tanya Gwat Kong. Dan mendengar
pertanyaan yang dianggapnya bodoh ini Tin Eng berkata bersungguh-sungguh,
“Enak saja kau bicara! Mereka telah lari selagi aku pingsan dan ke mana aku harus mengejar
mereka? Aku tidak mengenal mereka dan tidak tahu di mana mereka tinggal.”
“Akan tetapi aku kenal mereka dan tahu tempat tinggal mereka, siocia.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 74
Tin Eng memandang heran. Gadis ini telah merasa biasa lagi dan sebagian besar rasa sedihnya
telah lenyap setelah bertemu dengan Gwat Kong. Karena bercakap-cakap dengan pemuda itu
membuat ia merasa seakan-akan ia kembali berada di tempat tinggal orang tuanya, seakanakan
ia tak pernah pergi dari rumah dan Gwat Kong masih menjadi pelayan ayahnya. Pemuda
itu sikapnya masih demikian polos dan menghormat. Entah bagaimana, biarpun tak ia
perlihatkan akan tetapi di dalam hatinya timbul kegirangan besar sekali setelah bertemu
dengan Gwat Kong, bekas pelayannya itu. Dan kini pemuda ini menyatakan bahwa ia kenal
dan tahu tempat tinggal kelima orang yang membawa pergi kitab ilmu pedangnya.
“Kau, Gwat Kong? Benar-benarkah kau tahu tempat tinggal mereka? Siapakah sebenarnya
mereka itu?” sambil ajukan pertanyaan ini Tin Eng memandang kepada pemuda itu dengan
kagum oleh karena semenjak ia masih kecil dan bergaul dengan pelayan ini, sudah seringkali
Gwat Kong merupakan sumber pertolongan baginya. Apalagi dalam hal mengatur taman
bunga, hanya Gwat Kong saja yang dapat memuaskan hatinya.
Pemuda itu mengangguk. “Tadi ketika aku melihat mereka pergi, aku tahu bahwa mereka itu
adalah Ngo-hiap. Lima jago tua yang amat terkenal di Ki-ciu. Mereka itu bertempat tinggal di
sebelah timur kota.”
“Bagus sekali, Gwat Kong. Kalau begitu hayo kau antar aku ke tempat mereka!”
“Jangan sekarang, siocia. Lebih baik besok pagi, karena tidak baik malam-malam mendatangi
tempat mereka. Dan pula mereka itu terkenal sebagai jagoan-jagoan yang lihai. Apakah tidak
berbahaya kalau kau datang ke sana?”
“Aku tidak takut!” jawab Tin Eng dengan sikap gagah. “Tadipun kalau mereka tidak berlaku
curang, belum tentu aku akan kalah! Pendeknya, lihai atau tidak, aku harus datang ke sana
mengadu nyawa untuk merampas kembali kitab itu!”
“Kau benar-benar hebat dan gagah sekali, Liok-siocia.” Tiba-tiba sepasang mata Gwat Kong
memandang dengan penuh kekaguman dan mesra sekali. Akan tetapi oleh karena keadaan
tidak begitu terang, Tin Eng tidak melihat pandang mata itu.
Mereka lalu meninggalkan tempat itu dan berjalan di bawah sinar bulan kembali ke kota Kiciu.
Gwat Kong mengantarkan Tin Eng sampai di hotelnya dan ketika gadis itu bertanya di
mana tempat pemuda itu, Gwat Kong menjawab sambil tersenyum,
“Aku juga seorang perantau seperti kau sendiri, siocia. Akan tetapi, aku tidak bisa tidur di
hotel sebesar ini.”
“Kalau begitu, kau minta saja sebuah kamar, biar aku yang akan membayar ....” Tiba-tiba Tin
Eng menghentikan omongannya, karena ia teringat betapa ia sendiripun belum tentu dapat
membayar sewa kamarnya.
Gwat Kong mengerti akan keraguan gadis itu maka ia tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir,
nona. Bagiku sih mudah saja, tidur di kelenteng atau di emper rumah pun cukup dan tentang
uang sewa kamarmu, tak usah kau kuatir pula, kalau memang kau telah kehabisan uang dan
semua uangmu telah dicuri orang biarlah besok kucarikan uang pembayaran sewa kamar itu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 75
Tin Eng menarik napas lega. Selalu pemuda ini dapat memecahkan kesulitannya sehingga ia
merasa berterima kasih sekali.
“Nah, selamat malam, nona. Besok pagi-pagi aku akan datang ke sini untuk mengantarkan
kau ke tempat mereka itu.”
“Selamat malam, Gwat Kong dan ... kau maafkanlah segala kekasaranku terhadapmu dulu!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan suara isak di tenggorokan.
“Jangan sebut lagi hal itu, siocia” kata Gwat Kong yang melangkahkan kaki untuk
meninggalkan ruangan hotel.
“Dan ... terima kasih kepadamu, Gwat Kong, kau .. kau baik sekali.”
Gwat Kong menengok dan tersenyum, wajahnya yang tersorot lampu di ruang hotel itu
nampak tampan dan berseri girang. “Tidurlah, siocia!” katanya, kemudian ia menghilang di
dalam gelap.
Tin Eng masuk ke dalam kamarnya dan malam itu ia tidur dengan nyenyak seakan-akan
berada di dalam kamarnya sendiri di gedung ayahnya. Biarpun semenjak siang tadi ia belum
makan, akan tetapi ia tidak merasa lapar dan semua kedukaannya lenyap kalau ia mengingat
bahwa besok pagi ia akan pergi ke tempat lima jago tua yang telah mengambil kitabnya itu
bersama Gwat Kong.
****
Mari kita ikuti dulu perjalanan Gwat Kong semenjak ia berpisah dari Gui A Sam bekas kepala
pengawal mendiang ayahnya itu. Tertarik oleh penuturan A Sam tentang diri Dewi Tangan
Maut, puteri tunggal hartawan Tan, musuh besarnya yang telah meninggal dunia itu, ia lalu
berangkat menuju ke Kang-lam.
Ia dapat mencari rumah hartawan Tan, akan tetapi ternyata rumah gedung itu ditutup rapat
dan tidak ada penghuninya dan ketika ia mencari keterangan, ternyata bahwa pemilik rumah
gedung itu, yakni yang disebut oleh orang-orang di Kang-lam sebagai Tan-lihiap sedang pergi
merantau. Orang memberi keterangan kepada Gwat Kong menambahkan,
“Kalau saja Tan-lihiap berada di sini, tak mungkin dua orang penjahat itu berani mengacau!”
Gwat Kong tertarik hatinya. “Penjahat yang manakah?”
“Kau belum tahukah, kongcu? Bukankah ada pengumuman ditempel di mana-mana?
Pembesar di sini telah menjanjikan hadiah besar bagi siapa yang dapat menangkap kedua
orang penjahat itu!”
“Aku baru saja datang dari luar kota, mana aku tahu akan segala peristiwa yang terjadi di sini?
Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?”
“Kalau kongcu benar-benar tertarik dan ingin tahu, lebih baik kongcu datang kepada tihu di
tempat ini untuk mendapatkan keterangan lebih jelas lagi. Aku tidak berani banyak bicara,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 76
oleh karena kedua penjahat itu lihai sekali dan pernah ada orang yang membicarakan mereka,
pada malam harinya didatangi dan dibunuh.”
Bukan main herannya hati Gwat Kong mendengar ini. Akan tetapi ia tidak bisa mendapat
keterangan selanjutnya dari orang yang ketakutan itu, maka terpaksa ia lalu mengarahkan
langkahnya ke gedung tihu.
Tihu di Kang-lam orangnya ramah tamah dan Gwat Kong disambut dengan baik sekali
olehnya sehingga pemuda ini merasa suka. Karena jarang pada dewasa itu menemui seorang
pembesar sedemikian baik dan ramah sikapnya.
“Telah hampir sebulan kota kami mendapat gangguan dua orang penjahat,” tihu itu mulai
menerangkan. “Kami telah berusaha sedapatnya untuk menangkap mereka akan tetapi selalu
gagal. Banyak orang di kota ini tak sanggup menghadapi mereka yang amat lihai. Apakah
kedatangan hiante ini hendak membantu kami?”
“Hendak saya coba, taijin dan mudah-mudahan saja tenagaku yang lemah dapat merupakan
bantuan sekedarnya.”
Melihat sikap yang sopan santun dan merendah dari Gwat Kong, berbeda dengan sikap orangorang
ahli silat lainnya, tihu itu merasa ragu-ragu akan tetapi juga girang sekali. Ia lalu
memerintahkan pelayannya untuk mengeluarkan hidangan dan arak wangi, sedangkan Gwat
Kong yang telah beberapa hari tidak mencium bau arak wangi tanpa sungkan-sungkan lagi
lalu minum dengan lahapnya.
Tihu itu merasa heran dan gembira melihat betapa Gwat Kong kuat sekali minum arak.
Berkali-kali ia memerintahkan pelayan menambah arak sehingga sebentar saja Gwat Kong
telah menghabiskan hampir lima belas cawan besar arak wangi yang amat keras. Bukan main
herannya tihu itu beserta para pelayan karena orang biasa saja belum tentu akan sanggup
menghabiskan tiga cawan tanpa terserang mabuk. Akan tetapi pemuda yang nampak halus itu
telah menghabiskan lima belas cawan besar dan tidak terlihat tanda-tanda mabuk sama sekali.
Sambil makan minum, tihu itu menceritakan kepadanya bahwa dua orang pengacau yang
datang mengganggu itu adalah dua orang jahat yang selain mencuri harta-harta benda, juga
mengganggu anak bini orang dan tidak segan-segan membunuh. Sudah enam orang menjadi
korban senjata mereka, di antranya dua orang penjaga dan seorang gadis. Bukan main
marahnya Gwat Kong ketika mendengar ini.
“Malam ini saya akan menjaga di atas rumah dan mudah-mudahan saja mereka itu akan
muncul agar dapat saya serang,” katanya.
Malam itu keadaan sunyi dan orang-orang telah pergi tidur sebelum gelap benar. Sungguhpun
mereka tidak berani meramkan mata dan selalu mendengar kalau-kalau para penjahat itu
datang ke rumah mereka. Sebelum melakukan penjagaan di atas rumah-rumah para penduduk,
Gwat Kong minta seguci arak wangi lagi karena memang arak wangi dari Kang-lam luar
biasa enaknya.
Dengan membawa seguci arak wangi dan sulingnya yang terselip di pinggang, pemuda itu
melompat naik ke atas genteng dan mulai berkeliling mengadakan penjagaan. Hawa malam
itu dingin sekali, akan tetapi oleh karena ia berteman dengan araknya, ia tidak merasa dingin.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 77
Arak itu ia minum begitu saja tanpa menggunakan cawan, langsung dituang dari mulut guci
ke mulutnya.
Menjelang tengah malam, ketika ia sedang meneguk guci araknya yang tinggal sedikit lagi,
tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah perut dan lehernya. Ia maklum bahwa itu
tentulah sambaran senjata rahasia. Akan tetapi untuk memperlihatkan kepandaiannya, Gwat
Kong tidak menghentikan minumnya dan sekali tangan kirinya bergerak cepat, ia berhasil
menangkap dua buah senjata piauw yang menyambarnya itu.
Barulah ia menurunkan guci araknya dan berkata, “Penjahat-penjahat rendah yang manakah
yang berani mengganggu orang minum arak?”
Sementara itu, kedua orang penjahat yang pada siang harinya telah mendengar bahwa ada
seorang pemuda pemabokan hendak menangkap mereka, menjadi geli sekali. Dan semenjak
tadi mereka diam-diam telah mengikuti gerak-gerik Gwat Kong yang mereka anggap tolol.
Ketika pemuda itu sedang minum araknya, mereka lalu menyerang dengan piauw tadi untuk
membuatnya mati selagi minum arak. Akan tetapi, tak mereka sangka sama sekali bahwa
pemuda itu demikian lihai sehingga dapat menangkap piauw mereka sambil minum arak.
Gwat Kong berkata lagi, “Ini, terimalah kembali piauw kalian!” Ia mengayun tangannya
secara sembarangan ke arah mereka, lalu menenggak araknya lagi tanpa perdulikan apakah
sambitannya itu mengenai sasaran atau tidak. Piauw yang disambitkan dengan tenaga
lweekangnya yang hebat itu meluncur cepat sekali dan dengan kaget kedua penjahat itu lalu
mengelak agar jangan sampai terkena senjata rahasia mereka sendiri.
Mereka menjadi marah sekali dan dengan pedang di tangan mereka lalu melompat dan
menyerang Gwat Kong yang masih minum araknya. Gwat Kong tiba-tiba melompat jauh dan
menghindarkan diri dari serangan itu sambil menurunkan guci araknya yang kini telah
kosong. Dan ketika kedua orang itu menyerangnya lagi, tiba-tiba ia menyemburkan arak dari
mulutnya yang menyerang muka kedua orang lawannya bagaikan puluhan anak panah.
Kedua orang penjahat itu sama sekali tak pernah menduga dan tentu saja mereka tidak takut
terhadap semprotan arak ini. Akan tetapi ketika serangan arak yang disemburkan dengan
tenaga lweekang itu mengenai muka mereka, kedua orang penjahat itu memekik ngeri dan
tubuh mereka terhuyung-huyung di atas genteng dan pedang mereka terlepas karena kedua
tangan digunakan untuk menutupi muka mereka yang terasa sakit sekali.
Sambil tertawa tergelak-gelak, Gwat Kong lalu menggerakkan tangan kanannya untuk
mengirim totokan sehingga kedua orang penjahat itu roboh tak berkutik lagi dalam keadaan
lemas. Sambil tertawa-tawa karena telah agak terlampau banyak minum arak sehingga
menjadi riang gembira wataknya, Gwat Kong mengempit tubuh kedua penjahat itu di tangan
kanan kiri, meninggalkan guci araknya yang telah kosong. Lalu melompat turun dan terus
membawa mereka ke gedung tihu.
Tihu dari Kang-lam yang diberitahukan tentang kedatangan pemuda itu segera
menyambutnya. Gwat Kong melemparkan dua tubuh penjahat itu ke depan kaki tihu, lalu
menjura dalam-dalam dan berkata,
“Inilah kedua orang penjahat yang mengacau Kang-lam, taijin.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 78
Bukan main heran dan girangnya pembesar itu dan ketika melihat bahwa Gwat Kong hendak
pergi lagi, lalu menahannya dan berkata, “Nanti dulu, taihiap! Kau belum menerima
hadiahmu.”
Gwat Kong tertawa bergelak, “Sudah, sudah kuterima, taijin. Hadiahnya ialah keramahtamahanmu
dan arak wangi yang amat enak itu.”
Tihu itu juga tertawa dan makin kagumlah ia terhadap pendekar muda yang aneh ini. “Kalau
begitu, biarlah kutambahkan lagi arak yang terbaik untuk kau bawa pergi. Dan kami pun
harus ketahui dulu siapa namamu, taihiap. Semenjak siang tadi, kau selalu menolak untuk
memberitahukan namamu kepada kami.”
Kembali Gwat Kong tertawa. “Apakah artinya nama? Disebut apapun saya tidak keberatan,
tajin dan tentang arak terbaik itu ..... hmmm, kalau memang taijin hendak memberi kepadaku
tentu saja kuterima dengan ucapan terima kasih.”
Tihu itu lalu memerintahkan seorang di antara pelayan yang juga memenuhi ruangan itu untuk
mengambil sebuah guci araknya yang terbuat dari pada perak dan memakai tali gantungan,
lalu memberikan benda itu kepada Gwat Kong.
“Taihiap, jangan pandang rendah guci arak ini, karena arak yang disimpan di dalam guci ini
akan dapat tahan sampai bertahun-tahun tanpa menjadi kurang kenikmatan rasanya dan segala
macam minuman apabila dimasukkan ke dalam guci ini, maka akan menjadi bersih dari
segala racun. Air beracun yang amat jahat akan menjadi air minum yang tidak berbahaya
apabali dimasukkan ke dalam guci ini karena racunnya telah dihisap oleh dasar guci. Dan
tentang namamu taihiap, kalau kau memang tidak mau memperkenalkannya, biarlah kami
memberi nama kehormatan Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak dari Kang-lam) kepadamu,”
Gwat Kong menerima guci yang berisi penuh arak terpilih itu, menggantungkan talinya pada
ikat pinggang dan tertawa girang.
“Nama yang bagus sekali! Dengan tihunya seperti taijin ini yang ramah tamah dan bijaksana,
Kang-lam merupakan kota istimewa bagiku, maka aku suka sekali disebut Kang-lam Ciuhiap.
Nah, selamat malam, taijin!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat, tubuh Gwat Kong telah lenyap dari depan tihu
dan para pelayannya itu sehingga mereka merasa kagum sekali. Makin besar kegembiraan
mereka ketika ternyata bahwa kedua orang yang tak berdaya itu benar-benar adalah dua orang
penjahat yang selama ini mengacau kota mereka. Segera kedua orang itu dibelenggu dan
dimasukkan ke dalam penjara.
Gwat Kong lalu pergi keluar dari kota itu dan malam itu ia tidur dengan amat nyenyaknya di
sebuah kelenteng yang berada di luar kota. Hatinya merasa amat girang oleh karena selain
mendapat kenyataan bahwa latihan-latihannya selama ini makin memajukan kepandaiannya,
juga kebaikan hati tihu itu menyenangkan hatinya.
Hanya ia merasa agak penasaran dan kecewa karena belum dapat bertemu dengan Dewi
Tangan Maut, puteri musuh besarnya yang amat disohorkan orang itu. Ia tidak berniat untuk
membalas dendam orang tuanya kepada gadis itu. Hanya ia ingin melihat sampai di mana
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 79
kelihaian gadis yang amat terkenal ini dan hendak melihat pula apakah benar-benar gadis itu
amat jahat dan kejam sebagaimana yang dikabarkan oleh Gui A Sam kepadanya.
Kalau toh ia harus menyerang gadis itu, ia akan menyerang karena kejahatannya, bukan
karena dendamnya kepada Tan-wangwe. Ucapan orang yang memberi keterangan kepadanya
tentang adanya dua orang penjahat di Kang-lam, yang berkata bahwa kalau Dewi Tangan
Maut berada di Kang-lam maka penjahat-penjahat itu tentu tak berani berlagak, menimbulkan
kesan baik terhadap gadis itu padanya.
Pada kesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya. Dua hari kemudian, ketika tiba di luar
sebuah hutan ia melihat serombongan orang yang terdiri dari dua belas orang-orang gagah
dikepalai oleh seorang tua yang membawa tongkat bambu, berlari-lari memasuki hutan itu.
Mereka ini semua membawa senjata pedang atau golok seakan-akan mereka hendak
menyerbu musuh. Gwat Kong merasa tertarik dan diam-diam ia mengikuti mereka dari
belakang dengan sembunyi.
Rombongan itu berhenti di depan gua besar yang berada di tengah hutan dan orang tua
bertongkat itu segera berteriak ke arah gua,
“Sahabat, keluarlah! Kami hendak bicara denganmu!”
Teriakan itu bergema di seluruh hutan, akan tetapi setelah itu sunyi karena tidak terdengar
jawaban. Tak lama kemudian, keluarlah seorang laki-laki tua dari dalam gua itu dan Gwat
Kong yang mengintai sambil bersembunyi, merasa kaget melihat keadaan orang yang aneh
itu. Orang ini telah tua sekali, tubuhnya bongkok dan tangan kanannya memegang sebuah
pedang yang mengeluarkan sinar gemilang.
Kakek bongkok ini mempunyai sepasang mata yang menakutkan dan melihat betapa sepasang
mata itu berputaran secara liar. Tahulah Gwat Kong bahwa orang ini tentu miring otaknya.
Kakek yang aneh ini lalu tertawa terkekeh-kekeh dengan suara menyeramkan sekali.
Kemudian sambil menuding dengan pedangnya ia berkata tidak keruan,
“Ha ha ha, Ngo-heng-kun Ngo-koai, lima siluman jahat, kalian datang mengantarkan nyawa?
Ha ha ha!” Kakek ini lalu berjingkrak-jingkrak di atas kedua kakinya dan menari-narikan
pedangnya seperti orang atau anak kecil yang amat bergirang hati.
Orang tua bertongkat bambu yang memimpin rombongannya itu berkata dengan suara sabar,
“Lo-enghiong, jangan salah sangka. Kami adalah penduduk dusun Ma-chun yang datang
hendak minta pertolongan lo-enghiong. Dusun kami terserang penyakit kuning dan telah
banyak yang mati dan lebih banyak pula yang kini terancam bahaya maut. Karena loenghiong
telah mengambil semua akar putih yang berada di hutan ini, maka tolonglah
memberi kami obat itu untuk menyembuhkan kawan-kawan dan saudara-saudara kami.”
10.
KEMBALI terdengar suara ketawa yang menyeramkan. “Kalian memang harus mampus! Ha
ha ha, Ngo-heng-kun kelima-limanya harus mampus, mengapa minta tolong padaku? Aku
boleh menolongmu, menolong mengantarkan kalian iblis-iblis Ngo-heng ini ke neraka, ha
ha!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 80
Setelah berkata demikian, secepat kilat ia menubruk maju dan menyerang rombongan orangorang
itu. Ia mengamuk bagaikan seekor harimau gila dan pedangnya digerakkan dengan
hebat sekali.
Orang tua pemimpin rombongan itu berseru keras memberi aba-aba kepada para kawannya
untuk mengepung, sedangkan ia sendiri lalu menggerakkan tongkat bambunya yang lihai.
Ketika orang gila itu menusuk dengan pedangnya, tongkat bambu kakek itu menangkis dan
beradunya kedua senjata itu membuat kakek itu berseru keras karena terkejut. Ia merasa
tangannya perih sekali dan tongkatnya hampir terlepas dari pegangan.
“Ha ha ha!” Iblis-iblis Ngo-heng, sekarang kalian mampus!” orang gila itu tertawa-tawa dan
hendak menyerang lagi. Akan tetapi pada saat itu, sebelas orang pengikut kakek bertongkat
tadi menyerbu dari belakang dan belasan golok dan pedang berkelebat menimpanya bagaikan
air hujan.
Orang gila itu ternyata lihai sekali. Ia agaknya telah mendengar angin senjata menyambar ke
arahnya, maka sambil tertawa mengerikan, ia membalikkan tubuhnya dan pedang pusaka di
tangannya itu berkelebat cepat mendatangkan sinar putih yang gemilang. Teriakan-teriakan
terdengar dan beberapa batang pedang terlepas ke atas, bahkan banyak pula golok dan pedang
yang putus karena terbabat oleh pedang orang gila itu.
“Ha ha ha! Iblis-iblis Ngo-heng, rasakan pembalasanku! Lihatlah kelihaianku!” Sambil
berkata demikian, ia lalu memutar-mutar pedangnya dan bersilat dengan gerakan-gerakan
yang aneh dan hebat sekali sehingga semua pengeroyoknya mundur takut dan jerih. Akan
tetapi orang gila itu masih terus bersilat pedang seorang diri sambil tertawa-tawa. Juga kakek
bertongkat yang memiliki ilmu silat cukup tinggi itu tidak berani maju karena maklum ia
bukan tandingan orang gila yang amat berbahaya dan lihai itu.
Gwat Kong yang melihat ilmu silat pedang orang gila itu, tak terasa pula berseru keras
sehingga semua orang menengok ke arahnya dengan heran. Ternyata bahwa orang gila itu
telah bersilat pedang Sin-eng Kiam-hoat yang biarpun tidak sempurna benar, akan tetapi
masih lebih tinggi dan hebat dari pada Sin-eng Kiam-hoat yang dimiliki oleh Liok Tin Eng.
Saking tertariknya Gwat Kong tidak memperdulikan pandangan mata terheran-heran dari
semua orang dusun Ma-chun itu dan segera melangkah maju menghampiri orang gila yang
masih saja bersilat pedang dengan cepatnya. Pemuda ini lalu mencabut keluar sulingnya dan
ia segera bersilat pula, mengimbangi permainan orang gila itu. Kakek bongkok yang berotak
miring itu ketika melihat gerakan suling Gwat Kong, tiba-tiba menghentikan permainan
pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak dan mulut berbusa.
“Kau mencuri ilmu pedangku!” teriaknya keras.
“Tidak, locianpwe, karena ilmu pedangku yang lebih asli. Ilmumu itu hanya tiruan belaka
yang tidak sempurna!” jawab Gwat Kong dengan berani.
Orang gila itu memekik keras lalu tertawa bergelak. “Kau ..... kau memiliki Sin-eng Kiamhoat!
Kau tentu orangnya iblis-iblis Ngo-heng!”
“Bukan, aku tidak kenal kepada iblis-iblis Ngo-heng!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 81
Akan tetapi orang gila itu menjadi makin marah lagi. “Kau pencuri!” Setelah memaki marah,
ia lalu menggerakkan pedangnya dan menyerang Gwat Kong dengan ilmu gerakan Sin-engtian-
ci atau Garuda Sakti Pentangkan Sayap. Serangan ini hebat sekali dan Gwat Kong yang
sudah hafal benar akan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat, melihat betapa gerakan ini biarpun
kurang tepat, akan tetapi dilakukan dengan ginkang yang luar biasa tingginya sehingga tubuh
orang gila itu lenyap terbungkus sinar pedang.
Sebagai seorang ahli ilmu pedang ini, bahkan yang memiliki kepandaian dari kitab aslinya,
tentu saja Gwat Kong tahu bagaimana harus menghadapi lawannya, maka ia lalu mainkan
gerak tipu Sin-eng-hian-jiauw atau Garuda Sakti Pentang Kuku. Sulingnya bergerak cepat dan
mengikuti gerakan pedang lawan hingga ke mana saja ujung pedang itu selalu bertemu
dengan sulingnya dan dapat disampok kembali ke arah penyerangnya.
“Maling ... pencuri ilmu ...” berkali-kali orang gila itu berteriak-teriak marah dan gerakannya
makin nekat dan buas. Dari mulutnya keluar busa putih dan sepasang matanya terputar-putar
makin cepat dan kini telah berubah merah.
“Locianpwe, jangan salah duga. Aku bukan pencuri, dan marilah kita bicarakan baik-baik,”
kata Gwat Kong sambil membalas dengan serangannya. Akan tetapi kakek gila itu tidak mau
memperdulikan ucapannya, bahkan menyerang makin hebat.
Terpaksa Gwat Kong lalu melayaninya dan kini pemuda ini tidak mau memberi kelonggaran
pula. Ia keluarkan ilmu pedangnya yang paling kuat dan karena ilmu pedang itu walaupun
sama dengan kepandaian si gila, akan tetapi lebih asli dan sempurna. Sebentar saja sulingnya
dapat mendesak pedang lawan dan beberapa kali ia berhasil menotok jalan darah lawannya.
Namun, alangkah terkejut dan herannya ketika mendapat kenyataan betapa lawannya yang
gila itu ternyata memiliki kekebalan dan tidak roboh karena totokannya yang tepat mengenai
jalan darah. Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu lweekang kakek itu yang sambil
berkelahi dapat menutup jalan darahnya sehingga menjadi kebal terhadap totokan-totokan.
Sungguhpun demikian, namun tenaga totokan Gwat Kong yang kuat dengan lweekangnya
yang sudah tinggi karena dilatih secara rahasia dan luar biasa menurut petunjuk kitab
pelajarannya membuat kakek gila itu tergetar tubuhnya dan makin lama permainannya makin
menjadi lemah. Yang lebih merepotkannya, ialah karena tangan kirinya telah mati kaku dan
tak dapat digerakkan lagi sehingga permainan pedangnya kurang mendapat imbangan tubuh
yang baik. Terutama sekali ia telah menderita luka-luka di dalam tubuh yang makin
menghebat karena tidak terawat dan karena makan obat secara serampangan saja.
Tiba-tiba kakek gila itu mengeluarkan teriakan menyeramkan dan roboh pingsan dengan
pedang masih terpegang erat-erat di tangannya. Gwat Kong merasa heran sekali dan ketika ia
memeriksa, ternyata kakek itu berada dalam keadaan yang amat payah. Pemuda itu yang
tadinya merasa heran mengapa lawannya roboh tanpa kena pukulannya, kini mengerti kakek
itu memang telah menderita sakit dan luka-luka di dalam tubuh. Maka timbullah rasa kasihan
di dalam hatinya.
Ia menurunkan guci araknya dan setelah memberi minum seteguk, kakek itu membuka
matanya. Heran sekali, sinar gila yang liar itu kini lenyap dari matanya dan ia memandang
kepada Gwat Kong dengan kagum. Napasnya tinggal satu-satu dan keadaannya payah benar,
tubuhnya lemas. Akan tetapi pedangnya itu tidak pernah terlepas dari pegangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 82
“Kau ... kau bukan anggauta Ngo-heng?” tanyanya kepada Gwat Kong.
Pemuda itu menggelengkan kepalanya. “Locianpwe, aku hanyalah seorang perantau yang
kebetulan lewat di sini saja. Orang-orang kampung itu datang hendak minta tolong kepadamu,
minta akar obat untuk menyembuhkan kawan-kawan yang menderita sakit kuning.”
Kakek itu mengangguk-angguk dan sambil menggerakkan tangannya ke arah orang-orang
kampung yang memandang dengan heran dan kagum, ia berkata, “Ambillah, ambillah ... obat
itu di dalam gua ...” lalu ia menjatuhkan tangannya yang memegang pedang itu di atas tanah
lagi.
“Terima kasih, lo-enghiong,” kata kakek bertongkat tadi dan ia mengajak kawan-kawannya
memasuki gua. Akan tetapi tiba-tiba kakek gila itu berseru keras,
“Mundur semua!”
Orang-orang itu menjadi kaget, demikianpun Gwat Kong yang menyangka bahwa kakek ini
kambuh kembali penyakit gilanya. Akan tetapi, pada saat semua orang itu mundur kembali
dengan ragu-ragu, terdengar suara mendesis-desis dari dalam gua dan keluarlah belasan ekor
ular yang biarpun kecil-kecil akan tetapi bergerak maju dengan gesit, kepala terangkat dan
mendesis-desis menyemburkan uap putih. Sekali pandang saja tahulah semua orang bahwa
ular-ular itu berbahaya dan berbisa.
Selagi semua orang dusun Ma-chun tercengang dan terkesima, Gwat Kong lalu menuangkan
arak dari gucinya ke dalam mulut, lalu ia berdiri dan mendekati mulut gua yang penuh dengan
ular-ular itu. Ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah binatang-binatang itu yang
segera berkelenjetan di atas tanah dan mati. Bukan main hebatnya tenaga semburan arak dari
mulut Gwat Kong ini dan tetesan-tetesan arak yang meluncur keluar itu bagaikan anak panah
menancap dan menembus kepala ular-ular itu sehingga menyerang ke dalam benak!
Melihat kelihaian ini, orang-orang dusun Ma-chun segera memuji dengan amat kagum.
Bahkan seorang di antara mereka lalu berseru, “Dia tentu Kang-lam Ciu-hiap!”
Gwat Kong memandang heran dan bertanya, “Sahabat, bagaimana kau bisa tahu aku disebut
Kang-lam Ciu-hiap? Baru tiga hari aku mendapat sebutan itu di Kang-lam?”
Kakek bertongkat itu lalu menjura dan berkata, “Jangan mengherankan hal ini, orang muda
yang gagah. Berita memang berjalan cepat laksana angin lalu. Sebelum kau tiba di tempat ini,
namamu telah terbawa angin dan telah terdengar sampai jauh di kampung kami. Kawankawan
tadi hanya menduga-duga saja bahwa kaulah orangnya yang disebut Kang-lam Ciuhiap
karena kau selain masih muda dan lihai, juga membawa–bawa arak dan bahkan dapat
mempergunakan arak sebagai senjata yang demikian ampuhnya!”
Sementara itu, kakek gila tadi tidak tahu akan nasib semua ular peliharaannya karena ia
sendiri telah lemas dan hanya rebah di atas tanah sambil meramkan mata. Kini orang-orang
kampung itu dapat masuk gua dan tak lama kemudian mereka membawa akar-akar obat
berwarna putih.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 83
Kakek bertongkat itu menjura lagi kepada Gwat Kong sambil menghaturkan terima kasihnya.
Juga tidak lupa ia menjura kepada kakek gila yang rebah di atas tanah itu sambil
menghaturkan terima kasihnya. Kemudian ia pimpin kawan-kawannya untuk kembali ke
dusun mereka untuk segera memberi pertolongan kepada sanak keluarga yang terserang
penyakit kuning yang pada waktu itu berjangkit di dusun mereka.
Gwat Kong yang tinggal seorang diri, lalu menghampiri kakek gila itu dan berlutut.
“Bagaimana, locianpwe, apakah kau masih merasa sakit?” tanyanya.
Orang tua itu membuka mata, tersenyum sedih dan berkata, “Anak muda, siapakah namamu?”
“Aku bernama Bun Gwat Kong.”
“Tadi aku mendengar mereka menyebut Kang-lam Ciu-hiap, kaukah itu?”
Gwat Kong diam-diam merasa kagum oleh karena biarpun keadaannya demikian lemah tak
berdaya, namun kakek ini mempunyai pendengaran yang amat tajam.
“Aku mendapatkan sebutan itu di Kang-lam,” jawabnya sederhana.
“Kang-lam Ciu-hiap, sebutan yang bagus! Dulupun aku mempunyai sebutan yang cukup
gagah. Bu-heng-sian. Dewa Tanpa Bayangan! Ah ... semua itu telah berlalu, habis dimakan
usia ... tiba-tiba ia bangun dan duduk, lalu memandang tajam kepada Gwat Kong yang
membantunya karena agak sukar sekali kakek itu dapat bangun sendiri.
“Kau ....... dari manakah kau dapatkan ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat?”
“Aku mendapatkan kitab-kitabnya secara kebetulan sekali, locianpwe. Ketika aku menggali
sebuah tempat belukar di Kiang-sui.”
“Di Kiang-sui katamu? Hm, jadi kaukah yang mendapatkan kitab-kitabku? Bagus, ketahuilah,
akulah orangnya yang menyimpannya di sana dan aku pula yang menyalin kitab itu!” Setelah
bicara sampai di sini, kakek itu nampak lelah sekali dan kembali ia menjatuhkan dirinya yang
segera dipeluk oleh Gwat Kong dan dibantunya rebah di atas tanah kembali.
“Kalau begitu, teecu harus menghaturkan terima kasih kepadamu, locianpwe.”
“Tak usah, tak usah .... akupun hanya mendapatkan kitab itu ... dan kau agaknya lebih
berjodoh ... kitab aslinya sukar sekali bagiku yang setengah buta huruf .... kau lihat pedang ini
.... aku mendapatkan kitab kuno itu bersama pedang ini ...” Ia memberikan pedangnya yang
bersinar mengkilap itu dan Gwat Kong melihat sebuah gambar kepala garuda terukir pada
gagang pedang itu.
“Inilah Sin-eng-kiam ... biar kuberikan padamu ... kau lebih patut memegangnya, kau lebih
gagah dariku ...”
“Tapi, locianpwe, kepandaianmu tinggi sekali ...”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 84
“Jangan banyak cakap! Kau telah memiliki kepandaian aslinya. Hal itu sudah kuketahui ....
akan tetapi berhati-hatilah kau ... kelima iblis Ngo-heng mencari-cari kitab itu dan kau takkan
diberinya ampun ...” Setelah berkata demikian, kakek yang malang itu kembali roboh pingsan.
Gwat Kong merasa kasihan sekali dan ia lalu mengangkat tubuh kakek itu ke dalam gua.
Sehari semalam kakek itu rebah pingsan dan kadang-kadang Gwat Kong menuangkan arak ke
dalam mulutnya. Ketika siuman kembali, kakek itu nampaknya merasa terharu karena pemuda
itu masih menjaganya, maka ia lalu berkata,
“Kau ... baik sekali ... aku tak tahan lagi, tubuhku telah penuh luka di sebelah dalam akibat
pukulan-pukulan Ngo-heng ... kau berhati-hatilah ...” Dan tak lama kemudian kakek yang
tadinya menderita penyakit gila itu menghembuskan napas terakhir di pangkuan Gwat Kong.
Gwat Kong lalu mengubur jenazah kakek yang berjuluk Bu-eng-sian itu di dalam gua tadi.
Kemudian ia lalu tinggalkan gua itu sambil membawa pedang Sin-eng-kiam yang
disembunyikan di balik pakaiannya. Ia tak sempat mengetahui nama kakek itu karena ketika
ia bertanya jawabnya hanya “Bu-eng-sian ... aku Bu-eng-sian ....”
****
Demikianlah kisah perjalanan Gwat Kong dan beberapa hari kemudian, perantauannya yang
dilakukan tanpa tujuan tertentu itu membawanya sampai ke dekat kota Ki-ciu di mana secara
kebetulan ia dapat melihat Tin Eng dikeroyok oleh Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan berhasil
menolong nona itu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah datang di hotel tempat Tin Eng bermalam. Ia
takut kalau-kalau ia datang terlampau pagi. Jangan-jangan Tin Eng masih tidur, pikirnya.
Akan tetapi, ketika ia tiba di halaman hotel, ternyata nona itu telah menantinya di situ dengan
tak sabar. Nona ini bangun pagi-pagi sekali dan telah lama berdiri menanti di depan hotel.
“Mari kita berangkat!” kata Tin Eng setelah melihat Gwat Kong datang dan suara nona ini
terdengar gembira sekali.
Mereka lalu berjalan keluar dari halaman hotel, keadaan di dalam kota masih sunyi sekali
karena sebagian besar penduduknya masih tidur. Gwat Kong memang tahu di mana tempat
tinggal Ngo-heng-kun Ngo-hiap itu karena sebelum bertemu dengan Tin Eng, ia telah
melakukan penyelidikan karena hatinya tertarik dan ingin sekali ia tahu lima orang yang
agaknya pernah bermusuhan dengan Bu-eng-sian sehingga kakek itu menderita luka-luka
hebat. Biarpun tidak diminta, akan tetapi di dalam hatinya ia merasa penasaran dan ingin
mencoba kepandaian mereka yang telah menjatuhkan Bu-eng-sian yang bagaimana pun juga
dianggap sebagai orang berjasa kepadanya.
Bukankah kalau kitab itu tidak disimpan di Kiang-sui ia takkan dapat memiliki ilmu pedang
dan lain-lain kepandaian itu? Dan bukankah kakek itu pun telah memberi pedang Sin-engkiam
kepadanya?
Rumah kelima orang jago ilmu silat Ngo-heng-kun itu berada di sebelah timur kota Ki-ciu
dan nama mereka ini amat terkenal. Lima jago-jago Ngo-heng-kun ini terdiri dari lima orang
gagah yang telah mengangkat saudara mempelajari ilmu silat Ngo-heng-kun bersama.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 85
Yang tertua bernama Lim Hwat dan keistimewaannya ialah permainan senjata cambuk
panjang yang amat lihai karena cambuk itu selain lemas dan kuat, juga digerakkan dengan
tenaga lweekang yang tinggi, sehingga selain dapat digunakan untuk menotok jalan darah
lawan juga baik sekali untuk membelit dan merampas senjata tajam lawan.
Orang kedua adalah adik kandungnya sendiri, Lim Can yang juga amat lihai dan menduduki
tempat kedua dalam perkumpulan itu oleh karena ia pandai sekali bersilat dengan sebatang
tongkat berkepala naga. Selain gerakannya yang amat lincah, juga tenaga gwakangnya besar
melebihi seekor kerbau jantan.
Orang ketiga biarpun bukan seorang hwesio, akan tetapi selalu menggunduli kepalanya. Ia
memiliki ilmu ginkang yang paling tinggi di antara semua saudaranya. Namanya Oey Sian
dan ia bersenjata golok yang kecil dan tipis sehingga gerakannya cepat luar biasa.
Orang keempat dan kelima adalah sepasang saudara kandung bernama Teng Ki dan Teng Li.
Teng Ki bersenjata pedang panjang, sedangkan Teng Li bersenjata pedang pendek. Juga
kedua orang ini bukanlah orang-orang yang rendah ilmu silatnya.
Selain memiliki kepandaian-kepandaian khusus ini, mereka berlima merupakan sebarisan
yang amat tangguhnya karena bersama-sama mereka membentuk sebuah ilmu silat berantai
yang disebut Ngo-heng-kun atau Ilmu Silat Lima Daya. Apabila mereka berlima bersamasama
melakukan penyerangan, maka mereka merupakan barisan Ngo-heng yang mengepung
lawan dari lima jurusan dan dalam kedudukan mereka yang amat kuat ini jarang sekali ada
lawan yang dapat mengalahkan mereka.
Mereka ini cukup kaya dan memiliki tanah yang lebar di mana para petani bekerja untuk
mereka dengan mendapat bagian sepantasnya. Dan mereka amat disegani oleh penduduk di
sekitar Ki-ciu karena selain gagah perkasa, juga mereka terkenal keras hati dan mudah
menjatuhkan tangan kepada mereka yang berani menentangnya.
Ketika Tin Eng dan Gwat Kong tiba di dekat rumah mereka, Gwat Kong berkali-kali memberi
peringatan, “Nona, harap kau berlaku hati-hati karena menurut pendengaranku, mereka itu
lihai sekali!”
Akan tetapi Tin Eng yang tabah itu hanya tersenyum dan berkata, “Tenanglah Gwat Kong dan
kalau aku bertempur menghadapi mereka jangan kau terlalu dekat agar tidak sampai terkena
senjata mereka!”
Setelah berada di depan pintu rumah mereka yang masih tertutup, Tin Eng berseru keras,
“Orang-orang Ngo-heng-kun! Keluarlah untuk membuat perhitungan!”
Dengan sikap gagah gadis itu berdiri sambil memegang pedang di tangan kanan. Dan
sikapnya yang tabah ini membuat Gwat Kong merasa kagum sekali. Seorang dara yang benarbenar
gagah perkasa, pikirnya dengan hati senang.
Tin Eng tidak perlu menanti lama karena tiba-tiba pintu rumah itu terpentang dari dalam dan
keluarlah kelima jago Ngo-heng-kun itu sambil membawa senjata masing-masing. Tadinya
mereka mengira bahwa gadis itu tentu datang dengan kawan-kawannya. Akan tetapi ketika
melihat bahwa gadis itu datang seorang diri, dikawani oleh seorang pemuda yang nampak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 86
lemah bodoh dan yang menanti di bawah pohon sambil berjongkok, mereka tersenyum
menghina.
“Nona manis, kau benar-benar bernyali besar, berani datang menemui kami! Apakah kau
belum merasa kapok setelah kami robohkan kemarin?” kata Lim Hwat sambil mengayunayun
cambuknya dan tersenyum mengejek.
“Bangsat curang!” Tin Eng memaki sambil menudingkan pedangnya kepada orang itu.
“Kalian merobohkan aku karena menggunakan kecurangan yang hanya patut dilakukan oleh
bajingan-bajingan rendah. Kalau kalian memang jantan, marilah kita mengadu kepandaian
secara jujur. Kalau tidak berani, lebih baik kembalikan kitabku dan berlutut minta maaf!”
Ucapan yang amat sombong ini membuat Oey Sian si gundul merasa marah sekali. “Apa sih
kepandaianmu maka kau berlaku begini kurang ajar?” teriaknya sambil melompat maju ke
depan Tin Eng. Akan tetapi gadis itu dengan marah lalu menyambut kedatangannya dengan
serangan pedangnya yang ditusukkan ke dada Oey Sian sehingga orang ini cepat-cepat
menangkis dengan goloknya.
Akan tetapi serangan pertama ini hanya merupakan pancingan belaka dan tiba-tiba Tin Eng
menarik kembali pedangnya dan melanjutkan dengan serangan Garuda Sakti Menyambar Air.
Pedangnya berkelebat cepat sekali menebas leher lawannya sehingga dengan seruan terkejut
Oey Sian yang tak keburu menangkis lagi itu segera miringkan kepalanya yang gundul untuk
mengelak. Pedang Tin Eng menyerempet dekat sekali dengan kulit kepalanya yang gundul
sehingga kalau kepala itu ada rambutnya, tentu rambut itu akan terbabat putus. Pedang terus
meluncur dan menyerempet pundaknya. “Breet!” Pecahlah baju Oey Sian di bagian pundak
kanannya.
Dengan muka pucat Oey Sian melompat mundur dan pada saat itu juga, keempat saudaranya
yang maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan, lalu maju mengeroyok dan
mengurungnya dari lima jurusan. Secara otomatis mereka telah membentuk barisan Ngoheng-
tin.
“Bagus, bagus! Majulah semua dan kalau perlu, keluarkan senjata racun yang kemarin. Aku
tidak takut akan kecuranganmu!”
Tin Eng sebenarnya merasa jerih menghadapi obat bubuk merah mereka, dan sengaja
mengucapkan kata-kata ini agar mereka menjadi malu. Benar saja, sebagai lima orang gagah
yang telah terkenal, menghadapi seorang gadis muda yang menantang secara berani, tentu
saja mereka merasa malu sekali apabila mereka harus menggunakan cara yang curang itu.
Mereka merasa yakin bahwa dengan Ngo-heng-tin mereka pasti akan berhasil merobohkan
gadis yang sombong dan berani ini.
Akan tetapi Tin Eng tidak merasa jerih. Ia putar-putar pedangnya dan kakinya bergerak
dengan ilmu silat Jiauw-pouw-poan-san, yakni bertindak berputaran untuk menghadapi
kelima lawannya. Sedangkan pedangnya mainkan gerak tipu Garuda Sakti Mengitari Pohon
Liu. Pedang di tangannya berkelebat menimbulkan sinar pedang yang panjang dan yang
menyambar-nyambar ke arah lima orang lawannya.
Akan tetapi Ngo-heng-tin itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng menyerang seorang
lawan yang berada di depannya, maka dua orang yang berada di depannya menangkis
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 87
serangan itu dan tiga orang lain yang berada di belakang lalu menyerangnya dari belakang
dengan hebatnya. Kalau gadis itu cepat memutar tubuh untuk menghadapi penyerangpenyerangnya
yang berbalik menangkis, maka seorang diantara mereka yang dibantu oleh dua
orang yang ditinggalkan dan kini berada di belakangnya itu, berbalik menjadi penyerang.
Oleh sebab ini, Tin Eng menjadi bingung sekali. Setiap serangannya dihadapi oleh dua senjata
yang menangkis dan dibarengi dengan serangan tiga orang lain dari belakang. Sungguhsungguh
merupakan hal yang amat berbahaya sekali.
Tin Eng adalah seorang gadis yang amat pemberani dan keras hati, maka tanpa mengingat
akan keadaan diri sendiri, ia lalu mengamuk dan menyerang membabi buta. Siapa saja yang
paling dekat diserangnya dengan hebat. Ia hendak menjatuhkan seorang lawan dulu yang
berada di depannya untuk kemudian menghadapi empat lawan lain.
Namun kelima saudara Ngo-heng-kun itu telah dapat menangkap maksudnya. Maka mereka
melakukan penjagaan keras dan dari belakang datanglah serangan bertubi-tubi tiap kali Tin
Eng menggerakkan pedang. Sehingga terpaksa gadis itu tidak dapat mencurahkan seluruh
perhatian dan kepandaiannya karena ia harus pula menjaga diri. Dengan terpecah-pecahnya
perhatian serta tenaga ini, ia menjadi cepat lelah dan mulai merasa pening. Keadaannya mulai
berbahaya sekali dan senjata lawan makin mendesak dan mengurung rapat.
“Ha ha ha, nona manis, kau hendak lari ke mana? Kau seperti tikus terjebak ke dalam
kurungan, ha ha ha!” Lim Hwat menyindir sambil putar-putar cambuknya yang terlihai di
antara senjata-senjata adik-adiknya.
“Menyerahlah untuk menjadi bini mudaku saja!” Oey Sian yang terkenal mata keranjang
berkata, sehingga Tin Eng menjadi marah dan mendongkol sekali. Gadis ini menggigit
bibirnya dan mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Ia rela mati dalam pertempuran ini
akan tetapi sedikitnya ia harus dapat membunuh pula seorang atau dua orang lawannya.
Akan tetapi, sebelum ia dapat menjatuhkan korban, tiba-tiba ujung cambuk Lim Hwat telah
meluncur dan membelit kedua kakinya. Tin Eng menggerakkan pedang menyabet ke arah
cambuk, akan tetapi tongkat Lim Can menangkis pedangnya itu dan berbareng pada saat itu,
Lim Hwat mengerahkan lweekangnya dan sambil berseru keras ia membetot cambuknya. Tak
dapat dicegah lagi tubuh Tin Eng terguling dan pedangnya terlepas dari pegangan.
Akan tetapi sebelum terjadi hal yang lebih hebat lagi, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan
tahu-tahu Tin Eng merasa betapa tubuhnya disambar oleh sebuah tangan yang cepat dan kuat
sekali, kemudian orang itu lalu melompat keluar dari kepungan, sebelum kelima orang itu
sempat sadar dari rasa heran dan terkejut mereka.
Ketika Tin Eng diturunkan dari pondongan orang itu dan memandang, ia menjadi bengong.
Sepasang matanya yang indah dan bening itu terpentang lebar-lebar dan memandang bodoh,
sedangkan mulutnya celangap tak dapat mengeluarkan sepatah katapun. Ternyata bahwa
orang yang menolongnya tadi adalah Gwat Kong sendiri yang kini berdiri di depannya dengan
senyum manis di bibirnya dan seri gembira pada wajahnya.
“Jangan marah, siocia. Aku akan berusaha membalas mereka dan menebus kekalahanmu!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 88
Merahlah seluruh muka Tin Eng karena suara pemuda itu masih saja halus merendah seperti
ketika menjadi pelayannya dulu. Ia tidak dapat menjawab sesuatu, hanya memandang dengan
masih bengong ketika pemuda itu dengan tindakan kaki tenang dan perlahan menghampiri
kelima jagoan Ngo-heng-tin yang berdiri dengan heran pula.
“Ah, pantas saja nona itu berani bersikap sombong, tidak tahunya dia membawa seorang
pembantu yang pandai!” kata Lim Hwat mencoba menyembunyikan kekagumannya.
“Tentu kau pula yang kemarin mempermainkan kami?” kata Lim Can sambil memandang
tajam dan menggerak-gerakkan tongkat naganya dengan sikap mengancam.
“Ngo-wi Lo-enghiong (tuan-tuan berlima yang gagah), hal ini tidak perlu kita persoalkan
sekarang, yang terpenting ialah bahwa sebenarnya tidak sepatutnya kalau kalian yang tersohor
sebagai orang-orang gagah yang menjagoi daerah ini, merampas kitab milik seorang nona
muda. Apakah kalian tidak merasa malu, kalau hal ini sampai terdengar oleh orang-orang
gagah sedunia? Apakah benar-benar kalian yang telah memiliki kepandaian tinggi ini ingin
pula mencuri ilmu pedang nona ini?”
“Enak saja kau membuka mulut!” seru Lim Hwat dengan marah. “Siapa yang mencuri ilmu
pedang? Bukan kami, kalau tidak, kami takkan mau memberi ampun kepadanya!”
Gwat Kong memandang heran. “Bagaimana kalian bisa menyatakan bahwa kitab ilmu pedang
itu adalah hak milik kalian? Sepanjang pengetahuanku pemiliknya adalah orang yang disebut
Bu-eng-sian.”
Mendengar disebutnya nama ini, tiba-tiba kelima orang itu lalu maju mengurung Gwat Kong,
“Di manakah setan tua itu? Apakah dia belum mampus?” tanya Oey Sian.
Gwat Kong menggeleng kepala. Kini ia ketahui nama Bu-eng-sian, maka ia berkata dengan
tenang. “Leng locianpwe telah meninggal dunia karena luka-lukanya yang diderita dan yang
disebabkan oleh pukulan-pukulan kalian yang kejam. Sebetulmya mengapakah kalian
memusuhinya? Apakah karena kitab itu?”
Terdengar seruan kecewa dari Lim Hwat. “Agaknya kau kenal baik kepada setan tua itu, anak
muda. Aku memberi nasehat agar supaya kau bicara terus terang. Ketahuilah bahwa pada
beberapa belas tahun yang lalu, kami berlima dengan Leng Po In adalah sahabat-sahabat baik
dan kami berlima bersama dia mendapatkan kitab dan pedang Sin-eng-kiam di dalam sebuah
gua di bukit Thai-san. Akan tetapi, secara curang sekali orang she Leng itu membawa lari
kitab dan pedang.
Bertahun-tahun kami berlima mencarinya dan akhirnya berhasil melukainya, akan tetapi kitab
dan pedang itu telah disembunyikan entah di mana. Kini tahu-tahu gadis ini pandai mainkan
Sin-eng Kiam-hoat. Bukankah itu berarti bahwa dia telah mencuri ilmu pedang yang menjadi
hak kami? Kitab yang kami ambil hanyalah salinan dari Leng Po In dan kami menuntut
dikembalikannya kitab asli dan pedang Sin-eng-kiam.”
Gwat Kong tidak tahu bahwa Lim Hwat membohong dalam penuturannya ini karena
sesungguhnya yang mendapatkan kitab dan pedang itu adalah Leng Po In sendiri. Mereka
berlima melihat hal ini dan berusaha merampasnya. Akan tetapi, biarpun ia tidak tahu, namun
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 89
melihat sikap mereka yang galak ini. Gwat Kong dapat menduga bahwa mereka ini bukanlah
orang baik-baik, maka ia lalu menjawab,
“Nona Liok ini tanpa disengaja dapat mempelajari Sin-eng Kiam-hoat, bahkan aku sendiripun
telah mempelajarinya. Kami berdua tidak tahu menahu tentang perebutan kitab dan pedang.
Dan apabila kedua benda itu terjatuh ke dalam tangan kami yang tidak sengaja
menemukannya, maka sekarang benda-benda itu adalah menjadi hak milik kami!”
“Bangsat benar!” seru Oey Sian yang menjadi marah. “Kalau begitu, kau dan nona itu harus
mampus!”
“Cobalah!” tantang Gwat Kong sambil tersenyum tenang.
“Bunuh dia dan tangkap nona itu!” teriak Lim Hwat dan kelima orang itu kembali bergerak
dan mengurung Gwat Kong dalam lingkaran Ngo-heng-tin mereka yang lihai. Leng Po In
sendiri yang berjuluk Bu-eng-sian dulu roboh oleh karena kelihaian Ngo-heng-tin ini sehingga
mendapat luka-luka berat. Maka Gwat Kong yang tadi telah menyaksikan kehebatan barisan
Lima Daya ini, segera mencabut pedang yang disembunyikan di balik bajunya.
Melihat berkelebatnya pedang itu, kelima orang lawannya berseru hampir berbareng,
“Sin-eng-kiam!”
Gwat Kong menggerak-gerakkan pedangnya sambil tersenyum dan berkata, “Ya, memang ini
Sin-eng-kiam, akan tetapi aku menerimanya secara sah dari penemunya, yakni dari Leng
Locianpwe sendiri.”
“Kalau begitu, kitab aslinya juga berada padamu!” bentak Lim-hwat.
11.
GWAT Kong mainkan senyum pada bibirnya dan bertanya,” Kalau benar demikian kalian
mau apa?”
“Bangsat!” Lim Can memaki dan mengayunkan tongkat naga dari belakang, mulai menyerang
ke arah kepala Gwat Kong. Akan tetapi pemuda itu dengan tenangnya mengelak ke pinggir
dan berdiri diam tak bergerak, menanti datangnya serangan lawan yang lain. Serangan itu
tidak kunjung datang, karena sesungguhnya gerakan Ngo-heng-tin dilakukan dengan otomatis
yakni kalau orang yang terkurung itu melakukan serangan. Barulah orang-orang yang berdiri
di belakangnya maju menyerang sedangkan orang yang berada di depan dibantu oleh seorang
kawan terdekat melakukan tangkisan.
Gwat Kong tertawa bergelak-gelak karena mereka juga diam saja tidak mau menyerang dulu.
“Eh he, mengapa kalian berdiam saja! Apakah takut menyerangku? Kalau begitu, baiklah, aku
yang akan menyerang. Kalian berhati-hatilah!”
Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri Gwat Kong mencabut sulingnya dan mulai
menyerang ke depan dengan suling itu. Sebagaimana yang ia duga, ketika dua orang lain di
belakangnya maju menyerang dengan hebat sekali. Akan tetapi Gwat Kong sudah tahu akan
hal ini, maka ia tanpa menoleh lalu mengangkat tangan kanannya dan menggunakan Sin-engKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 90
kiam utk diputar sedemikian rupa hingga tiga buah senjata lawan kena tertangkis, sedangkan
dengan sulingnya ia tetap mendesak lawan yang berada di depan.
Gwat Kong sengaja melancarkan serangan-serangannya kepada Lim Hwat yang bersenjata
cambuk panjang dan Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga, karena selain dua orang
ini memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi, juga senjata-senjata mereka lebih panjang
sehingga kalau dibiarkan melakukan serangan dari jarak jauh, ia akan menderita rugi. Maka ia
lalu mengeluarkan ilmu pedangnya Garuda Sakti Mencari Ikan yang dimainkan oleh suling di
tangan kirinya.
Sungguhpun yang dipakai menyerang hanya sebuah suling bambu, akan tetapi oleh karena
gerakannya demikian cepat bagaikan paruh garuda menyambar-nyambar mencari sasaran
yang tepat di tubuh lawan, maka amat berbahaya bagi kedua lawannya itu. Sedangkan tiga
orang lain yang bersenjata pendek, dapat digagalkan serangan mereka oleh tangkisan pedang
Sin-eng-kiam di tangan kanannya.
Menghadapi akal Gwat Kong yang amat lihai ini, Lim Hwat dan kawan-kawannya tidak
berdaya, maka ia lalu berseru keras memberi tanda sehingga kawan-kawannya segera
merobah gerakan mereka. Kini mereka mainkan ilmu silat Ngo-heng-soan, dan mereka mulai
berlari-lari mengitari Gwat Kong! Sambil berlari mengitari pemuda yang terkurung itu,
kadang-kadang mereka melancarkan serangan-serangan yang tak terduga datangnya sehingga
terpaksa Gwat Kong mengikuti gerakan memutar itu dan mainkan pedang dan suling untuk
menjaga diri! Pergantian serangan yang tiba-tiba ini agak membingungkan pemuda itu
sehingga untuk beberapa jurus lamanya ia tidak kuasa membalas dan hanya menjaga diri
dengan kuatnya.
Sementara itu, Tin Eng memandang ke arah pertempuran itu dengan keheranan dan
kekaguman yang makin memuncak. Dadanya berdebar keras karena berbagai macam
perasaan mengaduk hatinya. Bangga, girang, heran dan malu bercampur aduk di dalam
pikiran dan hatinya. Tak pernah disangkanya bahwa Gwat Kong, pemuda yang nampak bodoh
dan jujur itu, yang selalu menurut perintahnya dan selalu berusaha menyenangkan hatinya,
ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dari kepandaiannya
sendiri.
Akan tetapi ia mulai merasa khawatir melihat betapa kelima orang pengeroyok Gwat Kong itu
benar-benar lihai dan kini dengan agak bingung dan gelisah ia melihat betapa kelima orang itu
sambil berlari-lari mengitari Gwat Kong menyerang dan menghujani pemuda itu dengan
serangan bertubi-tubi.
Sebetulnya, Gwat Kong sedang mencari jalan untuk memecahkan cara menyerang yang aneh
dan membingungkan ini. Akan tetapi selagi ia mencari lowongan, tiba-tiba kelima orang itu
mengubah lagi gerakannya. Dan kini mereka mengelilingi tubuh Gwat Kong dengan cara
yang berlawanan yakni tiga orang lain berlari mengitari pemuda itu dari kiri memutar ke
kanan, sedangkan Lim Hwat dan Lim Can berlari dari kanan memutar ke kiri.
Sementara itu, serangan mereka datangnya lebih gencar lagi dan kembali Gwat Kong dapat
dibikin bingung karena ia tidak tahu dengan cara bagaimana ia dapat mengikuti gerakan
memutar yang berlawanan ini. Memang Ngo-heng-tin atau Barisan Lima Daya ini benarbenar
hebat dan luar biasa sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 91
Sungguhpun hatinya ingin sekali membantu Gwat Kong, akan tetapi Tin Eng tidak berani
turun tangan oleh karena ia maklum akan kelihaian lawan dan sekarang setelah pedangnya
tidak ada, ia sama sekali tidak berani membantu, takut kalau-kalau bahkan mengacaukan
perlawanan Gwat Kong.
Tiba-tiba Gwat Kong mendapat akal dan matanya mulai menjadi biasa dengan gerakan
memutar dari kelima orang lawannya itu. Ia berhenti bergerak dan kini ia berdiri diam di
tengah-tengah kurungan, membiarkan kelima orang lawannya berlari-lari makin cepat. Kalau
ada senjata lawan yang melayang ke arahnya barulah ia menggerakkan suling atau pedangnya
untuk menangkis.
Yang paling lihai di antara kelima macam senjata lawan itu adalah cambuk Lim Hwat dan
tongkat kepala naga Lim Can, maka perhatiannya ditujukan sepenuhnya ke arah kedua senjata
tersebut. Pada suatu saat, cambuk Lim Hwat menyambar ke arah dadanya dalam sebuah
sabetan keras.
Gwat Kong membuat dua gerakan yang amat cepat sambil melompat ke atas menghindarkan
kedua kakinya dari sapuan tongkat kepala naga. Gerakan ini ialah dengan sulingnya ia
menangkis ujung cambuk dan ketika suling itu diputar maka ujung cambuk melibat suling itu.
Secepat kilat Sin-eng-kiam di tangan kanannya menyambar ke arah cambuk yang tertarik dan
menegang itu dan putuslah cambuk itu di bagian ujungnya terkena babatan Sin-eng-kiam
yang tajam.
“Kurang ajar!” Lim Hwat berseru marah dan pada saat itu karena gerakan tadi membuat
kawan-kawannya terpaksa menunda lari mereka. Maka dalam keadaan kepungan itu tidak
bergerak memutar, Gwat Kong lalu menyerang dengan kuat ke arah dua orang yang
dianggapnya paling lemah di antara mereka, yakni Teng Ki dan Teng Li yang bersenjata
pedang.
Ketika sulingnya meluncur menotok pundak Teng Ki yang berpedang panjang dan pedang
Sin-eng-kiamnya diluncurkan membabat lengan Teng Li. Kedua orang itu segera menangkis
dan Oey Sian yang bersenjata golok dan berdiri di sebelah kiri Teng Li lalu menyerang
dengan goloknya ke arah leher Gwat Kong. Pemuda ini menggunakan pedangnya yang
tertangkis oleh Teng Li secepat kilat tanpa menunda lagi lalu mendahului Oey Sian dengan
tikaman pedang itu ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang golok.
Maka terdengar Oey Sian memekik kaget dan segera menggulingkan tubuhnya ke belakang
untuk menghindarkan babatan pedang kepada pergelangan lengannya itu. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Gwat Kong untuk melompat keluar dari kepungan sambil memutar
pedangnya menerjang ke tempat lowong yang tadi di tempati Oey Sian, yakni di antara Teng
Li dan Lim Hwat.
Tentu saja Lim Hwat sebagai otak barisan itu yang memimpin pengepungan tidak
membiarkan lawannya terlolos dari kepungan, maka ia lalu berteriak sambil menggerakkan
cambuknya yang telah terputus ujungnya itu untuk memaksa Gwat Kong kembali ke dalam
kurungan. Akan tetapi, Gwat Kong berseru lagi dengan nyaring dan ketika ia berjungkir balik
dengan gerakan Garuda Sakti Menembus Mega, tubuhnya mumbul tinggi dengan kaki di atas
dan kepala di bawah. Saat itu ia pergunakan untuk mengirim bacokan ke arah pundak Lim
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 92
Hwat yang tak berdaya mengelak sehingga pundak kirinya terserempet ujung pedang. Ia
berseru keras dan terhuyung-huyung ke belakang dengan pundak mengalirkan darah.
Gwat Kong tidak mau berhenti sampai sekian saja. Sambil mempergunakan kesempatan
selagi para pengeroyoknya kacau keadaannya. Ia lalu mengerjakan dua senjata di tangannya
dan kembali terdengar teriakan-teriakan kesakitan ketika pedangnya berhasil memutuskan dua
buah jari tangan Oey Sian sehingga goloknya terpental jauh dan sulingnya dapat menotok
jalan darah pada pundak Teng Li sehingga orang ini roboh dengan lemas.
Dua orang pengeroyok lain, yakni Lim Can yang bersenjata tongkat kepala naga dan Teng Ki
yang bersenjata pedang panjang, memburu untuk menolong saudara-saudaranya. Akan tetapi
sekali pedang dan suling di tangan Gwat Kong bergerak, ujung tongkat yang berbentuk kepala
naga itu terbabat putus dan pedang di tangan Teng Ki terpental jauh pula karena suling Gwat
Kong dengan tepat telah menghantam pergelangan tangannya.
Demikianlah, dengan sekali gus dan dalam waktu yang luar biasa cepatnya sehingga Tin Eng
sendiri memandang dengan bingung dan mata kabur, lima orang jago Ngo-heng-tin itu kena
dikalahkan oleh Gwat Kong yang masih berlaku murah hati dan tidak membinasakan mereka.
Hanya memberi pukulan-pukulan yang membuat mereka terluka, akan tetapi cukup membuat
mereka tak dapat maju pula.
Lim Hwat sambil meringis kesakitan dan memegang-megang pundaknya yang berdarah dan
wajahnya sebentar pucat sebentar merah, lalu menjura dan membungkukkan tubuh kepada
Gwat Kong sambil berkata,
“Anak muda, kau benar-benar lihai sekali dan ternyata kau telah memiliki ilmu pedang Sineng
Kiam-hoat dan juga pedang Sin-eng-kiam telah berada di tanganmu! Siapakah sebenarnya
kau?”
Dengan sikap masih tenang dan suara biasa saja, Gwat Kong menjawab, “Aku bernama Bun
Gwat Kong atau boleh juga kau sebut Kang-lam Ciu-hiap sebagai mana orang-orang Kanglam
menyebutku.”
“Bagus, bagus! Nama ini takkan kami lupakan. Saat ini kami mengaku kalah, akan tetapi
tunggulah satu dua tahun lagi, Kang-lam Ciu-hiap. Pasti kami akan mencarimu untuk
membuat perhitungan.”
“Bun-ko, mintakan kitabku!” Tiba-tiba Tin Eng berseru dan Gwat Kong tiba-tiba merasa
betapa mukanya menjadi panas dan warna merah menjalar dari telinga kiri sampai ke telinga
kanan ketika mendengar betapa gadis itu kini menyebutnya ‘Bun-ko’!”
Sementara itu, Lim Hwat ketika mendengar ucapan Tin Eng ini, dengan tersenyum pahit lalu
mengeluarkan kitab itu dari saku bajunya sebelah dalam dan memberikan itu kepada Tin Eng
sambil berkata,
“Terimalah kitab palsu ini. Kau boleh mempelajarinya sampai seratus kali akan tetapi tidak
akan ada gunanya!” Setelah berkata demikian, kembali Lim Hwat menjura terhadap Gwat
Kong dan kemudian memberi tanda kepada empat orang saudaranya untuk masuk ke dalam
rumah yang lalu ditutupkan pintunya keras-keras.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 93
Gwat Kong menghampiri Tin Eng yang memandangnya dengan mata kagum sekali. Tanpa
berkata sesuatu, keduanya lalu berjalan menuju kota Ki-Ciu kembali. Di tengah jalan, Gwat
Kong tidak dapat menahan lagi keadaan yang sunyi di antara mereka itu, maka dengan muka
merah ia lalu berkata,
“Liok-siocia, maafkan aku yang telah menyembunyikan keadaanku darimu.”
Tin Eng memandangnya dan tersenyum. “Mengapa minta maaf? Kau hebat dan lihai sekali,
seratus kali lebih hebat dari padaku.”
Makin merahlah wajah Gwat Kong mendengar ini, karena ia merasa seakan-akan ia disindir.
“Kau juga cukup lihai, nona, hanya sayangnya kau telah mempelajari kitab yang salinan
belaka. Masih ingatkah kau akan kitab yang sebuah lagi, yang kau sebut kitab berisi sajak dan
syair kuno itu?”
Tin Eng mengingat-ingat lalu mengangguk.
“Nah, kitab yang kau anggap tidak berguna itulah sebetulnya kitab pelajaran Sin-eng Kun-
Hoat dan Sin-eng Kiam-hoat yang asli. Aku diam-diam mempelajari kitab itu sehingga dapat
juga memiliki sedikit ilmu kepandaian.”
Tin Eng makin merasa kagum dan terheran sehingga ia menunda kedua kakinya. Keduanya
berdiri di pinggir jalan, berhadapan dan saling pandang.
“Bun-ko ......”
“Nona, mengapa kau menyebutku demikian, aku masih tetap Gwat Kong yang dulu bagimu.”
Tin Eng menggelengkan kepalanya. “Jangan membuat aku merasa malu terhadap diri sendiri,
Bun-ko. Aku selalu menganggap kau sebagai orang yang bodoh dan tidak tahu apa-apa. Tidak
tahunya kau bahkan pandai membaca kitab kuno. Satu hal yang sama sekali tak pernah
kusangka. Tadinya ku kira kau buta huruf tidak tahunya kau terpelajar pula. Aku tidak berhak
menyebutmu dengan nama begitu saja.”
“Mengapa begitu? Sungguh, aku merasa tidak enak sekali mendengar sebutan itu, nona. Aku
lebih senang kalau kau sebut namaku saja!”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Boleh, aku akan menyebutmu biasa saja, akan tetapi
kaupun harus membuang jauh-jauh sebutan nona itu! Aku boleh kau sebut Tin Eng saja tanpa
embel-embel nona. Bagaimana?”
Dengan muka merah Gwat Kong berkata, “Baiklah, nona.”
“Hussh! Bagaimanakah ini? Mengapa menyebut baik, akan tetapi kembali menyebut nona?”
“Eh ... aku ... aku lupa, non ..” jawab Gwat Kong gugup sehingga Tin Eng memandang geli.
“Gwat Kong, kau benar-benar hebat. Aku merasa kagum sekali. Kau harus mengajarku
dengan ilmu silatmu itu!”.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 94
Setelah menyebut nama Gwat Kong seperti biasa, Tin Eng merasa biasa kembali dan
lenyaplah keraguan dan rasa malu-malu tadi. Juga Gwat Kong merasa lebih enak dan leluasa.
“Tentu ... Tin Eng, kalau kau kehendaki, aku akan dapat memberi pelajaran kepadamu
sedapat mungkin.”
Mereka duduk di pinggir jalan dan berteduh di bawah lindungan pohon. Kemudian Gwat
Kong menceritakan semua pengalamannya semenjak ia mendapatkan kitab itu. Betapa ia
mempelajari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat dengan diam-diam dan rajin. Ia menceritakan pula
tentang semua pengalamannya semenjak ia meninggalkan gedung Liok-taijin dan betapa ia
mendapat julukan Kang-lam Ciu-hiap.
“Kau memang patut menjadi pendekar arak, karena kau memang seorang pemabok!” kata Tin
Eng yang teringat kembali akan peristiwa di dalam gedungnya ketika ia hampir membunuh
Gwat Kong yang sedang mabok. Merahlah muka pemuda itu mendengar hal ini disebut-sebut.
“Gwat Kong, sebetulnya kau berasal dari manakah? Kau telah bertahun-tahun bekerja di
rumah orang tuaku, akan tetapi aku belum pernah mendengar riwayatmu. Apakah kau tidak
keberatan untuk menceritakan kepadaku?”
Sebetulnya Gwat Kong merasa ragu-ragu untuk menceritakan hal ini kepada siapapun juga
akan tetapi kepada Tin Eng, tiba-tiba ia timbul rasa seakan-akan gadis ini bukan orang lain
dan bahkan seakan-akan sudah seharusnya ia menceritakan keadaannya kepada Tin Eng.
Maka secara singkat ia menceritakan riwayatnya, betapa ia dahulu adalah seorang putera Buntihu
di Lam-hwat dan ayahnya difitnah orang sehingga ia dibawa pergi oleh ibunya yang
hidup penuh penderitaan. Ketika menceritakan betapa ia tersesat, mabok-mabokan dan
bergaul dengan segala orang muda yang tidak baik sehingga ibunya jatuh sakit dan meninggal
dunia di Ki-hong, tak tertahan pula Gwat Kong mengalirkan air mata yang segera disusutnya
dengan ujung lengan bajunya.
Tin Eng mendengar penuturan ini dengan hati amat terharu sehingga ia ikut pula melinangkan
air mata. Tak disangkanya bahwa Gwat Kong adalah putera seorang tihu yang adil dan jujur.
Diam-diam ia merasa girang mendapatkan kenyataan ini sungguhpun ia tidak tahu mengapa ia
boleh merasa girang.
“Sudahkah kau membalas dendam orang tuamu itu, Gwat Kong?” tanyanya.
“Musuh besar itu telah meninggal dunia hanya tinggal seorang puterinya. Bagaimana
pendapatmu tentang hal ini? Haruskah aku membalas kepada anaknya itu?”
Tin Eng merasa ragu-ragu untuk menjawab, karena iapun merasa betapa sulitnya untuk
mengambil keputusan dalam hal ini. “Dan bagaimana pendapatmu sendiri?” ia balas bertanya.
“Menurut pendapatku, puteri musuh besar orang tuaku itu tidak ikut apa-apa dan ia tidak
berdosa. Maka tidak seharusnya kalau aku membalas dendam kepadanya. Apakah
hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa keluarga ayahku? Yang bersalah adalah
ayahnya dan ia tidak tahu menahu tentang hal itu. Oleh karena inilah maka aku tidak berniat
membalas dendam kepada orang yang sama sekali tidak berdosa.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 95
Tin Eng mengangguk menyatakan persetujuannya. “Kau adil dan mulia Gwat Kong. Kalau
aku sendiri menjadi puteri musuh besar itu, aku akan merasa ngeri mendapatkan musuh yang
membalas dendam seperti kau!”
Setelah agak lama mereka berdiam saja, Gwat Kong lalu bertanya,
“Dan sekarang kau hendak pergi ke manakah, Tin Eng?”
Ditanya demikian, Tin Eng kembali teringat akan semua barangnya yang telah hilang, maka
jawabnya sambil menarik napas panjang, “Entahlah, aku tidak mempunyai tujuan tetap,
apalagi sekarang setelah semua uangku tercuri orang. Untuk membayar sewa kamar saja aku
tidak mampu.”
“Akupun tidak mempunyai uang, akan tetapi apa susahnya hal ini? Kau bisa ‘pinjam’ dari
para hartawan di kota Ki-ciu.”
“Pinjam? Tanya Tin Eng heran.
Gwat Kong tersenyum. “Biarpun aku sendiri baru saja merantau dan menerjunkan diri dalam
dunia kang-ouw, akan tetapi agaknya dalam hal ini aku lebih matang dari padamu, Tin Eng.
Istilah ini digunakan oleh orang-orang kang-ouw untuk mengambil sedikit uang para
hartawan untuk digunakan sebagai biaya perjalanan.”
“kau maksudkan .... mencuri? Gwat Kong! Bagaimana kau bisa memberi nasehat kepadaku
supaya menjadi pencuri?”
“Dalam hal ini, mencuri yang dilakukan oleh orang-orang kang-ouw berbeda sifatnya, Tin
Eng,” katanya dengan wajah sungguh-sungguh. “Orang-orang perantau di dunia kang-ouw
pekerjaannya menolong orang-orang yang perlu ditolong tanpa mengharap akan upah atau
pembalasan jasa dan dari manakah mereka bisa mendapatkan uang untuk biaya perjalanan dan
membeli makanan? Mengambil sedikit uang dari para hartawan bukan berarti apa-apa lagi
bagi hartawan itu dan kalau digunakan bukan untuk mencari kesenangan diri, maka dosanya
tidak begitu besar!”
Tin Eng menjadi geli mendengar alasan ini. “Benar-benar lucu, apakah dosa itu ada yang
besar dan kecil?”
Gwat Kong juga tersenyum mendengar ini dan pada saat itu, tiba-tiba dari jauh datang berlari
seorang laki-laki yang setelah dekat ternyata bukan lain ialah Lok Ban si Tangan Seribu,
kepala maling di kota Ki-ciu.
Melihat orang ini, Tin Eng yang sudah mengambil kembali pedangnya tadi, melompat dan
mengejar dengan pedang di tangan. Akan tetapi, kepala maling itu memang sengaja
menghampiri mereka dan datang-datang ia lalu menjura dengan hormat sekali.
“Ji-wi, harap jangan salah sangka. Kedatangan siauwte ini bukan membawa maksud buruk
akan tetapi semata-mata hendak mengembalikan barang-barang lihiap yang tadi telah diambil
oleh seorang kawan kami yang salah tangan!” Sambil berkata demikian, ia memberikan
bungkusan pakaian Tin Eng yang ternyata masih lengkap.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 96
Tin Eng menerima buntalan pakaian dan perhiasan serta uangnya itu dengan girang dan juga
terheran-heran, lalu bertanya,
“Sahabat, bagaimanakah maksudnya semua ini? Tadinya kau dan kawan-kawanmu mencuri
barang-barangku dan sekarang tanpa diminta kau mengembalikannya!”
Si raja maling itu tersenyum dan menjura lagi. “Kami tidak tahu bahwa yang kami ambil
barangnya adalah seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, bahkan kawan baik seorang
pendekar besar seperti Kang-lam Ciu-hiap, harap saja ji-wi sudi memberi maaf kepada kami.”
Gwat Kong yang telah berdiri bertanya dengan heran, “Eh, kau juga sudah mendengar
namaku?”
Lok Ban tersenyum. “Biarpun belum lama kau membuat nama besar, taihiap, akan tetapi kami
telah mendengarnya. Bahkan kami telah menyaksikan pula betapa kau telah mengalahkan
Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang tangguh itu. Benar-benar membuat kami merasa tunduk!”
“Kau terlalu memuji, kawan,” kata Gwat Kong merendah.
“Untuk menebus kesalahan kawan kami, kami mengundang kepada ji-wi untuk datang
menghadiri sedikit perjamuan makan yang kami adakan untuk menghormati ji-wi dan
menyatakan maaf kami. Harap ji-wi tidak menolak.”
Kedua orang muda itu saling pandang dan sambil tersenyum, kemudian mereka mengikuti
Lok Ban yang ternyata membawa mereka ke kota Ki-ciu dan dalam sebuah rumah makan
terbesar telah berkumpul belasan maling-maling yang terbesar, di antaranya si botak yang
dulu mengambil barang-barang Tin Eng. Mereka menyambut Gwat Kong dan Tin Eng dengan
penuh penghormatan dan mempersilahkan mereka duduk di kursi kehormatan.
Gwat Kong dan Tin Eng dijamu dengan penuh penghormatan oleh Lok Ban si Tangan Seribu
dan kawan-kawannya, yakni seluruh anggauta perkumpulan maling. Kedua orang muda itu
setelah mulai makan, saling pandang dengan penuh keheranan, oleh karena masakan-masakan
yang dihidangkan luar biasa enaknya dan tidak kalah oleh hidangan-hidangan orang-orang
besar atau orang-orang hartawan.
“Masakan ini sedap sekali!” seru Tin Eng yang doyan makan hidangan lezat. “Saudara Lok,
bumbu apakah yang dipakai untuk masakan-masakan ini?”
Lok Ban si Tangan Seribu tersenyum-senyum senang mendengar pujian ini, dan kemudian
berkata dengan bangga,
“Lihiap, tidak sembarangan orang dapat menikmati masakan yang memakai bumbu dari
istana kaisar ini! Kami sengaja menggunakan sisa bumbu yang dulu kami ambil dari dapur
istana kaisar untuk membuat masakan ini dan menjamu ji-wi (kalian berdua)!”
Gwat Kong tertawa. “Jadi tanganmu sudah kau ulur demikian panjang sehingga sampai di
dapur istana kaisar?”
Lok Ban tersenyum lagi. “Hanya untuk mengambil bumbu ini Ciu-hiap! Kami tidak berani
mengambil barang-barang berharga. Oleh karena itu, kami tidak dikejar-kejar dan dimusuhi
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 97
oleh perwira-perwira kerajaan. Siapa yang mau meributkan soal kehilangan bumbu masakan?
Paling-paling hanya tukang masak istana saja ribut-ribut seperti terbakar jenggotnya!” Lok
Ban tertawa, membuat Gwat Kong dan Tin Eng juga tertawa geli.
Tiba-tiba Lok Ban yang tadinya tertawa-tawa itu berubah menjadi bersungguh-sungguh dan ia
berdiri dari kursinya. Melihat kepala maling ini berdiri, semua anggauta yang hadir di situ lalu
menghentikan percakapan mereka dan keadaan menjadi hening.
“Saudara-saudara sekalian,” katanya dengan suara nyaring. “Kalian tentu telah mendengar
nama Kang-lam Ciu-hiap yang biarpun baru saja membuat nama besar, akan tetapi telah amat
terkenal. Dengan kedua mataku sendiri, aku menyaksikan bagaimana Ciu-hiap
mempermainkan dan mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap yang lihai. Setelah kini Ciu-hiap
berada di tengah-tengah kita, mengapa kita tidak minta agar supaya Ciu-hiap memimpin kita?
Aku Lok Ban si Tangan Seribu, kalau dibandingkan dengan Kang-lam Ciu-hiap, menjadi Lok
Ban si Tangan Buntung.”
“Setuju ....! Setuju ...!” Kawan-kawannya berseru gembira oleh karena mereka ini telah
percaya sepenuhnya kepada Lok Ban sehingga apa saja yang diusulkan oleh si Tangan Seribu
ini mereka anggap baik dan tepat.
Lok Ban lalu menjura kepada Gwat Kong dan berkata,
“Ciu-hiap, sebagaimana telah kau dengar sendiri, maka kami mohon sudilah kiranya mulai
sekarang Ciu-hiap menerima pengangkatan sebagai Pangcu (ketua) kami dan memimpin kami
yang bodoh!”
Gwat Kong menjadi bingung dan terkejut mendengar ini. Dia hendak diangkat menjadi kepala
maling? Pemuda itu hanya duduk dengan mata terbelalak dan mulutnya ternganga, bengong
tak dapat menjawab, hanya memandang kepada Tin Eng dengan muka bodoh.
Gadis itu tertawa geli melihat keadaan ini dan teringat akan ucapan Gwat Kong bahwa
pemuda itu juga pernah melakukan pencurian uang untuk biaya perjalanan. Maka ia segera
menggoda,
“Mengapa kau merasa sangsi? Bukankah kau juga mempunyai kesukaan untuk mencuri
seperti yang kaukatakan tadi sebelum datang ke sini? Ha ha ha, kau memang pantas menjadi
raja maling!”
Gwat Kong hendak menegur, akan tetapi pada saat itu terdengar suara tertawa keras dan tibatiba
sesosok bayangan orang melompat ke atas loteng di mana perjamuan para maling itu
diadakan. Bayangan ini adalah seorang pemuda tinggi besar yang bermuka hitam. Matanya
lebar dan hidungnya besar, sedangkanan dua telinganyapun lebar sehingga mukanya nampak
lucu akan tetapi membayangkan kebodohan, kekasaran dan kejujuran.
“Maling-maling berpesta pora di rumah makan dengan terang-terangan, Ha ha ha!
Pemandangan yang aneh! Sungguh lucu sekali kota Ki-ciu ini.”
Setelah berkata demikian, pemuda tinggi besar itu tertawa bergelak-gelak. Tubuhnya yang
besar itu bergerak-gerak, mukanya berdongak dan kedua tangannya bertolak pinggang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 98
Marahlah maling botak itu yang dulu mencuri barang-barang Tin Eng melihat kedatangan
orang muda yang mengejek mereka ini. Dengan gerakan yang amat gesit, menunjukkan
bahwa ginkangnya sudah tinggi, si botak ini lalu melompat ke depan pemuda tinggi besar itu
dan membentak,
“Bangsat, kurang ajar dari manakah berani mengejek kami?”
Pemuda muka hitam itu menghentikan suara ketawanya dan menundukkan mukanya, karena
ia jauh lebih tinggi sehingga ia harus menundukkan muka untuk dapat menentang wajah
lawannya. Akan tetapi oleh karena ia benar-benar tinggi, ketika menunduk, ia melihat botak
yang licin di kepala itu sehingga kembali ia tertawa terbahak-bahak.
“Ha ha ha! Si botak ini apakah juga seorang maling? Ha ha! Aku berani bertaruh bahwa kau
tentu seorang maling ayam!”
Biarpun merasa marah melihat datangnya orang tinggi besar yang terang-terangan hendak
menghina mereka, akan tetapi mendengar ucapan ini dan melihat sikap yang lucu ini, mereka
terpaksa tersenyum. Si botak marah sekali dan sambil berseru keras ia lalu memukul perut
pemuda muka hitam itu dengan tangan kanannya.
Gerakannya memang cepat sekali oleh karena si botak ini memang sengaja mempelajari
ginkang yang amat berguna bagi pekerjaannya sebagai maling. Ia dapat berlari-lari cepat,
dapat melompat dan berlari-lari di atas genteng dan gerakannya memang luar biasa cepatnya.
Akan tetapi, dalam hal ilmu berkelahi, ia tidak memiliki kepandaian yang tinggi.
Pemuda tinggi besar itu terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya. Akan tetapi ketika
melihat datangnya pukulan yang tak berapa kuat itu, ia sengaja menerima pukulan itu dengan
perutnya sambil mengerahkan sinkangnya.
“Bukk!” Pukulan itu menghantam perut si pemuda. Akan tetapi yang dipukul tidak apa-apa,
sebaliknya yang memukul terhuyung ke belakang.
Si botak marah sekali dan menyerbu lagi dengan penasaran. Akan tetapi tiba-tiba pemuda
tinggi besar itu lalu mengulurkan tangan kanannya dan karena lengannya jauh lebih panjang,
sebelum si botak dapat memukulnya, ia telah dapat menahan tubuh lawan dengan menangkap
kepala botak itu dengan telapak tangannya yang lebar.
Dengan tangan menahan kepala lawannya yang botak, ia tertawa-tawa sedangkan si botak
berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan kepalanya. Kedua tangannya memukul-mukul ke
depan, akan tetapi karena lengannya jauh lebih pendek, pukulannya itu tidak mengenai tubuh
lawan.
Sambil memperdengarkan suara ketawa geli, pemuda tinggi besar itu lalu menggerakkan
tangan kirinya dan tahu-tahu belakang leher si botak telah ditangkap lalu diangkat. Kini kedua
kaki si botak tak menginjak tanah dan bergerak-gerak dalam usahanya untuk melepaskan diri.
Sungguh pemandangan yang amat lucu, karena si botak itu bagaikan seekor kelinci yang
dipegang pada telinganya. Tak dapat ditahan pula Tin Eng terkekeh-kekeh saking geli hatinya
melihat pemandangan yang lucu ini. Juga Gwat Kong tersenyum karena ia maklum bahwa
betapapun sombongnya, pemuda tinggi besar yang lihai itu tidak berhati kejam.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 99
Buktinya, setelah tertawa bergelak, ia melemparkan tubuh si botak ke depan sehingga maling
ini jatuh bergulingan tanpa menderita luka sedikitpun. Akan tetapi, pelajaran itu sudah cukup
membuat hatinya menjadi gentar dan ia tidak berani maju lagi.
Tentu saja peristiwa ini membuat wajah Lok Ban menjadi pucat karena orang telah
mengalahkan muridnya. Orang telah menghina pestanya, berarti menghina perkumpulan
maling di Ki-ciu dan menghina Lok Ban si Tangan Seribu. Dengan gerakan ringan ia
melompat dan menghadapi pemuda tinggi besar itu sambil berkata,
“Orang gagah dari manakah datang memancing keributan? Aku Jian-jiu Lok Ban si Raja
Maling di Ki-ciu selamanya belum pernah mengganggu orang luar daerahku, mengapa orang
lain tidak memandang mukaku?”
Ucapan ini dikeluarkan oleh Lok Ban bukan dengan maksud menyombongkan diri, akan
tetapi karena ia telah melihat kelihaian orang, maka ia memperkenalkan namanya yang sudah
banyak dikenal oleh semua orang gagah di sekitar dan di daerah Ki-ciu. Akan tetapi ia kecele
kalau menyangka bahwa pemuda itu sudah mengenal nama dan mengubah sikapnya, karena
setelah mendengar ucapannya itu, ia bahkan tertawa geli dan menjawab,
“Eeeh eh, memang aneh-aneh di Ki-ciu ini. Ada raja malingnya segala macam! Jadi kaukah
raja maling di Ki-ciu? Hmmm, kebetulan sekali, aku adalah nenek moyangnya maling, maka
kau seharusnya menyebut kong-couw (kakek buyut) kepadaku!”
Terlalu sekali, pikir Lok Ban dengan marah maka ia lalu berkata, “Baiklah, kau sengaja
mencari keributan. Apa boleh buat! Lihat pukulan!” Ia mulai menyerang dengan gerakan tipu
Pek-wa-hian-to (kera Mempersembahkan Buah Tho). Serangannya selain cepat juga
bertenaga kuat maka pemuda tinggi besar itu tidak berani main-main seperti ketika
menghadapi si botak tadi.
Ia mengelak ke kiri sambil menyampok dengan tangan kanannya. Kemudian dengan
menggeser kakinya merobah bhesi (kuda-kuda) dan membalas dengan serangan yang disebut
Thi-gu-keng-te (Kerbau Besi Meluku Tanah). Serangannya ini dilakukannya dengan tenaga
yang bukan main kuatnya sehingga Gwat Kong diam-diam berkata perlahan kepada Tin Eng,
“Dia seorang ahli gwakang (tenaga kasar)! Lok Ban takkan menang!”
12.
RAMALAN ini ternyata terbukti tak lama kemudian. Biarpun memiliki ilmu kepandaian silat
yang lumayan, akan tetapi ternyata ia kalah tenaga menghadapi pemuda raksasa itu. Tiap kali
pukulannya kena tangkis, tubuhnya sampai terhuyung-huyung ke samping dan ia merasa
lengan tangannya yang tertangkis sakit sekali.
Sebaliknya, tiap kali pemuda itu menghantam, Lok Ban tidak berani menangkis, hanya cepat
mengelak mempergunakan kegesitan dan keringanan tubuhnya. Celaka bagi Lok Ban bahwa
ia tidak dapat menarik keuntungan dari kecepatannya, karena pemuda itupun cukup gesit dan
memiliki ketenangan dan gerakan yang tetap sehingga tidak gugup menghadapi kegesitan Lok
Ban.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 100
Setelah bertempur dua puluh jurus lebih, akhirnya pundak kanan Lok Ban kena di dorong
sehingga tubuhnya terpental dan kemudian roboh bergulingan menabrak kursi. Juga dalam
serangan ini ternyata bahwa pemuda tinggi besar itu tidak bermaksud kejam sehingga pundak
Lok Ban tidak terluka, hanya agak biru saja karena kerasnya tangan lawan. Lok Ban juga
maklum akan hal ini, maka ia merasa bahwa ia tidak akan menang melawan pemuda itu, lalu
sambil melirik kepada Gwat Kong, raja maling itu berkata,
“Anak muda, kau boleh menghina aku Lok Ban dan kawan-kawanku. Akan tetapi kau
sungguh keterlaluan karena perbuatanmu ini berarti tidak memandang maka kepada Kang-lam
Ciu-hiap!”
Gwat Kong maklum bahwa kini tuan rumah sedang berusaha untuk minta bantuannya.
Sementara itu Tin Eng juga merasa betapa pemuda itu memang agak keterlaluan, maka ia lalu
menggunakan sumpitnya untuk menjepit sepotong daging dan sekali ia menggerakan tangan,
daging itu melesat dengan cepatnya menuju ke arah muka pemuda itu.
“Tamu tak diundang rasakanlah sedikit daging!” seru gadis itu sambil tersenyum, dan kini
sumpitnya telah menjepit sepotong daging pula, siap menyusul serangan pertama kalau gagal.
Pemuda muka hitam itu terkejut melihat menyambarnya benda kecil itu dan maklum bahwa
orang hendak menghinanya, maka ia cepat miringkan kepala sehingga daging yang
dilemparkan oleh Tin Eng itu mengenai tempat kosong. Akan tetapi daging kedua telah
menyambar tepat di tempat pemuda itu membuang mukanya, maka hampir saja ia menjadi
korban sambaran daging. Untung ia masih berlaku cepat dan menundukkan muka.
Akan tetapi kini sambaran ketiga datang menyusul amat cepat. Kali ini yang menyambarnya
adalah sepotong bakso yang bundar bagaikan pelor. Pemuda itu kaget sekali karena tahu-tahu
bakso bundar itu telah mendekati mulutnya dan telah tercium baunya yang sedap. Ia
miringkan kepalanya, akan tetapi kurang cepat sehingga bakso itu masih menghantam daun
telinganya sebelah kanan.
“Kurang ajar!” serunya sambil memandang marah kepada Tin Eng dan Gwat Kong yang
tertawa bergelak, diikuti oleh suara ketawa semua orang yang hadir.
“Bukan salahku!” kata Tin Eng menyindir. “Mengapa telingamu besar amat? Kalau telingamu
tak sebesar itu, tentu takkan kena!”
Pemuda itu menggunakan tangan untuk menyusuti telinganya yang berlumur kuah dan
mendengar ejekan ini mukanya menjadi merah. Memang telinganya besar sekali, ini dapat ia
ketahui apabila ia meraba daun telinganya.
“Jangan berlaku seperti seorang pengecut!” teriaknya sambil membelalakkan matanya yang
besar.
“Menyerang orang secara menggelap. Sungguh patut dilakukan oleh seorang maling rendah!
Kalau mempunyai kegagahan majulah, aku tidak takut segala macam Pendekar Arak maupun
setan arak!” Ia sengaja menghina Kang-lam Ciu-hiap (Pendekar Arak Dari Kang-lam) karena
memang ia belum pernah mendengar nama ini.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 101
Gwat Kong merasa suka melihat pemuda itu, karena ia maklum bahwa betapa pun kasarnya
akan tetapi pemuda itu memiliki sifat-sifat baik, yakni jujur dan tidak kejam, juga ilmu
silatnya cukup baik. Setelah mengambil keputusan di dalam hatinya, Gwat Kong lalu berdiri
mendahului Tin Eng karena bila gadis itu yang menghadapi pemuda tinggi besar ini, tentu
keadaan akan menjadi rusak.
Gwat Kong lalu menghampiri pemuda itu lalu menjura, “Enghiong (orang gagah) dari
manakah dan siapa namamu? Kepandaianmu membuat kami merasa kagum!”
Akan tetapi pemuda itu yang masih marah karena telinganya disambar bakso, lalu menjawab
dengan pertanyaan pula sambil memandang tajam. “Apakah kau juga maling?”
“Buka matamu lebar-lebar!” seru seorang yang hadir. “Orang gagah itu adalah Kang-lam Ciuhiap!
Kau berani kurang ajar?”
“Hmm, jadi inikah Kang-lam Ciu-hiap yang disebut raja maling tadi? Tak berapa hebat! Dan
karena berkumpul dengan para maling, tentu Kang-lam Ciu-hiap juga maling!” kata pemuda
tinggi besar itu dengan beraninya.
Gwat Kong tersenyum. “Sesukamulah, boleh kau sebut apa saja. Akan tetapi, siapakah kau
dan mengapa kau datang-datang membikin ribut di sini?”
“Aku adalah seorang laki-laki sejati, bukan maling bukan perampok, tak pernah mengganti
she menyembunyikan nama. Aku datang tak disengaja ke rumah makan ini dan melihat
sekumpulan maling memilih ketua! Maling yang memperlihatkan diri di muka umum, bukan
maling lagi namanya, akan tetapi perampok-perampok jahat dan aku paling benci kepada
segala macam perampok!”
Gwat Kong tersenyum lagi. “Kau benar-benar orang gagah!” Kemudian ia berpaling kepada
semua yang hadir dan berkata, “Cuwi sekalian, kalau pemuda gagah ini menjadi pangcu, akan
bagus sekali.”
“Aku mau kau jadikan raja maling? Jangan menghina, akan kuhancurkan kepalamu!” seru
pemuda itu marah sekali sambil membelalakkan matanya.
“Apa kau berani melawan aku?” tanya Gwat Kong.
“Mengapa aku takut?”
“Bagaimana kalau kau kalah?” tanya pula Gwat Kong dan sengaja memperlihatkan sikap
memandang ringan.
“Ha ha ha! Aku yang kalah terhadap kau yang lemah ini? Kalau aku kalah, aku akan pai-kui
(memberi hormat sambil berlutut) kepadamu delapan kali dan mengangkat kau sebagai guru!”
“Tak usah, tak usah mengangkat guru, hanya satu permintaanku yakni kalau kau kalah dapat
kukalahkan dalam sepuluh jurus kau harus menurut segala perintahku!”
“Sepuluh jurus? Ha ha ha! Baik, baik, kalau aku kalah olehmu dalam sepuluh jurus, kau boleh
memerintahku apa saja, aku akan menurut.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 102
“Benar-benarkah?” Gwat Kong menegaskan. “Kau takkan melanggar janji?”
Pemuda itu marah sekali. “Ucapan seorang jantan lebih berharga dari pada sepuluh ribu tail
emas!”
Kemudian ia memandang dengan senyum menghina. “Dan bagaimana kalau kau kalah dan
tidak dapat menjatuhkan aku dalam sepuluh jurus?”
“Hmm, sesukamulah, apa yang kau minta?”
“Kalau kau kalah olehku, kau kugantungi papan di dadamu yang bertuliskan bahwa kau
adalah seorang maling besar di Ki-ciu, kemudian kau harus berjalan keliling kota setengah
hari lamanya!”
“Baik, baik!” kata Gwat Kong yang segera melangkah maju mendekati. “Nah, kau jagalah
pukulanku jurus pertama!”
Sambil berkata demikian Gwat Kong menyerang dengan pukulan tangan secara sembarangan
saja. Dengan tangan kanan ia menonjok dada Nyo Leng dengan perlahan sambil berseru,
“Jurus pertama!”
Melihat datangnya jotosan ke arah dadanya itu, Nyo Leng tersenyum mengejek dan tidak
mengelak. Bahkan mengangkat dadanya itu sambil mengerahkan tenaganya. Ia hendak
membuat Gwat Kong terpental seperti si botak ketika memukul perutnya tadi.
Akan tetapi ketika pukulan Gwat Kong yang dilakukan tangan kosong tiba di dadanya, Nyo
Leng berteriak kesakitan dan terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi ia benar-benar kuat.
Biarpun Gwat Kong tadi telah memukul uratnya, ia tidak sampai roboh dan dapat menahan
rasa sakit pada dadanya lalu melompat sambil berseru marah untuk membalas dengan
serangan pukulan tangannya yang keras itu.
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum melihat daya tahan pemuda ini, maka ia lalu
mengelakkan diri dari pukulan lawannya, lalu menyerang lagi sambil berseru,
“Jurus kedua!” Kali ini Gwat Kong menyerang dengan mendorongkan kedua tangannya ke
arah bahu kanan kiri lawannya dengan maksud untuk mendorong jatuh pemuda itu. Nyo Leng
tidak berani berlaku semberono lagi setelah tadi merasa betapa ampuhnya bekas tangan
lawan, maka kini melihat dua tangan Gwat Kong mendorongnya, ia lalu berseru keras dan
tiba-tiba iapun mendorongkan kedua lengannya memapaki lengan Gwat Kong.
Ternyata pemuda kasar itu hendak mengadu tenaga. Sepasang lengannya yang besar dan kuat
itu yang mengandung tenaga gwakang luar biasa besarnya bagaikan tenaga kerbau jantan,
meluncur cepat dan hendak menumbuk dua tangan Gwat Kong yang menyambar ke arah
kedua pundaknya.
Akan tetapi, Gwat Kong yang cerdik tidak mau mengadu tenaga dan begitu kedua tangannya
hampir bertumbukkan dengan kedua tangan lawan, ia lalu gerakan kedua tangan ke samping
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 103
dan ketika lengan lawan meluncur lewat, secepat kilat ia memegang pergelangan tangan
lawan dan sambil memiringkan tubuh ia menarik lengan Nyo Leng itu ke depan.
Tenaga dorongan Nyo Leng sudah besar bukan main, kini ditambah oleh tarikan Gwat Kong,
maka tidak dapat tertahan lagi, tubuh Nyo Leng terdorong ke depan dengan kerasnya
sehingga kalau saja ia tidak memiliki kecepatan dan berjungkir balik dengan tangan menepuk
lantai sedangkan kaki dilempar ke atas lalu membuat pok-sai (salto), tentu mukanya akan
beradu dengan tanah. Gerakan ini membuat kagum semua orang, karena sekali lagi Nyo Leng
memperlihatkan kekuatan dan kegesitannya.
Akan tetapi baru menghadapi dua jurus serangan Gwat Kong saja ia sudah hampir mendapat
kekalahan, maka kini Nyo Leng berlaku hati-hati sekali. Ia tidak mau mengadu tenaga dan
kini mulai bersilat dengan teratur dan tenang. Dengan baiknya ia dapat menjaga diri tanpa
mau membalas oleh karena ia maklum bahwa Kang-lam Ciu-hiap ini ternyata benar-benar
lihai bukan main, sehingga ia harus mencurahkan seluruh perhatian, tenaga dan
kepandaiannya untuk menjaga diri agar jangan sampai dapat dikalahkan dalam sepuluh jurus!
Benar saja, ia telah berhasl menghindarkan serangan-serangan Gwat Kong sampai jurus ke
tujuh. Akan tetapi tiba-tiba Gwat Kong mempergunakan ginkangnya yang tinggi sekali
sehingga Nyo Leng kehilangan lawannya! Selagi ia merasa bingung terdengar suara Gwat
Kong membentak,
“Jurus ke delapan!” Dan sebelum Nyo Leng dapat menjaga diri, jalan darahnya bagian Thianhi-
hiat telah kena ditotok oleh jari tangan Gwat Kong sehingga tiba-tiba ia merasa betapa
seluruh tubuhnya menjadi lemas. Akan tetapi Nyo Leng adalah seorang yang memiliki
kemauan dan semangat baja, sehingga biarpun seluruh tubuhnya lemas sekali, ia masih dapat
mempertahankan diri sehingga tidak roboh.
Gwat Kong merasa heran sekali dan menyangka bahwa totokannya tidak mengenai dengan
tepat, maka ia berseru,
“Jurus ke sembilan! Akan tetapi ia tidak jadi menyerang karena melihat lawannya sama sekali
tidak bergerak dan ketika ia mendorong perlahan kepada pundak Nyo Leng dan memulihkan
jalan darahnya. Pemuda itu lalu menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Kang-lam Ciu-hiap benar-benar lihai dan hebat! Teecu (murid) Nyo Leng menerima kalah!”
Dengan girang Gwat Kong mengangkat bangun pemuda itu dan mengajaknya duduk bersama
di mejanya. Kemudian ia minta pemuda itu menuturkan riwayatnya.
Ternyata bahwa Nyo Leng adalah seorang yatim piatu yang semenjak kecil suka sekali
mempelajari ilmu silat. Akan tetapi ia paling suka mengadu kepandaiannya dengan orangorang
lain yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi sehingga kepandaiannya makin
meningkat. Karena tiap kali kalah, ia lalu mengangkat guru kepada orang yang
mengalahkannya.
Biarpun ia kasar dan tidak cerdik, akan tetapi berkat sukanya belajar silat, ia memiliki
kepandaian yang lumayan juga. Ia merantau ke sana ke mari tanpa tempat tujuan tertentu dan
biarpun ia bodoh, akan tetapi ia amat jujur dan membenci kejahatan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 104
Mendengar riwayat pemuda ini, Gwat Kong lalu berkata, “Saudara Nyo, mulai sekarang kau
harus tinggal di Ki-ciu dan memimpin saudara-saudara ini!”
No Leng berdiri dan memandang kaget, “Apa? Benar-benar aku harus menjadi raja maling?
Ah, bagaimana aku bisa menjadi orang jahat?”
“Kau salah saudara Nyo. Kau bukan menjadi orang jahat, akan tetapi dengan adanya kau yang
mengawasi semua saudara ini, kau akan mencegah terjadinya kejahatan. Kau harus melarang
semua perbuatan sewenang-wenang dan harus mengadakan peraturan bagi semua anggauta.
Biarpun menjadi maling harus memakai aturan dan melihat siapa orangnya yang diganggu.
Para dermawan yang suka menolong orang, orang-orang kang-ouw yang kebetulan lewat di
kota ini, orang-orang miskin, pembesar-pembesar yang bijaksana dan adil, mereka ini tidak
seharusnya diganggu. Hartawan-hartawan kikir dan pembesar-pembesar kejam boleh diambil
hartanya.”
Nyo Leng memandang dengan wajah berseri. “Benar juga! Kalau aku dapat mengatur
sehingga maling-maling ini tidak berbuat sewenang-wenang, berarti aku telah menghalangi
kejahatan. Boleh-boleh! Aku terima jabatan ini sekarang juga!”
Gwat Kong lalu berkata kepada Lok Ban. “Saudara Lok, kau dan kawan-kawanmu tadi minta
kepadaku utk menjadi pangcu. Hal ini tak dapat kuterima oleh karena aku tak dapat tinggal di
tempat ini dan apakah artinya seorang pemimpin yang tidak berada di sini dan tidak
memimpin dengan langsung? Kalian telah melihat kepandaian saudara Nyo Leng ini yang
ternyata lebih tinggi dari pada kepandaian kalian. Maka sekarang jabatan yang tadi kalian
tawarkan kepadaku kuserahkan kepada saudara Nyo Leng ini. Harap kalian tidak menolak.”
Lok Ban dan kawan-kawannya menyatakan persetujuannya, oleh karena mereka maklum
bahwa pemuda muka hitam itu memang lebih lihai dari pada mereka. Dan juga bahwa
pemuda itu mempunyai hati yang baik, jujur dan tidak kejam. Maka, dengan gembira mereka
lalu merayakan pengangkatan ini dengan hidangan-hidangan baru.
Semenjak terjadinya pertempuran tadi, para tamu restauran ini telah pergi jauh-jauh karena
kuatir kalau-kalau terbawa-bawa sehingga keadaan di situ menjadi sunyi. Pesta berjalan
sampai jauh malam dan akhirnya Gwat Kong dan Tin Eng mengundurkan diri dan kembali ke
hotelnya.
****
Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong mengawani gadis itu menuju ke kota Hun-lam.
“Di sana aku mempunyai seorang paman, yakni kakak dari ibuku,” kata gadis itu. “Aku
pernah pergi ke sana bersama ibu ketika masih kecil dan kalau tidak salah, pamanku seorang
hartawan besar yang baik hati.”
Perjalanan dilakukan tanpa tergesa-gesa dan di sepanjang jalan, Tin Eng mendapat petunjukpetunjuk
dari Gwat Kong dan kadang-kadang mereka berhenti untuk berlatih dalam ilmu silat
tangan kosong dan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat. Tin Eng pernah mempelajari ilmu pedang
ini dengan amat tekun dan rajinnya dan walaupun yang dipelajarinya hanyalah salinan yang
kurang sempurna, akan tetapi pengetahuannya cukup untuk dijadikan dasar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 105
Maka kini setelah mendapat petunjuk dan latihan-latihan dari Gwat Kong, ia mulai dapat
merobah permainannya dengan ilmu yang asli, sehingga ia memperoleh kemajuan yang pesat
sekali. Juga dalam hal ilmu lweekang, ia mendapat petunjuk-petunjuk menurut pelajaran
dalam kitab aslinya.
Hubungan mereka makin erat dan kini mereka bukan bersikap sebagai dua orang sahabat
karib. Biarpun dari mulut mereka tak pernah mengeluarkan ucapan yang menyatakan betapa
perasaan hati mereka, akan tetapi pandangan mata mereka telah mewakili hati masing-masing.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Hun-lam. Kota ini cukup besar dan ramai,
dan karena iklimnya sedang, maka banyak pengunjung dari luar kota datang bertamasya ke
situ.
Terutama sekali di sebelah barat kota terdapat sebuah telaga yang indah, yakni telaga Oei-hu
di mana banyak pelancong menghibur diri di atas perahu.
Sungguhpun Tin Eng telah lupa lagi di mana letak rumah pamannya. Bahkan telah lupa lagi
akan wajah orang tua itu, karena dulu ketika mengunjungi tempat ini ia baru berusia lima
tahun. Akan tetapi karena ia mengerti nama pamannya, mudah saja mereka mencari gedung
dari Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (hartawan Lie) oleh karena Lie-wangwe adalah
hartawan yang paling ternama di kota itu. Bukan hanya kekayaannya, akan tetapi karena ia
terkenal sebagai seorang dermawan.
Ketika Tin Eng bersama Gwat Kong diterima oleh Lie-wangwe, Tin Eng sama sekali
pangling melihat pamannya itu. Sebaliknya Lie Kun Cwan juga memandang heran karena ia
tidak pernah bertemu dengan gadis cantik dan pemuda yang gagah itu. Memang ada
persamaan antara mata orang tua itu dengan ibunya, demikian Tin Eng berpikir dengan
terharu karena ia melihat betapa wajah pamannya ini nampak seakan-akan ia sedang berada
dalam kedukaan besar.
Dengan ramah tamah Lie-wangwe mempersilahkan kedua tamunya yang muda itu mengambil
tempat duduk, kemudian dengan tenang ia berkata,
“Ji-wi (kalian berdua) ini siapakah dan keperluan apakah yang ji-wi bawa?”
“Peh-peh, apakah benar-benar aku berhadapan dengan Lie peh-peh (uwa Lie)?” tanya Tin Eng
sambil berdiri.
“Aku benar bernama Lie Kun Cwan, akan tetapi, .... siapakah nona?”
Sementara Tin Eng lalu menjura, “Ah, Lie peh-peh! Lupakah kau kepada Tin Eng?”
Untuk sejenak Lie-wangwe yang juga bangkit berdiri itu memandang dengan heran,
kemudian ia berseru,
“Apa...?? Kau ... Tin Eng anak Liok Ong Gun ...?”
“Benar, peh-peh dan apakah selama ini peh-peh dan peh-bo baik-baik saja?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 106
Mendengar pertanyaan ini tiba-tiba air mata menitik turun dari kedua mata orang tua itu. Tin
Eng terkejut dan segera bertanya,
“Ada apakah, pek-hu? Apakah yang terjadi?” tanyanya kuatir.
“Peh-bomu .... telah meninggal dunia tiga bulan yang lalu ...”
“Ah ...” Tin Eng mengeluh dengan hati terharu. Lalu keponakan dan paman ini saling tubruk
di antara hujan air mata. “Bagaimana peh-bo bisa meninggal dunia, peh-peh ...?” tanya Tin
Eng di antara tangisnya.
“Dia menderita sakit jantung ... tak dapat diobati lagi ...” Orang tua ini menarik napas
panjang. Lalu berkata sambil mengelus-elus rambut Tin Eng. “Akan tetapi semua itu telah
menjadi takdir Thian Yang Maha Kuasa .... harta benda tak dapat menghibur hati orang yang
berduka. Tak dapat menahan nyawa yang telah dipanggil oleh Thian! Sudahlah, keringkan air
matamu, Tin Eng. Tangismu hanya membuat aku merasa pilu.”
Tin Eng lalu duduk kembali di kursinya dan mengeringkan air matanya dengan sapu
tangannya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaanmu, nak. Kau datang dari mana dan mengapa seorang
diri saja? Dan kawanmu ini siapakah? Apakah ayah-ibumu baik-baik saja?
Baru saja Tin Eng mengeringkan airmatanya, akan tetapi kini mendengar pertanyaan ini, ia
menangis lagi. Tangisnya bahkan lebih sedih lagi sehingga tubuhnya terisak-isak dan ia
menggunakan sapu tangan untuk menutupi mukanya. Gwat Kong menggeleng kepalanya dan
menghela napas. Ia merasa ‘bohwat’ (kehabisan akal) menyaksikan pertunjukkan tangis
menangis ini.
Kini Lie-wangwe yang nampak terkejut dan segera bertanya mengapa keponakannya itu
menangis sedemikian sedihnya. Dengan terisak-isak Tin Eng menceritakan kepada pamannya
betapa ia hendak dipaksa menikah oleh orang tuanya dan karena ia tidak suka, maka ia lalu
melarikan diri.
Pamannya mengangguk-anggukkan kepalanya. “Hmm, tidak seharusnya kau membikin susah
hati orang tuamu, Tin Eng. Seorang anak wajib menurut sebagai seorang anak berbakti
terhadap orang tuanya.”
“Akan tetapi, pek-hu, kalau hendak dijodohkan dengan seorang yang tak ku suka, apakah aku
harus menurut saja?” tanya Tin Eng penasaran dan pamannya tersenyum.
“Aah, beginilah kalau anak perempuan pandai ilmu silat. Kabarnya kau memiliki ilmu silat
yang tinggi sekali, melebihi ayahmu! Benarkah?”
Tin Eng diam saja dan menundukkan kepalanya.
“Sudahlah, jangan kau berduka. Urusan ini akan kucoba damaikan dengan orang tuamu. Kau
tinggallah di sini untuk sementara waktu. Hitung-hitung menghibur hati pamanmu. Hidupku
sunyi sekali semenjak bibimu meninggal. Aku seorang bernasib malang, tidak mempunyai
anak, dan isteri meninggal dunia dalam usia belum tua, Aaah ... biarlah kau menjadi seperti
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 107
anakku sendiri, Tin Eng. Aku akan menulis surat kepada ayah-ibumu minta agar mereka tidak
terlalu memaksa.”
“Terima kasih, pek-hu.”
“O, ya! Kau belum ceritakan, siapakah orang muda ini?” tanyanya. Dan Gwat Kong menarik
napas lega, karena tadinya ia kuatir kalau-kalau kedua orang itu telah melupakan sama sekali
bahwa ia berada pula di tempat itu.
“Dia adalah Bun Gwat Kong, seorang pendekar yang diberi julukan Kang-lam Ciu-hiap!” kata
Tin Eng yang lalu menceritakan bahwa ketika ia mendapat halangan di tengah perjalanan dan
hampir mendapat celaka di tangan Ngo-heng-kun Ngo-hiap. Ia mendapat pertolongan dari
pemuda ini yang bahkan mengantarkan sampai di Hun-lam. Tentu saja Tin Eng tidak
menceritakan bahwa pemuda itu bukan lain ialah bekas pelayan ayahnya sendiri!
Mendengar bahwa pemuda itu berjuluk Ciu-hiap atau Pendekar Arak, Lie Kun Cwan menjadi
girang sekali dan segera berkata,
“Aah, tidak tahunya kau seorang pendekar muda yang gagah berani! Ciu-hiap, melihat nama
julukanmu, kau tentu suka sekali minum arak. Dalam hal ini kita mempunyai kesukaan yang
sama!” Hartawan itu tertawa bergelak lalu memberi perintah kepada seorang pelayan untuk
segera mengeluarkan araknya yang terbaik.
“Marilah kita minum arak, hendak kusaksikan sampai di mana kekuatanmu minum!”
Kemudian ia memanggil seorang pelayan wanita dan memberi perintah untuk membereskan
sebuah kamar besar untuk Tin Eng.
“Tin Eng kau membereslah sendiri kamar menurut sesuka hatimu. Segala kekurangan boleh
kau minta kepada pelayan itu. He, A-sui! Kau layani nonamu baik-baik!”
Melihat sikap yang manis dan kebebasan pamannya ini, Tin Eng merasa girang sekali dan
segera ia meninggalkan ruangan itu bersama pelayan muda yang membawanya ke ruang
dalam. Sementara itu, dengan girang dan sebagian besar kedukaannya terlupa, Lie-wangwe
lalu mengajak Gwat Kong minum arak. Ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benarbenar
kuat sekali minum araknya yang wangi, Lie-wangwe merasa gembira sekali. Ia sendiri
adalah seorang ‘setan arak’ akan tetapi sekarang ia menemukan tandingan.
Tak lama kemudian Tin Eng muncul lagi dan ternyata gadis itu telah berganti pakaian yang
lebih longgar dan rambutnya telah di sisir rapi. Mukanya nampak segar karena gadis ini telah
mandi dan tukar pakaian. Sungguhpun sepatunya masih sepatu kulit yang tadi ia pakai, yakni
sepatu yang kuat dan yang biasa dipakai oleh ahli-ahli silat.
“Ha ha, Tin Eng! Kawanmu ini benar-benar Pendekar Arak! Hebat sekali. Lihat, ia telah
menghabiskan lima cawan arak wangi yang keras. Akan tetapi mukanya sama sekali tidak
berobah. Padahal aku telah merasa betapa pelupuk mataku berdenyut-denyut tanda bahwa
hawa arak mulai naik. Ha ha ha! Kalian menggirang hatiku. Kedatangan kalian benar-benar
menggembirakan hatiku.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 108
Gwat Kong melirik ke arah Tin Eng dan dengan matanya gadis itu memberi tanda bahwa ia
merasa berterima kasih kepada pemuda itu yang telah menyenangkan hati pamannya yang
sedang berduka.
Pada saat itu, dari luar terdengar suara keras,
“Lie-wangwe! Sumbanganmu untuk bulan ini lagi-lagi terlambat! Kau harus didenda dengan
tiga cawan arak wangi dan uang tambahan istimewa sepuluh bagian!”
Mendengar suara ini, Lie Kun Cwan mengerutkan keningnya, “Aah, celaka! Sedang senangsenangnya,
datang lagi buaya darat yang menjemukan!”
Akan tetapi ia segera memanggil pelayannya dan berkata, “Sediakan uang lima puluh tail
perak dan tambahan lima tail lagi dan ambil cawan kosong.”
Pada saat itu, seorang laki-laki baju hitam yang bertubuh tinggi besar melangkah masuk
dengan tindakan kaki lebar, diiringkan oleh seorang pelayan yang kelihatan takut. Orang itu
selain tinggi besar, juga wajahnya menunjukkan bahwa ia adalah bangsa orang kasar yang
hidup di kalangan liok-lim, dengan matanya yang lebar dan alisnya yang tebal serta brewokan
yang kaku.
Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, membuat ia nampak gagah sekali. Di lihat dari
ikat kepalanya, bajunya yang hitam dan celananya yang putih sampai ke sepatunya yang
mengkilap, ia adalah seorang yang mewah, karena semua pakaiannya terbuat dari pada bahan
kain yang mahal.
Melihat kedatangan orang ini, Lie-wangwe dengan cepat segera berdiri dan menjura,
“Ah, ji-kauwsu, silahkan duduk! Kebetulan sekali kami sedang minum arak, mari aku akan
membayar denda itu dengan pernyataan maaf akan kelambatanku.”
Orang tinggi besar itu, yang disebut ji-kauwsu (guru silat kedua) itu mempergunakan
sepasang matanya yang besar untuk memandang ke arah Gwat Kong dengan penasaran dan
tak puas karena melihat pemuda yang tak dikenal ini sama sekali tidak mau berdiri
menyambutnya dan memberi hormat kepadanya. Ia hendak menegur, akan tetapi pada saat itu
ia dapat melihat Tin Eng yang sedang berdiri menyadar tiang. Kemarahannya lenyap, terganti
oleh senyum menyeringai yang dimaksudkan untuk memperindah mukanya yang tak sedap
dipandang, sehingga mukanya nampak makin menjemukan.
Bagitu melihat orang ini, baik Tin Eng maupun Gwat Kong merasa tak suka dan jemu. Akan
tetapi oleh karena mereka belum tahu apa hubungan orang ini dengan Lie-wangwe, maka
mereka diam saja sambil memandang saja.
Sementara itu, ketika melihat Tin Eng yang cantik molek berada di situ, si baju hitam yang
tinggi besar lalu tertawa bergelak,
“Lie-wangwe, tidak tahunya kau sedang menjamu dua orang tamu. Ha ha, tentu saja aku tidak
menolak tawaran arak wangi. Harap kau perkenalkan aku kepada dua orang tamumu ini, Liewangwe!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 109
Sambil berkata demikian, ia menjura kepada Tin Eng yang sama sekali tidak dibalas oleh
gadis itu yang hanya tersenyum mengejek.
“Duduklah, ji-kauwsu!” kata Lie Kun Cwan membujuk karena ia merasa tidak enak melihat
sikap orang itu. “Dan marilah minum arak ini. Dia adalah seorang keponakanku, bukan tamu
dan pemuda inilah yang menjadi tamuku.”
Akan tetapi orang tinggi besar itu nampak mendongkol sekali. “Aku tidak biasa duduk
seorang diri sedangkanan orang lain hanya berdiri menonton saja. Lie-wangwe, apakah aku
Hun-lam Ji-kauwsu Touw Tek (Touw Tek si Jago Silat Nomor Dua di Hun-lam) terlampau
rendah untuk duduk minum arak semeja dengan keponakanmu?”
“Ah, tidak, tidak! Bukan demikian, ji-kauwsu, hanya karena keponakanku itu tidak biasa
minum arak. Tin Eng ... kau masuklah saja ...” Lie-wangwe nampak gelisah sekali.
Hal ini membuat Gwat Kong merasa mendongkol bukan main. Ia memberi isyarat dengan
mata kepada Tin Eng yang sudah merasa ‘gatal-gatal’ tangannya menyaksikan lagak orang
tinggi besar itu.
“Lie-lopeh.” Katanya dan ikut-ikutan menyebut lopeh (uwa) kepada hartawan itu.
“Sebetulnmya apakah kehendak ji-kauwsu ini datang ke rumahmu?”
“Ji-kauwsu ini datang hendak menerima sumbangan bulanan yang harus kuserahkan untuk
biaya penjagaan kota,” jawab Lie-wangwe. “Twa-kauwsu (guru silat pertama) Touw Cit dan
ji-kauwsu ini adalah dua orang saudara yang menjaga keamanan kota Hun-lam. Aku
diwajibkan membayar sumbangan lima puluh tail perak sebulan.”
“Kalau kami tidak menjaga dan ada perampok datang, tidak hanya semua uang dan harta
benda akan lenyap, bahkan nyawapun belum tentu akan dapat diselamatkan!” kata Touw Tek
yang tinggi besar itu sambil membusungkan dada.
13.
GWAT Kong mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring dan mengejek. “Orang
yang menjual kepandaian dapat disebut pengemis, hal itu masih tidak apa. Akan tetapi kalau
kepandaian digunakan untuk memeras dan berlagak, maka ini sudah keterlaluan sekali!”.
Sambil berkata demikian, Gwat Kong minum arak dari cawannya.
Lie-wangwe menjadi pucat mendengar ini. Sedangkan Touw tek memandang kepada Gwat
Kong dengan mata terbelalak karena heran. Bagaimana pemuda ini berani mengucapkan katakata
demikian terhadap dia? Keheranan lebih besar dari pada kemarahannya, maka ia lalu
bertanya,
“Eh eh, apa maksudmu, bocah lancang?”
Gwat Kong menunda cawannya yang masih dipegangnya, lalu berkata,
“Maksudku bahwa orang yang berlagak seperti kau ini tak mungkin dapat menjaga keamanan,
hanya pandai memeras uang orang belaka!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 110
“Tikus kecil!” Touw Tek memaki marah. “Siapa berani mengacau di Hun-lam? Coba hendak
kulihat, siapa berani?”
“Tikus besar!” Gwat Kong balas memaki. “Sekarang juga kau telah mengacau, hendak kulihat
kau mampu berbuat apa?”
Setelah berkata demikian, dengan tenang, Gwat Kong lalu minum habis arak di cawannya,
seakan-akan tak memandang sebelah mata kepada orang tinggi besar itu.
“Bun-hiante .... jangan cari perkara ...” Lie-wangwe berseru kuatir. Akan tetapi Tin Eng yang
masih berdiri menyandar di tiang, berkata, “Peh-peh, jangan kuatir, tikus besar ini memang
perlu diberi sedikit hajaran!”
Sementara itu Touw Tek menjadi marah sekali. Dengan gerakan yang galak, ia mencabut
goloknya. Tubuh Lie-wangwe menjadi menggigil ketika ia melihat golok yang berkilau
saking tajamnya itu digerak-gerakkan di tangan Touw Tek.
“Ji-kauwsu ... ji-kauwsu ... mohon kau sudi memaafkan tamuku ini. Aku akan memberi
seratus tail perak kepadamu, maafkanlah kami ...”
Akan tetapi Gwat Kong telah bangkit dari tempat duduknya dan berkata, “Lie-lopeh,
tenanglah dan biarkan aku menghadapi bajingan ini.”
Lie-wangwe menduga bahwa Gwat Kong telah menjadi mabuk, maka ia hendak mencegah,
kuatir kalau-kalau pemuda ini akan disembelih oleh Touw Tek di dalam rumahnya. Akan
tetapi kembali Tin Eng berkata,
“Peh-peh, biarkanlah Gwat Kong menghadapi tikus besar itu. Jangan kuatir, peh-peh!”
Terpaksa Lie Kun Cwan berdiri memandang dengan wajah membayangkan kegelisahan besar.
Sementara itu, Gwat Kong lalu melangkah maju dengan tenang menghadapi Ji-kauwsu Touw
Tek yang memperlihatkan muka mengancam.
“Golokmu yang tumpul itu hanya cukup baik untuk menakuti anak kecil belaka, apa sih
bagusnya? Membeli setail saja aku tak sudi, untuk apa kau perlihatkan kepadaku?”
“Bangsat kecil, lekas kau keluarkan senjatamu, kalau kau berkepandaian!” bentak Touw Tek
yang hampir tak dapat menahan marahnya lagi.
“Bangsat besar, menghadapi golok tumpul itu tak perlu aku bersenjata!”
“Kau cari mampus!” Touw Tek berseru lalu menyerang dengan goloknya. Gerakannya
dahsyat, ganas dan cepat. Goloknya diputar di atas kepala, kemudian ia membacok dengan
tipu Hong-sauw-pai-yap (Angin Menyapu Daun Rontok).
“Ha ha ha, gerakanmu ini hanya cukup baik untuk menyembeli babi!” Gwat Kong mengejek
sambil melompat ke pinggir mengelak dengan cepat sekali. Melihat bacokannya tak berhasil,
Touw Tek berseru marah dan menyerang lagi lebih hebat. Kini dengan gerak tipu Pek-miauwpo-
ci (Kucing Putih Terkam Tikus) yang dilakukan dengan nafsu membunuh bernyala-nyala
keluar dari matanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 111
Kembali Gwat Kong mengelak cepat sambil tersenyum-senyum. Sementara itu Tin Eng
menonton pertempuran itu sambil berdiri bersandarkan tiang dan iapun tersenyum melihat
betapa Gwat Kong mempermainkan orang kasar dan sombong itu. Sedangkan Lie-wangwe
berdiri dengan kaki terpentang dan muka dikerutkan tanda amat gelisah dan khawatir hatinya.
Ia tidak mengerti ilmu silat dan melihat serangan golok yang berkelebat cepat menyilaukan
mata itu, berkali-kali ia menutup matanya agar jangan melihat betapa tubuh pemuda itu akan
terbabat putus menjadi beberapa potong.
Akan tetapi, ketika ia membuka matanya kembali, Gwat Kong masih hidup, bahkan kini
berlompat-lompatan ke sana ke mari di sekeliling tubuh Touw Tek. Mempermainkan
bagaikan seekor tikus yang gesit sekali sedang mempermainkan seekor kucing tua yang
lambat dan ompong.
“Kau mau uang? Lima puluh tail perak? Seratus?” Gwat Kong mengejek sambil mengelak
cepat dari sebuah sabetan golok. “Nah, ini terimalah lima puluh tail!” Tangan kanannya
menyambar dan “Plok” pipi kiri Touw Tek telah kena ditamparnya.
Touw Tek merasa betapa pipinya panas dan pedas sedangkan mulutnya merasa asin tanda
bahwa lidahnya merasai darah yang keluar dari bibirnya yang pecah. Bukan main marahnya
dan sambil berseru keras ia menyerang dengan goloknya makin cepat. Ingin sekali ia
membacok tubuh lawannya ini sampai hancur seperti bakso.
“Masih kurang?” kembali Gwat Kong mengejek. “Mau lagi? Nah, ini lima puluh tail perak
lagi!” Kakinya menyambar cepat bagaikan sambaran kilat dan “buk” dada Touw Tek kena
tendang sehingga tubuhnya yang tinggi besar itu terhuyung-huyung ke belakang. Ia merasa
dadanya sakit sekali akan tetapi Gwat Kong memang tidak ingin mencelakakannya sehingga
tendangannya itu tidak mendatangkan luka berat.
Dasar Touw Tek berwatak sombong dan jumawa sekali, maka tendangan dan tamparan tadi
yang sebetulnya harus memperingatkan dia, bahwa lawannya tidak bermaksud kejam. Bahkan
diterimanya salah dan dianggapnya bahwa betapapun juga, lawannya itu tidak memiliki
tenaga yang cukup besar. Ia pikir bahwa biarpun ia terkena pukul berkali-kali kalau tenaga
lawannya hanya sedemikian saja, ia takkan roboh dan sekali saja ia berhasil membalas, akan
mampuslah lawan ini. Maka ia tidak mundur, bahkan lalu mendesak maju dengan seranganserangan
maut.
Melihat kebandelan ji-kauwsu Touw Tek ini, Gwat Kong menjadi sebal dan penasaran juga.
“Ah, bosan aku melayani kau bertempur, kau tak pernah dapat melakukan serangan cukup
baik!” katanya dan tiba-tiba pemuda itu melompat ke arah meja di mana tadi ia duduk dan
menyambar cawan arak yang terus diminumnya. Sama sekali ia tidak memperdulikan Touw
Tek lagi, seakan-akan menganggap lawan itu bukan apa-apa.
Hinaan ini membuat darah Touw Tek bergolak.
“Keparat!” teriaknya dengan mata merah. “Kalau hari ini aku tak dapat membunuhmu, jangan
sebut aku Hun-lam Ji-kauwsu lagi!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 112
Akan tetapi dari samping berkelebat bayangan yang cepat dan tahu-tahu gadis cantik molek
yang hendak diganggunya telah berdiri di depannya sambil tersenyum manis.
“Tikus besar!” kata Tin Eng sambil memainkan senyum dan lirikannya. “Bagaimana kau
dapat melawan Kang-lam Ciu-hiap? Kalau kau bisa mengalahkan aku, kau baru patut disebut
Tikus Kedua! Mana kau patut disebut Guru Silat?”
Touw Tek tertegun. Apakah gadis inipun pandai ilmu silat? Ia ragu-ragu, karena biarpun
mengerti ilmu silat, tak mungkin gadis cantik jelita yang pinggang ramping ini memiliki
kepandaian tinggi.
“Nona, kau minggirlah dan biarkan aku membunuh bangsat itu!”
“Minggir? Kau cobalah membuat aku minggir!” Tin Eng menantang.
“Lie-wangwe!” Touw Tek berseru marah kepada hartawan itu. “Jangan kau persalahkan aku
apabila aku terpaksa memberi hajaran kepada keponakanmu ini!”
“Tin Eng, jangan ....!” Lie-wangwe mencegah.
Akan tetapi Tin Eng telah maju menyerang dengan tangan kosong. Touw Tek tadinya
memandang rendah dan pukulan tangan kanan Tin Eng itu disambutnya dengan cengkeraman
tangan kiri. Maksudnya ia hendak tangkap tangan itu dan dengan begitu membuat dara itu tak
berdaya.
Tak disangkanya, ketika tangannya bergerak hendak menangkap pergelangan tangan Tin Eng,
gadis itu menarik kembali pukulan tangan kanannya dan tangan kirinya bergerak cepat ke
arah kepala Touw Tek dan tahu-tahu ikat kepala si tinggi besar itu telah berada di tangan Tin
Eng.
Touw Tek menjadi marah sekali, dan dengan rambut awut-awutan ia segera menyerang
dengan goloknya, membabat pinggang Tin Eng. Gadis itu tertawa mengejek dan melompat
mundur untuk menghindarkan diri dari pada babatan golok. Kemudian tubuhnya menyambar
dan membalas dengan serangan-serangan kilat. Ia menggunakan ikat kepala yang
dirampasnya tadi untuk menyerang dan “Plak!” muka Touw Tek telah kena ditampar dengan
keras oleh ikat kepalanya sendiri. Tamparan menggunakan ujung ikat kepala ini rasanya lebih
pedas dari pada tamparan Gwat Kong tadi sehingga Touw Tek merasa betapa matanya
berkunang.
Sebelum ia dapat membalas, ia mendengar suara ketawa dan tahu-tahu kaki gadis itu
melayang dan menendang pergelangan tangan kanannya yang memegang golok. Terdengar
bunyi “keekk!!” dan Touw Tek menjerit kesakitan, goloknya terlepas dari pegangan.
“Bangsat sombong, kau pergilah!” seru Tin Eng. “Dan lain kali jangan kau berani menginjak
lantai rumah pamanku!”
Dengan muka merah dan mulut meringis-ringis kesakitan. Touw Tek lalu menjumput
goloknya dan pergi dari situ setelah melayangkan pandang mata sekali lagi ke arah Gwat
Kong dan Tin Eng.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 113
Lie-wangwe merasa terheran-heran sehingga ia berdiri bengong tak dapat mengeluarkan katakata
melihat kelihaian keponakannya. Setelah penjahat itu pergi, barulah ia dapat menarik
napas panjang, sedangkan banyak pelayan yang tadi menonton pertempuran itu kini berdiri
dekat pintu, memandang dengan penuh kekaguman. Lie-wangwe memberi isyarat dengan
tangan sehingga semua pelayannya mengundurkan diri.
“Tin Eng, tak kusangka bahwa kaupun selihai itu! Ciu-hiap ini dan kau telah dapat
mempermainkan ji-kauwsu dengan tangan kosong. Sungguh takkan dapat kupercaya kalau
aku tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Seharusnya aku berterima kasih dan
merasa girang sekali karena kalian telah memberi hajaran kepada bangsat itu dan memang aku
merasa girang ..... Akan tetapi, disamping kegirangan ini, akupun merasa amat khawatir, Tin
Eng.”
“Jangan khawatir, pek-hu! Bangsat-bangsat kecil macam dia itu kalau berani datang lagi, akan
aku putar batang lehernya seorang demi seorang!” kata Tin Eng dengan gagahnya.
“Memang mudah bagimu, karena kau memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi bagaimana
kalau kau sudah tidak berada di sini lagi? Bagaimana aku harus membela diri kalau kalian
tidak ada dan bangsat-bangsat itu datang mengganggu? Ahh, kalian tidak tahu siapa ji-kauwsu
dan terutama kakaknya toa-kauwsu itu ...”
“Sebetulnya mereka itu siapakah dan apa artinya uang sumbangan itu, Lie-lopeh?” tanya
Gwat Kong.
Juga Tin Eng ingin sekali mengetahui hal itu dan gadis ini lalu duduk di dekat mereka.
Setelah menuangkan arak dan minum secawan, Lie Kun Cwan lalu menceritakan keadaan di
kota Hun-lam dan tentang pemerasan yang dilakukan oleh bangsat-bangsat itu.
Ternyata bahwa pada beberapa bulan yang lalu, di kota Hun-lam itu tiba-tiba timbul gangguan
orang-orang jahat yang melakukan penggedoran, pencurian, dan perampokan di dalam dan di
sekitar kota Hun-lam. Pembesar yang berkuasa di Hun-lam, tak berdaya oleh karena biarpun
ia telah mengerahkan pasukan untuk menindas gangguan ini namun para penjahat itu ternyata
memiliki ilmu silat tinggi dan tidak mudah dikalahkan atau ditangkap.
Selagi orang-orang penduduk Hun-lam merasa gelisah dan ketakutan, tiba-tiba muncul dua
saudara Touw itu, yakni Touw Cit dan Touw Tek yang segera membuka perguruan silat di
kota itu dan kedua saudara ini datang menghadap kepada pembesar untuk menawarkan
bantuannya. Akan tetapi bantuan yang ditawarkan oleh mereka itu istimewa sifatnya, yakni
bukan bantuan tenaga dan kepandaian untuk mengusir para penjahat yang mengganggu, akan
tetapi untuk memberi ‘suapan’ kepada mereka.
Touw Cit dan Touw Tek mengusulkan agar supaya para hartawan dan orang berpangkat di
kota Hun-lam mengumpulkan sumbangan uang yang diberikan kepada ‘kepala penjahat’
dengan perantaraan mereka berdua. Dan ternyata hal ini mendapat persetujuan semua
hartawan, karena dari pada didatangi orang-orang jahat itu, tentu saja lebih baik
mengeluarkan uang puluhan atau bahkan ratusan tail sekali gus dan aman.
Usaha dua orang saudara Touw ini rupanya berhasil baik. Oleh karena setelah uang
dikumpulkan, benar saja penjahat itu tidak muncul lagi. Dengan amat cerdiknya kedua orang
saudara Touw ini mengadakan hubungan dengan para penjahat dan berkompromi,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 114
mengadakan ‘kerjasama’ yang amat baik. Tentu saja semua orang tidak tahu bahwa
sebenarnya kedua saudara Touw ini bukan lain adalah dua orang di antara para pemimpin
penjahat-penjahat itu sendiri.
Mereka menggunakan tipu daya yang amat cerdik dan kini mereka setiap bulan
mengumpulkan uang sumbangan yang besar jumlahnya. Seorang hartawan sedikitnya harus
menderma dua puluh lima tail perak tiap-tiap bulannya sehingga setiap bulan kedua orang ini
dapat mengumpulkan uang ratusan tail perak.
Memang enak sekali pekerjaan ini, tidak berbahaya seperti kalau menjadi penjahat yang
banyak resikonya. Kini mereka boleh ‘pensiun’, hanya bekerja sekali setiap bulan, yakni
mengumpulkan uang sumbangan itu. Biarpun penjahat-penjahat sudah tak nampak mata
hidungnya lagi, akan tetapi uang sumbangan setiap bulan tetap saja ditariknya.
Setelah berjalan beberapa bulan memang para penyumbang merasa ragu-ragu dan bercuriga,
dan menganggap bahwa setelah para penjahat kini pergi dan tidak mengganggu lagi, apa
perlunya diadakan uang-uang sumbangan? Akan tetapi, baru saja siang hari itu seorang
hartawan menolaknya, pada malam harinya gedungnya didatangi lima orang penjahat yang
selain menggondol pergi barang-barang berharga yang banyak jumlahnya, juga melukai
hartawan yang menolak memberi uang sumbangan itu.
Peristiwa itu tentu saja membuat lain-lain hartawan menjadi takut untuk menolak lagi dan kini
setiap bulan mereka dengan ‘setia’ memberi uang sumbangan. Sungguhpun hati mereka tidak
rela karena mereka tetap saja merasa curiga dan sangsi dan timbul dugaan-dugaan mereka
bahwa kedua guru silat itu main gila.
Hal ini terjadi berbulan-bulan dan kedua orang guru silat she Touw ini menjadi ‘hartawanhartawan’
mendadak. Mereka membuat gedung besar dan hidup dengan mewah sekali. Tak
seorangpun berani menganggu mereka. Akan tetapi, nasib orang memang tidak selamanya
mujur dan betapapun seorang dilindungi oleh payung kemujuran pasti akan tiba masanya
payung itu akan bocor, membuat ia tertimpa hujan kemalangan.
Demikian yang terjadi dengan kedua saudara she Touw itu, yakni ketika Touw Tek bertemu
dengan Kang-lam Ciu-hiap dan Tin Eng di dalam gedung Lie Kun Cwan. Touw Tek benarbenar
bertemu dengan ‘batu’ yang bertumbuk dengan batu karang yang membuatnya ‘babak
bundas’.
Semua ini diceritakan oleh Lie Kun Cwan kepada Gwat Kong dan Tin Eng dan sungguhpun
hartawan ini tidak ragu akan tipu muslihat Touw Cit dan Touw Tek, akan tetapi ia
mengutarakan kecurigaannya dan berkata,
“Aku dan juga pembesar dan lain-lain hartawan yang menolak itu didatangi penjahat yang
lima orang itu. Semuanya memakai kedok. Mungkin sekali mereka adalah dua orang she
Touw itu dan kaki tangannya, siapa tahu? Akan tetapi kami tidak berdaya, karena mereka itu
lihai!”
“Hmm, kalau begitu Lie-lopeh segera memberi tahu kepada semua penyumbang agar supaya
menghentikan sumbangan mereka sekarang juga. Bahkan uang-uang sumbangan yang sudah
diberikan, akan kuminta kembali dari kedua orang bangsat itu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 115
Lie-wangwe percaya penuh kepada kedua orang muda yang sudah disaksikan kelihaiannya
ini, maka ia segera menulis surat pemberitahuan dan mengutus orang-orangnya untuk
menyebarkan surat pemberitahuan itu.
Sementara itu, Gwat Kong dan Tin Eng lalu pergi mengunjungi gedung baru tempat tinggal
Touw Cit dan Touw Tek. Mereka berdua telah bersiap sedia untuk menghadapi pertempuran.
Akan tetapi alangkah heran mereka ketika mereka mendapat sambutan yang manis dari Touw
Tek dan Touw Cit. Seperti juga Touw Tek, Twa-kauwsu Touw Cit bertubuh tinggi besar dan
berbaju hitam bercelana putih. Akan tetapi keningnya tinggi membuat kepalanya nampak
seperti botak dan ia tidak bertopi atau berikat kepala.
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah besar itu, Touw Cit dan Touw Tek sendiri lalu
menyambut dan Touw Cit segera menjura dengan sikap yang menghormati sekali.
“Ji-wi yang gagah!” katanya dengan suara yang besar. “Aku telah mendengar dari adikku
Touw Tek tentang kegagahan ji-wi yang muda. Sungguh membuat kami merasa kagum
sekali. Harap saja ji-wi sudi memaafkan kekasaran adikku tadi.”
Gwat Kong benar-benar tertegun karena tak pernah menyangka akan mendapat sambutan
seperti ini. Ia membalas penghormatan tuan rumah dan berkata,
“Saudara tentulah yang bernama Hun-lam Twa-kauwsu Touw Cit. Kami berdua juga mohon
maaf apabila kami telah mengganggu adikmu di rumah Lie-wangwe tadi. Kedatangan kami
ini tak lain hendak membantu usaha ji-wi dalam menghadapi para penjahat yang suka
mengganggu kota ini. Akan tetapi kami berdua tidak hendak mempergunakan cara yang telah
dipergunakan oleh ji-wi (tuan berdua). Akan tetapi kami hendak menghadapi para penjahat itu
dengan pedang kami. Oleh karena itu, para penyumbang yang telah menyetor uang kepada jiwi
harap saja ji-wi suka mengembalikan uang sumbangan itu kepada mereka.” Touw Cit
mengerutkan keningnya, sungguhpun mulutnya tetap tersenyum.
“Akan tetapi bagaimana kalau mereka nanti marah dan menyerbu ke sini?”
Gwat Kong tersenyum. “Biarlah, kalau mereka benar-benar datang menyerbu, siauwte dan
kawanku ini yang bertangguing jawab menghadapi mereka!”
Touw Cit tersenyum, “Ah, taihiap benar-benar gagah, akan tetapi agaknya kau belum tahu
siapakah mereka yang kau hendak hadapi ini. Tidak tahu siapakah nama taihiap yang semuda
ini telah mempunyai keberanian hebat dan kegagahan yang mengagumkan? Kalau tidak salah,
julukan taihiap adalah Kang-lam Ciu-hiap seperti tadi yang didengar oleh adikku. Akan tetapi
siapakah taihiap dan siapa pula guru taihiap?”
Gwat Kong tersenyum. “Namaku adalah Bun Gwat Kong dan tentang suhuku, terus terang
saja aku tidak mempunyai guru, kecuali diriku sendiri!”
Touw Cit nampak tak puas, akan tetapi ia tetap tersenyum lalu berkata,
“Tidak apalah kalau Kang-lam Ciu-hiap menganggap diri terlalu tinggi untuk
memperkenalkan diri kepada kami orang-orang bodoh. Ha, Touw Tek, kau lekas kumpulkan
uang pemberian para dermawan tadi dan mengembalikannya sekarang juga.” Touw Tek
segera masuk ke dalam rumah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 116
“Masa bodoh, kalau ada kerusuan, siauwte serahkan saja kepada Kang-lam Ciu-hiap dan
kawannya!” kata pula Touw Cit kepada Gwat Kong yang segera menyanggupinya. Dan
kemudian setelah mengucapkan terima kasih, ia mengajak Tin Eng pergi dari situ kembali ke
rumah Lie-wangwe.
Ternyata ketika mereka tiba di situ, rumah Lie-wangwe telah penuh tamu, yakni orang-orang
yang tadinya dikenakan sumbangan oleh kedua saudara Touw itu. Bahkan tihu kota itu juga
memerlukan datang. Mereka ini merasa gelisah sekali, takut kalau-kalau ada penyerbuan para
orang jahat sebagai akibat ditolaknya uang sumbangan itu. Terpaksa Gwat Kong menghibur
mereka dengan kata-kata gagah,
“Cu-wi sekalian! Terus terang saja, sesungguhnya bagi siauwte, tidak ada hubungannya dan
tidak ada ruginya meskipun cu-wi harus mengeluarkan banyak uang sumbangan. Oleh karena
orang-orang kaya seperti cu-wi ini tentu saja tidak berat untuk mengeluarkan uang barang
puluan atau ratusan tail perak tiap bulannya. Akan tetapi sebagai seorang perantauan yang
memperhatikan segala peristiwa yang diterbitkan oleh orang-orang jahat yang suka
mengganggu, tentu saja siauwte tidak suka melihat adanya orang-orang jahat yang
mengganggu di kota ini dan siauwte akan berdaya sekuat tenaga untuk membasmi mereka.
Kalau mereka datang, siauwte akan menghadapi mereka!”
“Kau hanya seorang diri atau berdua dengan nona ini, bagaimanakah kalau kalian berdua
kalah? Apakah itu bukan berarti keadaan kami makin celaka?” berkata seorang hartawan yang
selalu mengingat kepentingan dan keselamatan diri sendiri belaka, sehingga dalam pertanyaan
inipun sama sekali tidak perduli akan keadaan dua orang muda itu kalau kalah, akan tetapi
yang terutama mengingat keadaan sendiri dulu.”
Gwat Kong tersenyum menyindir. Sebenarnya ia tidak senang harus menjadi pelindung sekian
banyak orang-orang hartawan ini. Akan tetapi ia mengingat bahwa di antara mereka ada
paman Tin Eng yang baik hati dan dermawan dan ia harus melindungi. Maka ia lalu
menenggak secawan arak, lalu disemburkannyalah arak itu dari mulutnya ke arah tiang yang
besar di tengah ruangan itu.
Tiang itu terbuat dari kayu yang keras sekali dan jaraknya dari Gwat Kong ada dua tombak.
Akan tetapi ketika semburan arak itu mengenai kayu yang keras itu, tampak tiang itu menjadi
bolong-bolong, seakan-akan tiap tetes arak berubah menjadi pelor besi.
“Apakah kepala para penjahat itu lebih keras dari pada tiang ini?” Gwat Kong bertanya.
Semua mata memandang ke arah tiang itu dengan terbelalak lebar dan untuk sejenak tak
seorangpun terdengar mengeluarkan suara. Kemudian bagaikan mendapat komando, mereka
berseru memuji tiada habisnya dan kemudian mereka pulang ke rumahnya masing-masing
dengan hati besar.
“Maaf, Lie-lopeh,” kata Gwat Kong kepada Lie-wangwe setelah semua tamu itu pergi.
“Bukan maksudku untuk menyombongkan kepandaian, hanya untuk melenyapkan
kegelisahan mereka.”
Lie Kun Cwan tahu akan hal ini. Kemudian Gwat Kong berunding dengan Tin Eng untuk
mempersiapkan diri menanti datangnya serbuan orang-orang jahat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 117
“Tin Eng, malam ini kita berdua harus berjaga dengan amat hati-hati. Sudah pasti orang-orang
jahat itu akan datang. Entah benar-benar orang dari luar, ataupun anak buah kedua saudara
Touw itu sendiri. Kita belum tahu dari mana mereka akan datang. Oleh karena itu lebih baik
kita berjaga dengan berpencar. Kau berkeliling dari selatan memutar ke timur dan aku dari
selatan memutar ke barat sehingga kita bertemu di ujung utara kota. Dengan cara meronda
seperti ini, kalau mereka berani datang pasti akan bertemu dengan kau atau aku!”
“Baik, Gwat Kong!” jawab Tin Eng dengan gagah dan sedikitpun gadis ini tidak nampak
jerih.
“Akan tetapi, apakah tidak perlu kalian minta bantuan pasukan penjaga dari tihu? Bagaimana
kalau jumlah mereka banyak dan kalian di keroyok? Apakah itu tidak berbahaya?”
“Memang baik kalau mereka itu mau membantu,” jawab Gwat Kong. “Dan siauwte
menghaturkan terima kasih atas perhatian Lie-lopeh. Akan tetapi, harap lopeh beritahu kepada
tihu agar para penjaga itu disuruh bersembunyi, menjaga-jaga kalau-kalau ada penjahat diamdiam
memasuki kota. Mereka tak perlu turun tangan, kecuali kalau perampokan pada rumah
yang jauh letaknya dari tempat kami sehingga kami tak dapat menolongnya. Mereka itu boleh
menyediakan banyak belenggu untuk merantai para penjahat!”
Lie-wangwe menyatakan setuju dan ia segera pergi sendiri menemui tihu untuk mengatur
penjagaan pasukan bersembunyi itu. Seluruh kota Hun-lam terasa tegang menanti datangnya
malam hari. Semenjak masih sore, rumah-rumah telah menutup pintunya dan para
penghuninya tak dapat tidur, berkumpul di dalam dengan hati kebat-kebit. Setiap bunyi gaduh
yang terdengar oleh mereka, baik bunyi tikus ataupun kucing, membuat mereka pucat dan
menjumbul karena kaget setengah mati.
Gwat Kong dengan tenang lalu mengajak Tin Eng keluar dari rumah dan mereka lalu
melompat di atas genteng dan menuju ke pinggir kota sebelah selatan. Setelah tiba di situ,
mulailah mereka berpisah untuk melakukan perondaan, menjaga datangnya para penjahat
yang hendak mengganggu kota.
****
Malam itu tidak terlalu gelap. Lebih dari tiga perempat bagian bulan nampak di angkasa
tersenyum-senyum manis dan bermain-main dengan mega-mega putih. Bayangan tubuh Gwat
Kong dan Tin Eng yang melakukan penjagaan masing-masing, nampak berkelebat bagaikan
bayangan setan malam.
Akan tetapi, sudah dua kali putaran mereka meronda sehingga mereka bertemu di bagian
utara kota, akan tetapi sama sekali tidak terlihat penjahat yang menyerbu kota.
“Benar aneh!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng ketika mereka bertemu untuk ketiga kalinya
di atas wuwungan rumah, sebelah utara. Mereka berdua duduk mengaso di atas wuwungan
rumah yang tinggi itu.
“Mungkin mereka tidak berani muncul karena tahu bahwa kita mengadakan penjagaan,’ kata
Tin Eng sambil membereskan segumpal rambut yang terlepas karena tiupan angin malam dan
berjuntai di atas keningnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 118
“Atau memang barangkali sama sekali tidak ada penjahat dari luar kota,” kata Gwat Kong
sambil memutar otaknya. “Jangan-jangan penjahat-penjahat sudah bersembunyi di dalam kota
dan tinggal bereaksi saja.”
Tiba-tiba Tin Eng berdiri dengan kaget. “Ah, mengapa kita begini bodoh! Kita sudah
mencurigai dua saudara Touw, mengapa tidak menyelidik mereka? Kalau mereka
pemimpinnya, tentu penjahat-penjahat itu sudah bersembunyi di dalam gedung mereka!”
“Mungkin kau benar Tin Eng!” kata Gwat Kong kaget. “Mari kita menyelidiki tempat
mereka!”
Mereka lalu berlari-lari di atas genteng. Pada waktu itu, tengah malam telah lewat lama
bahkan telah mendekati fajar dan ketika mereka tiba di tengah kota kembali, tiba-tiba mereka
mendengar suara teriakan-teriakan para penjaga. Mereka segera lari ke arah suara teriakan itu,
dan tiba-tiba dari lain jurusan terdengar teriakan-teriakan penjaga lain.
“Benar saja mereka itu beraksi selagi kita melakukan penjagaan di pinggir kota. Tin Eng kita
berpencar! Kau jagalah rumah pamanmu!”
Tin Eng terkejut ketika teringat kepada pamannya, maka cepat tubuhnya melesat menuju ke
rumah pamannya. Sementara itu, Gwat Kong segera menyambar turun, dan melihat betapa
empat orang penjaga sedang mengeroyok dua orang penjahat berkedok yang ilmu silatnya
cukup tinggi sehingga penjaga-penjaga itu terdesak hebat. Dua orang penjahat itu bersenjata
golok besar dan ketika Gwat Kong tiba di situ, seorang penjaga telah rebah mandi darah dan
yang empat inipun telah kacau permainan silatnya.
Gwat Kong menyambar dengan pedang ditangan dan sekali dia gerakan pedangnya,
“Trangg....!!” Dua golok di tangan penjahat itu terlempar jauh dan dua kaki dan tangan
kirinya bergerak, penjahat itu telah roboh dan tak berdaya. Para penjaga dengan girang lalu
menubruknya dan mengikat kaki tangan mereka.
Gwat Kong berlari ke arah lain di mana juga terdapat dua orang penjahat yang dikeroyok oleh
para penjaga. Dua orang penjahat ini lebih lihai lagi sehingga di tempat ini sudah ada empat
orang penjaga yang terluka, sedangkan lima orang lagi yang mengeroyok berada dalam
keadaan terdesak sekali.
“Serahkan mereka kepadaku!” teriak Gwat Kong dan para penjaga yang melihat datangnya
Kang-lam Ciu-hiap segera melompat mundur. Dua orang penjahat inipun berkedok dan begitu
melihat Gwat Kong, mereka lalu maju mengeroyok dengan pedang mereka. Gwat Kong
menangkis dengan pedangnya dan ternyata bahwa dua orang penjahat ini cukup gesit
sehingga dapat melayani untuk beberapa jurus.
Akan tetapi Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu untuk melayani mereka.
Terpaksa ia mainkan pedangnya dengan cepat dan dua gebrakan kemudian menjeritlah dua
orang penjahat itu dan pedang mereka terlepas dari tangannya karena lengan mereka terluka
oleh pedang Gwat Kong. Para penjaga menubruk dan mengikat mereka erat-erat.
Gwat Kong lalu melakukan penyelidikan dan ternyata bahwa di atap rumah seorang hartawan
yang biasanya memberi sumbangan didatangi dua orang atau tiga orang penjahat. Benar-benar
para penjahat itu berani dan cerdik sehingga mereka bergerak dengan berbareng pada waktu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 119
yang sama sehingga bagi Gwat Kong sukar sekali untuk membagi-bagi tangannya. Terpaksa
ia bekerja cepat dan berlari ke sana ke mari untuk membantu para penjaga yang terdesak oleh
para penjahat itu.
Para penjahat mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap mengamuk dan menangkap banyak
kawan mereka, maka mereka lalu bersatu dan ketika Gwat Kong sedang dikeroyok oleh tiga
orang penjahat di rumah tihu yang juga diganggu, datanglah enam orang penjahat lain dan
sebentar saja Gwat Kong dikepung oleh sembilan orang penjahat yang bersenjata pedang dan
golok.
14.
GWAT Kong tidak menjadi jerih, bahkan dengan tertawa bergelak ia lalu keluarkan seguci
arak dari jubahnya. Dengan tangan kiri ia menenggak araknya yang dibawanya dari rumah
Lie-wangwe, sedangkan tangan kanannya yang memegang pedang diputar sedemikian rupa
sehingga senjata para pengeroyoknya tidak ada yang dapat menembus sinar pedangnya itu.
Kemudian, ia menyimpan kembali guci araknya di dalam saku jubahnya dan para penjaga
yang melihat ini diam-diam merasa heran sekali. Mengapa pemuda itu demikian doyan arak
sehingga dalam keadaan pertempuran hebat dan dikeroyok sembilan orang ia ada kesempatan
untuk minum arak?
“Benar-benar setan arak!” kata seorang penjaga.
“Kalau tidak doyan arak, masa disebut Ciu-hiap (Pendekar Arak)?”
Akan tetapi, mereka itu kecele bahwa Gwat Kong itu demikian gila arak sehingga dalam
pertempuran sempat menikmati rasa arak yang wangi. Karena setelah menyimpan kembali
guci araknya, tiba-tiba tubuhnya melesat maju dan pedangnya diputar sedemikian rupa
sehingga terdengar dua kali teriakan dan tubuh dua orang pengeroyok jatuh tersungkur.
Kemudian tiba-tiba pemuda itu membentak keras dan dari mulutnya tersemburlah arak yang
diminumnya tadi dan para penjaga kini bengong dan memandang dengan mata terbelalak
karena terdengar pekik kesakitan dan lima orang di antara tujuh pengeroyok itu segera
melemparkan pedangnya atau goloknya dan menggunakan tangan untuk menutupi muka
mereka sambil merintih-rintih kesakitan. Ternyata bahwa semburan arak itu bagaikan jarumjarum
tajam menusuk-nusuk muka mereka, bahkan yang tidak keburu memeramkan mata ada
yang rusak matanya bagaikan ditusuk jarum.
Dua orang penjahat ketika melihat hal ini hendak lari, akan tetapi begitu Gwat Kong
melompat dan pedangnya digerakkan, dua orang inipun roboh terguling dengan pundak
mereka terluka hebat.
Tentu saja para penjaga menjadi girang luar biasa melihat hal ini. Mereka berebutan maju
untuk memasang belenggu pada tangan para penjahat itu. Tiada henti-hentinya mereka
memuji-muji Gwat Kong. Akan tetapi yang dipuji sudah semenjak tadi pergi dari tempat itu
dan cepat berlari menuju ke rumah Lie-wangwe untuk menyusul Tin Eng.
Juga Tin Eng menghadapi lawan-lawan, bahkan lawannya lebih berat dari pada yang dihadapi
oleh Gwat Kong ketika gadis itu tiba di atas genteng rumah Lie-wangwe. Ternyata ia melihat
lima orang penjahat sedang mengamuk dan biarpun di rumah pamannya itu terjaga oleh para
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 120
penjaga yang sepuluh orang banyaknya, akan tetapi mereka tak berdaya apa-apa dan enam
orang penjaga sudah rebah sambil merintih-rintih.
Lima orang inipun mengenakan kedok pada mukanya. Akan tetapi Tin Eng mengenal
potongan badan dua orang di antara mereka yang terlihai, yang ia tahu adalah Touw Cit dan
Touw Tek. Segera ia menyambar turun dengan pedang di tangan sambil membentak,
“Touw Cit dan Touw Tek, dua bangsat rendah! Tak perlu kalian memakai ledok, karena
kalian tak dapat menipu nonamu!”
Touw Cit tertawa mendengar ini dan melemparkan kedoknya yang menutupi mukanya
sehingga sisa penjaga yang melihat ini menjadi terheran-heran!
“Mundurlah biar aku menghadapi tikus-tikus ini!” seru Tin Eng kepada mereka. Para penjaga
tentu saja menjadi girang karena mereka telah mendengar akan kelihaian nona ini, maka
mereka menolong kawan-kawan yang terluka itu.
Sementara itu, Touw Tek yang juga sudah melemparkan kedoknya, segera maju menyerang
dengan goloknya. Penjahat tinggi besar ini masih teringat akan sakit hatinya siang tadi ketika
ia dipermainkan oleh Tin Eng, maka kini ia hendak menggunakan kesempatan dan
mengandalkan kakak dan kawan-kawannya untuk membalas dendam.
Akan tetapi Tin Eng tertawa mengejek sambil menangkis serangan itu dengan pedangnya.
“Kau masih belum kapok?” Dan ketika ia membarengi tangkisan pedangnya itu dengan
serangan mendadak, Touw Tek terkejut sekali dan cepat melempar tubuhnya ke belakang
karena tahu-tahu ujung pedang nona itu telah berada di depan hidungnya.
Akan tetapi, betapapun cepat ia melempar diri ke belakang, ujung pedang itu agaknya tidak
mau meninggalkan lehernya. Untung baginya bahwa Touw Cit segera bergerak dan menusuk
lambung Tin Eng dari kanan. Nona itu terpaksa membatalkan serangannya kepada Touw Tek
dan menangkis tusukan Touw Cit.
Akan tetapi diam-diam ia merasa terkejut ketika merasa betapa benturan pedang itu membuat
tangannya tergetar. Maklumlah ia bahwa Touw Cit bukanlah seperti adiknya, Touw Tek.
Kepala gerombolan ini agaknya memiliki tenaga lweekang yang tinggi dan melihat gerakan
pedangnya, ia merupakan lawan yang tak boleh dipandang ringan.
Maka Tin Eng tidak mau membuang banyak waktu lagi karena ia maklum bahwa kini ia
menghadapi Touw Cit yang lihai ditambah dengan empat orang lagi. Dengan seruan garang,
ia lalu putar-putar pedangnya dan mainkan Sin-eng Kiam-hoat yang telah disempurnakan atas
petunjuk-petunjuk dari Gwat Kong.
Ilmu pedang ini memang lihai sekali dan baru beberapa gebrakan saja, kembali Touw Tek
telah terkena ujung pedang Tin Eng yang melukai pangkal lengan kanannya. Tiga orang
kawannya yang berkepandaian hanya setingkat dengan Touw Tek, menjadi jerih.
Pada saat itu, dari luar mendatangi serombongan penjaga lagi yang berjumlah enam orang.
Mereka itu lalu menggabung dengan sisa penjaga dan mengeroyok Touw Tek dan tiga orang
penjahat itu, karena tadi pun yang membuat para penjaga kewalahan hanyalah Touw Cit
seorang yang amat lihai. Dengan berteriak-teriak para penjaga mengeroyok Touw Tek yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 121
telah terluka dan sebentar saja Touw Tek yang kenyang mendapat gebukan dari para penjaga,
kena ditangkap erat-erat bagaikan seekor babi mau disembeli!
Tiga orang kawannya melihat hal ini, menjadi kacau permainannya dan mereka lalu mencoba
untuk melarikan diri. Dua orang kena dikepung dan dihantam oleh para pengeroyoknya
sehingga tertangkap pula, sedangkan yang seorang lagi telah berhasil melompat naik ke atas
genteng. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar seruan Tin Eng,
“Turun kau!” Tangan kiri gadis yang masih bertempur hebat dengan Touw Cit ini diayun dan
sebatang piauw meluncur ke arah kaki penjahat yang mencoba untuk melarikan diri.
Terdengar teriakan ngeri dan tubuh penjahat itu menggelinding kembali ke bawah genteng
disambut oleh para penjaga dengan teriakan dan gebukan-gebukan.
Kini Tin Eng hanya menghadapi Touw Cit seorang lawan seorang. Ketika Touw Cit mainkan
pedangnya, diam-diam Tin Eng terkejut sekali. Ternyata bahwa penjahat ini mainkan ilmu
pedang Go-bi-pai. Ilmu pedang penjahat ini sama benar dengan ilmu pedang ayahnya dan
yang telah ia pelajari pula.
“Kau anak murid Go-bi-pai!” tak terasa lagi mulut dara itu berseru kaget sambil menangkis
serangan lawannya dengan pedang.
Touw Cit terkejut dan memandang tajam sambil menunda serangan.
“Siapakah kau?”
“Akupun anak murid Go-bi-pai!” jawab Tin Eng. “Kau sungguh memalukan dan
mencemarkan nama baik Go-bi-pai. Tak ingatkah kau akan sumpahmu ketika kau mulai
belajar silat?”
“Bohong!” seru Touw Cit. “Permainan pedangmu sama sekali bukan ilmu pedang Go-bi-pai!”
“Aku bukan membohong seperti kau! Buka matamu lebar-lebar!” Setelah berkata demikian,
Tin Eng lalu merobah permainan pedangnya dan kini ia menyerang lawannya itu dengan ilmu
pedang Go-bi-pai yang ia pelajari dari ayahnya. Touw Cit segera menangkis dan untuk
beberapa belas jurus lamanya mereka bertempur dalam ilmu pedang yang sama.
“Betul, betul kau, pandai mainkan ilmu pedang Go-bi-pai!” seru Touw Cit girang. “Mengapa
kau memusuhi saudara seperguruan sendiri?”
“Cih, siapa sudi kau sebut saudara seperguruan?” bentak Tin Eng. “Orang yang melakukan
kesesatan dan kejahatan macam kau tak berhak menyebut dirimu sebagai anak murid Go-bipai
lagi!”
Kembali Tin Eng menyerang sambil mempergunakan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat oleh
karena ternyata bahwa ilmu pedang Go-bi-pai yang ia miliki masih kalah tinggi apabila
dibandingkan dengan Touw Cit. Penjahat itu menjadi marah sekali dan mengerahkan seluruh
kepandaian untuk melayani gadis yang lihai itu. Pertempuran berjalan makin seru dan hebat
sehingga pedang mereka berkelebat dan sinarnya bergulung-gulung.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 122
Para penjaga yang kini telah membereskan semua penjahat yang menjadi korban, hanya
menonton saja karena mereka maklum bahwa kepandaian mereka masih jauh untuk dapat
membantu gadis pendekar itu. Mereka hanya berteriak-teriak menambah semangat Tin Eng.
Pada saat itu terdengar seruan, “Jangan lepaskan penjahat itu!” Dan dari atas wuwungan
nampak bayangan Gwat Kong mendatangi.
Melihat ini Touw Cit menjadi gentar juga dan segera mengirim tusukan kilat ke arah dada Tin
Eng yang mengelak cepat. Touw Cit menggerakkan tangan kiri dan dua butir peluru besi
sebesar telor ayam menyambar ke arah leher dan lambung Tin Eng. Gadis ini cepat
menggulingkan tubuhnya ke atas tanah dengan terkejut karena hampir saja ia menjadi korban
serangan senjata gelap lawan.
Kesempatan ini digunakan oleh Touw Cit untuk melompat jauh dan melarikan diri di dalam
gelap.
“Bangsat rendah hendak pergi ke mana!” teriak Tin Eng yang segera mengejar.
“Bagus, kejar dia Tin Eng!” Gwat Kong juga berseru dan menyusul pula untuk mengejar
penjahat yang lari itu. Para penjaga juga berteriak-teriak dan berlari-lari mengejar dari
belakang. “Kejar .....! Tangkap Touw Cit si bangsat besar ....!!”
Akan tetapi oleh karena penjahat itu menggunakan lari cepat, demikian pula Tin Eng dan
Gwat Kong, sebentar saja para penjaga itu tertinggal jauh dan menjadi bingung karena tidak
melihat tiga orang itu sehingga mereka tidak tahu harus mengejar ke jurusan mana?
Ternyata bahwa ilmu lari cepat dari Touw Cit sudah cukup tinggi, sehingga untuk beberapa
lama Tin Eng dan Gwat Kong belum berhasil menyusulnya. Akan tetapi, jarak antara mereka
dan Touw Cit makin mengecil juga sehingga penjahat itu menjadi bingung dan terus berlari
ke luar dari kota dan bermaksud untuk bersembunyi ke dalam hutan yang berada di luar kota.
Sementara itu, fajar telah mulai menyingsing dan karena pagi itu tidak ada halimun, maka
sebentar saja keadaan menjadi terang. Hal ini amat menggelisahkan hati Touw Cit yang
melarikan diri, oleh karena ia lari memasuki hutan, kedua orang pengejarnya terus mengejar
dan tak mau melepaskannya dan keadaan yang mulai terang itu tidak memungkinkan ia untuk
menyembunyikan diri.
“Touw Cit, tidak ada gunanya kau melarikan diri, biarpun akan masuk ke dalam tanah, kau
takkan terlepas dari tangan kami!” seru Gwat Kong sambil tertawa.
Karena kedua pengejarnya kini telah dekat sekali di belakangnya, ketika tiba di tempat
terbuka, tiba-tiba Touw Cit menahan langkah kakinya dan dengan pedang di tangannya
menanti datangnya para pengejar untuk berkelahi mati-matian!
“Keparat!” ia memaki sambil menudingkan pedangnya kepada Tin Eng. “Sebagai anak murid
Go-bi-pai, kau benar-benar tidak memandang perguruan kita! Sebenarnya kau ini murid
siapakah?”
Tin Eng dengan pedang ditangan berdiri menghadapi Touw Cit sambil tersenyum. “Ayahku
adalah murid Go-bi-pai. Akan tetapi, aku sendiri bukan langsung menjadi anak murid Go-biKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 123
pai. Aku lebih senang mempergunakan ilmu pedang lain! Ayahku adalah Liok Ong Gun
Kepala daerah Kiang-sui, seorang anak murid Go-bi-pai tulen dan sama sekali tidak dapat
disamakan dengan kau penjahat kejam yang hanya mengotorkan nama Go-bi-pai!”
Merahlah muka Touw Cit mendengar ini. “Aku pernah mendengar nama ayahmu yang
tingkatnya sama dengan aku. Kalau kau seorang gadis yang mengerti peraturan, kau
seharusnya menyebut aku susiok (paman guru).”
Tin Eng tersenyum mengejek. “Aku harus menyebut paman guru kepada seorang perampok,
penipu dan pemeras rakyat? Hm, nanti dulu, kawan! Pada saat ini, aku adalah seorang petugas
yang membawa dendam penduduk Hun-lam yang telah lama kau ganggu. Kalau kau hendak
menganggap aku sebagai anak murid Go-bi-pai, baiklah, aku mewakili Go-bi-pai pula untuk
membersihkan nama Go-bi-pai dari anak muridnya yang tersesat dan yang patut menerima
hukuman berat!”
“Boca sombong!” Touw Cit menjadi marah sekali lalu menyerang dengan pedangnya. Tin
Eng menangkis sambil tersenyum manis dan sebentar kemudian mereka telah bertempur
kembali dengan hebatnya. Gwat Kong hanya berdiri tak jauh dari situ dengan kedua tangan
bertolak pinggang dan bibir tersenyum. Ia hendak menyaksikan kemajuan ilmu pedang Tin
Eng.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat dan jauh lebih sengit dari pada tadi oleh karena Touw
Cit yang telah menghadapi jalan buntu dan tidak mempunyai harapan untuk melarikan diri
dan melepaskan diri dari kedua orang muda yang lihai ini, telah mengambil keputusan untuk
berlaku nekad dan bertempur mati-matian. Sepasang matanya memandang marah, seakanakan
mengeluarkan sinar berapi, mengandung nafsu membunuh. Ia lebih mengerahkan
kepandaian dan tenaganya untuk menyerang dari pada mempertahankan diri, dalam usahanya
untuk membunuh atau dibunuh.
Menghadapi serangan-serangan nekad ini, Tin Eng berlaku tenang dan hati-hati sekali dan
biarpun mulutnya masih memperlihatkan senyum manis, akan tetapi ia mencurahkan seluruh
perhatiannya karena maklum bahwa lawannya telah nekad untuk mengadu jiwa. Dara ini
mempergunakan ilmu ginkangnya yang lebih tinggi dari pada Touw Cit yang bertubuh besar
pula. Tubuh Tin Eng nampak ringan sekali dan gerakan kedua kakinya demikian cepat dan
gesit sehingga ia seakan-akan bertempur sambil menyambar-nyambar tanpa menginjak tanah.
Bagaikan seekor burung walet bermain di antara mega.
Pertempuran berjalan dengan ramainya sampai lima puluh jurus dan diam-diam Gwat Kong
merasa girang melihat kemajuan ilmu pedang gadis itu karena ia maklum pula bahwa gadis
itu sengaja mempermainkan lawannya. Kalau Tin Eng mau, memang sudah semenjak tadi ia
dapat merobohkan lawannya yang dalam kenekatannya telah membuka banyak lowongan
pada dirinya sendiri.
Akan tetapi Tin Eng masih tidak tega untuk memberi tusukan yang dapat membinasakan
lawannya atau mendatangkan luka berat. Karena betapapun juga ia masih ingat bahwa
lawannya ini adalah anak murid Go-bi-pai atau masih saudara seperguruan ayahnya.
Pertahanan Touw Cit makin lemah karena ia telah menggunakan tenaga terlalu banyak dan
terlalu dipaksakan, menuruti hatinya yang penuh dendam dan marah. Juga kegelisahannya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 124
membuat permainan pedangnya kacau balau. Dan tak lama kemudian, ia mulai terdesak dan
berkelahi sambil mundur!
Tiba-tiba Tin Eng berseru keras dan tubuhnya melompat ke atas dan mengirim serangan
dengan gerak tipu Air Mancur Menyiram Bunga. Pedangnya di tangan kanan ditusukkan ke
arah dada lawan sedangkan tangan kirinya dipentang ke belakang, kedua kakinya membuat
imbangan untuk menahan turun tubuhnya dari atas.
Serangannya cepat sekali sehingga dengan terkejut Touw Cit lalu melangkah mundur dan
menggerakkan pedangnya untuk menangkis dengan sabetan dari atas ke bawah dengan
maksud menghantam pedang gadis itu agar terlepas. Akan tetapi secepat kilat, pedang Tin
Eng ditarik mundur dan setelah pedang Touw Cit lewat ke bawah, ia lalu menindih pedang
lawan itu. Dengan pedangnya di atas pedang Touw Cit yang tak berdaya itu, maka kini dada
Touw Cit terbuka dan bagi Tin Eng dengan mudah saja kalau ia hendak merobohkan
lawannya. Sekali ia menusukkan pedangnya akan tertembus dada lawan.
Akan tetapi Tin Eng tidak mau melakukan hal ini, hanya menggerakkan pedang ke atas, ke
arah tangan Touw Cit yang memegang pedang. Penjahat itu menjerit kesakitan dan pedangnya
terlepas karena tangannya telah termakan oleh pedang Tin Eng sehingga ibu jarinya hampir
putus. Tin Eng menarik kembali pedangnya pada saat itu digunakan oleh Touw Cit untuk
melompat mundur dalam usahanya melarikan diri.
Akan tetapi, nampak berkelebat bayangan yang cepat sekali dan sebuah tendangan pada
lututnya membuat Touw Cit terjungkal tak dapat bangun kembali. Ternyata bahwa
sambungan lutut kanannya telah terlepas akibat tendangan yang dikirim oleh kaki Gwat Kong.
Pada saat itu, para penjaga yang mengejar baru dapat menemukan mereka dan dengan girang
mereka lalu menubruk dan mengikat kaki tangan Touw Cit, lalu diseretnya kembali ke kota.
Dengan jatuhnya Touw Cit, maka boleh dibilang semua penjahat yang melakukan pengacauan
itu, yang semua berjumlah empat belas orang telah diringkus.
Kota Hun-lam merayakan peristiwa itu dengan gembira sekali. Touw Cit dengan kawankawannya
dimasukkan ke dalam penjara dan mendapat hukuman berat atas dosa-dosanya.
Para penjahat di luar kota yang mendengar hal ini, menjadi ketakutan dan nama Kang-lam
Ciu-hiap makin terkenal. Sementara itu penduduk Hun-lam juga memberi nama pujian bagi
Tin Eng, yakni Sian-kiam Lihiap atau Pendekar Wanita Pedang Dewa.
****
Setelah tinggal di gedung Lie Kun Cwan sepekan lamanya, Gwat Kong lalu meninggalkan
kota Hun-lam. Atas permintaan Tin Eng, Gwat Kong hendak berusaha mendamaikan
permusuhan yang timbul antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai.
“Betapapun juga aku merasa bersedih kalau mengingat keadaan permusuhan itu, karena ayah
adalah anak murid Go-bi-pai dan tidak suka kalau ayah sampai terlibat dalam permusuhan ini.
Harap kau suka memberitahukan kepada setiap orang gagah dari Hoa-san-pai bahwa tidak
semua anak murid Go-bi-pai jahat-jahat belaka. Juga kalau kau bertemu dengan tokoh-tokoh
Go-bi-pai harap beritahukan bahwa tidak semua anak murid Go-bi-pai baik dan benar.
Buktinya Touw Cit itu juga telah mengotorkan nama Go-bi-pai dan melakukan perbuatan
yang jahat,” kata Tin Eng kepadanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 125
Sebetulnya Gwat Kong merasa berat untuk berpisah dari Tin Eng, gadis yang diam-diam
dicintainya semenjak ia masih menjadi pelayan di gedung orang tua gadis itu. Akan tetapi
tentu saja ia tidak bisa terus-terusan tinggal di rumah paman gadis itu. Lagi pula juga tidak
enak bagi Tin Eng untuk ikut pergi merantau dengan dia. Karena sebagai gadis sopan, tidak
selayaknya melakukan perantauan dengan seorang pemuda yang bukan menjadi keluarganya.
Ia hanya berpesan agar supaya gadis itu suka berlatih dengan giat. Karena biarpun telah
mendapat petunjuk-petunjuk darinya, namun gadis ini belum lama mempelajari Sin-eng
Kiam-hoat yang tulen sehingga gerakannya masih agak kaku.
Gwat Kong pergi dengan diantar oleh Lie-wangwe sampai di luar kota. Hartawan ini merasa
suka dan kagum sekali kepada Gwat Kong yang masih muda akan tetapi memiliki kepandaian
tinggi. Ia bahkan memberi hadiah sebuah guci arak terbuat dari pada perak terukir yang amat
indah kepada pemuda itu, berikut isinya yakni arak Hang-ciu yang bukan main keras dan
wanginya dan telah berusia tua sekali.
Gwat Kong menyimpan guci ini dengan menggantungkannya pada pinggangnya dan
berangkatlah dia, mulai dengan perantauannya. Ia cinta kepada Tin Eng, akan tetapi tidak
berani ia menyatakan cintanya itu. Sungguhpun dulu pernah ia menyatakan di luar
kesadarannya, yakni ketika ia mabuk di rumah gadis itu sebelum ia meninggalkan gedung
Liok-taijin.
Ia tidak berani menyatakan cintanya kepada seorang gadis puteri Kepala daerah, bangsawan
tinggi dan keponakan dari seorang yang demikian kaya seperti Lie-wangwe. Ia seorang
pemuda yatim piatu yang miskin, maka Gwat Kong merasa lebih baik ia menjauhkan diri dari
Tin Eng dan berusaha melupakannya sebelum terlambat, yakni sebelum ikatan hatinya makin
erat.
Sementara itu, Tin Eng yang ditinggal pergi oleh Gwat Kong, lalu berlatih diri dengan
giatnya. Ia senang tinggal di rumah pamannya yang amat baik terhadap dia dan Lie Kun
Cwan juga merasa terhibur dengan adanya gadis itu yang seakan-akan ia anggap sebagai anak
sendiri.
Kejenakaan dan kegembiraan watak gadis itu seolah-olah merupakan matahari yang
menyinari kesuraman suasana dalam gedungnya yang kosong setelah isterinya yang tercinta
meninggal dunia. Lie-wangwe telah mengirim surat kepada Liok-taijin suami isteri
menceritakan bahwa Tin Eng berada di rumahnya dan membujuk agar supaya suami isteri itu
tidak terlalu memaksa kepada Tin Eng yang disebutnya masih berwatak anak-anak.
Baik Gwat Kong maupun Tin Eng sama sekali tidak tahu bahwa dua orang bersaudara Touw
Cit dan Touw Tek adalah anggauta-anggauta dari perkumpulan Hek-i-pang, yakni
perkumpulan baju hitam yang berpusat di Tong-kwan, sebelah selatan Hun-lam. Ketika
menjalankan pemerasan pada para hartawan di Hun-lam, Touw Cit dan Touw Tek juga dapat
perlindungan dari perkumpulan gelap ini dan kedua saudara itu setiap bulan memberi bagian
kepada perkumpulan itu.
Yang menjadi Pangcu atau ketua Hek-i-pang adalah seorang tua bernama Song Bu Cu,
berusia lima puluh tahun dan terkenal sebagai seorang ahli silat yang memiliki lweekang
tinggi. Song Bu Cu ini adalah bekas perampok tunggal yang telah ‘mengundurkan diri’ dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 126
untuk melewati hari tuanya ia membentuk perkumpulan baju hitam itu di mana ia menjadi
ketuanya dan hidup dari hasil ‘pensiun’ yang diterimanya dari para anak buahnya.
Perkumpulan ini mempunyai banyak anggauta dan Song Bu Cu yang cerdik itu tidak mau
menggunakan tenaga para anak buahnya untuk melakukan kejahatan secara terang-terangan
dan kasar seperti merampok, mencuri dan lain-lain. Ia lebih mengutamakan pekerjaan yang
aman baginya, yakni pekerjaan pemerasan yang tidak terlalu menyolok mata.
Dengan pengaruhnya yang besar, ia menyebar anak buahnya untuk minta ‘sumbangan’ dari
para hartawan dengan cara halus, yakni dengan berkedok menjaga keamanan sebagaimana
yang telah dijalankan dengan baiknya oleh Touw Cit dan Touw Tek di kota Hun-lam. Selain
ini juga setelah mendapat banyak uang, Song Bu Cu lalu menggunakan uang itu sebagai
modal dan membuka rumah-rumah gadai dengan bunga tinggi.
Bahkan di kota Tong-kwan ia memonopoli rumah-rumah makan, sehingga sebagian besar
rumah makan yang berada di kota Tong-kwan adalah milik perkumpulan Hek-i-pang, kecuali
rumah-rumah makan yang kecil dan bukan merupakan saingan besar. Orang-orang tidak
berani membuka rumah makan besar di kota itu karena mereka sungkan dan segan untuk
membukanya dan menghadapi perkumpulan gelap itu sebagai musuh.
Semua anggauta Hek-i-pang selalu mengenakan jubah hitam, sungguhpun celana mereka
boleh sesukanya. Ada yang putih, hijau dan menurut kesukaan masing-masing, akan tetapi
jubahnya selalu hitam. Inilah tanda pengenal anggauta perkumpulan Hek-i-pang. Oleh karena
itu pula, maka Touw Cit dan Touw Tek selalu memakai jubah hitam.
Ketika Song Bu Cu mendengar tentang para anak buahnya yang diobrak-abrik oleh Kang-lam
Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap di Hun-lam, ia menjadi marah sekali. Ia mengumpulkan
semua pembantunya untuk merundingkan hal ini. Kemudian memutuskan untuk mendatangi
tihu dari Hun-lam dan minta agar supaya para penjahat yang ditangkap itu dibebaskan
kembali.
Song Bu Cu sendiri hendak turun tangan dan membalas dendam kepada Kang-lam Ciu-hiap
dan Sian-kiam Lihiap. Akan tetapi seorang pembantunya yang cukup pandai dan lihai, yakni
seorang yang bernama Lui Siok berjuluk si Ular Belang, segera berkata,
“Untuk apa pangcu harus maju sendiri? Menangkap dan memukul anjing-anjing kecil seperti
dua anak-anak muda itu tak perlu mempergunakan pentungan besar. Biarlah aku saja ke Hunlam
untuk membereskan urusan ini!”
Semua orang merasa girang mendengar ini karena mereka telah maklum akan kelihaian Lui
Siok ini yang juga menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang. Kepandaian Lui Siok hampir
seimbang dengan kepandaian Song Bu Cu, bahkan si Ular Belang ini terkenal sekali dengan
kepandaiannya Siauw-kin-na Chiu-hwat, yakni ilmu silat yang berdasarkan tangkapan dan
cengkeraman tangan seperti ilmu Jujitsu dari Jepang.
Oleh karena memiliki kepandaian ini, maka Lui Siok jarang sekali mempergunakan senjata di
waktu menghadapi lawan. Sekali saja lawannya terkena pegang oleh tangannya maka lawan
itu takkan mudah dapat melepaskan diri tanpa mendapat luka patah tulang atau urat keseleo.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 127
“Kalau Lui-te (adik Lui) mau mewakili aku pergi, itu adalah yang baik sekali. Aku percaya
penuh bahwa kalau Lui-te yang pergi turun tangan, hal ini akan beres dan sakit hati kiranya
akan terbalas!” kata Song Bu Cu dengan girang. Dibandingkan dengan Song Bu Cu, Lui Siok
ini lebih muda dua tahun karena usianya baru empat puluh delapan. Akan tetapi melihat
rambut di kepalanya, ia nampak lebih tua karena rambutnya telah putih semua.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, Lui Siok dengan diantar oleh dua orang kawannya
datang ke kota Hun-lam. Ia langsung menuju ke rumah tihu dan berkata kepada penjaga
bahwa ia datang dari Tong-kwan hendak bertemu dengan tihu karena urusan yang amat
penting. Penjaga lalu melaporkan dan tihu kota Hun-lam segera keluar dan menanti di ruang
tamu. Ketika tiga orang tamunya itu memasuki ruang tamu, ia melihat bahwa mereka adalah
orang-orang tak dikenal, akan tetapi baju mereka yang hitam itu menimbulkan perasaan
kurang enak di dalam hatinya mengingatkan tihu itu kepada Touw Cit dan Touw Tek yang
juga selalu berpakaian hitam.
“Taijin, kami datang dari Tong-kwan untuk menyampaikan surat ini dari perkumpulan kami!”
kata Lui Siok setelah dipersilahkan duduk.
Dengan heran dan tanpa banyak curiga tihu menerima surat itu dan membukanya. Akan
tetapi, setelah ia membaca surat itu wajahnya menjadi pucat dan ia mengerling ke arah Lui
Siok. Makin pucatlah dia ketika melihat betapa Lui Siok tersenyum-senyum penuh arti. Akan
tetapi ketika tihu melihat ke arah kedua tangan Lui Siok yang memegang pinggir meja,
ternyata meja itu telah remuk pinggirnya karena dicengkeram oleh sepuluh jari tangan
tamunya yang aneh itu. Seakan-akan orang mencengkeram keripik saja. Kedua tangan
pembesar itu mulai menggigil dan ia membaca sekali lagi surat yang dipegangnya:
Thio-tihu dari Hun-lam,
Kami mengutus seorang wakil perkumpulan kami bersama dua orang anak buah kami, untuk
menyampaikan hormat kami kepada taijin. Tentu taijin telah mendengar tentang nama
perkumpulan kami yang merupakan jaminan bagi keamanan daerah Tong-kwan, termasuk
Hun-lam.
Oleh karena mengingat akan perhubungan ini, kami minta dengan sangat kepada taijin agar
supaya berlaku bijaksana dan suka membebaskan kedua anggauta perkumpulan kami Touw
Cit dan Touw Tek yang telah ditahan oleh Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam Li-hiap! Juga
kawan-kawan mereka harap diberi kelonggaran.
Terima kasih atas kebijaksanaan taijin.
Hormat kami,
Ketua dari Hek-i-pang
Di Tong-kwan.
Thio-tihu memang pernah mendengar tentang perkumpulan ini, akan tetapi ia sama sekali
tidak pernah menduga bahwa Touw Cit dan Touw Tek adalah anggauta perkumpulan yang
berpengaruh itu. Baru satu kali saja ia berurusan dengan perkumpulan itu, yakni pada tahun
yang lalu ketika hari tahun baru, di Hun-lam kedatangan serombongan pemain Barongsai
yang minta derma tanpa memberitahukan kepada rombongan Barongsai pribumi, yakni
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 128
rombongan dari Hun-lam sendiri. Maka terjadilah pertengkaran yang diakhiri dengan
perkelahian.
Akan tetapi ternyata bahwa rombongan Barongsai Baju Hitam ini lihai sekali sehingga
rombongan dari Hun-lam banyak yang menderita luka-luka. Para penjaga tak berdaya
terhadap mereka, sedangkan Touw Cit dan Touw Tek yang diminta bantuannya, hanya
menyatakan bahwa lebih baik rombongan dari Tong-kwan itu jangan diganggu. Maka
rombongan itu melanjutkan permainannya di depan tiap rumah dan pada para hartawan di
Hun-lam mereka minta jumlah sumbangan yang telah ditetapkan.
Kini setelah menerima surat ini dan melihat demonstrasi kelihaian yang diperlihatkan oleh
Lui Siok dengan mencengkeram hancur ujung mejanya yang tebal dan keras itu, tentu saja
Thio-tihu menjadi terkejut, gelisah dan ketakutan. Dengan lemas ia duduk kembali di
kursinya dan berkata dengan suara gemetar,
“Harap saja Samwi-enghiong (bertiga orang gagah) jangan marah karena sesungguhnya
urusan ini tak dapat dilakukan dengan mudah begitu saja. Bagaimana aku bisa membebaskan
orang-orang yang telah menjadi tahanan karena dianggap penjahat-penjahat?”
“Taijin,” berkata Lui Siok yang masih tersenyum ramah, akan tetapi matanya bersinar tajam
mengerikan. “Kami orang-orang dari Hek-i-pang selalu berlaku sabar, mengalah dan
memandang persahabatan. Kalau kami mau, apakah sukarnya mendatangi tempat tahanan itu
dan mengeluarkan kawan-kawan kami? Akan tetapi kami tidak mau melakukan kekerasan itu
dan sengaja minta kebijaksanaan taijin karena bukankah taijin yang berkuasa dan berhak
membebaskan mereka? Lebih baik taijin segera menulis sepucuk surat pembebasan agar dapat
kami bawa ke tempat tahanan untuk membebaskan kawan-kawan kami itu!”
Thio-tihu menjadi bingung. Menolak ia tidak berani karena maklum bahwa ketiga orang ini
bukanlah orang baik-baik dan tentu akan mencelakakannya apabila ia menolak, akan tetapi
untuk mentaati permintaan itu, juga sukar baginya.
15.
“SAM-wi, memang benar aku yang berkuasa, akan tetapi harus kalian ketahui bahwa yang
menangkap mereka bukanlah aku! Semenjak dahulu hubunganku dengan saudara Touw baik
sekali, sampai datang Kang-lam Ciu-hiap dan memaksaku memberi hukuman kepada mereka.
Kalau sekarang aku melepaskan mereka, bukankah aku melakukan kesalahan besar terhadap
kedua pendekar muda itu? Harus diketahui bahwa mereka itu lihai sekali dan apa dayaku
terhadap mereka?”
Tiba-tiba Lui Siok si Ular Belang tertawa terbahak-bahak. “Anjing-anjing kecil itu untuk
apakah ditakuti sekali? Mereka hanya pandai menyalak dan tak mampu menggigit! Tentang
mereka, serahkanlah kepadaku, taijin. Setelah membebaskan Touw Cit dan Touw Tek, aku
akan langsung mencari mereka di gedung Lie-wangwe.”
Lega juga Thio-tihu mendengar ini, karena memang maksudnya hendak mengadu orangorang
ini dengan kedua pendekar muda ini yang tentu takkan tinggal diam. Hanya sayangnya
ia telah mendengar bahwa Kang-lam Ciu-hiap meninggalkan Hun-lam kemarin sehingga kini
hanya tinggal Sian-kiam Lihiap seorang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 129
Terpaksa ia membuat sepucuk surat pembebasan bagi Touw Cit dan Touw Tek dan
menyerahkan kepada Lui Siok. Si Ular Belang tertawa bergelak dan sekali lagi tangan
kanannya digerakkan menghantam meja di depannya yang segera menjadi pecah bagaikan
kena hantaman kampak.
“Taijin, kalau lain kali terjadi penangkapan atas diri anggauta-anggauta perkumpulan kami,
bukan meja ini yang kupecahkan, akan tetapi kepala orang-orang yang bertanggung jawab
dalam urusan penangkapan itu!”
Setelah berkata demikian, dengan senyum dimulut, Lui Siok mengajak kedua anak buahnya
pergi meninggalkan Thio-tihu yang masih berdiri menggigil sambil memandang kepada meja
yang telah rusak terpukul itu.
Dengan surat perintah dari Thio-tihu, maka mudah saja Lui Siok dan dua orang anak buahnya
membebaskan Touw Cit dan Touw Tek. Kedua saudara ini segera memberi hormat dan
menghaturkan terima kasih banyak kepada Lui Siok yang menjawab sambil tertawa,
“Sudahlah, pengalaman ini kalian jadikan contoh agar lain kali tidak bertindak semberono dan
lebih dulu memberitahukan kepada kami apabila menghadapi urusan besar! Sekarang
ceritakanlah bagaimana kalian sampai kalah terhadap Kang-lam Ciu-hiap dan Sian-kiam
Lihiap.”
Touw Cit menceritakan pengalamannya dan ketika ia menceritakan bahwa Sian-kiam Lihiap
adalah seorang anak murid Go-bi-pai pula dan bahkan anak perempuan Liok Ong Gun Kepala
daerah Kiang-sui, Lui Siok membuka matanya lebar-lebar dan berseru, “Ah, kalau begitu kita
telah menghadapi orang sendiri!”
Touw Cit dan kawan-kawannya heran mendengar ini, akan tetapi Lui Siok tidak mau banyak
bicara, hanya berkata, “Kalian lebih baik segera kembali dulu ke Tong-kwan. Biarlah aku
sendiri yang membereskan segala urusan di sini. Tidak baik kalau kalian berada terlalu lama
di sini.”
Touw Cit, Touw Tek dan dua orang anak buah Hek-i-pang itu tidak berani membantah dan
mereka pergi menuju ke Tong-kwan. Adapun Lui Siok lalu pergi mencari Sian-kiam Lihiap
Liok Tin Eng.
Siapakah sebenarnya Lui Siok ini dan mengapa ia menganggap Tin Eng sebagai orang
sendiri? Si Ular Belang yang lihai ini sebenarnya bukan lain ialah murid kepala dari Bong Bi
Sianjin tokoh Kim-san-pai itu! Dengan demikian maka Lui Siok ini masih terhitung kakak
seperguruan dari Gan Bu Gi, pemuda yang hendak dijodohkan dengan Tin Eng dan yang
sekarang menjadi perwira di gedung ayah Tin Eng itu! Lui Siok telah mendengar tentang
keberuntungan Gan Bu Gi yang menjadi perwira itu, karena suhunya telah menceritakannya,
maka ia tahu bahwa sutenya itu hendak dipungut menantu oleh Liok-taijin.
Ia telah mengetahui bahwa Liok-taijin adalah seorang anak murid Go-bi-pai yang pandai dan
mendengar pula bahwa ilmu silat gadis yang hendak dijodohkan dengan sutenya itu bahkan
lebih tinggi lagi. Maka tentu saja ia terkejut sekali mendengar bahwa yang memusuhi Touw
Cit dan Touw Tek adalah Liok Tin Eng atau calon isteri dari Gan Bu Gi sutenya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 130
Pada saat itu, Tin Eng sedang berada di kebun belakang yang dikelilingi tembok tinggi dan
gadis ini sedang berlatih silat seorang diri untuk menyempurnakan ilmu silat tangan kosong
Sin-eng Kun-hoat yang ia pelajari dari Gwat Kong. Berbeda dengan Sin-eng Kiam-hoat yang
pernah ia pelajari dari kitab salinan, untuk ilmu silat tangan kosong yang belum pernah ia
pelajari sama sekali ini, ia mendapatkan berbagai kesulitan.
Baiknya ia telah ingat di luar kepala tentang teori-teorinya sehingga ia dapat melatih seorang
diri dengan giat dan tekunnya. Ia sedang melatih berkali-kali gerakan dari Sin-eng Kai-peng
(Garuda Sakti Membuka Sayap). Gerakan ini walaupun dimulai dengan dua lengan terpentang
ke kanan kiri, akan tetapi mempunyai pecahan yang banyak macamnya, yang disesuaikan
dengan gerakan dan kedudukan lawan.
Ia pernah melihat Gwat Kong mendemonstrasikan gerakan ini. Akan tetapi masih saja ia
mendapatkan kesulitan dan belum merasa puas dengan gerakan sendiri yang dianggapnya
masih kurang sempurna. Oleh karena itu semenjak tadi ia mengulangi lagi gerakan itu.
Tiba-tiba ia mendengar suara teguran. “Aneh sekali, mengapa anak murid Go-bi-pai mainkan
ilmu silat yang aneh semacam itu?”
Tin Eng cepat menengok dan melihat seorang laki-laki tua berbaju hitam berambut putih
berdiri di atas tembok taman itu. Ia kaget sekali karena sama sekali ia tidak mendengar atau
melihat gerakan orang ini sehingga ia dapat menduga bahwa kepandaian orang ini tentu tinggi
sekali. Ia memandang dan bertanya,
“Kakek yang gagah siapakah kau dan apakah maksudmu melompat ke atas tembok lain
orang?”
Kakek ini yang bukan lain adalah Lui Siok si Ular Belang, tertawa bergelak.
“Apakah kau yang disebut Sian-kiam Lihiap dan bernama Liok Tin Eng?” Ia balas bertanya.
Tin Eng mendongkol sekali karena sikap kakek ini ternyata memandang rendah, belum
menjawab sudah balas bertanya.
“Kalau aku benar Sian-kiam Lihiap Liok Tin Eng, habis kau mau apakah?”
“Benar galak ...!” Lui Siok kembali tertawa. “Akan tetapi cantik manis dan gagah!” Kini ia
berjongkok di atas tembok itu dan sambil tersenyum ia berkata kembali,
“Nona, ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan Hoa-coa-ji Lui Siok (Si Ular Belang)!”
Tin Eng tersenyum mengejek. “Semenjak hidupku, aku belum pernah mendengar nama dan
julukan itu.”
Lui Siok tidak marah, hanya tertawa lagi. “Tentu saja belum kenal karena kau masih hijau dan
kurang pengalaman.”
Tin Eng makin mendongkol lalu berkata ketus, “Orang tua, sebetulnya apakah maksud
kedatanganmu? Apakah kau datang hanya hendak memamerkan nama dan julukanmu? Kalau
benar demikian, kau salah alamat. Seharusnya kau pergi ke pasar di mana terdapat banyak
orang dan kau boleh menjual nama sesuka hatimu. Aku tidak butuh julukan!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 131
“Aduh aduh! Mengapa sute berani menghadapi nona yang begini galak?” kembali Lui Siok
berkata. Akan tetapi ia benar-benar cantik jelita dan gagah. Ha ha, nona kecil, jangan kau
berlaku galak kepadaku. Ketahuilah bahwa aku sebetulnya masih suhengmu (kakak
seperguruan) sendiri!”
Tin Eng terkejut dan heran, akan tetapi ia makin gemas. Terang bahwa orang tua ini hendak
mempermainkannya. Dari mana ia mempunyai kakak seperguruan seperti ini? Melihat atau
mendengar namanya belum pernah.
“Aku tidak pernah mempunyai seorang suheng yang manapun juga!” katanya mendongkol.
“Harap jangan mengobrol di sini dan pergilah!”
“Ha ha ha! Tentu sute belum menceritakan hal suhengnya ini kepadamu. Ah, kalau bertemu
dengan Gan-sute, tentu ia akan kutegur! Ketahuilah nona, Gan Bu Gi, calon suamimu itu
adalah suteku! Kalau aku menjadi suhengnya, bukankah kau juga harus menyebut suheng
kepadaku?”
Kini mengertilah Tin Eng, akan tetapi pengertian ini bahkan menambah kemarahannya.
Dengan muka merah ia menuding,
“Jangan kau ngaco belo! Siapa yang menjadi calon isteri orang she Gan itu? Jangan kau
berlancang mulut!”
Kini Lui Siok memandang heran dan ia menggeleng-gelengkan kepala lalu berdiri di atas
tembok itu.
“Heran, heran! Gan-sute benar-benar gila! Mengapa ia mau mencari jodoh dengan gadis
segalak ini? Nona Liok! Ku berlaku kurang ajar terhadap saudara tua, kalau calon suamimu
mendengar tentang hal ini, kau tentu akan mendapat teguran keras!”
“Tutup mulutmu yang busuk!”
Marahlah Lui Siok melihat sikap Tin Eng yang dianggapnya terlalu kurang ajar ini. Mana ada
calon isteri seorang sute bersikap seperti ini terhadap seorang suheng?
“Hmmm, agaknya kau sombong karena kau telah mendapat julukan Sian-kiam Lihiap!
Ketahuilah nona galak, kedatanganku ini sebenarnya untuk mencari dan membunuh Kang-lam
Ciu-hiap yang telah mengganggu kawan-kawanku yaitu Touw Cit dan Touw Tek! Tadinya
kaupun hendak kuhajar, akan tetapi mendengar bahwa kau adalah calon isteri suteku, tentu
saja aku tidak mau turun tangan, hanya mengharapkan sikap manis darimu dan pernyataan
maaf. Sekarang sikapmu begini kurang ajar, agaknya kau mau mengandalkan kepandaian
Kang-lam Ciu-hiap. Suruh dia keluar agar dapat berkenalan dengan kelihaian Hoa-coa-ji Lui
Siok!”
“Kang-lam Ciu-hiap tidak berada di sini!” jawab Tin Eng dengan tabah. “Tak perduli kau
menjadi suheng siapapun juga, kalau kau membela Touw Cit, berarti kaupun bukan manusia
baik-baik. Bukan hanya Kang-lam Ciu-hiap yang memberi hajaran kepada Touw Cit, akan
tetapi akupun mempunyai saham terbesar! Kalau kau memang berani dan berkepandaian
turunlah, siapa takuti omonganmu yang besar?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 132
“Bocah kurang ajar!” Lui Siok membentak dan ia segera melompat turun dengan gerakan
Chong-eng-kim-touw (Burung Sambar Kelinci), langsung menubruk dari atas dengan kedua
tangan diulur dan dibuka bagaikan seekor burung garuda menyambar dan menerkam tubuh
Tin Eng. Akan tetapi gadis itu telah siap menanti dan ketika tubuh lawannya telah turun dekat,
kaki kanannya menyambar sambil menendang dengan keras untuk memapaki dada musuhnya
itu.
“Bagus!” seru Lui Siok yang segera mengulur tangan kirinya yang tadi dibuka untuk
menangkap kaki kanan Tin Eng itu. Gadis itu terkejut sekali melihat gerakan tangan memutar
yang hendak menangkap kakinya dari bawah, maka ia cepat menarik kembali kakinya
melompat ke kiri dan mengirim pukulan dengan tangan kanan ke arah pelipis lawan.
Diam-diam Lui Siok memuji kegesitan gadis ini dan cepat ia miringkan kepala dan kembali
tangan kanannya menyerbu cepat untuk menangkap pergelangan tangan yang memukul itu.
Tin Eng maklum bahwa lawan ini memiliki lweekang yang kuat dan jari-jari tangan yang
dibuka dan merupakan kuku garuda itu. Ia dapat menduga lawan tentulah seorang ahli dalam
ilmu silat mencengkeram seperti halnya ilmu silat Eng-jiauw-kang, maka tentu saja ia tidak
membiarkan tangannya ditangkap dan segera menarik kembali tangannya cepat-cepat dan
menerjang lagi dengan pukulan tangan kiri.
Serangan-serangan yang dilakukan oleh Tin Eng ini adalah pukulan-pukulan dari Sin-eng
Kun-hoat dan gerakannya demikian aneh sehingga untuk jurus-jurus pertama Lui Siok merasa
bingung dan terkejut. Serangan-serangannya itu dapat dirubah sedemikian cepatnya dan
disusul oleh serangan-serangan berikutnya yang makin lama makin cepat. Ia sama sekali tidak
diberi kesempatan untuk menggunakan cengkeraman dan tangkapannya.
Akan tetapi sayang sekali bahwa ilmu silat tangan kosong yang dipelajari oleh Tin Eng ini
belum sempurna benar sehingga setelah beberapa jurus lamanya ia belum berhasil memukul
lawannya. Tin Eng segera merubah ilmu silatnya dan kini ia bersilat dengan ilmu silat Go-bipai
yang dipelajari dari ayahnya. Dalam hal ilmu silat ini, Tin Eng sudah mempunyai
kepandaian yang cukup lumayan. Akan tetapi Lui Siok tertawa bergelak menghadapi ilmu
silat yang dikenalnya dengan baik ini.
“Nona manis, kalau Seng Le Locianpwe melihat kau menyerang aku, tentu dia akan menegur
kau! Aku kenal baik padanya!”
“Siapa sudi banyak mengobrol dengan kau?” seru Tin Eng dengan marah dan menyerang
terus dengan bertubi-tubi dengan pukulan-pukulan keras. Ia merasa sayang sekali bahwa
pedangnya tidak dibawa dan ditinggalkan di dalam kamarnya. Karena memang tadi ia sengaja
datang untuk berlatih silat tangan kosong, maka ia tidak membawa-bawa pedang.
“Bangsat tua bangka!” teriaknya memaki. “Kalau kau memang gagah, tunggulah aku
mengambil pedangku!”
“Ha ha ha, bocah galak. Boleh, boleh, kau ambillah pedangmu. Memang aku ingin sekali
menyaksikan bagaimana lihainya pedang dari Sian-kiam Lihiap!”
Tin Eng lalu berlari masuk dan tak lama kemudian ia telah kembali membawa pedangnya.
Benar saja, Lui Siok masih menanti di situ dengan tersenyum-senyum mengejek.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 133
“Awas pedang!” seru Tin Eng yang sama sekali tidak memperdulikan lawannya yang
bertangan kosong. Seruannya ini dibarengi dengan tusukan pedangnya yang digerakkan
secara luar biasa. Tadinya Lui Siok mengira bahwa ia akan menghadapi ilmu pedang Go-bi,
dan melihat tingkat nona itu, ia merasa cukup kuat untuk menghadapi pedang nona itu dengan
tangan kosong, mengandalkan lweekangnya yang jauh lebih kuat dan ilmu silatnya Siauwkin-
na Jiu-Hoat yang lihai. Akan tetapi, setelah nona itu menyerang bertubi-tubi dengan hebat
sekali membuat ia harus melompat kesana ke mari menghindarkan diri, terkejutlah dia! Ilmu
pedang ini sama sekali bukan ilmu pedang Go-bi-pai dan hebatnya bukan main! Belum
pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti ini.
Biasanya menghadapi ilmu pedang biasa, ia berani menghadapi dengan kedua tangannya
mengandalkan lweekang dan ilmu silatnya. Akan tetapi melihat betapa pedang ditangan gadis
itu, cara menusuk dan membacoknya berbeda dengan ilmu pedang yang lain, yakni
tusukannya digetarkan dan bacokannya dibarengi gerakan mengiris, ia tidak berani berlaku
gegabah dan tidak mau coba-coba untuk menangkap dan merampas pedang itu. Menghadapi
serangan-serangan ini, Lui Siok tidak berani main-main lagi, bahkan kini ia berhenti
tersenyum dan tak dapat mengeluarkan kata-kata ejekan lagi, akan tetapi mengerahkan
seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menjaga diri.
Lui Siok benar-benar lihai, karena setelah bertempur tiga puluh jurus lebih, pedang di tangan
Tin Eng belum juga berhasil sama sekali. Gerakan kakek ini terlampau gesit dan tangannya
yang kuat itu benar-benar lihai. Tiap kali pedang Tin Eng dengan gerakan aneh hampir
berhasil mengenai tubuhnya, ia lalu mempergunakan jari-jari tangannya dikepretkan ke arah
pedang sehingga senjata itu terpental dan tidak mengenai sasaran. Tin Eng benar-benar
merasa terkejut sekali.
Akhirnya Lui Siok mengambil keputusan untuk mempergunakan senjatanya yang jarang
sekali dikeluarkannya oleh karena ia maklum bahwa dengan hanya mengandalkan sepasang
tangannya saja, sukarlah baginya untuk memperoleh kemenangan terhadap gadis yang lihai
sekali ilmu pedangnya itu. Ia berseru keras dan tahu-tahu ia telah melepaskan sehelai
sabuknya yang aneh, karena sabuknya ini ternyata adalah seekor ular belang yang telah kering
akan tetapi masih lemas seperti hidup saja.
Inilah yang membuat dia diberi julukan si Ular Belang, karena senjatanya ini pernah
menggemparkan dunia kang-ouw. Lui Siok adatnya sombong dan angkuh, maka apabila tidak
menghadapi musuh yang benar-benar tangguh, ia jarang sekali mau mempergunakan
senjatanya ini.
Tin Eng merasa agak geli melihat ular itu, dan juga jijik sekali, akan tetapi itu bukan berarti
bahwa ia takut. Dengan cepat ia menyerang lagi dan ketika senjata ular itu menangkis, Tin
Eng terkejut sekali karena bukan saja ular itu ternyata keras bagaikan logam, akan tetapi
tangkisan itu membuat tangannya gemetar. Demikian hebatnya tenaga lweekang dari Lui Siok
ini.
Tin Eng terus menyerang dan mengerahkan seluruh kepandaiannya. Akan tetapi ternyata
bahwa ilmu kepandaian Lui Siok amat lihai dan tingkatnya masih lebih tinggi dari padanya.
Perlu diketahui bahwa twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua) dari Gan Bu Gi atau murid
yang paling lihai dari Bong Bi Sianjin, Lui Siok ini tentu saja mempunyai kepandaian yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 134
amat tinggi, ditambah pula dengan pengalamannya bertempur yang sudah puluhan tahun,
maka kini Tin Eng merasa terdesak hebat.
Betapapun juga, gadis itu masih dapat mempertahankan diri sampai hampir lima puluh jurus.
Akhirnya, sebuah serangan dengan sabetan ular itu ke arah lehernya membuat Tin Eng
terkejut dan memperlambat gerakan pedang karena ia harus melompat ke pinggir melindungi
lehernya.
Kesempatan ini dipergunakan dengan baik oleh Lui Siok yang mempergunakan tangan
kirinya menyerang dengan ilmu silat mencengkeram. Sebelum Tin Eng dapat menarik,
pedangnya itu telah dapat dicengkeram dan dirampas. Gadis ini masih nekad dan hendak
merampas kembali pedangnya, akan tetapi pedang itu digerakkan oleh Lui Siok ke arah dada
gadis itu dengan ancaman tusukan. Tin Eng miringkan tubuh dan “brett!” robeklah baju Tin
Eng di bagian pinggang.
“Ha ha ha! Kau benar-benar lihai! Lihai, cantik dan galak. Kecantikan dan kepandaianmu
memang membuat kau patut menjadi nyonya Gan Bu Gi, akan tetapi sayang kau terlalu galak.
Kalau aku tak ingat bahwa kau adalah anak murid Seng Le Hosiang dan calon isteri Gan-sute,
tentu kau telah menggeletak tak bernyawa di depan kakiku!”
Sambil berkata demikian, Lui Siok menggerakkan tangannya mencengkeram pedang itu dan
“kreek!” patahlah pedang Tin Eng yang telah dirampas tadi. Kemudian ia melompat ke arah
tembok dan lenyap dari pandangan mata Tin Eng yang marah dan penasaran sekali.
Kemudian ia mendengar dari pamannya yakni Lie-wangwe, betapa Touw Cit dan Touw Tek
telah dibebaskan dari penjara oleh tihu karena ancaman Lui Siok yang lihai itu. Tin Eng
menarik napas panjang dan berkata,
“Mereka memang lihai sekali. Baru terhadap seorang lawan saja aku dapat dikalahkannya,
apalagi kalau mereka itu mengeluarkan jago-jago yang lain. Pek-hu, lebih baik untuk
sementara waktu kita jangan mencari permusuhan dengan mereka. Kecuali kalau mereka
datang mengganggu, aku akan pertaruhkan nyawaku untuk membela diri. Kalau saja Gwat
Kong berada di sini, tentu mereka itu akan disapu bersih. Tanpa adanya Kang-lam Ciu-hiap,
mereka terlalu berat bagiku.”
Song Bu Cu, ketua Hek-i-pang adalah seorang cerdik, maka setelah berhasil membebaskan
Touw Cit dan Touw Tek, ia melarang orang-orangnya untuk mengganggu kota Hun-lam. Ia
adalah seorang yang ingin bekerja dengan aman, tidak suka lagi mempergunakan kekerasan
seperti dulu-dulu. Ia ingin agar supaya keadaan di Hun-lam menjadi ‘dingin’ dulu untuk
kemudian menggunakan kecerdikan untuk mengeduk uang para hartawan dan pembesar.
Apalagi setelah ia mendengar dari Lui Siok bahwa Kang-lam Ciu-hiap yang menjadi musuh
mereka telah pergi dan mendengar bahwa Sian-kiam Lihiap ternyata adalah tunangan Gan Bu
Gi dan anak murid Seng Le Hosiang, maka tentu saja Song Bu Cu tidak berani
mengganggunya.
Melihat keadaan yang aman dan tidak adanya gangguan dari pihak penjahat, tidak saja
mendatangkan rasa heran kepada Tin Eng, akan tetapi juga perasaan lega, karena tanpa ada
pembantu yang pandai, ia merasa percuma untuk memusuhi gerombolan yang memiliki
banyak orang pandai itu. Kini ia merasa benci kepada Gan Bu Gi karena ternyata bahwa
pemuda itu mempunyai seorang suheng yang berjiwa penjahat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 135
****
Gwat Kong melakukan perjalanan dengan perlahan, tidak tergesa-gesa dan orang-orang yang
melihatnya akan menyangka bahwa ia adalah seorang pemuda pelancong yang lemah. Sama
sekali takkan menyangka bahwa ia adalah Kang-lam Ciu-hiap, pendekar muda yang baru saja
muncul di dunia kang-ouw dan dalam waktu singkat telah membuat nama besar dengan
mengalahkan Ngo-heng-kun Ngo-hiap dan mengobrak-abrik anggauta-anggauta Hek-i-pang
di kota Hun-lam.
Ia ingin pergi lagi ke Ki-hong di mana terdapat makam ibunya dan hendak bersembahyang di
depan makam ibunya. Setelah ia selesai bersembahyang dan berjalan perlahan-lahan keluar
dari tanah kuburan itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis sedih sekali. Hatinya
menjadi tergerak dan ikut terharu.
Siapakah yang menangis di kuburan itu? Suaranya menyatakan bahwa yang menangis adalah
seorang laki-laki, agaknya menangisi mendiang orang tuanya atau isterinya. Biarpun hal itu
tiada sangkut pautnya dengan dia, akan tetapi oleh karena Gwat Kong mempunyai perasaan
halus dan hatinya mudah tergerak, ia lalu membelokkan langkah kakinya menuju ke arah
suara yang menangis itu.
Akan tetapi, alangkah herannya ketika ia melihat bahwa yang menangis itu adalah seorang
laki-laki tua. Seorang kakek yang rambutnya sudah putih semua. Pakaiannya biarpun putih
bersih akan tetapi penuh tambalan. Di dekatnya terdapat sebuah pikulan dan keranjang terisi
daun-daun dan akar-akar obat-obatan. Kakek inilah yang mengeluarkan suara tangisan
demikian sedihnya sambil memukul-mukul tanah dan menjambak-jambak rambutnya.
Akan tetapi tak mungkin dia dia menangisi orang yang sudah mati, oleh karena ia tidak duduk
di depan makam tertentu. Akan tetapi duduk di bawah pohon sambil memandang ke arah
gundukan-gundukan tanah kuburan itu. Ketika Gwat Kong berdiri agak jauh sambil
memandang heran, ia mendengar keluh kesah kakek itu di antara tangisnya.
“Dasar aku yang bernasib buruk ..... Hidupku yang lampau terlalu banyak dosa, maka aku
harus menderita entah berapa tahun lagi ... ah ... nasib ... aku sudah bosan hidup .....!” Katakata
‘bosan hidup’ ini ia teriakan beberapa kali sambil mengangkat kedua tangan dan
memandang ke angkasa, seakan-akan ia hendak mengajukan protesnya kepada langit biru.
Gwat Kong makin terheran-heran melihat sikap kakek ini. Mengapakah kakek ini begitu
sedih? Siapakah gerangan orang aneh yang sudah bosan hidup ini dan apa pula yang
menyusahkan hatinya? Terdorong oleh rasa kasihan, pemuda itu melangkah maju mendekati
dan bertanya,
“Lopeh, agaknya ada sesuatu yang menyusahkan hatimu. Apakah yang mengganggumu dan
dapatkah kiranya aku menolongmu?”
Kakek itu mengangkat muka dan memandang. Gwat Kong tercengang karena sepasang mata
kakek itu bersinar tajam dan kuat sekali sehingga ia tak kuat menatapnya lama-lama.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 136
Tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak dan hal ini kembali membuat Gwat Kong tertegun
keheranan. Baru saja kakek itu menangis demikian sedihnya sehingga air matanya masih
nampak mengalir di sepanjang pipinya, akan tetapi kini telah dapat tertawa bergelak.
“Kau mau menolongku? Ha ha, boleh! Cabut pedangmu itu dan seranglah aku!”
Gwat Kong terkejut sekali. Pedangnya Sin-eng-kiam ia sembunyikan di balik jubahnya.
Bagaimana kakek ini bisa tahu bahwa ia membawa pedang?
“Akan tetapi .... aku ... tidak mempunyai maksud jahat, lopeh? Sesungguhnya dengan tulus
hati aku ingin menolongmu kalau aku dapat.”
Tiba-tiba kakek itu berdiri dan menyambar pikulannya yang terbuat dari pada bambu kuning
melengkung di bagian tengah, hampir menyerupai sebatang gendewa.
“Kau mau menolongku bukan? Nah, mari kita bertempur! Kalau kau bisa menewaskanku,
berarti kau telah menolongku.”
Setelah berkata demikian, ia lalu menyerang dengan pikulannya ke arah kepala Gwat Kong.
Pukulan ini cepat sekali dan mendatangkan angin keras sehingga Gwat Kong merasa terkejut
dan cepat-cepat melompat ke belakang. Ia merasa heran, bingung dan mendongkol sekali.
Gilakah orang ini?
Akan tetapi ia tidak sempat banyak berpikir karena kembali pikulan itu telah menyambar dan
melihat gerakan yang hebat itu, ia maklum bahwa kepandaian kakek ini tak boleh dibuat
permainan. Maka ia lalu mencabut pedangnya dan bersiap sedia menghadapi kakek gila ini.
“Pokiam (pedang pusaka) yang bagus!” kakek itu berseru, lalu menyerang lagi dengan cepat
lebih cepat dan keras. Terpaksa Gwat Kong menangkis serangan itu dan sekali lagi ia menjadi
terkejut karena tangkisannya ini membuat telapak tangannya terasa perih sekali dan hampir
saja pedangnya terlepas dari pegangannya. Dari benturan senjata ini saja, ia maklum bahwa
senjata di tangan kakek itu adalah senjata pusaka yang ampuh dan tenga lweekang orang gila
ini jauh lebih tinggi dari pada lweekangnya sendiri. Maka ia tidak berani memandang ringan
dan segera mainkan Sin-eng Kiam-hoat untuk menjaga diri dan balas menyerang.
“Kiam-hoat yang bagus!” seru kakek itu lagi yang memuji ilmu pedang yang dimainkan oleh
Gwat Kong.
Akan tetapi kembali Gwat Kong terheran-heran karena ternyata bahwa kakek itu tidak saja
bertenaga kuat dan memiliki senjata yang luar biasa, akan tetapi ilmu silatnya pun amat
tinggi. Baru beberapa belas jurus saja pertempuran ini berjalan, tahulah ia bahwa kakek ini
benar-benar seorang yang sakti.
Tubuhnya berkelebat demikian cepat sehingga membuat pandangan matanya kabur,
sedangkan tipu gerakan kakek itu mendatangkan sambaran angin yang dahsyat.
Gwat Kong telah mengeluarkan tipu-tipu serangan yang paling ampuh dan lihai dari Sin-eng
Kiam-hoat. Akan tetapi dengan amat baiknya kakek itu dapat memecahkannya, bahkan
membalas dengan serangan-serangan yang lebih aneh gerakannya dari pada gerakan
pedangnya dan beberapa kali hampir saja ia menjadi sasaran pukulan itu kalau saja ia tidak
berlaku gesit.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 137
Pada suatu saat, Gwat Kong tak terasa mengeluarkan seruan kaget ketika pikulan itu dengan
gerakan yang cepat sekali menusuk ke arah dadanya. Ia cepat memutar pedangnya melalui
bawah lengan kirinya dan menyampok tusukan itu dari dalam dan menolak pikulan yang telah
mengenai bajunya itu.
Pikulan terpental akan tetapi terus melayang lagi menghantam pinggangnya dengan kecepatan
yang luar biasa sehingga tak mungkin dielakkan pula. Akan tetapi Sin-eng Kiam-hoat
memang mempunyai bagian mempertahankan diri yang istimewa.
Tiba-tiba Gwat Kong ingat akan gerakan Garuda Sakti Mendekam Di Tanah. Tubuhnya lalu
ditarik ke bawah dengan kaki di tekuk sehingga ia menjadi berjongkok dengan punggung
direndahkan sehingga dadanya hampir menyentuh tanah, akan tetapi pedangnya terus diputar
di atas kepalanya menjaga diri. Dengan gerakan yang cepat ini, ia terhindar dari pada
serangan yang hebat tadi. Akan tetapi keringat dingin keluar dari jidatnya karena tadi hampir
saja ia terkena celaka. Ia makin gelisah dan menjadi gentar menghadapi kakek yang benarbenar
lihai ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu tertawa bergelak menunda serangannya.
“Ha ha ha! Anak muda yang baik, maukah kau menjadi muridku? Hanya memiliki Sin-eng
Kiam-hoat saja, seakan-akan kau tahu barat tidak kenal timur!”
Gwat Kong adalah seorang pemuda yang cerdik dan memang sudah menjadi wataknya suka
merendah. Maka tanpa sangsi-sangsi lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu
dan berkata,
“Kalau locianpwe sudah memberi bimbingan kepada teecu yang bodoh, teecu Bun Gwat
Kong akan merasa beruntung sekali.”
Melihat pemuda itu berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya kepadanya, kakek itu
tertawa girang, lalu mengangkat pikulan bambunya dan memukulkan pikulannya ke arah
kepala Gwat Kong dengan keras.
Gwat Kong tentu saja tahu akan hal ini. Akan tetapi pemuda ini mengeraskan hatinya dan
meramkan matanya. Sama sekali tidak bergerak, karena memang sesungguhnya ia memang
takluk dan percaya kepada kakek yang sakti ini. Ketika pikulan itu telah dekat sekali dengan
kepala Gwat Kong, tiba-tiba pikulan itu seakan-akan tertolak oleh tenaga aneh dan membalik,
dibarengi suara ketawa kakek itu.
“Bagus, bagus! Kau benar percaya kepadaku. Mulai sekarang kau menjadi muridku. Namamu
Bun Gwat Kong? Bagus sekali, dan aku adalah Bok Kwi Sianjin!”
Kakek itu lalu melangkah maju menghampiri gundukan-gundukan kuburan yang terdekat dan
memukul-mukulkan tongkat bambunya itu kepada gundukan tanah itu sambil berkata,
“Aku tarik kembali omonganku tadi. Sekarang aku tidak ingin mati, belum bosan hidup
karena aku harus menurunkan Sin-hong-tung-hoat kepada muridku ini.”
Ia lalu menengok kepada Gwat Kong dan berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 138
“Gwat Kong, kau kesinilah dan bersumpah dihadapan kuburan ini bahwa kau akan
mempelajari Sin-hong-tung-hoat dengan baik kemudian mewakili suhumu membasmi
kejahatan dan memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu di waktu mendatang!”
Gwat Kong maklum bahwa suhunya adalah seorang kakek yang beradat aneh, maka tanpa
banyak bertanya ia lalu berlutut di depan beberapa gundukan tanah yang tidak diketahuinya
kuburan siapa itu, lalu bersumpah.
“Teecu Bun Gwat Kong dengan disaksikan oleh gundukan kuburan-kuburan ini, bersumpah
bahwa teecu akan mempelajari ilmu silat yang diajarkan oleh suhu Bok Kwi Sianjin sebaikbaiknya.
Kemudian kepandaian itu akan teecu pergunakan untuk membela kebenaran dan
keadilan, membasmi kejahatan!”
“Dan juga mewakili aku memperebutkan sebutan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,”
kata Bok Kwi Sianjin.
“Dan juga mewakili aku memperebutkan ahli silat kelas satu dan ilmu silat terbaik,” Gwat
Kong mengulangi.
“Juga akan membasmi musuh-musuhku,” kata pula Bok Kwi Sianjin.
16.
GWAT Kong merasa terkejut dan ragu-ragu. Bagaimana ia bisa mengangkat sumpah untuk
membalas musuh-musuh gurunya? Sedangkan musuh ayahnya pun ia tidak mau membalasnya
karena ternyata bahwa puteri musuh ayahnya bukan orang jahat. Akan tetapi ia tidak berani
membantah dan dengan cerdiknya ia mengulangi kata-kata suhunya dengan sedikit tambahan.
“Dan juga teecu akan membasmi musuh-musuh suhu yang jahat.”
Ia sengaja menambah kata-katanya, ‘yang jahat’ sehingga kalau kelak ia mendapatkan bahwa
musuh suhunya bukan orang jahat, ia tidak usah membalas dendam dan berarti ia tidak
melanggar sumpahnya. Kalau musuh suhunya memang jahat, jangankan menjadi musuh
suhunya, biarpun tidak menjadi musuh, sudah menjadi kewajibannya untuk membasmi orang
jahat! Memang Gwat Kong benar-benar cerdik dan berpikiran luas.
Bok Kwi Sianjin tertawa-tawa senang dan berkata kepada muridnya yang masih duduk di atas
tanah, bersila sambil memukul-mukulkan pikulannya pada tanah keras,
“Gwat Kong kau tak kusangka-sangka adalah penemu dari ilmu silat Sin-eng Kiam-hoat yang
kukira telah lenyap dari permukaan bumi ini. Aku tahu bahwa dulu yang mendapatkan kitab
pelajaran ilmu pedang itu adalah Leng Po In atau Bu-eng-san, si Dewa Tanpa Bayangan.
Akan tetapi ia menjadi gila dan entah ke mana ia buang kitab itu. Tak tahunya, kau yang
mendapat jodoh dan mewarisi kitab itu dan telah pula mempelajari ilmu pedangnya yang luar
biasa. Ketahuilah bahwa Sin-eng Kiam-hoat ini pada seratus tahun yang lalu menjadi ilmu
yang paling terkenal di barat. Akan tetapi masih belum dapat mengalahkan pengaruh ilmu
tongkat Sin-hong-tung-hoat dari timur. Sucouwmu (nenek moyang guru) yang menciptakan
Sin-hong-tung-hoat adalah saudara seperguruan dan keduanya selalu berusaha untuk menang
sehingga entah berapa kali kedua ilmu itu diadu. Betapapun juga, dibandingkan dengan ilmuilmu
keluaran berbagai cabang persilatan, kedua ilmu itu tidak akan kalah. Selain Go-bi, KunKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 139
lun, Thai-kek dan Hoa-san, yang berkembang luas dan telah terkenal, maka para ahli
persilatan maklum bahwa di empat penjuru terdapat Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hongtung-
hoat dari Timur, Pat-kwa-to-hoat (Ilmu Golok Pat-kwa) dari utara dan Im-yang Siangkiam-
hoat (Ilmu Pedang Berpasangan Im-yang) dari selatan. Keempat ilmu silat ini
tingkatnya sedemikian tinggi sehingga tak usah menyerah terhadap cabang-cabang persilatan
yang manapun juga, oleh karena semua ini adalah ilmu silat khusus. Sin-eng Kiam-hoat
khusus pelajaran pedang. Sin-hong-tung-hoat pelajaran tongkat. Pat-kwa-to-hoat permainan
golok dan Im-yang Siang-kiam-hoat permainan pedang berpasangan. Tidak seperti cabangcabang
persilatan yang selain mempelajarkan banyak macam permainan sehingga tidak dapat
mencapai tingkat tinggi. Juga mereka menerima murid secara serampangan saja sehingga
terbukti sekarang terdapat kekacauan dan permusuhan antara Go-bi dan Hoa-san.”
Mendengar ucapan suhunya yang panjang lebar itu, diam-diam Gwat Kong merasa girang
karena ternyata bahwa sekali-kali suhunya bukanlah seorang gila seperti yang disangkanya
semula. Memang suhunya mempunyai watak dan sikap yang aneh sekali akan tetapi setelah ia
bicara, ternyata bahwa suhunya yang memiliki pengetahuan yang luas tentang keadaan di
kalangan kang-ouw. Akan tetapi agaknya yang mendengar pembicaraan Bok Kwi Sianjin tadi
bukan hanya Gwat Kong seorang, karena tiba-tiba terdengar suara orang mencela,
“Bok Kwi Sianjin, kau masih saja amat sombong dan tidak memandang kepada golongan
lain.”
Berbareng dengan habisnya perkataan ini, orang yang bicara ini muncul dan ternyata bahwa ia
tadi bersembunyi di atas pohon yang besar, agak jauh dari situ sehingga Gwat Kong merasa
kagum karena orang itu mempunyai pendengaran yang amat tajam serta mempunyai gerakan
yang amat cepat. Ia memperhatikan dan orang ini adalah seorang tosu (pendeta penganut
agama To) yang bertubuh tinggi kurus bagaikan pohon bambu, keningnya telah penuh keriput
dan giginya telah ompong semua.
Akan tetapi anehnya, kedua pipinya kemerah-merahan dan sehat sekali. Sedangkan rambut
dan kumis jenggotnya yang panjang semua masih hitam seperti dicat. Di punggungnya
tergantung sebuah tongkat yang gagangnya berbentuk kepala naga.
Melihat tosu ini, Bok Kwi Sianjin tertawa terkekeh-kekeh dan bangkit dari duduknya,
“Aha! Sin Seng Cu, tidak saja kau kelihatan makin muda, akan tetapi hatimu bertambah muda
saja.”
Kemudian ia berkata kepada Gwat Kong yang juga sudah berdiri. “Muridku, inilah tokoh
Hoa-san-pai, orang pertama yang menimbulkan kerusuhan antara Go-bi dan Hoa-san setelah
ia mengalahkan Seng Le Hosiang. Agaknya ia masih saja beradat keras. Lihat saja matanya
ditujukan kepadaku dengan penuh kehendak menguji kepandaian, ha ha ha!”
Mendengar nama ini, Gwat Kong menjadi terkejut dan memandang dengan penuh perhatian.
Kalau tosu itu pernah mengalahkan Seng Le Hosiang, tokoh Go-bi-pai yang pernah
dijumpainya itu, dapat dibayangkan betapa hebat dan tingginya ilmu kepandaian tosu ini.
Sementara itu, Sin Seng Cu ketika mendengar ucapan Bok Kwi Sianjin tadi, tertawa bergelak
lalu berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 140
“Bok Kwi Sianjin, agaknya kau masih mengandalkan ilmu tongkatmu Sin-hong-tung-hoat.
Mari-mari kita boleh main-main sebentar untuk saling mengukur sampai di mana kemajuan
masing-masing.”
Sambil berkata demikian, kedua tangan tosu itu bergerak dan tahu-tahu tongkat kepala naga
itu telah berada di tangannya.
Kembali Bok Kwi Sianjin tertawa, “Sin Seng Cu! Sebelum kita tua sama tua bermain gila
dengan pedang harap kau suka berlaku murah sedikit kepadaku dan menguji kebodohan
pemuda yang menjadi muridku ini. Kalau dia bisa bertahan sampai dua puluh jurus
menghadapi Liong-thouw-koai-tung (Tongkat Iblis Kepala Naga) di tanganmu, aku takkan
menganggapmu bodoh lagi!” Kemudian kakek itu tanpa menanti jawaban Sin Seng Cu,
berkata kepada Gwat Kong.
“Hayo kau cabut pedangmu dan hadapi tosu ini dengan baik sampai dua puluh jurus!”
Diam-diam Sin Seng Cu merasa mendongkol karena hendak diadu dengan murid kakek itu.
Akan tetapi iapun merasa heran sekali karena mengapa Bok Kwi Sianjin yang menjadi ahli
ilmu silat tongkat, tiba-tiba mempunyai murid yang menggunakan pedang. Maka ia segera
menjawab sambil tersenyum,
“Baik, baik! Kau majulah anak muda!”
“Harap totiang suka berlaku murah hati kepada teecu,” kata Gwat Kong dengan hormat
karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang tokoh Hoa-san-pai yang tinggi ilmu
silatnya.
Ia diberi waktu untuk melawan sampai dua puluh jurus, maka ia merasa penasaran, karena
benarkah ia tidak kuat menghadapi tosu ini dalam dua puluh jurus saja? Dengan pikiran ini, ia
lalu maju dan mulai menyerangnya dengan gerak tipu yang lihai dari Sin-eng Kiam-hoat.
Pertama-tama ia menyerang dengan tusukan pedang pada leher tosu itu dalam gerak tipu Sineng-
chio-cu (Garuda Sakti Rebut Mestika) dan ketika tosu itu mengelak sambil gerakkan
tongkatnya yang aneh itu untuk menyabet pedang, ia segera menarik kembali pedangnya dan
membuka serangan kedua dengan gerakan Sin-eng-hian-bwe (Garuda Sakti Memperlihatkan
Ekor). Gerakan kedua ini dilakukan dengan membalikkan tubuh lalu tiba-tiba pedang
diluncurkan dari bawah lengan kiri dengan tidak terduga-duga dan cepat sekali.
“Bagus!” seru Sin Seng Cu memuji karena ia benar-benar tertegun melihat gerakan yang
cepat dan aneh ini sehingga ia harus cepat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi
dadanya yang hendak disate. Tak pernah ia menyangka bahwa pemuda ini memiliki gerakan
pedang yang demikian aneh dan cepat, maka ia segera berseru keras dan sebentar saja tongkat
kepala naga di tangannya menyambar-nyambar ke atas dan ke bawah, mengurung Gwat Kong
dengan sinarnya. Tongkat itu kini seakan-akan berubah menjadi belasan batang dan semua
mengancam jalan darah dan bagian yang berbahaya dari tubuh Gwat Kong.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat mempergunakan ginkangnya dan mengerahkan seluruh
kepandaiannya untuk melakukan perlawanan. Ia mengeluarkan gerakan Sin-eng Kiam-hoat
yang paling sukar dan tinggi setelah ia putar-putar pedangnya dengan gerakan Hwee-engKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 141
koan-jit (Garuda Terbang Menutup Matahari), barulah ia dapat pecahkan serangan tosu yang
lihai itu.
Sin Seng Cu adalah seorang tosu yang terkenal mempunyai watak keras tidak mau kalah.
Ketika tadi menerima permintaan Bok Kwi Sianjin untuk menghadapi pemuda itu, ia
memandang rendah dan merasa pasti bahwa ia tentu akan berhasil mengalahkan pemuda itu
sebelum dua puluh jurus.
Kini melihat betapa sepuluh jurus telah berlalu tanpa ia dapat merobohkan lawannya, ia
menjadi penasaran sekali berbareng kaget. Ilmu pedang pemuda ini benar-benar lihai sekali
dan tingkatnya tidak berada di sebelah bawah ilmu tongkatnya. Kalau pemuda ini sudah
begini lihai, tentu Bok Kwi Sianjin telah memiliki ilmu silat yang tak dapat diukur tingginya.
Ia heran sekali karena ia belum pernah mendengar kakek itu memiliki ilmu pedang dan ketika
ia memperhatikan ilmu pedang dari Gwat Kong, ia makin menjadi heran.
Sambil berseru keras karena hatinya mulai menjadi panas, Sin Seng Cu lalu menyerang makin
hebat dan kini ia mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk merobohkan pemuda
itu. Biarpun untuk dapat mencapai maksudnya itu ia harus memukul hancur kepala lawannya
yang muda!
Ia maklum bahwa terhadap pemuda ini ia tak bisa main-main dan berlaku murah karena tanpa
penyerangan yang sungguh-sungguh dan mati-matian, agaknya tak mungkin ia akan dapat
mengalahkan pemuda ini, jangankan hendak merobohkannya dalam dua puluh jurus.
Sebaliknya, sungguhpun Gwat Kong dapat mengimbangi permainan tosu itu, akan tetapi ia
merasa betapa beratnya menghadapi lawan ini. Tiap kali tongkat itu menyerempet pedangnya,
ia merasa seakan-akan lengannya menjadi kaku. Akan tetapi Gwat Kong memiliki ketabahan
luar biasa yang membuat hatinya tenang dan matanya tajam waspada sehingga biarpun ia
terdesak hebat.
Akan tetapi ia masih belum berada dalam keadaan berbahaya dan masih sanggup menangkis
atau mengelak sambil melakukan serangan balasan yang tak kalah lihainya. Biarpun
kedudukannya kalah kuat karena selain kalah tenaga, juga kalah pengalaman dan keuletan,
akan tetapi ia dapat membalas tiap serangan sehingga boleh dibilang bahwa pertempuran itu
tak terlalu berat sebelah dan cukup ramai.
Dua puluh jurus telah lewat tanpa ada yang terkena senjata. Dua puluh lima jurus, tiga puluh
jurus! Tetap saja Gwat Kong dapat mempertahankan diri. Tiba-tiba Sin Seng Cu melompat
mundur dan menahan tongkatnya, sedangkan Gwat Kong dengan hati lega juga berdiri dan
menjura terhadap tosu itu.
“Bok Kwi Sianjin,” Sin Seng Cu menegur dengan muka merah. “Jangan kau main-main.
Siapakah sebetulnya pemuda ini? Bukankah ilmu pedangnya itu Sin-eng Kiam-hoat?”
Bok Kwi Sianjin tertawa puas. “Ha ha ha! Matamu tajam juga, Sin Seng Cu. Memang dia ini
ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, dan sekarang dia juga calon ahli waris Sin-hong-tung-hoat.”
“Bok Kwi Sianjin, kau berlaku tolol,” kata Sin Seng Cu mengejek. “Bukan aku merasa takut
kepada Sin-eng Kiam-hoat digabung dengan Sin-hong-tung-hoat. Akan tetapi, dengan
terpisahnya kedua ilmu itu, kalau yang satu terbawa sesat, yang lain dapat menahannya. Kalau
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 142
tergabung dalam diri seorang, lalu ia bermata gelap dan menjalani lorong kesesatan, bukankah
sama dengan mencari penyakit?”
“Sin Seng Cu, kau berpandangan picik. Aku tidak sembarangan menurunkan ilmu kepada
orang yang lemah iman. Tidak seperti kau dan golonganmu yang mengobral kepandaian
kepada siapa saja yang mau belajar sehingga banyak anak muridmu yang memancing
kekacauan dan permusuhan. Bagiku seorang murid yang baik lebih berharga dari pada seribu
orang murid yang tak benar.”
“Bok Kwi Sianjin, masih saja kau memperlihatkan kesombonganmu! Sebetulnya sampai di
mana sih, kelihaian Sin-hong-tung-hoat? Seakan-akan di kolong langit ini tak ada ilmu yang
lebih tinggi dari pada ilmu tongkatmu itu.”
“Kepandaian dan ilmu yang tinggi memang banyak, sayangnya orang-orang yang patut
memiliki kepandaian itu sedikit sekali,” jawab Bok Kwi Sianjin.
Diam-diam Gwat Kong mendengarkan perdebatan yang sukar ia mengerti ini dengan penuh
perhatian.
“Bok Kwi, cukup kita bermain lidah. Marilah kita main-main sebentar agar aku dapat merasai
di mana kemajuan tongkatmu.”
Bok Kwi Sianjin tersenyum lalu mengambil pikulannya yang tadi ditaruh di atas tanah dekat
keranjang obatnya. Kedua kakek itu saling berhadapan dengan senjata masing-masing.
Tongkat di tangan Sin Seng Cu lebih besar dan panjang dan nampak mengerikan dengan
ujung kepala naga itu. Ia memegang tongkatnya dengan lengan kanan di depan lurus ke
bawah dengan lengan di atas tongkat, sedangkan tangan kiri di belakang kepala memegang
ujung tongkat yang berkepala naga, menyangga di bawah tongkat itu. Inilah sikap pembukaan
dari ilmu toya Heng-cia-kun-hoat yang terkenal.
Sebaliknya Bok Kwi Sianjin juga lalu membuka permainannya dengan Sin-hong-kai-peng
(Burung Hong Sakti Buka Sayap), yakni gerakan permulaan dari Sin-hong-tung-hoat. Kedua
kakek ini saling pandang dengan tajam, bersikap waspada dan hati-hati karena keduanya
maklum bahwa lawan yang dihadapinya bukanlah lawan yang ringan.
Gwat Kong duduk di bawah pohon dan memandang dengan penuh perhatian. Pertempuran
yang akan berlangsung antara dua orang tokoh besar dunia persilatan ini amat menarik
hatinya dan oleh karena ia akan mendpatkan latihan dari Bok Kwi Sianjin yang telah menjadi
gurunya, maka ia pusatkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu untuk melihat bagaimana tokoh
Hoa-san-pai ini bersilat.
“Sin Seng Cu, majulah!” seru Bok Kwi Sianjin tanpa bergerak dari pasangan kuda-kudanya
yang amat teguh.
“Bok Kwi, awas serangan!” Sin Seng Cu membentak dan berbareng dengan bentakan ini,
tongkat kepala naga di tangannya bergerak cepat membuka serangan menyambar kepala
lawan. Bok Kwi Sianjin juga menggerakkan pikulannya dan terdengar suara keras sekali
ketika dua batang senjata itu bertumbuk.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 143
Ternyata dalam gebrakan pertama ini, keduanya sengaja hendak mencoba senjata dan tenaga
masing-masing dan terpentalnya kedua senjata itu membuat mereka maklum bahwa tenaga
mereka seimbang. Maklumlah mereka bahwa untuk dapat memperoleh kemenangan, mereka
hanya harus mengandalkan kegesitan dan kesempurnaan ilmu silat masing-masing.
“Bok Kwi, jagalah baik-baik!” Sin Seng Cu berseru keras dan ia segera melanjutkan
serangannya dengan gerakan yang cepat dan berbahaya sekali datangnya.
“Bagus!” seru Bok Kwi Sianjin yang segera mengimbangi permainan lawannya dan pikulan
di kedua tangannya lalu bergerak berputar-putar sedemikian cepatnya sehingga tubuhnya
lenyap terbungkus oleh sinar senjatanya. Sin Seng Cu kagum sekali melihat ini dan iapun
menyerang lebih cepat lagi.
Tongkat kepala naga ditangannya menyambar-nyambar bagaikan seekor naga tulen yang tibatiba
menjadi hidup dan mengancam kepala dan dada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi kakek ini
dengan tenang, cepat sekali dapat menangkis semua serangan. Bahkan lalu mengembalikan
serangan lawan dengan luncuran kedua ujung pikulannya yang dapat bergerak secara lihai
sekali.
Sungguhpun pikulan di tangannya itu hanya berujung dua, akan tetapi gerakan-gerakannya
membuat pikulan itu seakan-akan mempunyai lima bagian yang digunakan untuk menyerang
dan inilah kelihaian Sin-hong-tung-hoat (Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti). Burung Hong
atau segala burung sakti apabila berkelahi selalu menggunakan lima senjatanya untuk
menyerang, yakni sepasang sayapnya untuk menampar, sepasang kaki untuk mencengkeram
dan sebuah paruh untuk menusuk dan mematuk.
Berdasarkan gerakan lima senjata inilah ilmu tongkat itu diciptakan sehingga pikulan itu
kedua ujungnya menyambar-nyambar dengan gerakan dan perubahan yang aneh dan tak
terduga oleh lawan. Kadang-kadang merupakan paruh burung menusuk mata atau menyerang
kepala. Kadang-kadang merupakan sayap burung yang menyabet pundak kanan atau kiri. Dan
kadang-kadang merupakan sepasang cakar burung yang menyerang dan menusuk tubuh
bagian bawah dari lambung ke bawah.
Gwat Kong tidak begitu memperhatikan permainan silat gurunya oleh karena ia pikir kelak
tentu akan mempelajarinya pula dan ia mencurahkan perhatiannya kepada Sin Seng Cu. Tadi
ketika ia bertempur menghadapi tosu itu, keadaannya amat terdesak sehingga tak mungkin
baginya untuk memperhatikan gerakan lawan. Maka kini ia memperhatikan dengan amat
tertarik.
Ternyata olehnya bahwa gerakan-gerakan kaki dari tokoh Hoa-san-pai ini berdasarkan ilmu
silat Sha-kak-kun-hoat (Ilmu Silat Segi Tiga). Kedua kakinya selalu membuat gerakan
langkah segi tiga yang teratur sekali sehingga bagaimana tosu itu diserang oleh lawan, selalu
lawannya berada tepat di depannya. Senjata lawan takkan dapat menyerangnya dari pinggir
kanan maupun kiri karena setiap kali tubuh lawannya bergerak, kedua kakinya ikut pula
bergerak membentuk segi tiga yang baru sehingga selalu ia menghadapi lawannya dengan
hanya menggerakan sedikit kedua kakinya.
Memang dalam persilatan, menghadapi serangan dari jurusan depan yang lurus lebih mudah
ditangkis atau dikelit dari pada menghadapi serangan dari samping. Perubahan serangan yang
datang dari depan mudah sekali dilihat perubahannya dengan hanya memandang gerakan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 144
pundak lawan. Akan tetapi perubahan serangan dari samping lebih sukar diketahui dan sering
kali seorang ahli silat dijatuhkan oleh lawannya dengan menggunakan serangan yang
menyerong dari samping kiri. Oleh karena itu, maka gerakan kaki yang berdasarkan Sha-kakkun-
hoat dan yang selalu membentuk garis-garis segi tiga dengan sepasang kaki dalam
pergerakkannya itu, amat praktis dan kuat kedudukannya.
Adapun gerakan ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, sungguhpun cukup
mengagumkan dan mempunyai perkembangan yang amat banyak, namun bagi Gwat Kong
tidak ada bagian-bagian yang luar biasa. Kalau saja permainan ilmu tongkat dari Sin Seng Cu
itu tidak digerakkan dengan lweekang dan ginkang yang sedemikian tinggi tingkatnya,
pemuda ini merasa sanggup untuk menghadapinya dan mengalahkannya.
Memang betul, ilmu tongkat yang dimainkan Sin Seng Cu, ternyata masih jauh untuk dapat
melawan Sin-hong-tung-hoat yang dimainkan oleh Bok Kwi Sianjin. Tadi ketika melawan
Gwat Kong, ia dapat mendesak mengatasi pemuda itu oleh karena dalam hal lweekang dan
ginkang, ia masih lebih unggul.
Akan tetapi kini, menghadapi Bok Kwi Sianjin yang tingkat tenaga dalam dan ilmu
meringankan tubuh tidak berada di sebelah bawahnya. Bahkan lebih menang sedikit, tentu
saja ia menjadi sibuk dan sebentar saja, setelah mereka bertempur selama lima puluh jurus,
Sin Seng Cu mulai merasa kewalahan! Beberapa kali ia kena dibingungkan oleh gerak tipu
silat dari Sin-hong-tung-hoat dan sama sekali tidak dapat menduga bagaimana perubahan dari
serangan selanjutnya. Dengan demikian, maka ia tidak berani membalas dengan serangan,
hanya menanti datangnya serangan lawan yang membuatnya terdesak dan mulai main
mundur.
Bok Kwi Sianjin tidak mau memberi kesempatan dan terus menyerang dengan pukulanpukulan
terlihai dari ilmu tongkatnya. Akan tetapi kakek ini tidak bermaksud kejam dan tiap
kali ujung tongkatnya telah berhasil ‘memasuki’ lowongan pertahanan Sin Seng Cu, senjata
itu tidak diteruskan, melainkan ditariknya kembali secepatnya tanpa melukai Sin Seng Cu.
Tosu dari Hoa-san-pai itu adalah seorang ahli silat yang sudah tinggi tingkatnya. Maka tentu
saja iapun tahu akan hal ini dan maklum pula bahwa apabila dikehendaki, Bok Kwi Sianjin
pasti telah berhasil merobohkannya. Sin Seng Cu terkenal sebagai seorang tosu yang belum
berhasil menundukkan ‘tujuh musuh di dalam tubuh’ yakni perasaan-perasaan senang-susah,
marah, malu dan sebagainya. Maka ia terkenal sebagai seorang yang tidak mau kalah oleh
orang lain. Nafsunya masih besar dan kuat menguasai hati dan pikirannya. Oleh karena itu, ia
tidak pernah mau mengalah terhadap siapapun juga, terutama dalam hal mengadu kepandaian
silat.
Akan tetapi, ia bukanlah seorang bermuka tebal yang tak tahu diri. Maka menghadapi Bok
Kwi Sianjin, ia tahu bahwa kepandaiannya masih belum dapat menandingi kesaktian Bok Kwi
Sianjin. Kalau ia teruskan dan sampai ia kena dirobohkan atau terluka, ia mendapat malu yang
lebih besar lagi, maka cepat ia meloncat jauh ke belakang dan berkata,
“Bok Kwi, kau benar-benar lihai! Biarlah lain kali aku minta berkenalan lagi dengan
tongkatmu!” Setelah berkata demikian tosu itu berkelebat cepat dan pergi dari tempat itu.
Bok Kwi Sianjin tertawa dan berkata kepada Gwat Kong, “Muridku, lain kali kau lah yang
wajib menghadapinya!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 145
Gwat Kong buru-buru berlutut dan berkata, “Akan tetapi tosu itu lihai sekali suhu.”
“Memang dia lihai, namun bukan tak dapat terkalahkan! Ingatlah Gwat Kong, makin tinggi
seseorang mengangkat diri sendiri, makin banyak bahaya ia akan jatuh ke bawah secepatnya.
Sin Seng Cu terlalu mengagulkan kepandaian. Menilai kepandaian sendiri terlampau tinggi
dan memandang rendah kepada orang-orang lain. Oleh karena itulah maka di antara saudarasaudaranya,
yakni tokoh-tokoh besar dari Hoa-san-pai, hanya dia seorang yang mempunyai
banyak musuh. Kalau hari ini ia tidak mengangkat diri sendiri terlalu tinggi, tak mungkin dia
mengadu tongkat dengan aku dan ia takkan menerima kekalahan pula. Ha ha ha! Percuma saja
dia menjadi seorang tosu yang sudah bertapa puluhan tahun. Ternyata ia belum dapat melihat
bahwa tidak ada perbedaan antara atas dan bawah maupun antara tinggi dan rendah. Jangan
kira bahwa siapa yang berada di atas itu lebih tinggi dari pada yang berada di bawah! Yang
berpikir demikian, ia akhirnya akan kecele dan kecewa! Gwat Kong, kau tak usah takut
terhadap seorang seperti Sin Seng Cu. Lebih berhati-hatilah terhadap seorang yang
nampaknya bodoh tak berkepandaian karena biasanya mereka inilah yang benar-benar
memiliki ilmu yang tinggi. Tepat sekali kata-kata tua yang menyatakan bahwa gentong penuh
air takkan berbunyi.”
Gwat Kong menghaturkan terima kasih dan berjanji akan memperhatikan semua petunjuk dan
petuah suhunya. Kemudian atas permintaan Bok Kwi Sianjin, Gwat Kong menuturkan asal
mulanya ia belajar silat, yakni dari penemuan kitab ilmu silat Garuda Sakti.
Mendengar penuturan ini Bok Kwi Sianjin menjadi kagum sekali dan menarik napas panjang
lalu berkata, “Aaah, kalau demikian, benar kata suhu dulu bahwa di antara empat ilmu yang
terdapat di empat penjuru, Sin-eng Kiam-hoat boleh dibilang menduduki tempat tertinggi.
Kau yang tadinya tidak pernah belajar silat, dengan hanya belajar sendiri tanpa pimpinan guru
yang pandai, hanya membaca kitab pelajaran itu, telah mempunyai kepandaian lumayan dan
dapat bertahan menghadapi Sin Seng Cu sampai tiga puluh jurus. Benar-benar hebat sekali!
Kalau saja kau mempelajari Sin-eng Kiam-hoat lebih lama dan dipimpin oleh guru pandai,
sekarang juga aku takkan dapat mengalahkan kau!”
Bok Kwi Sianjin lalu mengajak Gwat Kong pergi ke tempat pertapaannya, yakni di sebuah
gua di tepi sungai Huang-ho. Karena gua ini berada di dalam hutan yang amat liar, maka tak
ada orang lain yang mengetahui tempat ini, kecuali tokoh-tokoh persilatan kalangan atas yang
telah kenal kepada Bok Kwi Sianjin. Akan tetapi, oleh karena merekapun tahu bahwa Bok
Kwi Sianjin jarang berada di tempat pertapaannya dan seringkali pergi merantau, maka jarang
ada kenalan yang datang ke tempat itu.
Gwat Kong mendapat latihan Sin-hong-tung-hoat atau Ilmu Tongkat Burung Hong Sakti yang
amat lihai. Juga selain ilmu silat ini, ia mendapat tambahan latihan lweekang dan ginkang dan
ilmu pedangnya juga mendapat kemajuan karena diberi petunjuk-petunjuk oleh Bok Kwi
Sianjin yang memiliki dasar ilmu silat yang amat tinggi dan pengalaman yang luas sekali.
Setelah tinggal bersama kakek itu, Gwat Kong mendapat tahu bahwa selain tinggi ilmu
silatnya, suhunya itu juga seorang ahli ilmu pengobatan maka ia menjadi kagum sekali dan
sedikit-sedikit ia mempelajari pula ilmu pengobatan yang ada hubungannya dengan persilatan,
misalnya cara menyambung tulang patah, mengobati luka-luka karena senjata tajam atau lukaluka
dalam karena pukulan, serta obat-obat pemunah racun-racun yang banyak dipergunakan
oleh ahli-ahli silat golongan hitam, yakni para penjahat yang berilmu tinggi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 146
Dengan amat rajin dan penuh ketekunan, Gwat Kong mempelajari ilmu kepandaian di tepi
Huang-ho di bawah pimpinan dan gemblengan Bok Kwi Sianjin. Kakek ini merasa girang
sekali melihat kerajinan muridnya dan merasa kagum karena pemuda itu ternyata amat cerdik
dan cepat memperoleh kemajuan.
****
Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang sedang mengejar ilmu di tepi Sungai Huang-ho, di
dalam hutan yang liar itu, dan marilah kita menengok keadaan Tin Eng yang tinggal di rumah
pamannya, yakni Lie Kun Cwan atau Lie-wangwe (Hartawan Lie).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng telah didatangi oleh Lui Siok yang
menjadi suheng dari Gan Bu Gi dan gadis itu telah dikalahkan dalam sebuah pertempuran,
bahkan pedangnya telah dipatahkan oleh Hoa-coa-ji Lui Siok si Ular Belang yang lihai itu.
Karena kekalahan ini dan karena maklum akan kelihaian para pemimpin Hek-i-pang, maka
Tin Eng makin giat mematangkan ilmu pedangnya di rumah pamannya.
Ia merasa lega karena ternyata bahwa Hek-i-pang selanjutnya tidak mengganggu kota Hunlam
lagi. Ia tidak tahu bahwa hal ini adalah karena kelicinan Song Bu Cu ketua dari Hek-ipang
yang tidak mau berlaku kasar, dan pula orang-orang Hek-i-pang itu masih merasa
sungkan-sungkan untuk bermusuhan dengan Tin Eng, mengingat bahwa gadis ini adalah
‘calon isteri’ Gan Bu Gi dan puteri dari Liok Ong Gun, Kepala daerah Kiang-sui dan anak
murid Go-bi-pai.
Di dekat kota Hun-lam terdapat sebuah danau yang cukup indah dan setiap datang musim
semi, banyak sekali pelancong dari dalam dan luar kota menghibur diri di danau itu sambil
berperahu atau duduk di tepi danau memancing ikan atau bercakap-cakap dengan sahabatsahabat
sambil minum arak.
Pada suatu hari, karena merasa kesepian berada di rumah seorang diri sedangkan pamannya
mengurus perdagangan di luar kota, Tin Eng keluar dari rumah dan berpesiar seorang diri di
danau itu. Telah dua kali Tin Eng mengunjungi danau Oei-hu itu dan ia senang sekali
menyewa perahu kecil, mendayung seorang diri dan bermain-main di atas telaga yang indah.
Hari itu udara cerah dan di danau itu terdapat banyak sekali pelancong. Perahu-perahu kecil
besar bergerak ke sana ke mari di atas danau yang airnya bergerak-gerak perlahan sehingga
bunga-bunga teratai yang bertumbuh di pinggir telaga ikut pula bergoyang-goyang seakanakan
menari-nari gembira. Dari perahu-perahu itu terdengar suara orang bercakap-cakap
dengan senang dan diselingi suara ketawa. Juga terdengar suara orang bernyanyi diiringi oleh
yang-kim yang amat merdu.
Tin Eng menyewa sebuah perahu kecil yang pada saat seperti itu jumlah sewanya dinaikkan
semuanya oleh tukang perahu. Saat-saat seperti itu merupakan saat yang baik dan
menguntungkan bagi para tukang perahu oleh karena para pelancong itu, terutama yang
datang dari luar kota, amat berani membayar mahal untuk perahu-perahu yang mereka sewa.
Perahu yang disewa oleh Tin Eng biarpun kecil, akan tetapi cukup indah dengan kepala
perahu diukir seperti seekor ular besar menjulurkan lidahnya. Tin Eng mendayung perahunya
ke tengah dengan gembira sekali. Banyak mata pemuda-pemuda pelancong memandang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 147
kagum kepada gadis yang mengenakan pakaian biru dengan lengan baju agak pendek itu
sehingga nampak sampai di atas pergelangan tangan.
Sungguhpun mereka merasa kagum akan kecantikan Tin Eng dan merasa heran karena
melihat seorang gadis muda yang cantik jelita berpesiar seorang diri bahkan mendayung
perahu seorang diri pula. Akan tetapi melihat sikap dan gerak-gerik Tin Eng, mereka dapat
menduga bahwa gadis itu tentulah seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat dan
bukan seorang gadis biasa. Oleh karena itu, mereka tidak berani berlaku kurang ajar hanya
memandang dengan kagum.
Tentu saja mereka ini terdiri dari laki-laki yang datang dari luar kota Hun-lam. Oleh karena
orang-orang dari Hun-lam sendiri sebagian besar telah tahu dan kenal gadis ini, yang bukan
lain ialah Sian-kiam Lihiap si pendekar Wanita Pedang Dewa yang telah mengobrak-abrik
penjahat-penjahat yang mengganggu Hun-lam. Ketika Tin Eng tiba di tempat itu, mereka ini
lalu memberi hormat dengan menjura atau menganggukkan kepala yang dibalas oleh Tin Eng
dengan anggukan kepala dan senyuman manis.
Melihat betapa banyak orang agaknya kenal dan menghormati gadis muda itu, orang-orang
dari luar kota segera mengajukan pertanyaan kepada orang-orang Hun-lam, dan yang ditanya
dengan senang hati dan bangga menceritakan keadaan dan kelihaian Tin Eng. Tentu saja
dengan bumbu dan tambahan betapa dara jelita itu seorang diri telah menghalau pergi ratusan
perampok.
Bahkan di antara mereka itu ada yang secara berani mati menuturkan bahwa Tin Eng adalah
sebangsa Kiam-hiap, pendekar pedang yang memiliki Hui-kiam (pedang terbang) dan yang
dapat mengambil kepala penjahat dari jarak puluhan tombak dengan hanya melontarkan
pedangnya yang dapat terbang, memenggal kepala lawan dan membawa kepala itu kembali
kepada si gadis. Biarpun penuturan ini simpang siur dan dilebih-lebihkan, akan tetapi cukup
untuk membuat para pendengarnya meleletkan lidah dan kini mereka memandang ke arah Tin
Eng dengan lebih kagum lagi.
17 …
TIN ENG tidak memperdulikan itu semua dan ia pura-pura tidak melihat pandang mata
orang-orang yang ditujukan kepadanya dengan kagum, akan tetapi segera mendayung pergi
perahunya menuju ke tengah danau. Ia tidak tahu bahwa di antara sekian banyak pendengar
yang menjadi kagum mendengar dongeng dan obrolan orang-orang Hun-lam itu terdapat dua
orang muda yang cukup menarik perhatian.
Mereka ini adalah seorang pemuda dan seorang gadis. Usia mereka paling banyak delapan
belas tahun akan tetapi sikap mereka menyatakan bahwa mereka itu selain agung dan tampan,
juga bersikap gagah seperti orang-orang yang pandai ilmu silat. Gadis ini berbaju hijau,
bercelana hitam dan wajahnya cantik manis dengan rambut dikuncir yang melambai ke
belakang punggung. Di atas rambutnya sebelah kanan terdapat sebuah hiasan rambut bunga
emas.
Pemudanya tampan dan gagah, tidak memakai topi dan rambutnya yang panjang dan hitam
juga dikuncir ke belakang seperti biasa pemuda-pemuda bangsawan-bangsawan pada waktu
itu. Bajunya putih dan celana Hitam, terbuat dari pada bahan-bahan yang mahal.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 148
Setelah mendengar penuturan orang-orang Hun-lam itu, mereka berdua memandang ke arah
Tin Eng dengan penuh perhatian. Kemudian mereka menjauhkan diri dari orang banyak dan
bicara bisik-bisik, lalu menyewa perahu dan mendayungnya ke tengah danau.
Setelah berada di tengah-tengah danau itu, Tin Eng melepaskan dayungnya ke dalam perahu
dan membiarkan perahunya bergerak perlahan. Ia menikmati pemandangan di sekitarnya
sambil duduk termenung. Pikirannya makin melayang jauh ketika sayup-sayup ia mendengar
suara penyanyi wanita dari sebuah perahu besar menyanyikan lagu asmara yang mengelus
hati.
Ia lalu mendayung perahunya mendekat, karena suara itu merdu benar dan ia ingin mendengar
kata-katanya lebih jelas. Setelah berada dekat, lagu asmara itu diulangi lagi dengan suara
merdu dari penyanyi di dalam perahu besar dan kini ia dapat mendengar dengan jelas.
Danau Oei dengan airnya yang seperti kaca,
Bagaikan hati seorang teruna yang setia!
Biarpun musim bunga datang dan pergi pula.
Biarpun teratai jelita akan lenyap sebelum lama
Danau Oei tetap menanti ......... menanti setia!
Ah, betapa inginku menjadi teratai jelita.
Mempunyai kekasih yang demikian setia .......!
Betapa inginku ......... menjadi teratai jelita ......!
Lagu asmara yang dinyanyikan dengan suara merdu merayu ini membawa Tin Eng ke alam
lamunan yang lebih tinggi. Ia menatap permukaan air yang penuh bayang-bayang indah dari
luar dan tiba-tiba ia melihat wajah orang di dalam bayangan air yang ketika diperhatikannya
betul-betul ternyata adalah bayangan wajah Gwat Kong! Tin Eng terkejut dan sadar dari
lamunannya, dan ketika ia memandang kembali ke dalam air, ternyata bayangan itu telah
lenyap. Mengapa tanpa terasa wajah pemuda itu terbayang? Ia suka dan kagum sekali kepada
pemuda itu, akan tetapi cinta .....?
Ah, ia tidak mengerti. Ketika Gwat Kong masih menjadi pelayan, ia telah suka kepada
pemuda itu tanpa disertai kekaguman. Dan tentang kekaguman ini dulu iapun kagum kepada
Gan Bu Gi. Dan ternyata bahwa kini jangankan mencinta, bahkan ia merasa benci kepada
pemuda she Gan itu!
Kata-kata dalam lagu tadi membuat ia berpikir-pikir tentang cinta dan sampai saat itupun ia
tidak tahu apakah ia mencinta Gwat Kong. Memang mendalam sekali isi kata-kata lagu itu
dan iapun suka menjadi seperti teratai jelita kalau mempunyai kekasih yang demikian setia air
danau Oei-hu. Ia tahu bahwa Gwat Kong mencintainya. Hal ini telah diutarakan oleh pemuda
itu ketika mabok di rumahnya dan pengutaraan itu dulu telah membuatnya menjadi marah
sehingga hampir saja ia membunuh pemuda itu!
Akan tetapi, sesungguhnya kemarahan itu bukanlah sekali-kali karena Gwat Kong karena
mencurahkan cintanya dengan ucapan-ucapan penuh sindiran itu. Akan tetapi adalah karena
tuduhan-tuduhan Gwat Kong yang mengatakan bahwa ia tidak berjantung tidak kenal budi
dan menyindir pula menyatakan bahwa setelah bertemu dengan Gan Bu Gi, lalu lupa kepada
pemuda itu yang hanya seorang pelayan. Bahwa ia tergila-gila oleh harta dan kedudukan!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 149
Akan tetapi, ia maklum bahwa tentu Gwat Kong menduga bahwa ia marah karena tidak sudi
mendengar pengakuan cinta pemuda itu yang dianggapnya rendah! Dengan demikian, dalam
anggapan Gwat Kong, ketika pemuda itu masih menjadi pelayan, ia tidak menyukainya, dan
sekarang setelah diketahuinya bahwa Gwat Kong ternyata pandai ilmu silat bahkan putera
pembesar pula, apakah ia akan menyatakan cintanya kepada pemuda itu?
Memikirkan hal ini, tiba-tiba wajah Tin Eng menjadi merah. Tentu, tentu Gwat Kong akan
berpikir demikian dan tentu pemuda itu akan memandangnya sebagai seorang gadis yang
rendah budi, yang hanya memandang keadaan dan tergila-gila oleh pangkat dan kedudukan.
Seorang gadis yang dulu membenci pemuda pelayan, akan tetapi berbalik pikir karena melihat
bahwa pelayan itu ternyata seorang putera pembesar yang pandai! Ah, tidak! Aku tak boleh
merendahkan diri semacam itu!
Demikian Tin Eng berpikir dengan marah kepada diri sendiri. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa
berduka karena semenjak Gwat Kong lari dari rumah, semenjak ia menusuk dada pemuda itu,
telah timbul perasaan yang aneh dalam hatinya terhadap Gwat Kong. Perasaan itulah yang
membuat ia mengeluarkan air mata apabila teringat akan luka di lengan pemuda itu akibat
ujung pedangnya. Dan perasaan itu pulalah yang memperkuat hatinya sehingga terpaksa ia
melarikan diri dari rumah ketika ayahnya hendak memaksa dia kawin dengan Gan Bu Gi.
Dalam keadaan masih dimabok lamunan, Tin Eng tidak melihat atau mendengar ketika
sebuah perahu lain dengan cepat meluncur ke arah perahunya, seakan-akan hendak menubruk
perahunya!
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan nyaring dari sebuah perahu yang juga meluncur
cepat menuju ke tempat itu, “Adik Tin Eng! Awas perahu di sebelah kanan!”
Terkejutlah Tin Eng yang sadar dari lamunannya. Ia cepat menoleh dan melihat sebuah
perahu kecil yang ditumpangi oleh seorang pemuda dan seorang gadis, sedang meluncur cepat
ke arah perahunya sendiri, hanya terpisah setombak saja lagi! Dua orang penumpangnya itu
kini memegang dayung mereka untuk mendorong perahu Tin Eng yang menghadang di jalan.
Tin Eng terkejut karena maklum bahwa dorongan itu akan berbahaya sekali bagi perahunya
karena kalau terlalu keras bisa membuat perahunya terguling. Maka ia lalu cepat menyambar
dayungnya dan menggerakkan dayungnya itu cepat-cepat ke kanan sambil membentak,
“Minggir!” Tin Eng menggunakan tenaga lweekangnya dan dengan cepat dayungnya
digerakkan menyapu dua dayung pemuda dan gadis itu yang segera tertangkis dan terpental
hampir terlepas dari pegangan! Tin Eng tidak berhenti dengan tangkisan itu saja oleh karena
kepala perahu itu hampir menumbuk perahunya, sehingga keadaan masih tetap berbahaya. Ia
lalu membungkukkan tubuhnya dan dayungnya cepat sekali didorongkan ke arah kepala
perahu itu yang segera meluncur lewat di dekat kepala perahunya dan tubrukan hebat dapat
digagalkan.
Akan tetapi, dorongannya yang keras itu membuat perahu yang ditumpangi oleh kedua anak
muda itu miring dan hampir terguling. Tiba-tiba kedua anak muda itu berseru keras dan tubuh
mereka telah melompat ke atas dengan gerakan yang amat ringan! Perahu yang kosong itu
menjadi balik kembali kedudukannya dan barulah kedua orang muda itu melompat turun di
dalam perahunya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 150
Tin Eng merasa kagum melihat pertunjukan ginkang dan ketabahan ini. Akan tetapi ia merasa
mendongkol juga mengapa mereka seakan-akan sengaja hendak menggulingkan perahunya.
Selagi ia hendak menegur, mereka telah menoleh dan tersenyum kepadanya sambil berkata,
“Lihiap, maafkan kami!” lalu mereka mendayung perahu mereka dengan cepat meninggalkan
tempat itu.
Tin Eng teringat akan seruan orang yang memperingatkannya tadi, maka ia lalu menengok ke
arah belakang dan kedua matanya terbelalak girang ketika ternyata olehnya bahwa yang tadi
memanggilnya adalah seorang gadis cantik dan gagah yang sedang mendayung perahunya
dengan kecepatan luar biasa menuju ke arahnya. Gadis itu bukan lain adalah Dewi Tangan
Maut Tan Kui Hwa, dara perkasa anak murid Hoa-san-pai yang dulu pernah bertemu dengan
dia dan menolongnya ketika ia hampir menjadi korban para bajak.
“Enci Kui Hwa ....! serunya gembira dan mendayung perahu menyambut kedatangan si Dewi
Tangan Maut.
Kui Hwa tersenyum manis. Gadis ini nampak cantik dan gagah sekali dengan baju hijau, ikat
kepala merah, ikat leher dan sabuk hitam. Gagang pedangnya nampak tersembul dari balik
punggungnya.
Pertemuan yang tak tersangka-sangka dengan Tan Kui Hwa si Dewi Tangan Maut di atas
danau Oei-hu itu benar-benar mendatangkan kegembiraan luar biasa kepada Tin Eng. Setelah
perahu mereka berendeng, Tin Eng lalu melompat ke dalam perahu Kui Hwa dan memeluk
gadis itu dengan gembira sekali.
“Enci Kui Hwa, sekali lagi kaulah orangnya yang menolongku dari bahaya, kini bahaya
terguling dari perahu.”
“Tin Eng, mengapa kau tidak mengejar mereka? Dua orang kurang ajar itu terang-terangan
sengaja hendak menubruk perahumu dan membuat kau terlempar ke dalam air! Mereka perlu
diberi hajaran!”
Tin Eng memandang dengan senyum simpul. “Wah, enci Kui Hwa, kau benar-benar masih
galak sekali, membikin aku takut saja!”
Kui Hwa balas memandang dan melihat sinar mata kawannya. Ia tertawa geli dan lenyaplah
kekerasan yang tadi membayang pada wajahnya yang cantik, ketika ia marah terhadap dua
orang di dalam perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. “Ah, jangan kau menggoda adik
Tin Eng. Kujiwir nanti bibirmu yang merah itu!”
Memang semenjak pertemuannya yang pertama dengan Kui Hwa, Tin Eng merasa tertarik
dan suka sekali kepada pendekar wanita ini. Karena dari sikap gadis ini terbayang kekerasan
hati, dan kejujuran, dan sifat-sifat yang amat baik, yakni bencinya terhadap segala macam
kejahatan. Hanya harus diakui bahwa gadis ini memiliki watak yang amat ganas dan tak kenal
ampun. Sebaliknya Kui Hwa yang belum pernah mempunyai kawan wanita yang amat baik
kepadanya, merasa suka pula kepada Tin Eng.
“Adik Tin Eng, bukankah kau yang disebut orang Sian-kiam Lihiap di kota Hun-lam?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 151
“Eh, eh bagaimana kau bisa tahu akan hal itu, enci Kui Hwa?”
Kui Hwa tersenyum. “Namamu cukup terkenal, siapa yang tidak mengetahuinya?”
Kini Tin Eng merasa gemas. “Sekarang akulah yang ingin menjiwir bibirmu, enci!”
Kui Hwa tertawa, lalu berkata dengan sungguh-sungguh,
“Adikku yang manis, terus terang saja sudah dua hari aku berada di Hun-lam! Aku telah
mendengar tentang nama Sian-kiam Lihiap dan Kang-lam Ciu-hiap yang menggemparkan
kota Hun-lam, yang namanya dipuji-puji setinggi langit. Akan tetapi sungguh mati aku tidak
pernah mengira bahwa Sian-kiam Lihiap adalah kau sendiri. Kau agaknya jarang keluar, maka
aku tak dapat bertemu dengan kau, dan karena tadi melihat kau berada di dalam perahu
seorang diri maka mudahlah bagiku untuk menduga bahwa Sian-kiam Lihiap tentulah kau!
Siapa lagi ahli pedang yang patut disebut Pendekar Wanita Pedang Dewa selain kau?”
“Cici, kau terlalu memuji, padahal orang yang dipuji-puji ini baru beberapa hari yang lalu
telah dikalahkan oleh orang lain secara memalukan sekali. Sebutan itu sebenarnya tak patut
bagiku dan hanya membuat aku malu saja.”
Tan Kui Hwa memandang tajam lalu berkata. “Apakah yang mengalahkan kau itu Song Bu
Cu dan Lui Siok, kedua pangcu (ketua) dari Hek-i-pang?”
Tin Eng memandang kagum. “Enci, matamu benar-benar awas. Agaknya tidak ada sesuatu
yang tak kau ketahui! Kau benar-benar hebat dan luas pengetahuanmu. Memang benar, aku
telah dikalahkan oleh Lui Siok si Ular Belang! Bagaimana kau bisa tahu?”
“Adikku yang baik, aku tidak tahu apa-apa, hanya dugaan saja. Kalau kau tidak terlalu banyak
bersembunyi di dalam kamar dan suka keluar pintu melakukan perantauan seperti aku maka
bagimu juga akan mudah saja menduga-duga hal-hal itu. Aku tahu bahwa kau dan Kang-lam
Ciu-hiap telah mengobarak-abrik anggauta Hek-i-pang di kota Hun-lam, sedangkan aku telah
tahu pula bahwa sarang Hek-i-pang berpusat di Tong-kwan dengan diketuai oleh Song Bu Cu
dan Lui Siok yang lihai! Kepandaian mereka berdua itu memang tinggi sekali, sehingga aku
sendiripun tidak akan dapat melawan mereka. Maka, setelah kau mengobarak-abrik anggauta
Hek-i-pang, lalu siapa lagi kalau bukan mereka berdua yang datang membalas dendam dan
mengalahkan kau?”
“Ah, hal ini hanya menunjukkan kecerdikanmu, enci Kui Hwa.”
“Siapa bilang aku cerdik! Saat ini ada dua hal yang membuat aku merasa menjadi sebodohbodohnya
orang!”
Sambil tertawa Tin Eng bertanya, “Apakah gerangan dua hal itu?”
“Pertama melihat kau masih segar bugar dan bahkan bertambah cantik setelah kau tadi bilang
pernah dikalahkan oleh Lui Siok. Aku kenal Lui Siok sebagai seorang kejam dan aneh sekali
kalau dia atau Song Bu Cu mau mengampunkan kau yang telah merusak pekerjaan anak buah
mereka! Nah, hal itulah yang membikin aku menjadi bingung dan tak dapat menjawab. Kedua
kalinya, aku heran sekali melihat mengapa kau tidak mengejar dua orang muda yang tadi
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 152
sengaja menubruk perahumu. Apakah benar-benar kau telah menjadi seorang yang demikian
sabarnya?”
Tin Eng menarik napas panjang dan menjawab, “Cici, jawaban kedua pertanyaan itu memang
ada hubungannya. Pertama-tama kujawab pertanyaan kedua. Aku memang tidak mau
mengejar kedua orang tadi yang menubruk perahuku. Oleh karena mungkin sekali mereka itu
adalah orang-orang dari Hek-i-pang yang sengaja mencari perkara dan pula akupun merasa
ragu-ragu karena melihat keadaan mereka itu seperti bukan orang jahat, sehingga mungkin
sekali mereka tidak sengaja hendak menubrukku. Mengapa aku harus mencari-cari
permusuhan baru sedangkan baru beberapa hari saja aku telah dikalahkan orang dan masih
terasa mendongkol? Dan tentang pertanyaan pertama itu agak panjanglah penjelasannya.”
Tin Eng lalu menuturkan tentang pertempurannya melawan Lui Siok, dan menuturkan pula
bahwa Lui Siok adalah suheng dari Gan Bu Gi, perwira muda yang telah dipilih oleh ayahnya
untuk dikawinkan dengan dia, dan bahwa Lui Siok memandang muka Seng Le Hosiang maka
tidak berani mengganggunya atau melukainya.
Kui Hwa mengangguk-angguk lalu berkata, “Masih baik bahwa dia tidak berani
mengganggumu, kalau tidak, sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dari bencana. Memang
Lui Siok itu memiliki kepandaian tinggi, lebih-lebih Song Bu Cu yang menjadi ketua dari
Hek-i-pang. Aku pernah bertemu dengan Song Bu Cu dan kalau tidak keburu datang kedua
suhengku, tentu aku tewas dalam tangannya. Kau dan aku tak dapat menandingi mereka, adik
Tin Eng!”
Si Dewi Tangan Maut menarik napas panjang dan nampak menyesal dan kecewa sekali. Lalu
katanya gagah, “Akan tetapi, kalau kau tak dapat menahan sakit hatimu dan hendak membalas
dendam sekarang juga, jangan takut, aku tentu akan membantumu menghadapi mereka!”
Tin Eng terharu dan memegang lengan Kui Hwa, “Enci Kui Hwa, mereka memang jahat dan
perlu dibasmi, akan tetapi setelah tahu bahwa tenaga sendiri tak kuat menghadapi mereka
namun terus maju menyerbu bukankah itu amat bodoh namanya dan sama halnya dengan
membunuh diri? Takut sih tidak, akan tetapi lebih baik kita menanti saat yang lebih sempurna
dan mencari kawan-kawan yang sehaluan untuk menyingkirkan serigala-serigala buas itu.”
Kui Hwa mengangguk-angguk. “Kau sekarang telah banyak maju, adikku! Dari ucapanmu
tadi saja sudah menyatakan bahwa kau kini telah dewasa!”
“Aah, bisa saja kau memuji! Aku malah khawatir kalau-kalau kau menganggap aku pengecut
dengan ucapan tadi.”
Kui Hwa memandang dengan sikap sungguh-sungguh. “Tidak Tin Eng. Biarpun terus terang
kuakui bahwa adatku keras dan mudah marah, akan tetapi akupun sependapat dengan kau.
Keberanian dan ketabahan harus disertai kesadaran dan perhitungan yang masak sebagaimana
layak dilakukan oleh orang berakal. Keberanian yang dilakukan dengan serampangan dan
serudukan bagaikan kerbau gila secara hantam kromo tanpa perhitungan sama sekali, tidak
termasuk kegagahan, akan tetapi adalah kebodohan orang yang kurang pikir. Kita tidak
menyerbu dan menghalau penjahat-penjahat itu pada waktu ini bukan karena kita takut. Akan
tetapi karena kita menggunakan siasat, menanti saat baik di mana kekuatan kita melebihi
mereka sehingga gerakan kita akan berhasil.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 153
“Terima kasih, cici. Sebetulnya kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya merantau saja tanpa tujuan tertentu, dan ketika aku mendengar nama besar Kanglam
Ciu-hiap dan Sian-kiam Lihiap, aku menjadi tertarik dan menuju ke kota ini. Tidak tahu
siapakah sebetulnya Kang-lam Ciu-hiap yang baru saja muncul telah membuat nama besar
itu? Di mana dia dan anak murid mana?”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Kang-lam Ciu-hiap telah pergi meninggalkan Hun-lam.
Kalau ia masih berada di sini, tak mungkin ada orang berani menggangguku dan Hek-i-pang
pasti telah rusak olehnya. Sayang ia telah pergi. Namanya adalah Bun Gwat Kong dan kalau
kau ingin mengetahui dari cabang persilatan mana ia datang, aku sendiripun tidak tahu. Hanya
satu hal yang boleh kau ketahui bahwa dia itu boleh juga disebut .... guruku!”
“Apa???” Kui Hwa memandang dengan mata terbelalak. “Menurut berita yang kudengar,
Kang-lam Ciu-hiap masih amat muda. Bagaimana bisa menjadi gurumu? Jangan kau mainmain
Tin Eng!”
“Aku tidak main-main, memang ilmu pedangku kudapatkan dari dia! Cici, hayo kau ikut aku
ke rumah pamanku. Jangan pergi dulu sebelum ada sesuatu yang memaksamu. Dari pada
seorang diri saja bukankah lebih senang kita berdua?”
“Ah, aku hanya akan mengganggu kau dan pamanmu saja.”
“Siapa bilang mengganggu? Paman jarang berada di rumah, selalu mengurus
perdagangannya. Sedangkan aku selalu menganggur dan duduk termenung seorang diri di
rumah.”
Sambil tertawa-tawa mereka lalu mendayung perahu ke pinggir. Kemudian setelah membayar
sewa perahu, mereka lalu berjalan sambil bergandengan tangan menuju ke rumah Liewangwe.
Kebetulan sekali Lie-wangwe berada di rumah, maka Tin Eng lalu memperkenalkan
kawannya itu yang diterima dengan ramah tamah oleh Lie Kun Cwan. Kemudian Tin Eng
mengajak kawannya menuju ke taman bunga yang indah di mana mereka bercakap-cakap
dengan gembira sambil menikmati hidangan yang dikeluarkan oleh pelayan.
Belum lama kedua orang gadis itu bercakap-cakap, seorang pelayan memberitahukan bahwa
di luar ada dua orang muda datang minta bertemu dengan Sian-kiam Lihiap.
“Bagaimana macamnya orang-orang itu?” tanya Tin Eng.
“Mereka adalah seorang pemuda yang cakap dan seorang gadis yang cantik, siocia,” jawab si
pelayan. “Katanya mereka minta bertemu untuk menyampaikan hormatnya dan katanya tadi
mereka telah bertemu dengan siocia di danau Oei-hu.”
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang. Tak salah lagi, kedua orang itu tentulah dua orang
penumpang perahu yang menubruk perahu Tin Eng tadi. Apakah kehendak mereka datang?
“Suruh mereka datang ke taman ini, Tin Eng,” kata Kui Hwa.
“Persilahkan mereka masuk dan antarkan mereka datang ke sini, kemudian kau ambil
tambahan hidangan untuk mereka!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 154
Pelayan itu mundur dan melakukan tugas yang diperintahkan itu. Tak lama kemudian, benarbenar
saja kedua orang yang tadi menubruk perahu Tin Eng, muncul dari pintu taman dengan
wajah nampak bersungguh-sungguh. Setelah bertemu dengan Tin Eng, mereka berdua lalu
menjura dan pemuda itu berkata, “Maafkan kami sebanyak-banyaknya kalau kami
mengganggu kepada lihiap!”
Tin Eng tersenyum dan menjawab, “Ah, sama sekali tidak. Silahkan ji-wi (kalian berdua)
duduk.”
“Terima kasih, lihiap. Kami tak berani mengganggu terlalu lama. Terus terang saja
kedatangan kami ini tak lain mohon pengajaran sedikit dari lihiap tentang ilmu pedang untuk
meluaskan pengetahuan kami yang amat dangkal!”
“Hmm, bagus!” tiba-tiba Tan Kui Hwa berkata menyindir. “Dengan dayung tidak berhasil
sekarang hendak menggunakan pedang!”
Pemuda dan gadis muda itu mengerling ke arah Kui Hwa, akan tetapi mereka tidak
menjawab, bahkan tidak memperdulikan sama sekali, dan kini gadis cilik itu yang bertanya
kepada Tin Eng.
“Bagaimana, lihiap? Sudikah kau bermurah hati dan memberi sedikit petunjuk kepada kami?”
Sambil berkata demikian, gadis itu meraba-raba gagang pedangnya.
Tin Eng di atas perahu telah mengukur tenaga dan kegesitan mereka menangkis dengan
dayungnya, maka ia maklum bahwa kepandaian kedua anak muda ini tidak seberapa. Hanya
ia merasa heran sekali mengapa dua orang ini mengejar-ngejarnya! Pasti ada sesuatu yang
tersembunyi di balik kelakuan mereka itu.
Tiba-tiba Kui Hwa yang juga mempunyai pikiran yang sama dan mempunyai sifat yang suka
akan kejujuran dan terus terang, berkata, “Kalian berdua anak kecil ini mengapa mengejarngejar
Sian-kiam Lihiap? Apakah yang tersembunyi di balik sikap kalian yang mencurigakan
ini? Awas, jangan kalian berani main gila!”
Kedua orang itu merasa terhina, akan tetapi tidak marah, sedangkan Tin Eng juga
menyambung. “Benar juga kata-kata kawanku itu. Sebetulnya mengapakah kalian hendak
mengajak pibu (adu kepandaian) dengan aku?”
“Terus terang saja lihiap. Kami berdua kakak beradik pernah mempelajari sedikit permainan
pedang dan ketika kami tiba di kota ini, kami mendengar tentang namamu sebagai Pendekar
Wanita Pedang Dewa. Maka kami merasa amat tertarik karena kami yakin bahwa lihiap tentu
memiliki ilmu pedang yang amat tinggi. Pertemuan kita yang amat kebetulan di danau tadi
membuat kami kakak beradik mengambil keputusan untuk mencoba lihiap dan ternyata
dugaan kami tak meleset. Lihiap memiliki ilmu kepandaian yang amat lihai. Hanya kami
belum merasa puas kalau belum melihat ilmu silat lihiap. Maka, mohon sedikit pengajaran
dari lihiap!”
Alasan ini masih meragukan hati Kui Hwa. Akan tetapi Tin Eng telah merasa puas dan ia
segera melompat ke atas jalan taman yang sengaja dibuat dengan lantai tembok dan biasanya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 155
ia berlatih silat di tempat ini. Sambil berdiri di tengah-tengah lorong tembok itu, ia tersenyum
dan berkata,
“Baiklah, cabut pedang kalian dan mari kita main-main sebentar!”
Kedua anak muda itu saling pandang, lalu mencabut pedangnya. Akan tetapi melihat Tin Eng
berdiri dengan tangan kosong, pemuda itu berkata sangsi,
“Lihiap, kuharap lihiap segera mengeluarkan pedang untuk menghadapi kami kakak beradik.”
Tin Eng tersenyum. “Ini hanya main-main saja, mengapa mesti berpedang? Hayo, jangan
sangsi-sangsi, gerakkanlah pedang kalian, hendak kulihat sampai di mana tingkat
pelajaranmu.”
Sementara itu, Kui Hwa berdiri tak jauh dari situ sambil memandang dengan khawatir. Ia
menganggap perbuatan Tin Eng ini terlalu gegabah maka diam-diam ia bersiap sedia menjaga
kalau-kalau kawannya itu akan dicelakakan oleh kedua orang muda yang mencurigakan itu.
Sementara itu, pemuda dan adik perempuannya itu telah bersiap pula dengan pedang masingmasing
di tangan. Pemuda itu di sebelah kanan Tin Eng dan gadis cilik itu di sebelah kirinya.
Tin Eng tersenyum lagi dan berkata,
“Hayo, jangan ragu-ragu. Kalian maju dan seranglah baik-baik!”
Bukan watak Tin Eng untuk menyombongkan kepandaiannya dan memandang rendah
kepandaian lawan. Akan tetapi karena ia telah mengukur tenaga dan kegesitan kedua orang
muda itu di atas perahu dan maklum bahwa kepandaian mereka tak perlu ditakuti, pula karena
seperginya Gwat Kong, ia telah melatih ilmu silat tangan kosong Garuda Sakti dan kini ia
ingin mencoba kepandaiannya ini.
“Maaf, lihiap!” Pemuda itu berseru dan mulai menyerang dengan tusukan pedangnya, juga
adiknya menyerang dari samping kiri dengan gerakan indah.
Tin Eng segera mengelak dan mempergunakan ginkangnya yang telah memperoleh banyak
kemajuan. Gerakannya gesit dan tubuh seakan-akan burung garuda beterbangan di antara
sambaran pedang. Kedua tangannya dipentang ke kanan kiri atau ke depan belakang,
menghadapi keroyokan kedua orang lawannya.
Benar saja sebagai dugaan semula, biarpun kedua orang muda itu agaknya telah mempelajari
ilmu pedang Bu-tong-pai yang indah gerakannya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka
masih rendah, sehingga mudahlah bagi Tin Eng untuk menghadapi mereka ini.
Tin Eng bersilat memperlihatkan gaya silat Garuda Sakti sambil tersenyum manis dan diamdiam
Dewi Tangan Maut Tan Kui Hwa memuji kelincahan kawannya itu. Ia dapat melihat
betapa dalam waktu yang tak berapa lama, Tin Eng telah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Setelah mereka bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, Tin Eng merasa sudah cukup dan
tiba-tiba ia berseru keras. Dengan gerakan Garuda Sakti Hinggap Di Cabang, ia berdiri
menghadapi pemuda itu dengan kaki kanan berdiri berjingkat dan kaki kiri diangkat tinggi ke
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 156
kiri lengan kanan dengan jari-jari tangan terbuka menghadapi gadis yang berada di
belakangnya.
Pemuda itu menyerang dengan menyabetkan pedangnya ke arah kaki kanan Tin Eng yang
berdiri itu. Tin Eng berseru nyaring dan kaki kanannya tiba-tiba melompat ke atas. Pada saat
itu, ia mendengar sambaran angin pedang gadis yang berada di belakangnya membacok
kepalanya. Maka dalam keadaan melompat tadi dan tubuhnya masih di tengah udara, ia cepat
mengayun diri ke depan menghindarkan kepalanya dari bacokan sambil tangannya bergerak
cepat ke arah pergelangan tangan pemuda yang tak berhasil menyerampang kakinya tadi.
Pemuda itu hendak mengelak dan menarik kembali pedangnya, akan tetapi terlambat, gerakan
Tin Eng lebih cepat darinya dan pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan
Tin Eng. Ia berseru kesakitan dan pedangnya terlepas.
Pada saat itu juga, Tin Eng telah membalikkan tubuh dan sebelum gadis cilik itu sempat
menyerang lagi, ia telah mendesak maju, menggerakkan tangan kiri mencengkeram ke arah
muka gadis itu yang menjadi terkejut sekali dan miringkan kepala untuk mengelak. Akan
tetapi ternyata bahwa serangan ini hanyalah gertakan saja, karena sebenarnya yang dikendaki
oleh Tin Eng hanya untuk mengacaukan pandang mata lawannya dan ketika lawannya
miringkan muka, tahu-tahu pedang di tangan lawannya telah kena dirampas dan kini pindah
ke dalam tangannya.
Tin Eng sambil tersenyum melompat ke dekat Kui Hwa dan berkata, “Cukup, cukup ....
kepandaian kalian tidak jelek hanya kurang latihan dan pengalaman!”
Bukan main terkejutnya hati kedua orang muda itu ketika melihat betapa tanpa terduga lebih
dahulu, pedang mereka telah dapat dirampas dan dipukul jatuh. Mereka saling pandang
dengan mata penuh arti, kemudian tiba-tiba mereka menghampiri Tin Eng dan menjatuhkan
diri berlutut di depan gadis itu.
Tentu saja hal ini membuat Tin Eng menjadi gelagapan dan gugup sekali.
“Eh, eh .... apa-apaankah kalian ini? Kalau kalian bermaksud mengangkat guru kepadaku,
jangan harap! Aku masih belum begitu tua untuk mengambil murid. Juga kepandaianku masih
terlampau rendah!”
“Hmm, Hmm, mereka ini benar-benar mencurigakan. Hayo kalian katakan terus terang saja.
Sebenarnya apakah kehendak kalian mengganggu Sian-kiam Lihiap?” tegur Kui Hwa yang
tidak suka melihat segala macam kelakukan yang berahasia ini.
“Sian-kiam Lihiap, harap jangan salah mengerti. Bukan maksud kami untuk mengangkat
guru, sungguhpun hal itu akan mendatangkan kebahagiaan bagi kami yang bodoh. Akan tetapi
.... kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap menolong kami, anak-anak yang amat sengsara
ini ....”
Setelah berkata demikian, gadis cilik itu lalu menangis.
Tentu saja Tin Eng makin terheran-heran mendengar ini dan ia memandang kepada Kui Hwa
yang mengerutkan keningnya. Tin Eng segera mengangkat bangun gadis itu sambil berkata,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 157
“Tenanglah adik yang manis dan ceritakanlah dengan jelas semua maksudmu!”
Ia membelai rambut yang halus itu dan diam-diam dia merasa makin heran karena melihat
sikap dan keadaannya, gadis cilik dan kakaknya ini bukanlah orang sembarangan. Kata-kata
mereka diucapkan dalam bahasa yang baik dan sopan sebagaimana biasa diucapkan oleh
orang-orang terpelajar. Pakaian mereka juga indah dan terbuat dari pada bahan yang halus,
sedangkan sedangkan kulit muka mereka halus dan bersih, semua menunjukkan perawatan
yang teliti. Siapakah mereka ini?
Gadis cilik itu ketika mendengar betapa Tin Eng menyebutnya adik yang manis, berubah
sikapnya. Ia memeluk Tin Eng dan berkata,
“Cici yang gagah, selain kau agaknyatidak ada orang lain yang akan dapat menolong aku dan
kakakku ini. Sebetulnya kami berdua .....” tiba-tiba ia menghentikan kata-katanya dan
mengerling kepada Kui Hwa. “Cici, siapakah kawanmu ini? Kalau boleh, aku ingin bicara
dengan kau sendiri saja!”
Tin Eng tersenyum sedangkan Kui Hwa bermerah muka. “Jangan kau pandang rendah nona
ini. Dia adalah Tan Kui Hwa yang disebut Dewi Tangan Maut! Biarpun ia berjulukan seram
dan nampaknya galak, akan tetapi dia adalah seorang pendekar wanita yang kegagahannya
jauh di atasku!”
Mendengar disebutnya nama yang amat terkenal ini, kedua orang muda itu menjadi pucat dan
segera menghampiri Kui Hwa dan menjura.
“Tan-lihiap, mohon maaf sebanyaknya bahwa mata kami kakak beradik seakan-akan buta
tidak melihat gunung Tai-san menjulang di depan mata!” kata pemuda tanggung itu.
Kui Hwa tersenyum menyindir. “Sudahlah tak perlu banyak peradatan ini. Lebih baik kalian
segera menceritakan segala hal kepada Tin Eng dan aku, karena apa yang boleh diketahui oleh
Tin Eng, boleh pula kuketahui, demikian sebaliknya. Sikap yang diliputi rahasia dan
sembunyi-sembunyi, bukanlah sikap orang-orang gagah. Kalau tidak ada kepentingan lain,
lebih baik kalian segera pergi saja, jangan mengganggu aku dan kawanku ini bercakapcakap.”
Setelah mengetahui bahwa gadis yang nampaknya galak itu adalah pendekar wanita yang
namanya telah terkenal sebagai pembasmi penjahat itu, kedua anak muda ini tak lagi merasa
ragu-ragu untuk menceritakan riwayat mereka.
Bab 18 …
DUA orang anak muda itu sebetulnya adalah anak-anak seorang Pangeran di kota raja, yakni
mendiang Pangeran Pang Thian Ong yang kaya raya. Hanya dua orang itulah anak Pangeran
Pang, yang laki-laki bernama Pang Gun, sedangkan adiknya bernama Pang Sin Lan.
Ketika masih hidup, Pangeran Pang amat gemar berjudi dengan taruhan besar sehingga harta
bendanya yang amat besar itu hampir habis. Ia banyak berhutang uang dari adik misannya
yakni Pangeran Ong Kiat Bo, yang selain sering memberi hutang uang, juga menjadi kawankawan
judi yang paling baik. Baik nyonya Pang maupun kedua anaknya, amat benci kepada
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 158
Pangeran Ong ini karena mereka menganggap bahwa yang membawa Pangeran Pang ke jalan
sesat adalah adik misan ini.
Karena seringkali bermain judi sampai beberapa malam tidak tidur, kesehatan Pangeran Pang
makin lama makin buruk sehingga akhirnya setelah harta bendanya hampir habis dikorbankan
di meja judi, ia jatuh sakit yang membawanya kembali ke tempat asal. Ia tidak meninggalkan
banyak harta. Bahkan meninggalkan hutang yang cukup besar kepada Pangeran Ong Kiat Bo.
Akan tetapi, diam-diam secara rahasia, ia meninggalkan warisan yang aneh kepada Pang Gun
dan Pang Sin Lan yang diberikan tanpa diketahui oleh orang lain sebelum Pangeran itu
meninggal dunia. Warisan ini hanya sehelai kain kuning yang mengandung sebuah lukisan
peta.
“Anak-anakku,” kata Pangeran Pang sebelum menghembuskan napas terakhir, sambil
memberikan peta itu kepada anaknya. “Ayahmu telah berlaku sesat dan mata gelap sehingga
harta benda kita habis kupakai bermain judi. Kalian berhati-hatilah terhadap Ong Kiat Bo,
baru sekarang aku tahu bahwa selama ini ia bermain curang. Bahkan ia sengaja
menjerumuskan uangku dengan bantuan kawan-kawannya di meja judi! Akan tetapi, jangan
kalian khawatir, peta ini adalah petunjuk tempat penyimpanan harta benda yang amat besar, di
gunung Hong-san. Di sana terdapat sebuah gua yang disebut gua Kilin, dan di situlah letaknya
harta benda yang tersimpan. Kalian cari dan ambillah harta itu dan hiduplah dengan tenteram.
Jaga ibumu baik-baik!”
Setelah Pangeran Pang meninggal dunia, maka mulailah Ong Kiat Bo memperlihatkan
maksud jahatnya. Pangeran Ong ini yang usianya telah empat puluh tahun lebih, dengan
berani sekali mengajukan pinangan terhadap diri Pang Sin Lan. Tentu saja pinangan itu
ditolak keras oleh nyonya Pang sehingga Pangeran Ong Kiat Bo menjadi marah dan lalu
menagih hutang yang bertumpuk-tumpuk dari mendiang Pangeran Pang, dengan ancaman
bahwa kalau tidak segera dibayar, maka hal itu akan diajukan ke muka pengadilan agung.
Tentu saja nyonya Pang menjadi gelisah sekali. Oleh karena kalau hal itu dilakukan oleh
Pangeran Ong, berarti bahwa nama keluarga Pang akan menjadi rusak dan ternoda. Maka
mulailah penjualan sisa barang-barang yang masih ada. Bahkan gedungnya pun dijual murahmurahan
untuk dapat membayar hutang itu.
Hutang dapat dibayar lunas, akan tetapi keluarga Pang menjadi rudin dan melarat betul-betul.
Mereka lalu berpindah ke sebuah dusun tak jauh dari kota raja. Nyonya Pang amat menderita
dengan adanya peristiwa ini sehingga jatuh sakit dan meninggal dunia tak lama kemudian,
menyusul suaminya.
Kemudian ternyata bahwa rahasia peta itu dapat diketahui juga oleh Pangeran Ong Kiat Bo,
karena semenjak Pangeran Pang hidup, Ong Kiat Bo telah tahu bahwa kakak misannya ini
diam-diam memiliki sebuah rahasia tentang tempat harta pusaka yang amat besar. Ia dapat
menduga bahwa rahasia itu tentu diwariskan kepada dua anak muda itu.
Berkali-kali ia mendatangi Pang Gun dan Pang Sin Lan dan membujuk-bujuk mereka untuk
menjual peta itu dengan harga tinggi. Bahkan ia menjanjikan pangkat dan kedudukan tinggi
untuk Pang Gun dan sebuah gedung baru untuk kedua orang keponakannya itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 159
Akan tetapi Pang Gun dan Pang Sin Lan tetap tidak mau memperdulikan orang yang berhati
jahat itu. Bahkan mereka berdua lalu mempelajari ilmu silat dari kepala hwesio di sebuah
kelenteng, untuk digunakan sebagai penjagaan diri dan juga sebagai persiapan mereka untuk
pergi mencari harta pusaka itu.
Ong Kiat Bo yang merasa penasaran sekali, mempergunakan segala daya upaya untuk dapat
merampas peta itu. Bahkan orang ini tak segan-segan untuk menyuruh seorang pencuri yang
berkepandaian tinggi untuk pada suatu malam memasuki kamar kedua orang itu dan
menggeledah seluruh milik mereka.
Akan tetapi hasilnya nihil sehingga membuat Pangeran Ong itu menjadi makin mendongkol
dan penasaran. Ia tidak mau mencelakakan kedua orang itu karena kalau mereka sampai
terbunuh, siapa lagi yang dapat menjadi petunjuk jalan kepada harta pusaka itu?
Pangeran Ong tentu tak pernah menduga bahwa peta itu sebenarnya telah dibakar oleh Pang
Gun dan adiknya, setelah mereka menghafal lukisan peta itu di luar kepala. Dan karena
menduga bahwa peta itu disimpan dengan amat baiknya oleh kedua saudara itu, dan ia tak
berdaya lagi untuk merampasnya. Ia lalu merobah siasatnya dan sekarang ia mengutus orang
untuk mengikuti dan mengawasi setiap gerak-gerik kedua saudara itu.
Hal ini diketahui pula oleh Pang Gun dan Pang Sin Lan, akan tetapi apakah daya mereka?
Dengan giat mereka berlatih silat. Akan tetapi ketika mereka dengan marah menyerang orang
yang ditugaskan untuk mengintai mereka, ternyata bahwa mereka masih belum cukup
tangguh dan bahkan kena dipukul matang biru!
“Demikianlah, cici!” kata Pang Sin Lan menutup ceritanya. “Kami berdua tak dapat berdaya
dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk pergi mencari harta pusaka itu. Maka kami
lalu mengambil keputusan dan melarikan diri dari kota raja dari tempat tinggal kami, pergi
merantau dan sampai di sini.”
“Apakah sampai sekarangpun kalian masih terus diikuti orangnya Pangeran Ong?” tanya Kui
Hwa.
“Tentu saja, biarpun secara sembunyi, kami merasa pasti bahwa ada yang mengikuti kami.”
“Jahanam!” kata Kui Hwa yang berdarah panas dan tubuhnya segera berkelebat dan lenyap
dari hadapan kedua saudara Pang itu, karena pendekar wanita ini telah melompat keluar. Tak
lama kemudian terdengar bunyi gaduh di luar dan muncullah Kui Hwa kembali sambil
menyeret leher baju seorang laki-laki. Ia melemparkan tubuh orang itu ke depan Pang Gun
dan Pang Sin Lan sambil bertanya,
“Inilah tikus yang mengikuti kalian?”
Pang Gun dan Pang Sin Lan memandang dengan kagum dan menganggukkan kepalanya,
sedangkan orang itu dengan tubuhnya menggigil minta ampun dan berkata, “Ampunkan
siauw-jin (hamba yang rendah) .... sama sekali siauw-jin tidak berani mengintai Pang kongcu
dan Pang siocia .....”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 160
Kui Hwa menggerakkan kakinya dan tubuh orang itu tertendang sampai terguling-guling dan
mengaduh-aduh. “Bangsat hina. Kau bilang tidak mengintai akan tetapi dari mana kau tahu
bahwa mereka ini adalah Pang kongcu dan Pang siocia?”
Orang itu menginsafi kekeliruannya yang tidak sengaja membuka rahasianya sendiri, maka ia
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala minta ampun.
“Siapa yang menyuruhmu? Hayo lekas memberitahu!” bentak Tin Eng.
“Hamba ... hamba disuruh oleh ..... Hek-i-pangcu Song Bu Cu .... diharuskan mengikuti dan
menjaga kedua kongcu dan siocia ini ..... Ampun, lihiap, hamba hanya pesuruh belaka.”
Terkejutlah hati Tin Eng dan Kui Hwa mendengar jawaban ini. Bagaimana Hek-i-pang sudah
ikut campur pula dalam urusan ini?
“Jangan kau membohong!” Pang Gun membentak, dan memandang tajam. “Bukankah
Pangeran Ong yang memerintahmu?”
“Memang tadinya datang orang pesuruh Pangeran Ong yang minta tolong kepada Hek-ipangcu
dan akulah yang ditunjuk oleh pangcu untuk mengikuti ji-wi di kota ini,”
menerangkan orang itu.
Mengertilah Tin Eng dan Kui Hwa bahwa Pangeran Ong itu ternyata telah pula kenal dan
berhubungan dengan Hek-i-pang. Tak mereka sangka bahwa pengaruh Hek-i-pang demikian
besarnya sehingga dikenal pula oleh seorang Pangeran.
“Nah, kau pergilah dan awas, jangan kau berani memperlihatkan mukamu lagi. Pedangku
takkan memberi ampun!” kata Kui Hwa dan orang itu lalu berlari keluar dengan ketakutan.
“Cici, bagaimana kau bisa menangkapnya demikian cepat?” tanya Tin Eng kepada Kui Hwa
sambil tertawa.
“Kebetulan saja,” jawab Kui Hwa sedangkan kedua kakak beradik Pang memandang kepada
Dewi Tangan Maut dengan penuh kekaguman. “Ketika aku mendengar penuturan Pang
kongcu bahwa mereka selalu diikuti orang, aku menduga bahwa sekarang juga tentu ada
orang yang mengikuti mereka ini dan tentu pengintai itu berada di luar tembok. Begitu aku
melompat keluar, aku lalu berseru keras. ‘Hai, pengintai kedua saudara Pang! Kau masih
berani bersembunyi di situ?’ Dan ternyata akalku ini berhasil karena kulihat seorang laki-laki
mencuri dengar dari balik tembok muncul dan hendak melarikan diri akan tetapi aku keburu
datang dan membekuknya!”
Pang Gun memandang kagum dan berseru. “Akan tetapi para pengawas kami itu biasanya
memiliki ilmu silat tinggi!”
Tin Eng tersenyum. “Mungkin bagimu ia berilmu tinggi, akan tetapi bagi Dewi Tangan Maut,
ia hanya merupakan seekor tikus kecil belaka. Sekarang ceritakanlah maksud kalian.
Pertolongan apakah yang hendak kalian minta?”
“Tak lain kami berdua mohon sudilah kiranya lihiap mewakili kami untuk mengambil harta
pusaka itu. Kami adalah orang-orang lemah yang tak berdaya dan kalau kami berdua yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 161
pergi, tentu kami akan diganggu oleh Pangeran Ong dan kaki tangannya. Andaikata kami
berhasil mendapatkan harta pusaka itu, juga sukar bagi kami untuk membawanya pulang
dengan selamat. Maka kami mengambil keputusan untuk mencari seorang berilmu tinggi dan
boleh dipercaya. Dan kini pilihan kami terjatuh pada lihiap. Maaf lihiap, bukan sekali-kali
maksud kami hendak menyuruh lihiap demi kepentingan kami, akan tetapi sesungguhnya
kami hendak menyerahkan rahasia peta itu kepada lihiap. Adapun apabila kelak lihiap
berhasil mendapatkan harta pusaka itu, terserah kepada kebijaksanaan lihiap untuk memberi
bagian kepada kami berdua, karena kamipun bukanlah orang-orang temaha akan harta benda
yang banyak sekali. Bagiku, cukuplah kiranya asal aku dapat membeli rumah dan pakaian
sekedarnya untuk adikku ini ...”
Setelah berkata demikian, Pang Gun memandang kepada adiknya dengan mata mengalirkan
air mata, dan adiknya lalu memegang tangan kakaknya sambil berkata, “Engko Gun, kau
terlalu memikirkan aku. Aku bukanlah seorang adik yang manja!”
Melihat sikap kedua kakak beradik yang telah yatim piatu dan telah jatuh miskin itu, mau
tidak mau tergeraklah hati Tin Eng dan Kui Hwa. Tin Eng berpikir sebentar. Rahasia harta
pusaka itu menarik perhatiannya, bukan karena ia ingin memperoleh harta benda, sama sekali
bukan, karena dia sendiri adalah seorang anak pembesar hartawan, bahkan pamannya sendiri
juga cukup kaya.
Akan tetapi yang menarik perhatiannya ialah rahasia itu sendiri, dan bahaya-bahaya yang
mengintai dalam usaha mendapatkan harta pusaka itu! Pula, ia merasa kasihan kepada Pang
Gun dan Pang Sin Lan dan ingin sekali dapat menolong mereka.
“Baiklah,” jawabnya kemudian, “Kalian boleh percayakan peta itu kepadaku. Akan tetapi, aku
hanya akan mencoba melanjutkan usaha kalian ini dan jangan sekali-kali kalian pastikan
bahwa aku akan berhasil mendapatkannya. Dan akupun tidak mau pergi sendiri, kalau cici
Kui Hwa suka pergi bersama, baru aku mau pergi pula.”
“Kalau mereka ini percaya kepadaku, tentu saja aku akan senang sekali pergi bersamamu,
adik Tin Eng.”
Bukan main girangnya hati Pang Gun dan Pang Sin Lan. Mereka kembali menjatuhkan diri
berlutut, kini kepada Tin Eng dan Kui Hwa.
“Kalau ji-wi lihiap yang gagah perkasa mau pergi bersama, kami yakin usaha ini akan
berhasil dan pesan mendiang ayah kami takkan tersia-sia.”
Tin Eng dan Kui Hwa minta supaya bangun lagi, kemudian Pang Gun minta sehelai kain
putih dan alat tulis. Tin Eng mengeluarkan sehelai sapu tangannya yang berwarna kuning dan
di atas sapu tangannya itulah Pang Gun lalu melukiskan peta yang telah dihafal di luar kepala
itu, dibantu oleh Pang Sin Lan. Peta itu jelas sekali, tidak saja disebutkan di mana letaknya
gunung Hong-san dan Gua Kilin, akan tetapi juga disebutkan rahasia tempat harta pusaka di
dalam gua itu.
Setelah memberi penjelasan, kedua kakak beradik she Pang itu lalu berpamit untuk kembali
ke dusunnya sebelah selatan kota raja. Kini mereka tidak merasa takut dan gelisah lagi. Tak
khawatirkan lagi segala pengintaian kaki tangan Pangeran Ong. Mereka tidak memegang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 162
rahasia lagi. Rahasia itu telah diserahkan kepada orang lain. Berada di tangan dua orang
pendekar wanita yang gagah perkasa! Apa yang mereka takuti lagi?
“Pangeran Ong boleh mengikuti kita terus selama hidup,” Pang Gun berkata kepada adiknya
sambil tertawa. “Untuk kita tidak ada ruginya, bahkan gagah sekali ke mana-mana ada yang
mengawal dan menjaga keselamatan kita! Ha ha ha!”
Juga Pang Sin Lan menertawakan Pangeran itu. Tentu saja para pengintai yang ditugaskan
untuk mengikuti mereka menjadi heran melihat betapa kedua anak muda itu kini kembali ke
tempat tinggal mereka dalam keadaan demikian gembira!
Pangeran Ong Kiat Bo yang diberi laporan tentang hal ini juga merasa heran dan curiga, maka
ia lalu mengunjungi rumah kedua keponakannya yang keras kepala itu. Ia masih merindukan
Pang Sin Lan akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu dengan kekerasan. Karena ia maklum
bahwa kedua orang muda ini mempunyai banyak kenalan di antara orang-orang besar. Dan
kalau saja ia menggunakan kekerasan terhadap gadis yang jelita ini, tentu namanya akan
tercemar.
Pang Gun dan Pang Sin Lan menyambut Ong Kiat Bo dengan sikap dingin sekali,
sungguhpun sebagai keturunan bangsawan mereka tidak melupakan peradatan dan menjura
dengan hormat kepada Pangeran itu.
“Eh, kalian pergi ke mana sajakah hampir sebulan ini?” tanyanya dengan nada suara penuh
perhatian sebagaimana layaknya seorang yang mencintai sanak keluarga.
“Ong-ya sudah tahu mengapa masih bertanya lagi?” balas Pang Gun dengan suara mengejek.
Memang kedua kakak beradik ini tidak mau menyebut siok-hu (paman) kepada adik misan
ayah mereka ini dan selalu menyebut Ong-ya atau tuan Ong sebagaimana para pelayan
menyebutnya karena kedua saudara Pang ini tidak sudi menganggapnya sebagai paman.
Sebaliknya Ong Kiat Bo lebih senang disebut seperti itu, karena ia akan merasa kurang enak
apabila ia disebut ‘paman’ oleh Pang Sin Lan, gadis yang dirindukannya itu.
“Hmm, memang aku mendengar dari kenalan-kenalan di Hun-lam bahwa kalian pergi ke
Hun-lam,” kata Pangeran itu dengan berani karena merasa takkan ada gunanya apabila ia
berpura-pura tidak tahu.”Mengapa kalian begitu keras kepala dan tidak mau ikut aku ke kota
raja kembali?”
Ia melihat ke sekelilingnya. Rumah yang ditinggali oleh kedua kakak beradik itu adalah
rumah kampung yang kecil lagi buruk, perabot rumahnya juga sederhana sekali. “Tak pantas
kalian tinggal di tempat seperti ini, memalukan aku saja! Lebih baik kalian tinggal bersamaku
di kota raja dan hidup sebagai keturunan bangsawan.”
“Aku seribu kali lebih senang tinggal di tempat yang buruk ini bersama kakakku dari pada
tinggal di gedung besar orang lain!” Tiba-tiba Sin Lan berkata sambil merengut. Akan tetapi
dalam pandangan mata Ong Kiat Bo, wajah gadis itu tambah cantik kalau sedang marahmarah.
“Gun-ji (anak Gun),” kata pula Pangeran Ong dengan suara membujuk kepada Pang Gun.
“Kau tahu bahwa kau dan adikmu takkan mungkin dapat mencari harta pusaka itu, maka
mengapa kau begitu berkepala batu? Berikanlah peta itu kepadaku dan aku akan mengerahkan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 163
orang-orangku mencari untuk kalian berdua. Aku sudah cukup kaya raya, untuk apakah harta
itu bagiku? Aku hanya ingin menolong kalian berdua, lain tidak. Kalau kalian ragu-ragu aku
boleh bersumpah dalam kelenteng bahwa setelah dapat diketemukan, harta pusaka itu akan
kuberikan kepada kalian berdua.”
“Peta itu sudah tidak ada lagi, Ong-ya,” jawab Pang Gun.
“Hmmm, berkali-kali kau berkata demikian. Aku tidak percaya!”
“Percaya atau tidak adalah soalmu sendiri, Ong-ya.”
“Pang Gun, jangan kau main-main. Kau di Hun-lam mengunjungi Sian-kiam Lihiap ada
keperluan apakah?” Sepasang mata Pangeran Ong memandang tajam dan menyelidik.
Pang Sin Lan tersenyum sindir. “Bagus sekali, kami mempunyai sahabat Sian-kiam Lihiap,
kau pun tahu! Kalau ingin sekali tahu urusan kami, mengapa tidak datang saja kepada Siankiam
Lihiap untuk bertanya? Hmmm, tentu takut kepadanya, bukan? Takut kepada pedangnya
yang tajam?”
Disindir seperti ini, Ong Kiat Bo merah juga mukanya. Ia lalu melangkah menuju ke pintu
dan berkata, “Betapapun juga, tak mungkin kalian akan bisa mendapatkan harta pusaka itu
tanpa bantuanku!” Ia lalu bertindak keluar dengan muka masam dan hati mendongkol. Pang
Gun dan adiknya saling pandang sambil tersenyum puas.
Sementara itu, ketika Tin Eng dan Kui Hwa sedang membicarakan soal pencarian harta
pusaka yang tiba-tiba saja diserahkan ke dalam tangan mereka itu, datanglah Lie-wangwe
menyusul keponakannya ke dalam taman. Ternyata bahwa pesuruh yang dulu membawa
suratnya untuk ayah Tin Eng, kini telah tiba kembali membawa balasan di mana Liok Ong
Gun minta agar supaya Tin Eng untuk sementara berdiam dulu di rumah Lie-wangwe dan
menanti datangnya orang-orang yang akan menjemputnya.
Selain itu, ayah Tin Eng menyatakan juga dalam surat itu bahwa kesalahan Tin Eng yang
melarikan diri dari rumah itu dimaafkan, dan kini sedang dipersiapkan perayaan
pernikahannya apabila sudah kembali ke rumah.
Mendengar berita ini, Tin Eng menjadi marah sekali.
“Paman, surat itu tidak ada artinya, karena hari ini juga aku mau pergi bersama kawanku ini!”
Lie-wangwe terkejut, “Eh, hendak pergi kemana, Tin Eng? Jangan kau tinggalkan rumah ini
seperti yang telah dipesankan oleh ayahmu. Bagaimana aku harus menjawab kalau ayahmu
atau orang-orang suruhannya datang ke ini dan tidak mendapatkan kau berada di sini?”
“Mudah saja, pekhu. Kau bilang saja bahwa aku telah berangkat pulang lebih dulu dengan
ambil jalan memutar, sekalian merantau dan melihat-lihat pemandangan, bersama seorang
kawan baikku, yakni cici Kui Hwa ini!”
Berkali-kali Lie-wangwe membujuk dan mencegah, akan tetapi akhirnya ia maklum bahwa ia
tak dapat menahan kehendak hati keponakannya yang keras ini. Ia amat mencinta
keponakannya ini dan pencegahannya hanya khawatir kalau-kalau keponakannya akan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 164
mengalami bencana di jalan. Maka ia lalu cepat menyuruh para pelayan untuk membeli dua
ekor kuda yang besar dan baik, serta mempersiapkan beberapa stel pakaian untuk Tin Eng.
Tak lupa ia memberi bekal uang mas yang sekiranya cukup untuk dipakai membiayai
perjalanan gadis itu.
Tin Eng merasa amat berterima kasih dan girang. Ia menjura kepada hartawan itu bersamasama
Kui Hwa yang juga menyatakan terima kasihnya atas pemberian kuda, dan Tin Eng
berkata,
“Lie-pekhu, aku takkan melupakan kebaikan hatimu dan mudah-mudahan saja kelak aku akan
dapat membalasnya!”
Maka berangkatlah kedua orang gadis pendekar ini, mengaburkan kuda keluar dari Hun-lam,
menuju ke bukit Hong-san untuk mencari harta pusaka yang dipercayakan oleh kedua anak
pangeran itu kepada mereka.
****
Kira-kira sepuluh lie di luar kota Hun-lam, ketika dua orang gadis sedang menjalankan
kudanya dengan perlahan, tiba-tiba mereka mendengar suara telapak kaki kuda mengejar dari
belakang dan suara panggilan penunggang kuda itu.
“Nona Liok, tunggu dulu!”
Tin Eng menahan kudanya lalu menoleh, juga Kui Hwa memutar kudanya memandang
penunggang kuda yang datang itu.
“Dia adalah Hoa-coa-ji Lui Siok, wakil ketua Hek-i-pang!” bisik Tin Eng dengan hati tak
enak.
“Hmm, hmm, apakah maksud kedatangannya? Dengan tenaga kita berdua untuk
menghadapinya, ia benar-benar mencari mampus sendiri!” kata Kui Hwa.
Setelah datang dekat, ternyata bahwa orang itu memang benar Lui Siok si Ular Belang, wakil
ketua Hek-i-pang yang lihai itu. Tangan kanannya bergerak dan sabuk ular belangnya yang
lihai telah berada di tangannya. Ia maklum akan kelihaian Dewi Tangan Maut, maka ia tidak
mau menghadapinya dengan tangan kosong.
“Kau berada di sini, bangsat perempuan dari Hoa-san? Kebetulan sekali, tanganku sudah
gatal-gatal untuk menghajar seorang bangsat Hoa-san-pai!”
Kui Hwa memandang tajam dan mencabut keluar pedangnya. “Lui Siok manusia busuk!
Bersiaplah untuk mampus!”
Juga Tin Eng mencabut keluar pedangnya, siap membantu Kui Hwa menghadapi si Ular
Belang yang telah diketahui kelihaiannya itu. Melihat sikap Tin Eng ini, Lui Siok berkata
kepadanya,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 165
“Nona Liok kau adalah anak murid Go-bi-pai. Tidak tahukah kau bahwa perempuan ini
adalah musuh besar cabang kita? Dia adalah musuhmu juga, mengapa kau berjalan bersamasama?”
Tin Eng tersenyum sindir. “Orang she Lui, dengarlah! Aku tidak tahu tentang permusuhanmu
dan takkan perduli sedikitpun juga. Aku hanya kenal dua golongan orang, yakni orang baikbaik
dan jahat. Yang baik kudekati dan yang jahat ku jahui. Cici Kui Hwa adalah orang baik
tidak seperti kau seorang penjahat, maka mudah saja bagiku untuk mengambil keputusan
harus membantu yang mana!”
“Anak kurang ajar! Tahukah kau bahwa ayahmu dan tunanganmu akan menjadi malu dan
marah sekali kalau mendengar bahwa kau membantu seorang anak murid Hoa-san-pai yang
menjadi musuh kita?”
“Aku tidak pernah bertunangan dan jangan kau sebut-sebut nama ayahku! Lebih baik kau
lekas bilang apa keperluanmu menyusul dan memanggil-manggil aku!”
Lui Siok marah sekali. Ia menuding ke arah Tin Eng dengan telunjuk tangan kirinya dan
membentak, “Perempuan tak tahu diri! Tadinya aku menyusulmu untuk membujuk agar
supaya jangan meninggalkan gedung Lie-wangwe karena akupun bertugas menjaga
keselamatanmu. Akan tetapi karena ternyata kau mengkhianati cabang persilatan kita, maka
kau akan kuhajar sekalian dengan anjing betina dari Hoa-san-pai ini!”
Sambil berkata demikian ia melompat turun dari kuda. Kui Hwa sudah tak dapat menahan
kemarahannya lagi, sambil berseru nyaring iapun melompat turun dari kuda dan langsung
menyerang Lui Siok dengan pedangnya. Serangan yang amat ganas dan cepat dan ia mainkan
Hoa-san-kiam-hoat yang cepat gerakannya dan lihai. Lui Siok berseru keras dan menangkis
dengan senjatanya yang istimewa.
Tin Eng lalu melompat turun dari kudanya pula, lalu membawa kudanya sendiri dan kuda Kui
Hwa ke bawah pohon di mana terdapat banyak rumput. Kemudian, dengan pedang
ditangannya ia lalu lari menyerbu pertempuran itu dan membantu Kui Hwa. Pedang Tin Eng
berkelebat menyambar bagaikan seekor burung garuda menyambar mangsanya. Ketika Lui
Siok menangkis serangan pedang gadis itu, diam-diam ia terkejut karena tenaga dan
kecepatan gadis ini sudah banyak maju jika dibandingkan dengan dulu ketika ia datang
menyerang gadis itu di kebun bunga Lie-wangwe.
Memang semenjak dikalahkan oleh Lui Siok, Tin Eng lalu melatih diri dengan amat giatnya,
sehingga ia mendapatkan kemajuan yang lumayan. Kini menghadapi musuh yang pernah
mengalahkannya, tentu saja hatinya penuh dendam hendak menebus kekalahannya sehingga
permainan pedangnya menjadi makin kuat. Ditambah pula dengan adanya Kui Hwa membuat
Tin Eng merasa tabah sekali dan setiap serangan pedangnya dengan ilmu pedang Sin-engkiam-
hoat yang luar biasa, merupakan tangan maut yang menjangkau ke arah nyawa Lui Siok.
Lui Siok harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kegesitannya menghadapi kedua orang
lawannya ini, karena Tin Eng dan Kui Hwa benar-benar merupakan lawan yang amat tangguh
dan berbahaya! Ilmu pedang Kui Hwa adalah Hoa-san-kiam-hoat yang memiliki gerakan
cepat, ditambah oleh watak Kui Hwa yang keras maka gerakan pedangnya menjadi ganas dan
berbahaya sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 166
Tingkat kepandaian Kui Hwa sudah mencapai tempat cukup tinggi dan pengalaman
bertempur yang banyak membuat ia merupakan lawan yang bahkan lebih berbahaya dari pada
Tin Eng yang memiliki ilmu pedang luar biasa. Juga Tin Eng merupakan lawan yang cukup
berbahaya, maka kini ia menghadapi dua orang pendekar yang mainkan dua macam ilmu
pedang dengan gaya jauh berbeda.
Biarpun tingkat kepandaian Kui Hwa masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan Tin Eng,
akan tetapi ilmu pedang Tin Eng masih menang jauh. Menghadapi ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat yang makin lama makin kuat, Lui Siok merasa bingung juga dan diam-diam ia
akui bahwa ilmu pedang ini jauh lebih berbahaya dari pada ilmu pedang Hoa-san-pai.
Lui Siok tidak ragu-ragu lagi menghadapi Tin Eng, karena ia mendapat alasan kuat untuk
melukai atau bahkan membunuh gadis ini. Terang-terangan gadis ini membantu Dewi Tangan
Maut yang telah menjadi musuh besar golongan Go-bi-pai. Maka kalau kini Tin Eng
membantunya, berarti gadis ini menjadi pengkhianat, menjadi musuh Go-bi-pai juga dan
karenanya ia takkan dipersalahkan oleh Seng Le Hosiang atau tokoh-tokoh Go-bi-pai yang
lain.
Kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa, tentulah maksudnya hendak merobohkan Tin Eng akan
berhasil, karena sungguhpun Tin Eng telah mendapat banyak kemajuan, akan tetapi untuk
dapat mengalahkan sabuk ular belang dari Lui Siok bukanlah hal yang mudah. Mungkin kalau
ilmu pedangnya sudah matang betul, ia akan dapat mengalahkan jago dari Kim-san-pai yang
selain mahir ilmu silat Kim-san-pai, juga telah banyak mempelajari bermacam-macam ilmu
silat dari golongan hitam itu.
Setelah Lui Siok yang benar-benar lihai itu dapat bertahan sampai lima puluh jurus lebih,
kedua orang gadis itu merasa penasaran. Mereka lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya
dan pergerakan pedang mereka makin cepat, tubuh mereka berkelebat bagaikan dua ekor
burung walet sedang menyambar dan mengeroyok seekor ular besar. Dikeroyok sedemikian
rupa, Lui Siok menjadi pening juga karena ia harus memutar-mutar tubuhnya agar jangan
sampai terkena serangan pedang lawan.
Pada saat yang baik, Tin Eng mempergunakan kesempatannya dan berhasil memasuki
pertahanan lawannya. Pedang meluncur dan menerobos di antara sinar sabuk ular belang
mengarah ulu hati Lui Siok. Gerakannya ini demikian cepat dan dengan ujung pedang
digetarkan sebagaimana telah menjadi keistimewaan Sin-eng-kiam-hoat, sehingga Lui Siok
merasa terkejut sekali.
Pada saat itu, ia sedang menangkis bacokan pedang dari Kui Hwa, maka ia tak mendapat
kesempatan untuk menangkis tusukan Tin Eng itu. Ia berseru keras dan menggunakan tangan
kirinya untuk mencengkeram pergelangan tangan Tin Eng yang memegang pedang sambil
miringkan tubuhnya. Tin Eng sudah pernah berkenalan dengan lihainya cengkeraman tangan
ini, maka cepat gadis ini memutar pergelangan tangannya dan kini ujung pedangnya meluncur
cepat sekali ke arah tenggorokan Lui Siok.
Si Ular Belang mencoba untuk miringkan kepala, akan tetapi terlambat dan ujung pedang Tin
Eng berhasil melukai pundaknya. Lui Siok berseru marah dan memutar sabuknya secepat
mungkin. Kedua gadis itu melompat mundur dan mengurung lagi dengan hebat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 167
Lui Siok merasa betapa pundaknya sakit dan perih, membuat sebelah tangan kirinya seperti
lumpuh. Gerakannya tidak lincah lagi dan ia tak dapat mengelak ketika sebuah tendangan Kui
Hwa menyambar bagaikan kilat. Ia hanya dapat mengerahkan lweekangnya ke arah lambung
yang tertendang. Akan tetapi tendangan itu demikian kerasnya sehingga biarpun di dalam
lambungnya tidak terluka parah tetap saja tubuhnya terlempar sampai setombak lebih dan
roboh di atas tanah bergulingan.
Pada saat yang amat berbahaya bagi nyawa Lui Siok itu, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda,
dan terdengar seruan keras,
“Penjahat perempuan kalian berani melukai kawanku!”
Kui Hwa menengok dan berkata kaget. “Ah, Song Bu Cu sendiri datang!”
Juga Tin Eng menengok dan berkata terkejut. “Dan yang seorang itu adalah Gan Bu Gi!”
Kui Hwa juga mengenal pemuda itu, maka bingunglah mereka karena maklum bahwa dengan
datangnya dua orang itu, sedangkan Lui Siok juga akan melawan lagi, keadaan mereka
sungguh berbahaya. Mereka maklum bahwa kepandaian Gan Bu Gi tidak kalah jauh jika
dibandingkan dengan Lui Siok, sedangkan kepandaian Song Bu Cu bahkan lebih tinggi lagi.
Bab 19 …
TIBA-tiba Tin Eng mendapatkan akal dan ia lalu mengeluarkan piauwnya dari kantong
piauw. Ia memberi dua batang piauw kepada Kui Hwa dan berkata perlahan,
“Kita hajar kuda mereka dan melarikan diri!”
Kui Hwa maklum akan maksud kawannya, maka ia menerima dua batang piauw itu dan
keduanya lalu melompat ke atas kuda masing-masing.
Song Bu Cu dan Gan Bu Gi telah mengenal kedua orang gadis itu, dan ketika Gan Bu Gi
melihat Kui Hwa, musuh besarnya ia berseru,
“Dewi Tangan Maut, jangan lari!”
Akan tetapi, Kui Hwa dan Tin Eng yang sudah siap sedia, tiba-tiba lalu menggerakkan tangan
mereka dan dua batang piauw menyambar dengan cepat sekali, sebatang ke arah Gan Bu Gi
dan sebatang lagi ke arah Song Bu Cu. Piauw yang dilepas oleh Kui Hwa mengarah ke tubuh
Gan Bu Gi sedangkan piauw dari Tin Eng menyambar dengan lebih cepat ke arah dada Song
Bu Cu. Dalam hal melepaskan senjata rahasia, Tin Eng lebih pandai dari Kui Hwa, karena Tin
Eng memang telah mempelajarinya dengan sempurna.
Gan Bu Gi dan Song Bu Cu yang berkepandaian tinggi, tentu saja tak dapat dirobohkan
dengan sambaran piauw itu. Maka mereka cepat mengelak di atas kudanya, sambil
menyampok piauw itu dengan tangan mereka.
Akan tetapi, beberapa detik setelah piauw pertama menyambar, dua batang piauw menyambar
lagi dan kini mengarah kuda yang ditunggangi oleh kedua orang itu! Hal ini sungguh-sungguh
di luar dugaan Gan Bu Gi dan Song Bu Cu sehingga mereka menjadi terkejut. Piauw yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 168
dilepas oleh Kui Hwa menyambar ke arah kuda Gan Bu Gi, akan tetapi bidikannya terlalu
tinggi sehingga Gan Bu Gi dapat menendangnya dengan ujung sepatu sehingga piauw itu
terlempar ke samping.
Akan tetapi, Tin Eng yang melemparkan piauwnya ke arah kuda Song Bu Cu, telah membidik
dengan tepat sekali dan sebelum Song Bu Cu dapat menghalanginya, piauw itu telah
menancap pada perut kudanya! Kuda Song Bu Cu meringkik kesakitan, berdiri di atas dua
kaki belakang dan melompat-lompat dengan liar, sehingga Song Bu Cu tak kuasa
mengendalikannya lagi dan terpaksa melompat turun.
Pada saat itu, Tin Eng dan Kui Hwa sudah membalapkan kuda mereka sambil tertawa senang.
Song Bu Cu menyumpah-nyumpah dengan amat marah. Akan tetapi ia tidak berdaya untuk
mengejar. Sedangkan Gan Bu Gi, sungguhpun kudanya tidak terluka dan dapat mengejar,
akan tetapi merasa jerih untuk menghadapi dua orang pendekar wanita itu sendiri saja, maka
iapun tidak mau mengejar.
Lui Siok yang terluka pundaknya oleh pedang Tin Eng dan terkena tendangan Kui Hwa
menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan makian-makian kotor terhadap kedua
orang gadis itu.
“Gan-sute,” katanya kepada Gan Bu Gi ketika Song Bu Cu berusaha merawat lukanya.
“Mengapa kau memilih seorang gadis liar dan jahat seperti dia untuk calon isterimu? Dia
sekarang telah menjadi musuh kita, telah berani membantu si jahat Tan Kui Hwa.”
Gan Bu Gi menarik napas panjang dan berkata, “Namun ia cantik dan pandai, suheng, dan
pula harus diingat bahwa dia adalah puteri dari Liok-taijin Kepala daerah Kiang-sui dan anak
murid Go-bi-pai. Kalau aku menjadi menantu Kepala daerah, bukankah hal itu akan
memperkuat kedudukan Kim-san-pai kita? Hal ini adalah rencana dari suhu dan Seng Le
Hosiang dan aku hanyalah menurut saja perintah suhu!”
Memang, kedua kakek bersahabat itu, yakni Bong Bi Sianjin ketua Kim-san-pai dan Seng Le
Hosiang, tokoh Go-bi-pai, membuat rencana yang amat baik demi keuntungan masingmasing.
Pada saat itu, cabang-cabang persilatan di Tiongkok tidak mendapat nama baik bagi
pemerintah yang mulai merasa curiga dan khawatir kalau-kalau orang-orang kang-ouw
memiliki kepandaian tinggi itu sewaktu-waktu akan mengadakan pemberontakan. Kaisar dan
para penasehatnya maklum akan bahayanya hal ini, maka mulailah diadakan pengawasan dan
tekanan terhadap para ahli-ahli silat.
Partai-partai besar seperti Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan lain-lain yang berpusat di gununggunung
yang luas daerahnya dan sukar didatangi pasukan negeri, tidak merasa khawatir akan
hal ini. Akan tetapi golongan-golongan kecil mempunyai kekhawatiran juga kalau-kalau
cabang persilatan mereka akan mendapat gangguan.
Seng Le Hosiang merasa sakit hati dan menaruh hati dendam terhadap Hoa-san-pai dan
tokoh-tokoh Go-bi-pai yang lain tidak mau menghiraukan dan tidak ada nafsu untuk ikut
campur memperbesar permusuhan dengan Hoa-san-pai, lalu mencari kawan-kawan dan
pembantu dari luar. Di antaranya yang ia paling harapkan, adalah Bong Bi Sianjin sendiri
ketua Kim-san-pai. Oleh karena selain Bong Bi Sianjin sendiri berkepandaian tinggi, juga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 169
tokoh Kim-san-pai ini mempunyai beberapa orang murid yang tingkat kepandaiannya sudah
boleh diandalkan.
Bong Bi Sianjin bukanlah seorang yang bodoh. Sungguh pun ia bersahabat baik dengan Seng
Le Hosiang, akan tetapi ia maklum bahwa mencampuri urusan permusuhan itu berarti
mendatangkan bahaya baginya dan para muridnya, karena iapun tahu akan kelihaian anak
murid Hoa-san-pai. Maka ia takkan mau membantu begitu saja kalau ia tidak melihat hal-hal
yang kiranya akan mendatangkan kebaikan dan keuntungan bagi partainya sendiri.
Ia maklum bahwa di antara anak murid Go-bi-pai, terdapat Liok Ong Gun yang menjadi
Kepala daerah dan mempunyai hubungan dekat dengan kotanya. Maka alangkah baiknya
kalau ia bisa mendekati pembesar itu, agar kedudukan cabang persilatan Kim-san-pai
terlindung.
Oleh karena pikiran ini, maka ia lalu mengajukan usul agar supaya muridnya yang bungsu,
yakni Gan Bu Gi, dapat dipekerjakan pada Liok-taijin. Bahkan dapat dijodohkan dengan
puteri pembesar itu. Seng Le Hosiang suka melihat Gan Bu Gi, maka karena iapun
mengharapkan bantuan dari Kim-san-pai, dalam hal ini ia membantu sekuat tenaga, sehingga
Liok-taijin akhirnya tidak hanya menerima Gan Bu Gi sebagai perwira akan tetapi juga
sebagai calon mantu!
Gan Bu Gi mendengarkan dari calon mertuanya bahwa Tin Eng berada di Hun-lam. Sebelum
berangkat ke kota itu, ia lebih dulu mampir di kota Tong-kwan pusat perkumpulan Hek-IPang
karena ia tahu bahwa sesungguhnya Lui Siok berada di tempat itu menjadi wakil ketua.
Akan tetapi ia tidak bertemu dengan suhengnya yang sedang pergi ke Hun-lam dan hanya
bertemu dengan Song Bu Cu. Ketika mendengar bahwa Lui Siok menyelidiki ke Hun-lam
karena mendengar tentang adanya Tan Kui Hwa, si Dewi Tangan Maut yang menjadi musuh
besarnya, Gan Bu Gi lalu menyusul ke Hun-lam bersama Song Bu Cu dan di tengah jalan
kebetulan sekali mereka bertemu dengan Lui Siok yang sedang berada dalam bahaya.
Lui Siok dan Song Bu Cu lalu menceritakan kepada Gan Bu Gi betapa mereka mendapat
tugas dari Pangeran Ong Kiat Bo untuk menyelidiki halnya kedua orang muda yang kini telah
kembali ke kota raja.
“Mungkin sekali peta rahasia itu oleh kedua saudara Pang diberikan kepada Tin Eng dan Kui
Hwa,” kata Lui Siok. “Maka lebih baik kita mengejar mereka. Pertama-tama untuk
membinasakan perempuan rendah Dewi Tangan Maut itu, kedua untuk menawan tunanganmu
yang keras kepala, dan ketiga untuk merampas peta.”
“Akan tetapi, aku harus pergi ke Kim-san-pai untuk menemui suhu lebih dulu,” kata Gan Bu
Gi. “Karena suhu dulu berpesan bahwa apabila aku menghadapi kesulitan, aku harus
melaporkan kepada suhu. Hal ini amat ruwet. Tin Eng telah membawa kehendak sendiri
bahkan telah bersekutu dengan Dewi Tangan Maut. Sebagaimana kita semua mengetahui,
Dewi Tangan Maut selain lihai, juga seorang anak murid Hoa-san-pai yang paling jahat dan
paling banyak kawan-kawannya. Kini kalau betul-betul dia mendapatkan peta harta pusaka
dan bersama Tin Eng pergi mencarinya, maka hal yang penting ini harus kuberitahukan
kepada suhu. Apalagi kini telah muncul Kang-lam Ciu-hiap yang benar-benar gagah dan tak
boleh dipandang ringan!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 170
Gan Bu Gi teringat akan pengalaman pahit ketika ia bersama kawan-kawannya sama sekali
tak berdaya menghadapi Gwat Kong. Akan tetapi hal ini ia tidak mau menceritakan kepada
Lui Siok dan Song Bu Cu karena malu. Adapun kedua ketua Hek-I-Pang ini biarpun telah
mendengar nama Kang-lam Ciu-hiap, akan tetapi belum pernah bertemu dan belum merasai
sendiri sampai di mana kelihaian pemuda pendekar itu.
“Aaah,” Lui Siok yang sombong mencela. “Mengapa harus ditakuti Kang-lam Ciu-hiap?
Sayang ia sudah pergi ketika aku datang di gedung Lie-wangwe. Kalau dia berada di sana
ketika itu, tentu sekarang Kang-lam Ciu-hiap tinggal namanya saja!”
Di dalam hatinya, Gan Bu Gi tidak menyetujui ucapan suhengnya ini, karena ia tahu bahwa
kepandaian suhengnya ini jauh untuk menandingi kelihaian Gwat Kong, akan tetapi ia tidak
mau membuka mulut, hanya berkata,
“Biarlah suheng dan Song twako berangkat dulu menyusul mereka, aku mau mencari suhu
lebih dulu agar kelak tidak mendapat teguran dari suhu yang menanti-nanti berita dariku.”
Demikianlah, Gan Bu Gi lalu berangkat mencari suhunya ke Kim-san dan kedua ketua Hek-IPang
itu lalu mengadakan perundingan untuk menyusul Tin Eng dan Kui Hwa.
****
Perjalanan ke Hong-san jauh sekali dan biarpun menggunakan kuda, akan makan waktu
berbulan-bulan. Maka biarlah kita tinggalkan dulu Tin Eng dan Kui Hwa yang menuju ke
bukit Hong-san untuk mencari harta pusaka rahasia itu. Dan marilah kita menengok keadaan
Gwat Kong, Kang-lam Ciu-hiap, yang sedang menerima gemblengan ilmu silat dan ilmu
tongkat Sin-hong Tung-hoat dari Bok Kwi Sianjin di tepi sungai Huang-ho.
Gwat Kong memang memiliki bakat yang baik sekali dan otak cerdas. Setelah belajar selama
seratus hari di gua pertapaan Bok Kwi Sianjin itu, ia telah dapat mempelajari Sin-hong Tunghoat
dan Sin-hong Kun-hoat dengan baik. Ia telah dapat menghafal semua kouw-koat (teori
persilatan) ilmu silat itu di luar kepala. Sedangkan dalam prateknya iapun telah menguasai
dasar-dasar yang penting sehingga tinggal melatih dan mematangkannya.
Bok Kwi Sianjin merasa girang sekali dan amat puas melihat kemajuan muridnya ini. Maka
ketika Gwat Kong menyatakan hendak melanjutkan perjalanannya ia tidak keberatan.
“Maksudmu hendak berusaha mendamaikan permusuhan yang ada antara Hoa-san-pai dan
Go-bi-pai memang baik,” kata Bok Kwi Sianjin dalam pesannya ketika ia mendengarkan
muridnya menyatakan pendapatnya. “Akan tetapi kukira hal itu takkan mudah kau lakukan
dengan berhasil. Memang di dunia ini segala hal mempunyai dua muka, terutama sekali bagi
manusia yang belum sadar akan rahasia Im-yang (positif dan negatif). Segala sesuatu yang
dianggap mendatangkan kebaikan bagi manusia selalu mempunyai bagian yang sebaliknya,
yakni keburukan. Ilmu kepandaian silat memang baik sekali dimiliki oleh setiap orang, demi
untuk alat penjaga diri dan kesehatan. Akan tetapi tetap saja ada pengaruhnya yang tidak baik
dan merugikan orang itu, yakni bagi orang yang lemah iman, kepandaian ini mendatangkan
watak sombong dan suka berkelahi ilmu kepandaian silat mendatangkan sifat pemberani dan
tabah. Karena orang yang memiliki kepandaian ini merasa dirinya terlindung oleh
kepandaiannya dan tidak menakuti apapun juga. Akan tetapi sifat tabah dan berani yang
berlebih-lebihan, membuat ia makin gelap dan hanya mengandalkan keberaniannya, siap
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 171
sedia setiap saat untuk bertempur melawan siapapun juga, membangkitkan nafsu ingin
memperlihatkan kegagahan sendiri tanpa mau mengalah sedikit juga terhadap orang lain
karena takut kalau-kalau disangka jerih dan takut kalah. Karena sifat-sifat inilah maka terbit
permusuhan di antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai.”
“Akan tetapi suhu, menurut penuturan dua orang anak murid Hoa-san-pai, yakni kakak
beradik she Pui, banyak murid-murid Go-bi-pai yang jahat dan melanggar pantanganpantangan
orang gagah, melakukan perbuatan sewenang-wenang dan jahat sehingga golongan
Hoa-san-pai turun tangan memberi hajaran. Dan inilah yang menimbulkan perselisihan,” kata
Gwat Kong.
Suhunya tersenyum. “Mungkin benar juga kata kedua orang itu, akan tetapi muridku,
penuturan itu tak boleh kau jadikan dasar untuk memandang buruk kepada Go-bi-pai dan
membenarkan Hoa-san-pai. Kalau pandanganmu dipengaruhi oleh penuturan-penuturan kedua
belah pihak, kau lebih-lebih takkan berhasil menjadi pendamai di antara mereka. Seorang
pendamai tak boleh berpikir berat sebelah. Kalau hatinya dikotori oleh sifat memihak, lebih
baik jangan jadi pendamai karena hal itu berarti bahwa kau menaruh dirimu dalam kedudukan
yang amat berbahaya, yakni jangan-jangan kau akan dimusuhi oleh kedua belah pihak!
Orang-orang yang sedang bermusuhan dan marah memiliki perasaan curiga yang amat besar,
maka kau harus berhati-hati.”
Gwat Kong terpaksa membenarkan pernyataan suhunya itu dan menundukkan mukanya.
“Muridku, di antara dua orang atau dua pihak yang bermusuhan, mereka itu masing-masing
tentu membesar-besarkan kesalahan pihak musuh dan mencoba seberapa bisa untuk
menghapus dan menyembunyikan kesalahan sendiri. Kalau kau bertanya kepadaku, siapakah
yang bersalah di antara dua orang yang bermusuhan? Maka jawabku tentu bahwa dua orang
itu kedua-duanya bersalah! Karena orang yang sudah menjadikan orang lain sebagai
musuhnya, atau yang dijadikan musuh oleh orang lain, pokoknya dipengaruhi rasa benci
kepada orang lain atau menimbulkan benci, ia itu sudah bersalah!”.
Kakek ini tertawa geli ketika melihat bahwa muridnya nampak bingung mendengar jawaban
yang sulit dimengerti ini. Maka lalu ia berkata pula,
“Gwat Kong, tak perlu kau memusingkan hal ini. Kau masih terlalu muda untuk dapat
mengerti. Untuk mengetahui hal ini, orang harus berdiri di luar perputaran arus kehidupan,
sedangkan kau berada di dalamnya dan ikut terputar! Hal yang baik bagimu ialah harus dapat
menyesuaikan dirimu dengan keadaan di sekelilingmu, dan semua perbuatanmu harus
berdasarkan keadilan dan kebajikkan. Lenyapkanlah pandanganmu yang berat sebelah
terhadap permusuhan yang timbul di antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dan aku tahu betul
bahwa baik di pihak Go-bi maupun pihak Hoa-san, para ketua dan tokohnya yang tertinggi
sama sekali tidak mempunyai permusuhan, dan semua itu hanyalah akibat sikap ‘keras
kepala’ dn ‘tak mau kalah’ dari tokoh-tokoh kecil kedua pihak seperti Seng Le Hosiang dan
Sin Seng Cu. Jangan sampai kau ikut menanam bibit permusuhan muridku, dan ingatlah akan
ucapan para cerdik pandai di jaman dahulu bahwa seribu orang kawan masih terlampau
sedikit, akan tetapi seorang musuh sudah terlalu banyak bagi seorang budiman.”
Setelah menghaturkan terima kasih kepada suhunya dan berjanji akan mengingat segala
nasehat dari kakek ini, Gwat Kong lalu keluar dari hutan liar itu. Pemuda yang keluar dari
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 172
hutan itu jauh bedanya dengan Gwat Kong yang dulu memasuki hutan untuk mengikuti
suhunya belajar silat.
Dia telah mendapat kemajuan yang luar biasa sekali dalam waktu tiga bulan lebih itu. Tidak
saja tenaga lweekangnya telah meningkat karena petunjuk-petunjuk yang tepat dan cara
berlatih yang penuh rahasia, dan ginkangnya juga maju pesat berkat latihan-latihan
pernapasan dan bersamadhi, dalam hal ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat sungguhpun Bok Kwi
Sianjin tidak pernah mempelajarinya akan tetapi kakek ini telah memberi nasehat-nasehat dan
petunjuk-petunjuk yang penting untuk menyempurnakan permainan pedang pemuda itu.
Yang lebih hebat lagi, kini Gwat Kong dapat mengkombinasikan ilmu pedangnya dengan
ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Apabila ia mainkan pedangnya, ia dapat memasukkan
gerakan Sin-hong Tung-hoat di dalam pedang dan apabila memegang sebatang tongkat, ia
dapat memasukkan pula ilmu pedangnya, sehingga di dalam gerakannya telah dapat ia
mengawinkan dua macam ilmu silat yang lihai itu.
Dan selama seratus hari di dalam hutan itu bersama suhunya, terpaksa Gwat Kong menekan
kesukaannya akan arak, karena suhunya pernah berkata bahwa biarpun arak merupakan
minuman yang baik dan sehat, akan tetapi apabila dilakukan dengan berlebih-lebihan tak
kenal batas, sebagaimana hal lain di dunia ini, maka akan mendatangkan pengaruh buruk bagi
kesehatannya.
Sebagai gantinya, Bok Kwi Sianjin menganjurkannya untuk minum arak ringan yang terbuat
dari pada buah yang mengandung khasiat menyehatkan dan membersihkan darah. Kini guci
arak dari perak yang tergantung di pinggang Gwat Kong terisi oleh minuman ini.
Gwat Kong merasa rindu sekali kepada Tin Eng. Selama ini, ia makin merasa betapa
sesungguhnya ia amat mencintai gadis itu, dan berkali-kali usahanya untuk mengusir
bayangan gadis itu dari pikirannya, ternyata gagal. Tanpa disadarinya, kini kedua kakinya
membawa ia menuju ke Hun-lam. Ia telah lupa ke mana arah jalan yang menuju ke kota itu.
Akan tetapi berlawanan dengan maksud hatinya untuk berdaya melupakan Tin Eng, tiap kali
bertemu dengan orang dan bertanyakan jalan, ia selalu bertanya arah jalan ke Hun-lam.
Pada suatu hari, ia tiba di dusun Ngo-bun-chung di kaki bukit Siang-san. Dusun ini cukup
besar dan padat penduduk yang hidup sebagai petani. Biasanya dusun ini terkenal makmur
karena memang tergolong tanah subur. Akan tetapi pada waktu itu di Tiongkok banyak
daerah yang menderita karena musim kering yang luar biasa sekali.
Sudah lima bulan daerah yang menderita itu kehabisan air sehingga akibatnya, tanamantanaman
di sawah menjadi kering. Rakyat di daerah itu tidak saja menderita kekurangan
makan, akan tetapi juga kekurangan air sehingga harga air menjadi semahal harga emas.
Dusun Ngo-bun-chung termasuk daerah yang sedang kekurangan air dan rakyat di situpun
amat menderita. Pemandangan yang amat menyedihkan dari rakyat jelata yang menderita
kelaparan dan kehausan ini telah dilihat oleh Gwat Kong semenjak ia meninggalkan hutan di
mana ia belajar ilmu silat.
Daerah di dekat Sungai Kuning itu masih nampak subur dan tidak sangat menderita karena
musim kering. Akan tetapi makin jauh ia menuju ke selatan, makin menyedihkan keadaan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 173
daerah-daerah yang kering itu. Akan tetapi, belum pernah Gwat Kong melihat dusun yang
menderita gangguan alam itu sehebat dusun Ngo-bun-chung.
Baru masuk saja ia melihat keadaan yang amat menyedihkan dan mendengar suara tangis
memilukan dari beberapa rumah, tanda bahwa terdapat pula orang-orang yang mati kelaparan.
Di dusun-dusun lain yang ia lewati, keadaan belum demikian hebat karena penduduk dusun
dengan secara gotong rotong saling membantu dan membagi persediaan ransum sehingga
jumlah kematian karena kelaparan sangat sedikit.
Tiba-tiba Gwat Kong melihat serombongan petani berjalan menuju ke barat. Mereka itu
nampak pucat-pucat dan bersungguh-sungguh dengan tangan memegang senjata tajam seperti
cangkul, kampak, golok, dan lain-lain. Sikap mereka jelas menyatakan bahwa mereka itu
tengah menghadapi perkelahian.
Gwat Kong menjadi tertarik hatinya dan diam-diam ia mengikuti rombongan petani yang
terdiri tidak kurang dari dua puluh lima orang itu. Setelah rombongan itu tiba di ujung dusun
sebelah barat, mereka berhenti di depan pintu pekarangan sebuah rumah yang membuat Gwat
Kong merasa heran sekali. Rumah itu tak pantas berada di tempat semelarat ini. Sebuah
rumah kuno yang amat besar dan megah dengan pekarangan yang amat luas mengelilingi
bangunan itu. Pantasnya gedung ini menjadi tempat peristirahatan kaisar atau orang-orang
besar dari kota raja.
Para petani ini agaknya nampak ragu-ragu setelah tiba di tempat tujuan, dan untuk beberapa
lama berdiri di luar pintu pekarangan yang besar terbuat dari kayu tebal itu. Akan tetapi
seorang di antara mereka mempelopori kawan-kawannya sambil berseru keras, “Serbu!”
Ia membuka pintu itu yang ternyata diikat dengan rantai besi. Tentu saja ia tidak kuat
membukanya, akan tetapi kini kawan-kawannya telah dibangunkan semangat mereka oleh
contoh ini dan dua puluh orang itu lalu merenggut dan menarik pintu pekarangan itu sehingga
dengan mengeluarkan suara keras pintu itu roboh.
Suara roboh pintu yang gaduh ini seakan-akan menambah semangat kepada para petani itu
karena mereka serentak menyerbu ke pekarangan gedung itu sambil mengangkat senjatasenjata
mereka di atas kepala. Gwat Kong tidak ikut masuk hanya memandang dari luar pagar
dengan heran dan penuh perhatian, ingin melihat apakah yang akan terjadi selanjutnya.
Tiba-tiba daun pintu yang lebar dari gedung besar itu terbuka dari dalam, dan semua petani
yang memberontak itu memandang dengan mata terbelalak, seakan-akan tiba-tiba mereka
merasa takut sekali. Akan tetapi sungguh aneh, ketika daun pintu itu terbuka, di dalamnya
kosong tidak nampak sesuatu.
Gwat Kong merasa heran sekali dan sebelum ia dapat menduga, tiba-tiba dari dalam pintu
yang kosong itu berkelebat bayangan orang yang bertubuh tinggi besar dan memegang toya
kuningan. Tanpa banyak cakap bayangan itu menyambar dan tiga orang petani yang berada di
depan sekali berteriak ngeri dan roboh pingsan!
Ributlah para petani melihat hal ini dan beberapa orang dengan marahnya mengangkat senjata
untuk mengeroyok laki-laki tinggi besar itu. Akan tetapi, kembali toya kuningan itu bergerak
dan empat orang petani roboh lagi sambil mengeluarkan teriakan keras!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 174
Melihat ini, lenyaplah nyali besar orang-orang itu karena kini orang-orang yang terberani di
antara mereka dan yang dianggap menjadi pemimpin-pemimpin telah disapu roboh oleh toya
kuningan yang lihai itu. Mereka lalu melemparkan senjata masing-masing dan menjatuhkan
diri berlutut. Seorang di antara mereka yang paling tua berkata,
“Ji-cukong-ya .... (majikan kedua) harap suka memberi ampun kepada kami .... sesungguhnya
keluarga kami amat menderita dan dalam keadaan kelaparan, tolonglah kami.”
Orang tinggi besar itu berdiri dengan toya di tangan. Ia memandang dengan marah dan
bibirnya yang tebal itu menggulung ke atas. Ia membanting-banting kakinya dan memaki
marah.
“Anjing-anjing rendah tak tahu diri! Kalian ini orang-orang malas yang maunya hanya makan
milik lain orang! Kalian ini benar-benar anjing-anjing yang bong-im-pwe-gi (manusia tak
mengenal budi)! Kurang baik bagaimanakah keluarga Lai? Telah tiga bulan ini kami sengaja
tidak memungut uang pajak tanah dan memberikan tanah kami dengan cuma-cuma kepada
kalian untuk dikerjakan dan dimakan hasilnya. Sekarang kalian berani sekali datang seperti
perampok? Sungguh harus dipukul mampus!” Sambil berkata demikian, dua kali ia
menggerakkan kakinya dan tubuh dua orang, termasuk orang tua yang tadi mewakili kawankawannya
bicara, terlempar sampai terguling-guling dua tombak lebih!
Petani-petani lain berlutut dengan tubuh menggigil dan memandang dengan wajah cemas.
Mereka lebih menakuti penolakan pertolongan dari hartawan ini dari pada pukulan-pukulan
yang mungkin dijatuhkan kepada mereka, maka seorang berkata,
“Ji-cukong, biarlah kami dipukul, dimaki, bahkan boleh dibunuh sekalian asal saja cukong
sudi mengeluarkan sedikit gandum dan membiarkan anak-bini kita mengambil air dari sumber
air hijau itu!”
“Bangsat benar, apakah benar-benar kalian ingin mampus? Hayo pergi, .. pergi! Dan jangan
lupa untuk memperbaiki pintu pekarangan kami!” Ia mengancam lagi, dengan toyanya dan
mengusir mereka. Akan tetapi, tak seorangpun di antara mereka mau bergerak.
“Pergi, kataku!” teriak pula laki-laki tinggi besar itu dengan marah.
“Ji-cukong, kami telah berjanji takkan mau pergi sebelum mendapat pertolongan itu, karena
kalau kami pulang tanpa membawa gandum dan air, kami hanya akan melihat anak-bini kami
mati kelaparan!”
“Anjing rendah, kalau begitu biarlah kalian kubikin mampus dulu!” Orang tinggi besar itu
memaki kalang kabut dan ia nampak marah sekali. Agaknya ia benar-benar hendak
menggunakan toyanya yang hebat itu untuk membunuh belasan orang tani yang berlutut di
depannya itu.
Gwat Kong merasa marah sekali, dan sungguhpun ia belum tahu dengan jelas siapakah
gerangan orang tinggi besar itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang itu tentulah
seorang tuan tanah yang kaya raya dan kikir, yang menyimpan banyak gandum akan tetapi
tidak mau menolong petani-petani miskin yang menderita kelaparan. Ia benci sekali melihat
kekejaman orang itu dan selagi ia hendak bergerak untuk menolong para petani itu yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 175
agaknya hendak dihajar, tiba-tiba dari atas genteng gedung besar itu menyambar turun
bayangan orang berpakaian serba kuning.
Gerakan orang ini amat cepatnya dan Gwat Kong menahan gerakan kakinya yang tadi sudah
akan melompat ke dalam pekarangan. Ia merasa heran dan kagum melihat bayangan itu
ternyata adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali. Gadis itu memakai pakaian
kuning gading dengan ikat pinggang dan ikat rambut warna merah dan di kedua tangannya
memegang sepasang pedang yang bercahaya saking tajamnya.
Pada saat itu, si tinggi besar itu telah menggerakkan toyanya dan hendak memukul seorang
petani yang terdekat, akan tetapi tiba-tiba ia merasa ada sambaran angin dari atas dibarengi
bentakan nyaring, “Orang she Cong yang kejam! Jangan berlaku sewenang-wenang!”
Orang tinggi besar itu adalah Cong Si Kwi dan terkenal dengan sebutan Ji-sai-cu (Singa
Kedua), seorang yang amat terkenal di daerah itu yakni di sekeliling bukit Siang-san. Cong Si
Kwi dan kakaknya, yang bernama Cong Si Ban berjuluk Tai-sai-cu (Singa Tertua) adalah dua
kakak beradik yang kaya raya di daerah itu dan tiga perempat bagian tanah di sekitar bukit
Siang-san adalah milik mereka. Oleh karena ini, maka penghidupan sebagian besar rakyat
petani di sekitar daerah itu, boleh dibilang bersandar kepada kedua saudara Cong ini dan
tidaklah berlebihan kalau ada orang di dusun itu berkata bahwa nyawa mereka berada dalam
telapak tangan kedua singa itu.
Semua kepala dusun di seluruh daerah adalah pembantu atau kaki tangan kedua saudara
Cong, dan tak seorangpun yang berani menentang mereka karena selain mereka amat kaya
raya dan menjadi pemilik tanah yang dijadikan sumber nafkah para petani, juga kedua orang
itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi dan dahsyat. Kedua kakak beradik she
Cong ini memiliki ilmu silat keturunan yang disebut Sai-cu-ciang-hoat (Ilmu Pukulan Singa)
dan keduanya memiliki ilmu toya yang tinggi juga.
Sebetulnya kedua saudara Cong ini tidak biasa memeras rakyat. Mereka mengadakan pajak
tanah yang cukup pantas dan ketika musim kering mengganggu, mereka bahkan
membebaskan para petani dari pajak. Akan tetapi mereka ini terkenal berhati keras dan kejam
tidak mengenal kasihan, lagi pula amat kikir. Melihat keadaan rakyat di sekitar mereka yang
amat menderita dan kelaparan, mereka sama sekali tidak mengambil perhatian dan tumpukan
gandum dan padi di gudang mereka tetap bertumpuk.
Berkali-kali rakyat datang mohon pertolongan mereka, untuk meminjam gandum dengan
perjanjian pembayaran berlipat ganda. Akan tetapi semua permohonan tidak dihiraukan oleh
kedua saudara Cong itu. Yang lebih hebat lagi ialah ketika semua sumur dan anak sungai
kering, ternyata yang masih mengeluarkan air hanya sebuah sumber air yang disebut sumber
air hijau dan yang ada di sawah milik kedua saudara yang kaya itu. Karena tanah sawah
itupun disewakan pada petani, maka selama musim kering tiba, sumber air hijau itulah yang
menjadi penolong para petani karena mereka semua mendapat air minum dari sumber ini.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua saudara Cong yang juga kehabisan air, lalu memblokir sumber ini
dan mengurungnya dengan pagar serta dijaga kuat oleh penjaga-penjaga bersenjata tombak.
Tak seorangpun boleh mengambil air dari sumber itu, kecuali pelayan keluarga Cong.
Cong Si Ban melakukan hal ini bukan karena ia berhati dengki, akan tetapi oleh karena ia
berkhawatir kalau-kalau sumber air itu akan menjadi kering jika diambil airnya oleh sekian
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 176
banyak orang dan ia mengkhawatirkan keadaan keluarganya sendiri. Demi keselamatan
keluarga sendiri, ia tidak perduli apakah orang-orang di luar gedungnya akan mati kehausan
atau tidak.
Hal ini membuat para petani merasa bingung dan keadaan mereka makin menderita. Akhirnya
mereka tidak dapat menahan lagi dan demikianlah, maka dua puluh lima orang petani itu
memberanikan diri menyerbu ke gedung keluarga Cong untuk minta gandum dan air. Dan
yang keluar menyambut mereka adalah Cong Si Kwi, senga kedua yang lebih kejam dari pada
kakaknya.
Ketika Cong Si Kwi mendengar bentakan dari atas dan merasa ada angin senjata menyambar,
ia cepat melompat ke kiri dan menggerakkan toyanya ke atas untuk memukul orang yang
menyambar dari atas ini. “Traaangg!” terdengar suara keras sekali ketika toyanya kena bentur
sebatang pedang yang menyambar dari atas. Bunga api memancar keluar dan alangkah
kagetnya hati Cong Si Kwi ketika melihat betapa ujung toyanya telah somplak!
Bab 20 …
IA memandang orang yang kini telah berdiri di depannya itu dan merasa heran sekali. Orang
yang berdiri di depannya adalah seorang gadis muda yang usianya paling banyak delapan
belas tahun, berwajah cantik manis dengan sepasang mata tajam dan mulut kecil
membayangkan kekerasan hati dan keberanian besar. Pakaiannya kuning dengan ikat
pinggang dan ikat rambut sutera merah.
“Siapakah kau yang berani mencampuri urusan orang lain?” Cong Si Kwi membentak dengan
marah, akan tetapi matanya menatap dengan kagum kepada gadis itu.
“Orang she Cong,” kata lagi gadis itu yang ternyata memiliki suara nyaring. “Aku pernah
mendengar orang berkata bahwa kakak beradik she Cong adalah orang-orang berhati kejam
melebihi singa yang liar. Ternyata sekarang bahwa ucapan-ucapan itu kurang tepat.
Seharusnya orang macam kau ini dipersamakan dengan serigala, anjing yang serendahrendahnya
dan sekejam-kejamnya.”
Bukan main marahnya Cong Si Kwi mendengar ini karena ia telah dimaki di depan para
petani yang kini pada berdiri dan berkumpul di dekat pintu pekarangan sambil menolong
kawan-kawan mereka yang tadi terpukul. Para petani itu memandang ke arah gadis itu dengan
girang dan kagum, penuh harap-harap cemas karena masih ragu-ragu apakah si gadis itu akan
sanggup melawan Cong Si Kwi yang terkenal kejam dan lihai.
“Perempuan lancang!” bentaknya. “Kau agaknya seorang yang memiliki kepandaian, akan
tetapi kau tidak mengindahkan sopan santun di antara orang-orang kang-ouw! Siapakah kau
yang datang-datang memaki orang?”
Dengan suara tenang gadis muda berpakaian kuning itu menjawab. “Biarpun kau mengaku
orang dari kang-ouw, akan tetapi kau adalah termasuk golongan hek-to (jalan hitam, yakni
golongan para penjahat). Terhadap orang macam kau, mengapa aku harus memakai banyak
aturan? Kau ingin tahu namaku? Dengarlah, nonamu Sie Cui Giok tak perlu menyembunyikan
nama. Dan kalau kau belum pernah mendengar namaku, mungkin kau telah kenal kakekku
yang bernama Sie Cui Lui dari selatan.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 177
Bagi Gwat Kong dan lain-lain orang yang mendengar, nama itu tidak mempunyai arti sesuatu.
Akan tetapi heran sekali karena Cong Si Kwi menjadi pucat ketika mendengar nama ini.
“Kami selamanya belum pernah mengganggu Sie-locianpwe dan selalu memandangnya
sebagai seorang tokoh besar yang patut kami hormati. Sekarang kau datang mengunjungi
kami mempunyai maksud apakah? Kalau memang nona ada keperluan, kupersilahkan masuk
ke dalam untuk bercakap-cakap dengan aku dan saudaraku. Dan kebetulan sekali sekarang
kami sedang mempunyai seorang tamu yang mungkin tidak asing bagimu, yakni Sin Seng Cu
thaisu, tokoh dari Hoa-san-pai.”
Kini Gwat Kong yang merasa terkejut mendengar nama ini, akan tetapi sebaliknya nona itu
agaknya tidak perduli sama sekali.
“Aku tidak sudi untuk masuk ke dalam rumahmu dan bertemu dengan segala macam tosu.
Kedatanganku ini tak lain karena melihat kekejamanmu kepada para petani itu. Dan sekarang
aku mewakili mereka untuk minta kau suka segera mengeluarkan gandum dan padi yang
mereka butuhkan dan sumber air itu harus kau buka untuk keperluan umum.”
Biarpun Cong Si Kwi maklum bahwa cucu dari Sie Cui Lui ini tentu memiliki kepandaian
tinggi. Akan tetapi ia tidak merasa takut, apalagi karena nona itu demikian muda. Kini
mendengar tuntutan nona itu yang dianggapnya mencampuri urusannya dan sama sekali tidak
memandang sebelah mata kepadanya, ia menjadi marah sekali,
“Kau terlalu sekali! Agaknya kau sengaja hendak mencari perkara!”
“Jangan banyak cakap dan lekas kau penuhi kebutuhan mereka. Kau harus ingat bahwa kalau
tidak ada para petani ini, apakah kau kira perutmu setiap hari akan dapat diisi? Sanggupkah
kau mengerjakan tanahmu sendiri dan menanam gandum dan padi itu?”
Diam-diam Gwat Kong merasa kagum sekali melihat keberanian dan sepak terjang nona itu,
maka tak terasa lagi ia melangkah memasuki pekarangan dan berdiri di dekat para petani
sambil memandang dengan penuh perhatian. Ia bersiap sedia membantu nona itu apabila nona
itu sampai kalah dalam pertempuran yang terjadi.
“Kalau aku menolak, bagaimana?” Cong Si Kwi berkata sambil pegang toyanya erat-erat.
“Kalau kau menolak, terpaksa aku minta sebelah daun telingamu!” kata gadis itu dengan
pedangnya di tangan kiri berkelebat cepat sekali ke arah telinga Cong Si Kwi. Akan tetapi
orang she Cong ini cukup pandai, maka tentu saja tidak mudah untuk mengambil telinganya.
Ia berseru keras dan menggerakkan toyanya menangkis lalu membalas dengan serangannya
yang keras dan hebat.
Sie Cui Giok, gadis muda berpakaian kuning itu, cepat mengelak dan kembali pedangnya
meluncur dengan gerakan indah menyerang ke arah telinga Cong Si Kwi. Gwat Kong yang
memperhatikan gerakan pedang gadis itu, menjadi kagum sekali karena kedua pedang di
tangan gadis itu seakan-akan digerakkan oleh dua orang dengan ilmu silat berlainan!
Demikian jauh bedanya gerakan pedang di tangan kanan dan kiri. Bahkan seakan-akan
berlawanan! Pedang di tangan kiri gerakannya lambat dan halus akan tetapi setiap kali toya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 178
Cong Si Kwi menangkis pedang ini, nampak betapa toyanya terpental keras seakan-akan
membentur batu karang yang besar dan keras.
Adapun pedang di tangan kanan gadis itu gerakannya luar biasa gesitnya, menyambarnyambar
bagaikan seekor naga. Dan tiap kali toya Si Kwi menangkis pedang ini, selalu
terdengar suara keras dan bunga api berterbangan. Inilah tandanya keras lawan keras, dan dari
keadaan kedua batang pedang dan pergerakannya ini, tahulah Gwat Kong bahwa dua lengan
tangan yang memegang pedang itu benar-benar melakukan gerakan-gerakan yang
berlawanan.
Kalau tangan kiri mainkan pedang dengan tenaga lweekang (tenaga dalam) adalah pedang di
tangan kanan digerakkan dengan tenaga gwakang (tenaga kasar). Ini adalah sifat-sifat yang
bertentangan dari Im dan Yang (Negatif dan Positif) dan tiba-tiba Gwat Kong memandang
dengan mata terbelalak.
Ia teringat akan penuturan suhunya tentang ilmu-ilmu silat dari empat penjuru yang disebut
empat besar, yakni Sin-eng Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Pat-kwa Tohoat
dari utara, dan Im-yang Siang-kiam dari selatan. Ilmu pedang gadis ini berdasarkan Im
dan Yang. Apakah gadis ini bukan seorang ahli ilmu pedang Im-yang Siang-kiam?
Ia memandang dengan penuh perhatian makin penuh dan dengan kagum ia mendapat
kenyataan bahwa ilmu kepandaian gadis itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat Cong Si
Kwi. Kalau gadis itu menghendaki, agaknya dalam sepuluh jurus saja Si Kwi pasti akan dapat
dirobohkan. Akan tetapi, dengan hati geli Gwat Kong mendapatkan kenyataan bahwa
sepasang pedang di tangan nona itu selalu mengarah dan mengancam daun telinga Si Kwi dan
agaknya gadis itu benar-benar hendak membuktikan ancaman tadi, yakni hendak mengambil
sehelai daun telinga Cong Si Kwi.
Orang tinggi besar itu merasa betapa kedua pedang lawannya menyambar dan mengeluarkan
bunyi yang mengerikan di sekitar daun telinganya, maka dengan gugup dan ketakutan ia
memutar-mutar toyanya untuk menangkis dan melindungi daun telinganya. Akan tetapi kedua
ujung pedang itu terus mengejar daun telinganya, mengiang-ngiang seperti bunyi nyamuknyamuk
yang tidak mau meninggalkan telinganya.
Cong Si Kwi menjadi takut dan gelisah sekali sampai keringatnya keluar membasahi jidatnya.
Ia putar-putar toyanya dan sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk balas menyerang.
Akan tetapi akhirnya ia harus mengakui keunggulan gadis itu dan ia mengeluarkan seruan
ngeri ketika pedang di tangan kanan nona itu menyambar cepat dan anginnya telah terasa
perih menyambar telinganya.
“Cukup ... nona ...! Baiklah, kukeluarkan gandum itu ...!”
Sie Cui Giok menahan pedangnya dan tersenyum mengejek. “Agaknya kau lebih menyayangi
daun telingamu yang kotor dari pada tumpukan gandummu.”
Tak terasa pula Cong Si Kwi menggunakan tangan meraba telinga kirinya dan hatinya merasa
lega ketika merasa betapa telinganya masih utuh. Hanya ketika ia menurunkan tangannya
ternyata tangan itu penuh dengan darah. Sungguhpun daun telinganya belum putus, akan
tetapi kulit daun telinga itu telah terluka oleh angin pedang dan mengeluarkan banyak darah.
Ia bergidik mengingat akan kelihaian ilmu pedang nona itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 179
Pada saat itu, dari pintu depan itu keluarlah dua orang dengan langkah lebar. Yang seorang
adalah seorang tinggi besar, bercambang bauk dan mukanya hampir serupa dengan Cong Si
Kwi hanya tubuhnya lebih pendek sedikit. Inilah Tai-sai-cu Cong Si Ban, kakak dari Cong Si
Kwi yang telah diberitahu oleh seorang pelayan bahwa adiknya sedang bertempur dengan
seorang gadis lihai di luar gedung.
Orang kedua yang ikut keluar adalah seorang tosu yang tinggi kurus dengan rambut dan
kumis jenggot hitam serta muka berkulit kemerah-merahan. Gwat Kong segera kenali tosu ini
yang bukan lain adalah Sin Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang dulu pernah bertempur
melawan dia sebelum dia diberi palajaran silat oleh Bok Kwi Sianjin!
Melihat tosu yang pernah mengalahkannya dengan mudah itu, diam-diam Gwat Kong merasa
berdebar jantungnya. Bukan karena takut, akan tetapi karena ingin sekali ia bertempur lagi
melawan tosu itu dan berusaha menebus kekalahannya dulu. Karena Gwat Kong berdiri di
antara para petani yang banyak jumlahnya itu, maka Sin Seng Cu tidak melihatnya dan hanya
memandang kepada Sie Cui Giok dengan tajam.
“Eh eh, apakah yang telah terjadi di sini?” tanya Cong Si Ban kepada adiknya, akan tetapi
sebelum Cong Si Kwi menjawab, Cui Giok tanpa memperdulikan munculnya Si Ban dan tosu
itu, mendesak kepada Si Kwi.
“Hayo, kau lekas keluarkan gandum dan padi itu. Perut para petani dan keluarga mereka
sudah terlalu lapar untuk menanti lebih lama lagi!”
Cong Si Ban yang melihat sikap gadis itu dan melihat adiknya yang berwajah pucat, maklum
bahwa adiknya tentu telah dikalahkan oleh gadis ini, maka ia lalu menjura kepada gadis itu. Ia
mengangkat kedua tangannya ke arah dada dengan gerakan cepat. Dan Gwat Kong terkejut
sekali karena ia maklum bahwa tentulah gerakan itulah gerakan serangan gelap dengan tenaga
khikang yang disebut gerak tipu Dewi Sakti Mempersembahkan Buah.
Biarpun nampaknya seperti orang memberi hormat akan tetapi dari sepasang kepalan tangan
yang dirangkapkan itu menyambar angin pukulan khikang yang cukup kuat untuk
merobohkan lawan. Akan tetapi kekagetan hati Gwat Kong terganti oleh kekaguman ketika ia
melihat betapa dengan gerakan tenang dan indah, Cui Giok sambil tersenyum
membongkokkan tubuhnya pula dan mengangkat kedua tangan ke dada dengan telapak tangan
terbuka. Inilah gerakan Dewi Kwan Im Memberi Berkah dan diam-diam ia mengerahkan
tenaga untuk menerima serangan gelap itu.
Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang dan melihat betapa kedua orang yang diamdiam
mengadu tenaga itu melangkah mundur setindak, yang membuktikan bahwa tenaga
khikang mereka seimbang. Hampir saja Gwat Kong mengeluarkan seruan kagum terhadap
dara baju kuning itu.
Sementara itu Sin Seng Cu yang melihat pula adu tenaga ini agaknya tidak menyetujui sikap
Cong Si Ban, karena sambil menggerak-gerakan ujung lengan bajunya yang panjang, ia
berkata, “Apakah artinya semua pertunjukan ini? Kalau ada urusan, lebih baik diselesaikan
dengan baik-baik. Nona muda yang gagah, siapakah kau dan mengapa agaknya kau membuat
kegaduhan di pekarangan orang lain?” Ucapan ini menunjukkan betapa tosu itu mempunyai
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 180
watak yang tinggi dan memandang rendah orang lain, terutama terhadap gadis muda ini, ia
menganggapnya sebagai seorang ahli silat tingkat rendah.
“Siapa yang membuat gaduh? Orang she Cong ini telah berjanji kepadaku untuk membagibagikan
gandum dan padi kepada para petani itu dan akan membuka sumber air untuk umum
dan kupercaya ia cukup laki-laki untuk memegang janjinya.”
Cong Si Ban memandang adiknya. “Si Kwi, apakah yang telah terjadi?”
“Petani-petani itu hendak merampok dan ketika aku berusaha menghalau mereka, nona ini
datang mencampuri urusan ini dan .... aku telah kalah olehnya. Terpaksa aku berjanji hendak
memberikan yang diminta oleh para perampok itu, twako!” Si Kwi mengadu.
“Bagus-bagus!” nona itu tersenyum sindir. “Kau sendiri yang telah merampok dan memeras
rakyat petani dan menumpuk hasil sawahnya di dalam gudangmu. Sekarang karena berada
dalam keadaan kelaparan para petani minta pertolonganmu. Bukan kau tolong bahkan kau
pukul mereka. Siapakah sebenarnya yang patut disebut perampok? Benar-benar orang busuk!”
Cong Si Ban maklum bahwa adiknya tentu telah berlaku kasar sehingga membuat gadis gagah
ini menjadi marah, maka oleh karena ia tahu sedang berhadapan dengan seorang yang pandai,
ia lalu tersenyum dan berkata, memperlihatkan sikap baik.
“Lihiap harap jangan marah dan maafkan adikku yang kasar. Tentang gandum dan air, tentu
saja akan kubagikan karena sebelum kau datang, akupun sedang memikirkan untuk menolong
mereka itu. Marilah duduk dan bercakap-cakap di dalam rumah.”
“Hmm, jadi kaukah kakak orang ini? Tentu kau yang disebut Cong Si Ban, yang menjadi raja
kecil di daerah ini. Aku tidak menghendaki jamuanmu, hanya satu yang kukehendaki, yaitu
sekarang juga harap kau keluarkan gandum dan padi secukupnya agar dapat dibawa oleh para
petani.”
“Kau betul-betul bersikap kurang ajar!” bentak Sin Seng Cu dengan marah. “Tuan rumah
berlaku mengalah dan peramah, akan tetapi kau memperlihatkan sikap seakan-akan menjadi
kepala! Eh, anak kecil, kau mengandalkan apakah maka begini sombong?”
Sambil berkata demikian, Sin Seng Cu tosu yang berdarah panas ini sudah hendak melangkah
maju. Akan tetapi Cong Si Ban yang amat cerdik dan hendak menggaruk keuntungan nama
dalam keadaan yang buruk ini, segera mencegah dan berkata, “Baik .. baik! Si Kwi, kau
keluarkan gandum dan bagi-bagikan seorang sekantong kepada para petani itu, dan mereka
boleh mengambil air seorang sepikul!”
Cong Si Kwi tak dapat membantah, maka ia lalu mengepalai sejumlah pelayan, mengeluarkan
bahan makanan mutlak itu, yang diterima oleh para petani dengan wajah girang dan air mata
mengalir saking terharu dan gembiranya. Mereka memandang ke arah gadis itu dengan sinar
mata penuh terima kasih. Akan tetapi karena khawatir kalau-kalau kedua saudara Cong itu
berobah pikiran, mereka segera membawa pergi gandum itu dan pulang ke rumah masingmasing.
Cong Si Ban kembali menjura kepada nona baju kuning itu,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 181
“Nona, sekarang keadaan telah beres dan kami telah menuruti kehendakmu. Maka kuharapkan
kau tidak menolak sedikit permintaanku.”
“Apakah itu?” tanya Cui Giok sambil memandang tajam.
“Karena kau telah mengalahkan adikku, maka aku merasa kagum sekali dan ingin melihat
kelihaianmu. Sukakah kau memberi sedikit pelajaran padaku?”
Sie Cui Giok tersenyum menghina. “Sudah kuduga!” katanya. “Orang seperti kau dan adikmu
mana dapat memberikan gandum itu dengan cuma-cuma? Kau tersenyum di mulut akan tetapi
mengutuk di hati. Kau hendak menguji aku? Baik, keluarkan senjatamu!” Sambil berkata
demikian, sekali kedua tangannya bergerak sepasang pedang itu telah berada di kedua
tangannya.
Sementara itu, ketika melihat para petani telah pergi, Gwat Kong masih saja berada di situ dan
kini ia duduk di bawah sebatang pohon, menonton pertandingan yang hendak dilangsungkan
itu. Dan karena semua mata sedang diarahkan kepada nona baju kuning yang gagah itu, maka
tak seorangpun memperhatikan pemuda yang berpakaian sederhana itu. Kalau sekiranya ada
yang melihatnya, tentu Gwat Kong akan dianggap sebagai seorang pemuda dusun yang ingin
menonton pertandingan silat.
Sementara itu, melihat gerakan Cui Giok yang mencabut pedangnya. Cong Si Ban lalu
menerima toyanya dari seorang pembantunya dan setelah berkata, “Mohon pengajaran!” ia
lalu menggerakkan toyanya dan memasang kuda-kuda yang kuat sekali nampaknya. Nona
baju kuning itu tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera mulai dengan
penyerangannya.
Pedangnya di tangan kanan bergerak menusuk ke arah dada lawan dan ketika Si Ban
mengangkat toya untuk menangkis, nona itu menggunakan pedang kiri yang bergerak lambat
untuk menahan tangkisan lawan dan pedang di tangan kanannya yang dapat bergerak amat
cepatnya itu melanjutkan tusukannya.
Cong Si Ban merasa terkejut sekali dan cepat mundur untuk menghindarkan diri. Ia tak
pernah menduga bahwa nona itu demikian lihainya. Pantas saja Si Kwi tak dapat
melawannya, pikir Si Ban yang segera menggerakkan toyanya dengan cepat dan memutarmutarnya
bagaikan kitiran angin, langsung menyerang dan melakukan pukulan-pukulan
bertubi-tubi dengan kedua ujung toyanya.
Sie Cui Giok maklum bahwa kepandaian Si Ban jauh lebih lihai dari pada Si Kwi, maka ia
berlaku hati-hati dan mainkan kedua pedangnya dengan gerakan yang amat indah. Tubuhnya
amat lincah dan ketika kedua pedangnya dimainkan, tubuhnya melompat ke sana ke mari
bagaikan seekor burung bulu kuning sedang menari-nari kegirangan.
Sin Seng Cu, tosu dari Hoa-san-pai itu ketika melihat permainan pedang nona itu, diam-diam
melengak dan memandang dengan mata dipentang lebar. Ia segera mengeluarkan tongkatnya
yang hebat, yakni Liong-thouw-koai-tung, tongkat kepala naga dan dengan tongkat di tangan
ia melompat ke tengah pertempuran itu sambil berseru, “Tahan dulu!”
Pada saat itu, pedang Cui Giok telah mengurung dan mendesak Cong Si Ban sehingga orang
tinggi besar itu hanya dapat menangkis dan mengelak saja tanpa dapat membalas karena
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 182
kedua pedang di tangan Cui Giok tidak memberi kesempatan sedikitpun kepadanya untuk
menggerakkan toya dalam penyerangan. Yang amat menggelisahkan dan membuat hati Si
Ban menjadi jerih adalah pedang ditangan kiri nona itu, karena setiap kali toyanya terbentur
oleh pedang itu, ia merasa betapa toyanya terputar!
Ia tidak dapat mengikuti gerakan sepasang pedang itu karena kedua pedang itu gerakannya
amat berlainan, seakan-akan ia menghadapi keroyokan dua orang yang berpedang dari kanan
kiri. Melihat keadaan ini, Sin Seng Cu lalu menyodorkan tongkat kepala naga di tangannya itu
ditengah-tengah dan memisahkan kedua orang yang sedang bertempur itu.
Cong Si Ban menjadi lega karena ia telah merasa amat khawatir kalau-kalau ia akan
dirobohkan oleh gadis muda itu dalam waktu demikian pendeknya, belum juga ada dua puluh
jurus mereka bertempur ia telah terdesak demikian hebatnya. Kini melihat tosu itu turun
tangan, ia melompat ke belakang dan berseru, “Lihai sekali!”
Sementara itu, gadis baju kuning itu merasa penasaran melihat betapa tiba-tiba tongkat kepala
naga ditangan tosu itu telah dilonjorkan di tengah-tengah dan menghalangi penyerangannya
terhadap Si Ban yang sudah hampir kalah. Ia lalu menggunakan kedua pedangnya yang
digerakkan dengan berlawanan, satu dari atas dan satu dari bawah, untuk menggunting
tongkat itu dan untuk membuatnya menjadi terpotong.
Tiga senjata bertemu mengeluarkan suara keras dan gadis itu menjadi terkejut sekali karena
jangankan dapat diputuskan oleh guntingan kedua pedangnya, bahkan kedua tangannya,
terutama tangan kanan merasa tergetar ketika kedua pedangnya membacok tongkat itu.
Sebaliknya Sin Seng Cu juga merasa kagum dan mengeluarkan seruan memuji ketika merasa
betapa tongkatnya seakan-akan terjepit dan sukar ditarik kembali dari guntingan sepasang
pedang itu.
Karena maklum bahwa tosu ini lihai sekali, nona itu lalu melompat mundur sambil memutar
kedua pedangnya untuk menjaga diri. Akan tetapi Sin Seng Cu tidak menyerangnya, hanya
bertanya dengan suara kagum,
“Nona, ilmu pedangmu itu bukankah ilmu pedang Im-yang Siang-kiam? Apakah kau murid
Lo-hiapkek (pendekar tua) Sie Cui Lui?”
“Aku adalah cucu dari Sie Cui Lui, tidak tahu siapakah totiang ini?” balas tanya gadis itu.
Sin Seng Cu tertawa. “Ah, pantas saja ilmu pedangmu demikian hebat! Telah lama aku
mendengar nama Sie Cui Lui, raja pedang di daerah selatan yang telah menggemparkan
kalangan kang-ouw, dan telah lama aku ingin sekali merasai kelihaian ilmu pedangnya.
Kebetulan sekali sekarang aku bertemu dengan ahli warisnya yang telah memiliki ilmu
pedang Im-yang Siang-kiam. Ketahuilah nona, pinto adalah seorang dari Hoa-san-pai yang
bernama Sin Seng Cu. Karena nona adalah cucu dari orang tua gagah perkasa Sie Cui Lui,
maka melihat mukaku harap kau habiskan saja perkara dengan kedua saudara Cong ini. Juga
Cong-sicu (orang-orang gagah she Cong) kuharap suka menghabiskan perkara ini. Nona ini
adalah keturunan seorang gagah yang patut kita jadikan kawan, bukan lawan!”
Cong Si Ban telah merasai kelihaian nona itu, maka tentu saja ia setuju dengan omongan tosu
itu. Apalagi karena iapun telah mendengar nama besar Im-yang Siang-kiam. Maka ia lalu
menjura dan menyatakan maafnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 183
Sie Cui Giok melihat mereka bersikap ramah dan sungguh-sungguh juga menjadi sabar
kembali dan membalas dengan menjurah. “Aku yang muda baru saja keluar dari kampung
sendiri dan masih kurang pengalaman, maka banyak mengharap maaf dari cuwi yang lebih
pandai. Tentu saja aku yang muda dan bodoh tidak mau mencari permusuhan. Hanya saja
kuharap sukalah orang-orang yang mempunyai harta dan kepandaian menaruh sedikit belas
kasihan kepada para petani yang miskin dan tidak berdaya!”
Sin Seng Cu kembali tersenyum. “Kau masih muda akan tetapi hatimu mulia, nona. Sungguh
membuat pinto merasa kagum sekali. Memang perbuatanmu benar dan sudah menjadi
kewajiban kedua saudara Cong untuk menolong para petani yang miskin. Kalau nona tidak
datang, tentu pinto juga akan minta perhatian mereka akan hal ini. Sekarang nona telah datang
dan berkenalan dengan kami, maka pinto minta kepadamu sukalah memperlihatkan ilmu
pedang Im-yang Kiam-hoat itu barang sepuluh jurus untuk menambah kegembiraan kedua
mataku yang sudah tua.”
Sie Cui Giok maklum bahwa tosu tokoh Hoa-san-pai ini memiliki watak yang tidak mau
kalah dan sedikit menyombongkan kepandaian sendiri, maka ia tak dapat menghindarkan diri
dari tantangan ini, dan karena ia maklum pula bahwa tosu ini telah memiliki kepandaian yang
amat tinggi. Maka kalau ia tidak mengerahkan kepandaiannya, ia takkan bisa menang.
“Harap totiang suka berlaku murah kepada aku yang muda,” kata gadis itu yang telah siap
pula dengan sepasang pedangnya.
Sin Seng Cu lalu menggerakkan tongkat kepala naganya di tangan dengan sambaran keras
sambil berseru, “Lihat tongkat!”
Sie Cui Giok mengelak cepat dan merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua kakinya,
kaki kanan di belakang ditekuk rendah dan kaki kiri dilonjorkan ke depan sehingga tongkat
itu menyambar di atas kepalanya. Kemudian gadis itu dengan amat cepatnya menggerakkan
tangan kanan dan pedangnya menusuk ke arah perut lawan melalui atas kaki kirinya yang
dilonjorkan.
Inilah gerak tipu Burung Hong Mengulur Leher, sebuah gerakan dari ilmu pedang Im-yang
Kiam-hoat. Sin Seng Cu cepat miringkan tubuh lalu memutar tubuhnya sambil menyabetkan
toyanya dari belakang tubuh menyerampang kedua kaki lawan. Gerakan ini dilakukan dengan
memutar tubuh di atas tumit kakinya lalu membarengi memutar tongkatnya yang setelah
dekat dengan sasaran lalu digerakkan ke bawah sambil tiba-tiba berjongkok. Lawan yang
kurang waspada dan kurang lincah gerakannya pasti akan tertipu karena serangan ini dibuka
dengan menyabet ke arah pinggang ke atas akan tetapi tiba-tiba berobah menjadi
serampangan pada kedua kaki.
Akan tetapi Sie Cui Giok benar-benar mengagumkan. Dengan tenang ia tadi menanti
datangnya sambaran tongkat dan ketika tiba-tiba tongkat itu dialihkan arahnya, yaitu
menyambar kedua kakinya, ia berseru keras dan tubuhnya mencelat ke atas dengan kedua
kaki di atas dan kedua tangan di bawah. Dan di dalam keadaan seperti itu ia balas menyerang
dengan kedua pedangnya, yang kiri menusuk leher dan yang kanan membacok kepala! Inilah
gerakan Burung Hong Terkam Harimau, sebuah gerakan yang selain indah juga amat sukar
karena serangan ini dilakukan selagi tubuh masih berada di udara.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 184
Sesungguhnya serangan ini amat berbahaya, baik bagi lawan maupun bagi diri sendiri, oleh
karena dalam keadaan tak menginjak tanah itu, sungguhpun serangannya berbahaya dan tak
terduga oleh lawan. Akan tetapi apabila lawannya cepat mengelak dan melakukan serangan
balasan, ia takkan dapat menjaga diri dengan baik. Namun Sie Cui Giok telah
memperhitungkannya dengan tepat.
Pada saat ia mengelak dari serampangan tongkat lawan, ia maklum bahwa tongkat lawan yang
sedang disabetkan pada kedua kakinya itu takkan dapat segera menyerangnya, sehingga ia
menang waktu, maka ia berani melakukan serangan ini. Seandainya tongkat di tangan lawan
berada dalam keadaan lebih baik dan dapat segera menyerangnya, tentu ia takkan
menggunakan tipu ini dan hanya melompat ke atas menghindarkan serampangan lalu turun
kembali.
Sin Seng Cu terkejut juga melihat serangan dari atas yang amat lihai ini, maka mereka tidak
ada waktu baginya untuk menangkis dan untuk mengelak dengan kepalanya pun masih
berbahaya lantaran kedua pedang itu menyerang dengan dua macam gerakan, maka terpaksa
ia melempar tubuh bagian atas ke belakang terus melakukan gerakan poksai (salto) dan
dengan cara demikian baru ia dapat menghindarkan diri dari serangan yang berbahaya itu.
Melihat pertempuran yang luar biasa ini, semua penonton menjadi kagum sekali sehingga
kedua saudara Cong dan beberapa orang pelayan yang berada di situ memandang dengan
bengong. Juga Gwat Kong tanpa disadarinya berseru,
“Bagus sekali!”
Cong Si Ban dan Cong Si Kwi yang mendengar seruan ini segera menengok dan mereka
merasa heran ketika melihat seorang pemuda asing tengah duduk menonton pertempuran itu
sambil minum arak dari guci araknya yang terbuat dari pada perak. Baru sekarang mereka
melihat pemuda ini dan menjadi tertarik, juga curiga. Mereka belum pernah melihat pemuda
ini dan juga tahu bahwa pemuda ini bukanlah penduduk di sekitar bukit itu.
Si Kwi yang berdarah panas dan sedang mendongkol karena kekalahannya tadi, menjadi
marah melihat seorang pemuda enak-enak menonton dan minum arak di dalam pekarangan
rumahnya tanpa minta ijin, maka ia lalu menghampiri dengan tindakan lebar.
“Siapa kau? Hayo minggat dari sini!” tegur Cong Si Kwi dengan marah.
Akan tetapi Gwat Kong tersenyum-senyum sambil menenggak araknya, bahkan lalu bertanya
dan angsurkan gucinya,
“Kau suka arak? Ha ha lucu benar. Bukan tuan rumah yang menawarkan arak kepada tamu,
sebaliknya tamu yang menawarkan araknya. Tuan rumah macam apakah ini?”
Si Kwi yang sedang marah dan mendongkol, tentu saja merasa makin marah melihat betapa
seorang pemuda dusun berani mempermainkannya, maka ia menggerakkan toya yang berada
di tangannya sambil membentak,
“Bangsat kurang ajar! Pergilah ke neraka!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 185
Toyanya dikemplangnya dengan sekuat tenaga ke arah guci arak perak yang disodorkan oleh
Gwat Kong itu, dengan maksud membuat guci itu pecah berantakan. Akan tetapi, dengan
hanya menggerakkan sedikit tangannya yang pegang guci arak, pukulan toya itu mengenai
tempat kosong dan Gwat Kong membelalakan mata sambil bersungut-sungut. “Eh eh, hatihati
kawan! Guciku ini bukan guci arak biasa dan kalau sampai rusak, kau harus
menggantinya dengan kepalamu!”
Si Kwi makin marah mendengar ini dan kini menggerakkan toyanya menyodok ke arah perut
Gwat Kong untuk membuat pemuda itu terpental. Akan tetapi, kembali ia kecele, karena
tanpa berpindah tempat duduk, Gwat Kong dapat mengelak sodokan itu dengan miringkan
tubuhnya sedemikian rupa sehingga sodokan ujung toya masuk ke bawah lengannya,
menyerempet bajunya yang menutupi iga. Ia lalu turunkan lengannya mengempit toya itu dan
tangan kanannya tetap mengangkat guci arak dan minum lagi seteguk.
Sia-sia saja Si Kwi hendak menarik kembali toyanya. Ia membetot-betot sekuat tenaga, makin
kuatlah kempitan lengan Gwat Kong.
Kalau Si Kwi tidak sedang marah dan mendongkol tentu akan terbuka matanya dan maklum
bahwa pemuda ini bukanlah orang yang boleh diperlakukan sembarangan. Akan tetapi, ia
sedang marah sekali, maka ketika ia tidak dapat menarik kembali toyanya, tiba-tiba ia
meludah ke arah muka Gwat Kong untuk menghinanya.
Semenjak tadi Gwat Kong hanya hendak mempermainkan orang ini saja dan sama sekali tidak
mau menjatuhkan tangan keras. Akan tetapi melihat sikap orang yang tiba-tiba meludah
kepadanya itu, timbul nafsu marahnya. Ia cepat mengelak dan terpaksa melepaskan kempitan
toya itu. Kemudian dari mulutnya tersemburlah arak obat itu, dibarengi bentakan nyaring.
Puluhan titik arak yang berwarna kuning keemasan itu menyambar ke arah muka Si Kwi yang
menjadi terkejut sekali dan tidak sempat mengelak. Ketika titik-titik arak itu mengenai kulit
mukanya, Si Kwi menjerit ngeri dan terhuyung-huyung. Toyanya terlepas dari tangan dan
kedua tangannya digunakan untuk menutup mukannya yang terasa perih dan panas sekali
seakan-akan kulit mukanya ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum!
Darah membasahi seluruh mukanya biarpun semburan arak itu hanya melukai kulitnya akan
tetapi demikian kerasnya sehingga kulitnya itu terluka dan mengeluarkan darah. Masih untung
bagi Si Kwi bahwa ia tadi menutup matanya ketika butir-butir arak itu menyambar, kalau
tidak tentu matanya akan menjadi buta.
Bab 21 …
MELIHAT betapa Si Kwi berjongkok dan menutup mukanya sambil mengaduh-aduh, Cong
Si Ban menjadi terkejut sekali dan juga marah. Tanpa bertanya lagi siapa adanya pemuda itu
dan tanpa mengingat bahwa sebetulnya adiknya sendirilah yang mencari penyakit dan
bersikap sewenang-wenang terhadap pemuda itu. Si Ban telah maju dan menghantam dengan
toyanya ke arah kepala Gwat Kong.
Pada saat itu, Gwat Kong masih duduk di tempat semula. Melihat sambaran toya di tangan Si
Ban ini, ia maklum bahwa kepandaian Si Ban lebih lihai dari Si Kwi. Maka tanpa membuang
waktu lagi, ia lalu menggelindingkan tubuhnya ke kiri sambil membawa guci araknya dan
ketika ia melompat berdiri, ternyata bahwa guci araknya telah digantungkan ke pinggang dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 186
kini tangan kanannya telah memegang ranting pohon yang tadi dipungutnya ketika ia
menggelundung dan menghindarkan diri dari sambaran toya Si Ban. Ia tersenyum dan diamdiam
ingin menguji kepandaiannya yang baru dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, yakni ilmu
to Sin-hong Tung-hoat.
Melihat gerakan Gwat Kong ketika mengelak dari sambaran toyanya, Si Ban maklum bahwa
pemuda ini adalah seorang yang “berisi” maka diam-diam ia mengeluh mengapa hari ini
demikian banyaknya orang-orang pandai datang mengganggunya! Ia tidak tahu hubungan
apakah adanya pemuda ini dengan gadis dari selatan itu. Akan tetapi karena melihat adiknya
telah dilukai, ia lalu mendesak maju dengan mainkan toyanya dalam ilmu toya Sai-cu-tunghoat
yang juga memiliki gerakan amat ganas dan dahsyat.
Kalau tadi ia merasa bahwa menghadapi ilmu pedang nona itu ia akan kalah, maka kini ia
hendak mendapat kemenangan dari pemuda yang hanya pegang sebatang ranting ini. Akan
tetapi, bukan main terkejutnya ketika dalam satu gebrakan saja ia hampir celaka! Ketika ia
mulai menyerang dengan membabat ke arah leher pemuda itu dengan gerakan cepat dan keras
dari kanan ke kiri, Gwat Kong tidak mengelak mundur.
Akan tetapi ia diam saja dan menanti sampai toya itu datang dekat di pinggir pundaknya.
Tiba-tiba pemuda ini merendahkan tubuh dan melangkah maju di bawah sambaran toya dan
mengirim tusukan dengan rantingnya ke arah jalan darah Kiu-ceng-hiat di pundak kirinya!
Untung bahwa ia masih sempat melepaskan tangan kiri yang ikut memegang toya dan
menggunakan tangannya menangkis ranting itu yang membuat lengannya yang menangkis
merasa sakit sekali dan ujung ranting itu biarpun tidak mengenai jalan darahnya di pundak,
namun masih tetap mengait bajunya di bagian pundak.
Dan “brettt!” sobeklah bajunya. Dalam segebrakan saja mendapat pelajaran sedemikian rupa,
Cong Si Ban tentu saja merasa terkejut dan pucat. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan
menjaga dirinya rapat-rapat dari serangan ujung ranting di tangan pemuda itu yang kini
berkelebatan bagaikan kilat di hari hujan di depan matanya membuat ia merasa silau karena
lawannya seakan-akan telah menjadi beberapa orang yang menyerangnya dari seluruh
jurusan.
Sementara itu, pertempuran yang berlangsung antara Sin Seng Cu dan Sie Cui Giok makin
ramai dan seru sekali. Terdorong oleh wataknya yang tidak mau kalah biarpun mereka telah
bertempur lebih dari empat puluh jurus, namun Sin Seng Cu belum merasa puas karena ia
belum berhasil mengalahkan gadis muda itu!
Masa dia, seorang tokoh besar dari Hoa-san-pai, yang telah mengangkat tinggi namanya
karena kelihaian ilmu tongkatnya kini tak dapat mengalahkan seorang gadis muda yang masih
hijau? Diam-diam ia mengeluh karena benar-benar pedang di kedua tangan gadis itu amat
lihai dan sukar sekali dibobolkan oleh tongkat kepala naga di tangannya.
Gadis itu telah meyakinkan ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat secara sempurna sekali sehingga
biarpun dalam hal keuletan dan tenaga ia masih berada di bawah tingkat tosu itu, namun ia
dapat mengimbangi permainan silat Sin Seng Cu dan selama itu tidak nampak terdesak sama
sekali.
Juga Sie Cui Giok merasa penasaran dan marah melihat kenekatan tosu itu karena desakandesakan
Sin Seng Cu ini benar-benar di luar dugaannya. Tak disangkanya bahwa seorang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 187
tokoh persilatan yang telah menduduki tempat tinggi itu memiliki watak yang demikian
buruk. Maka ia lalu menggertak gigi dan melawan sebaik-baiknya untuk menjaga namanya
sendiri. Ia kini tidak mau mengalah dan membalas setiap serangan dengan balasan yang tak
kalah lihainya.
Pada saat pertempuran antara mereka sedang berjalan amat ramainya, tiba-tiba ia mendengar
seruan kaget dan tubuh seorang tinggi besar terlempar di antara mereka! Keduanya
memandang dan melihat bahwa tubuh yang melayang dan terlempar itu adalah tubuh Cong Si
Ban! Baik Cui Giok maupun Sin Seng Cu yang sedang mencurahkan perhatian karena
menghadapi lawan berat, tadi tidak melihat peristiwa lain terjadi tak jauh dari tempat mereka
bertempur yaitu tentang perkelahian antara Gwat Kong melawan kedua saudara Cong.
Maka kini melihat betapa tubuh Si Ban tiba-tiba terlempar dalam keadaan tunggang-langgang
ke tengah kalangan pertempuran tentu saja mereka menjadi terkejut dan juga terheran-heran
lalu menarik senjata masing-masing dengan cepat agar jangan sampai tersesat ke tubuh Si Ban
yang melayang itu. Tubuh itu jatuh ke atas tanah mengeluarkan suara “bukk!” dan debu dari
atas tanah yang tertimpa tubuh itu, sama sekali tak bergerak dan berada dalam keadaan kaku,
hanya kedua matanya saja yang masih bisa melirik!
Sin Seng Cu maklum bahwa Si Ban telah ditotok orang secara luar biasa sekali, maka ia lalu
maju dan memulihkan totokan itu dengan urutan dan ketukan. Kemudian Sin Seng Cu
menoleh ke arah Gwat Kong dan memandang kepada pemuda itu dengan mata tajam. Ia
seperti pernah bertemu dengan pemuda itu, akan tetapi ia lupa lagi entah di mana.
Bagaimanakah Si Ban bisa di”terbang”kan dalam keadaan tertotok oleh Gwat Kong?
Ketika kedua orang ini tadi bertempur, makin lama mata Si Ban menjadi silau dan kabur. Ia
tak dapat melihat dengan baik lagi dan terpaksa ia lalu memutar toya sedemikian rupa untuk
melindungi seluruh tubuhnya. Akan tetapi tiba-tiba ia merasa bahwa toyanya telah menempel
pada ranting di tangan lawannya.
Gwat Kong telah mempergunakan tenaga “cam” (melibat/mengikat) sehingga toya Si Ban
menempel pada rantingnya dan tak dapat lepas lagi. Si Ban mengerahkan lweekangnya dan
berusaha membetotnya, dan tiba-tiba Gwat Kong melepaskan tenaganya lalu membarengi
betotan tenaga Si Ban itu untuk menusukkan rantingnya ke arah sambungan lutut Si Ban!
Kalau tusukan itu mengenai sasaran, tentu Si Ban akan roboh berlutut di depannya.
Akan tetapi Si Ban tentu saja tidak mau membiarkan lututnya dihajar, maka ia lalu berseru
keras dan melompat ke atas menarik kedua kakinya ke dekat tubuh belakang. Pada saat itu,
tak pernah disangkanya, ranting di tangan Gwat Kong kembali menyambar dan kini hendak
memukul kepalanya!
Si Ban benar-benar lihai karena dalam keadaan meloncat itu, masih sempat buang tubuh atas
ke depan sehingga kepalanya ditundukkan ke bawah mengelak serangan ranting itu. Akan
tetapi kini tubuhnya menjadi telungkup dengan kepala dan kaki ditarik bagaikan seekor anjing
sedang merangkak.
Gwat Kong masih tidak melepaskan korbannya dan secepat kilat ujung rantingnya menotok
jalan darah di iga lawan itu sehingga tubuh Si Ban menjadi kaku. Dan berbareng dengan
serangan itu Gwat Kong mengangkat sebelah kakinya menendang pantat lawannya sehingga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 188
tubuh Si Ban tanpa dapat dicegah lagi melayang ke depan bagaikan sebutir pelor dan jatuh di
tengah-tengah gelanggang pertempuran Sin Seng Cu dan Cui Giok!
Setelah melakukan perbuatan yang nakal itu, Gwat Kong berdiri bertolak pinggang dan
memandang dengan senyum. Ketika ia melihat betapa Sin Seng Cu memandangnya, ia segera
menjura dan bertanya, “Sin Seng Cu totiang, apakah selama ini totiang baik-baik saja?”
Sin Seng Cu memandang tajam, kemudian ia teringat dan bertanya, “Bukankah kau pemuda
yang mahir ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan kemudian diambil murid oleh Bok Kwi
Sianjin?”
Gwat Kong tersenyum, “Totiang memang memiliki pandangan mata yang tajam.”
Sementara itu ketika mendengar bahwa pemuda yang baru datang ini adalah seorang ahli ilmu
pedang Sin-eng Kiam-hoat dan bahkan menjadi murid Bok Kwi Sianjin. Nona baju kuning itu
nampak terkejut sekali dan kini ia memandang kepada Gwat Kong dengan penuh perhatian.
Melihat hubungan pemuda ini yang agaknya telah kenal baik kepada Sin Seng Cu, diam-diam
ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda ini akan berpihak kepada tosu itu. Baru menghadapi
tosu itu saja ia tadi telah merasa sukar untuk mengalahkannya, apalagi kalau mendapat
bantuan pemuda yang memiliki ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat!
“Maafkan, aku tak dapat mengganggu lebih lama lagi!” kata Sie Cui Giok, nona baju kuning
itu dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah berlari cepat keluar dari pekarangan itu dan
sebentar saja sudah lenyap dari pandangan mata.
“Hmm, seorang gadis muda yang memiliki kepandaian mengagumkan,” kata Sin Seng Cu
perlahan setelah bayangan gadis itu lenyap. Kemudian ia teringat kepada Gwat Kong dan
sambil memandang tajam ia berkata,
“Kau agaknya juga hendak memperlihatkan kepandaian, maka datang-datang kau telah
menghina Cong Si Ban!”
Akan tetapi, Gwat Kong hanya mendengar setengah-setengah saja. Oleh karena pikirannya
ikut terbang menyusul nona baju kuning yang menarik hati dan yang menimbulkan
kekagumannya itu.
“Ah, akupun harus pergi!” katanya perlahan dan membalikkan tubuh hendak pergi.
“Anak muda, jangan harap bisa pergi sebelum aku mencoba kepandaianmu dan menebus
kekasaranmu terhadap tuan rumah,” seru Sin Seng Cu yang mengulur tangannya hendak
menangkap pundak pemuda itu untuk mencegahnya pergi.
Akan tetapi, tanpa menoleh, Gwat Kong menggerakkan tangannya ke belakang dan jari
tangannya dengan cepat sekali mengirim totokan ke arah pergelangan tangan Sin Seng Cu
yang hendak mencengkeram pundaknya, maka terpaksa tosu itu menarik kembali tangannya
dengan hati terkejut dan kagum.
Tanpa menengok dapat melihat datangnya serangan bahkan dapat mengirim totokan yang
tepat ke arah pergelangan tangannya hanya dapat dilakukan oleh seorang yang ilmu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 189
kepandaiannya sudah tinggi. Maka tosu ini menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan niatnya
menguji kepandaian lawan ini.
Tadi, menghadapi seorang gadis muda saja tak dapat mengalahkannya dan baiknya
pertempuran tadi tidak berakhir kekalahan baginya dan keburu terhenti karena Si Ban
terlempar. Maka kalau kini ia berkeras menghadapi Gwat Kong untuk kemudian ia kalah
dalam tangan pemuda ini, biarpun yang menyaksikannya hanya kedua saudara Cong. Akan
tetapi namanya akan terbanting turun dengan hebat!
Maka ia diamkan saja Gwat Kong berlari keluar mengejar Cui Giok. Dan setelah pemuda itu
lenyap dari pandangan mata, ia bahkan lalu menegur kedua saudara Cong itu yang dikenalnya
baik. Ia memberi nasehat agar kedua saudara itu suka merobah pikirannya dan jangan berlaku
sewenang-wenang kepada kaum tani yang miskin. Karena hal itu tentu akan menimbulkan
hal-hal yang tidak enak seperti yang telah terjadi sekarang ini.
“Sebagai orang gagah kalian harus berwatak terlepas dan berlaku baik terhadap orang yang
patut ditolong. Karena kalau tidak demikian, tentu kalian akan dimusuhi oleh banyak orang
kang-ouw.
Kedua saudara Cong itu tak berani membantah dan hanya menyatakan kesanggupannya untuk
menurut nasehat tosu ini. Keduanya benar-benar telah merasa betapa hari ini mereka telah
mendapat hajaran keras dari dua orang muda yang kelihatannya masih hijau. Mereka baru
insyaf bahwa ilmu kepandaian mereka sesungguhnya masih rendah dan dangkal.
Maka mereka lalu mengajukan permohonan kepada Sin Seng Cu untuk melatih dan memberi
pelajaran silat kepada mereka. Tosu ini tidak keberatan dan untuk beberapa hari lamanya ia
memberi petunjuk-petunjuk kepada kedua saudara Cong itu dan banyak memberi nasehat
kepada mereka sehingga keduanya sedikitnya terbuka mata mereka dan diharapkan takkan
berlaku sewenang-wenang dan kejam terhadap kaum petani selanjutnya.
****
Gwat Kong percepat larinya untuk menyusul nona baju kuning yang amat dikaguminya itu. Ia
bukan kagum karena kecantikan gadis itu, akan tetapi kagum karena menyaksikan ilmu
pedangnya. Semenjak gurunya, yakni Bok Kwi Sianjin menceritakan kepadanya bahwa selain
Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat masih ada lagi Pat-kwa To-hoat dari utara dan
Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan. Ia ingin sekali bertemu dengan orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian itu.
Kini tak disangka-sangkanya, ia bertemu dengan seorang ahli waris Im-yang Siang-kiam dan
ternyata ahli waris itu adalah seorang gadis muda yang cantik dan gagah dan berpribudi
tinggi. Oleh karena inilah maka Gwat Kong ingin sekali berkenalan dan kalau mungkin
mencoba ilmu pedang Im-yang Siang-kiam itu dalam sebuah pertandingan persahabatan.
Ia tadi melihat betapa gadis baju kuning itu berlari keluar dari dusun itu menuju ke barat,
maka kini ia berlari cepat mengejar. Ia telah berlari cepat sekali dan cukup lama, akan tetapi
belum juga ia dapat menyusul gadis itu. Ia menjadi penasaran dan mempercepat larinya
hingga ia tiba di sebuah hutan yang penuh dengan pohon liu (semacam pohon cemara).
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 190
Hutan itu indah sekali dan dari dari jauh ia mendengar suara air sungai mengalir. Akan tetapi
ia merasa heran sekali karena tidak melihat bayangan orang yang dikejarnya. Kemanakah
perginya gadis baju kuning itu? Apakah benar-benar ia memiliki ilmu lari cepat yang
demikian luar biasa sehingga ia tidak mampu mengejarnya?
Gwat Kong masih merasa penasaran, maka ia lalu mendapat akal. Ia melompat ke atas cabang
pohon liu dan terus memanjat ke atas bagaikan seekor kera. Setelah tiba di puncak pohon, ia
berdiri dan memandang sekelilingnya. Akhirnya ia mengeluarkan seruan girang ketika
melihat bayangan kuning berlari-lari di sebelah kiri hutan itu. Ia cepat melompat turun dan
melakukan pengejaran ke arah kiri.
Tak lama kemudian, benar saja ia melihat gadis baju kuning itu berlari-lari di dalam hutan itu
dengan gerakan yang gesit dan tubuh yang ringan. Gwat Kong lalu mempercepat larinya dan
berseru,
“Lihiap (nona yang gagah)! Tunggulah sebentar!”
Akan tetapi ia kecele kalau menyangka bahwa nona itu akan memperhatikan seruannya,
karena mendengar teriakannya ini, tanpa menoleh lagi dara baju kuning itu bahkan lalu
mempercepat larinya dan menggunakan ilmu lari cepat Jouw-sang-hwe (Terbang di atas
rumput). Gwat Kong menggigit bibirnya saking gemas. Jangan kau kira aku akan kalah dalam
hal ilmu lari cepat darimu, demikian pikirnya dengan hati panas.
Ia tidak mau teriak-teriak lagi dan hanya mempercepat larinya dan menggunakan ilmu lari
cepat yang belum lama ini disempurnakan atas petunjuk suhunya, yakni ilmu lari Teng-pengtouw-
sui (Injak rumput seberangi sungai). Demikianlah, pada senja hari yang cerah itu, di
dalam hutan pohon liu yang indah dua orang muda yang lihai sedang berlari cepat seakanakan
berlomba atau berkejar-kejaran!
Dengan mendongkol Gwat Kong mendapat kenyataan bahwa gadis itu ternyata memang
sengaja hendak mempermainkannya, karena gadis itu bukan terus berlari ke depan. Akan
tetapi membuat putaran dan seakan-akan sengaja main kejar-kejaran mengelilingi hutan. Ia
tidak mau kalah dan terus mengejar dengan cepat.
Akhirnya dara baju kuning itu terpaksa harus mengakui keunggulan ilmu lari cepat Gwat
Kong karena jarak di antara mereka makin lama makin dekat. Tiba-tiba ketika ia sampai di
tempat terbuka, yakni sebuah lapangan rumput yang hijau dan segar, ia menunda larinya dan
membalikkan tubuh dengan sepasang pedangnya di kedua tangan!
Gwat Kong segera mengangkat kedua tangan memberi hormat setelah berhadapan dengan
nona baju kuning itu. Akan tetapi penghormatannya dibalas dengan sebuah tusukan kilat yang
dilakukan oleh pedang di tangan kanan Sie Cui Giok. Gwat Kong segera mengelak dan
berkata,
“Maaf, lihiap! Jangan marah dulu. Aku .......”
“Kau adalah seorang laki-laki ceriwis! Tukang mengejar wanita!” Kata-kata ini disusul
dengan sebuah serangan pula. Kini pedang di tangan kanan membabat leher dan pedang di
tangan kiri menyerampang kaki. Menghadapi serangan luar biasa lihainya ini Gwat Kong tak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 191
dapat membuka mulut karena ia harus mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengelak
lagi dengan lompatan jauh ke belakang.
“Tidak nona. Aku tidak ceriwis! Aku hanya ingin kenal ...... aku ..... tertarik dan kagum sekali
padamu ....”
“Cih, tak tahu malu! Ucapanmu ini membuktikan bahwa kau adalah seorang laki-laki ceriwis,
seorang pemuda hidung belang!” Kembali Cui Giok maju menyerang dengan hebat. Kini
pedang di tangan kanan menusuk hulu hati dan pedang di tangan kiri membelek perut!
Serangan-serangan ini biarpun amat berbahaya dan lihai mendatangkan rasa girang dan
gembira di hati Gwat Kong. Oleh karena ia benar-benar mengagumi gerakan-gerakan dua
pedang yang mempunyai gaya dan kelihaian tersendiri itu.
Ia maklum akan bahayanya dua serangan itu, maka ia melempar tubuh ke belakang lagi,
sambil berjungkir balik membuat salto ke belakang sampai dua kali. Ia melompat agak tinggi,
sehingga dapat mencapai cabang pohon yang paling rendah dan ketika tubuhnya kembali
menginjak tanah, di tangannya telah terdapat sepotong kayu yang dipatahkannya dari cabang
tadi. Kini Gwat Kong mencabut-cabut daun dari ranting kayu itu dan berkata,
“Nona, kau salah sangka! Yang mengagumkan dan menarik hatiku adalah ilmu pedangmu
yang luar biasa itu! Telah lama aku mendengar ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat, maka
kini aku merasa kagum dan tertarik sekali menyaksikan bahwa ilmu pedang itu benar-benar
indah dan luar biasa!”
Aneh sekali, mendengar ucapan ini, nona itu wajahnya menjadi merah dan agaknya ia marah
sekali.
“Kau hanya mengagumi keindahan ilmu pedangku? Nah, rasakanlah siang-kiamku!” Tanpa
banyak cakap lagi Cui Giok lalu menyerang dengan sepasang pedangnya dengan gerakan
yang amat aneh dan cepat.
Gwat Kong menggerakkan kayu di tangannya itu dengan hati gembira. Tercapailah
maksudnya untuk menguji ilmu pedang Im-yang Siang-kiam yang dipuji-puji oleh gurunya.
Sungguhpun ia agak kecewa karena nampaknya ia telah mendatangkan kesan buruk di dalam
hati gadis itu, yang seakan-akan marah dan membencinya. Apa boleh buat, pikirnya. Akupun
hanya ingin mencoba kepandaiannya belaka.
Ia lalu kerahkan seluruh kepandaiannya dan mainkan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat yang
ia pelajari dari Bok Kwi Sianjin. Biarpun yang dipegangnya hanya sebatang kayu ranting
biasa, akan tetapi karena digerakkan dengan tenaga lweekang yang tinggi dan mainkan ilmu
silat yang luar biasa sekali, maka ranting di tangannya itu bergerak-gerak dan menyambarnyambar
dengan amat ganas dan lincahnya sehingga ia dapat mengimbangi permainan siangkiam
dari Cui Giok yang benar-benar hebat itu.
Gwat Kong dengan teliti sekali memperhatikan gerakan kedua pedang di tangan nona itu, dan
beberapa kali ia sengaja mengadu tenaga dengan pedang di tangan kanan maupun yang di kiri.
Setelah beberapa kali mengadu tenaga, tahulah ia bahwa tangan kanan gadis itu
mempergunakan tenaga yang-kang (tenaga kasar/besar), sedangkan di tangan kiri
menggunakan tenaga Im-jin (halus/mulus), maka kedua pedang itu dapat digerakkan dengan
berlainan sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 192
Kalau pedang di tangan kanan menyambar-nyambar dengan ganas luar biasa dengan
kecepatan yang menyilaukan mata, adalah pedang di tangan kiri digerakkan dengan lambat.
Akan tetapi, biarpun kelihatannya lambat, Gwat Kong maklum bahwa pedang di tangan kiri
inilah yang paling berbahaya di antara kedua pedang itu, karena kelambatan dan kelemasan
itu sebetulnya hanya nampaknya saja. Sebetulnya di dalam kelambatan itu mengandung
kecepatan yang lebih hebat dari pada pedang di tangan kanan.
Memang agaknya tak masuk diakal dan aneh, akan tetapi hal ini memang sebetulnya.
Kecepatan di tangan kanan adalah kecepatan tenaga gadis itu sendiri yang dikerahkan dengan
maksud menyerang dan membacok lawan dan pengerahan tenaga tangan untuk menggerakkan
pedang inilah maka disebut bahwa tenaga tangan kanan itu adalah kasar/keras. Kecepatan
hanya terletak pada sambaran senjata dan tergantung sepenuhnya dari besarnya dorongan
tenaga nona itu.
Akan tetapi, pedang di tangan kiri itu tidak mengandalkan tenaga sendiri, akan tetapi
mengandalkan tenaga lawan. Pedang yang nampaknya lambat apabila menyerang itu jangan
sekali-kali dipandang rendah karena kalau ditangkis oleh senjata lawan, pedang ini
mengambil atau mencuri tenaga lawan yang menangkis itu dan dengan dorongan tenaga yang
dipinjam itu ia melakukan serangan lanjutan yang luar biasa cepatnya dan tidak diduga sama
sekali oleh lawan.
Juga, setiap kali pedang di tangan kiri ini digunakan untuk menangkis serangan lawan, pedang
ini tidak menggunakan tenaga kekerasan, akan tetapi menguasai atau menangkap tenaga
lawan sedemikian rupa sehingga tenaga lawan yang besar itu akan lenyap sendiri. Bahkan
dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melakukan serangan balasan pada saat
menangkis itu juga.
Memang agak sukar untuk mengerti bagi mereka yang tidak tahu akan ilmu silat tinggi. Akan
tetapi memang tenaga “im” atau tenaga dalam yang lemas ini benar-benar luar biasa. Sebagai
contoh untuk memudahkan penjelasan tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga lemas
adalah seperti berikut.
Kalau kita melemparkan sebuah benda yang berat ke atas udara dan kemudian benda itu
kembali menimpa ke arah tangan kita, maka ada dua jalan bagi kita untuk menerima kembali
jatuhnya benda itu dengan tenaga kasar dan tenaga lemas. Dengan tenaga kasar, yakni berarti
bahwa kita menggunakan kekuatan kita untuk menerima benda itu begitu saja dengan
mengandalkan kekuatan urat-urat di lengan kita sehingga akibatnya kalau tenaga kita lebih
besar dari pada luncuran benda yang jatuh itu, maka benda tersebut akan dapat kita terima
dengan mudah dan enak. Akan tetapi sebaliknya apabila tenaga luncuran benda yang jatuh itu
lebih besar dari pada tenaga tangan kita banyak bahayanya tangan kita akan tertimpa sampai
patah tulangnya atau keseleo dan benda itu akan terlepas dari tangan kita.
Adapun penggunaan tenaga lemas ialah apabila kita menerima benda yang meluncur dari atas
itu dengan ringan tanpa menggunakan tenaga besar atau kasar. Akan tetapi dengan tenaga
lemas dan lemah kita menyambutnya dan menuruti luncurannya dari atas itu ke bawah
kemudian dengan hanya sedikit tenaga saja kita mendorong benda itu ke samping untuk
mematahkan tenaga luncurannya yang menimpa itu kemudian dengan gaya yang baik, yakni
seakan-akan merupakan kemudi bagi tenaga luncur yang seperti raksasa itu. Kita bisa
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 193
mendorong benda itu ke samping terus kembali ke atas, seakan-akan benda itu jatuh melalui
sebuah pipa yang di bagian bawah dibengkokkan dan membelok ke atas lagi.
Nah, demikianlah sekedar penjelasan singkat tentang perbedaan tenaga kasar dan tenaga
lemas. Permainan pedang di kedua tangan Sie Cui Giok adalah berdasarkan tenaga kasar dan
lemas maka ilmu pedang ini disebut Im-yang Siang-kiam-hoat atau ilmu pedang pasangan Im
dan Yang. Gwat Kong benar-benar merasa kagum karena setelah ia mengerahkan seluruh
kepandaiannya berdasarkan permainan tongkat Sin-hong Tung-hoat yang baru-baru ini
dipelajarinya dari Bok Kwi Sianjin, ia tetap saja terdesak oleh sepasang pedang itu sehingga
ia harus menambah ekstra kegesitan tubuhnya agar jangan sampai terbabat atau tertusuk
pedang nona itu.
“Ha ha! Tak tahunya Sin-hong Tung-hoat yang ternama itu hanya begini saja!” tiba-tiba nona
itu menyindir dan memutar kedua pedangnya lebih hebat dan lebih cepat lagi mendesak Gwat
Kong dengan serangan-serangan berbahaya dan yang paling lihai dari ilmu pedangnya.
Selain sibuk menghadapi desakan serangan ini, juga hati Gwat Kong merasa amat
mendongkol mendengar sindiran yang memandang rendah ilmu tongkatnya ini. Kalau saja ia
sudah melatih cukup masak, belum tentu ia akan kalah, pikirnya dengan mendongkol. Ia tahu
bahwa kekalahannya yang membuat ia amat terdesak ini tak lain hanya karena kalah latihan.
Ia dapat menduga bahwa melihat kemahiran nona ini mainkan ilmu pedangnya, tentu ia telah
melatih ilmu pedang ini bertahun-tahun lamanya. Maka ia segera berseru marah dan tiba-tiba
ia melempar rantingnya ke atas tanah dan tahu-tahu pedang Sin-eng-kiam pemberian Bu-engsian
Leng Po In dulu telah berada di tangannya, berkilau-kilau mendatangkan sinar putih yang
panjang.
“Bagus! Hendak kulihat sampai di mana kehebatan Sin-eng Kiam-hoat!” seru nona baju
kuning itu. “Benar-benar hebat ataukah hanya namanya saja yang hebat seperti Sin-hong
Tung-hoat yang kau mainkan tadi!”
Saking mendongkolnya, Gwat Kong tak dapat menjawab sindiran ini dan segera menyerang
dengan pedangnya sambil membentak, “Awas pedang!”
Kini pertempuran menjadi lebih hebat lagi, karena sungguhpun Sin-hong Tung-hoat yang
baru tadi dimainkan oleh Gwat Kong tak kalah hebatnya, akan tetapi ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat telah dilatihnya lama juga dan ia lebih biasa menggerakkan pedang dari pada
menggerakkan ranting tadi. Ketika memutar pedang tunggalnya, maka lenyaplah tubuhnya
tertutup oleh sinar pedangnya itu karena Cui Giok juga tidak mau kalah dan mainkan
sepasang pedangnya dengan cepat, maka yang nampak sekarang adalah tiga sinar pedang
yang saling menggulung, seakan-akan seekor naga jantan yang gagah perkasa dikeroyok oleh
sepasang naga betina yang memiliki gerakan indah.
Pertempuran ini benar-benar ramai dan hebat, jauh lebih ramai dari pada pertempuran yang
pernah dihadapi oleh Cui Giok maupun Gwat Kong. Keadaan mereka benar-benar berimbang.
Dalam hal gerakan ilmu pedang, Gwat Kong masih kalah mahir, dan hal ini adalah karena ia
memang kalah latihan. Cui Giok semenjak kecil digembleng oleh engkongnya (kakeknya) dan
telah belasan tahun ia mempelajari ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat ini, maka setiap
gerakannya amat sempurna.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 194
Akan tetapi sebaliknya, gadis ini masih kalah dalam hal lweekang karena Gwat Kong telah
mendapat latihan dari dua macam ilmu silat tinggi. Ginkang mereka setingkat, mereka samasama
maklum bahwa kalau pertempuran dilanjutkan, yang lebih dulu kehabisan napas dan
tenaga, dialah yang akan kalah. Dan sebelum mereka kehabisan tenaga dan napas, entah
beberapa ratus jurus mereka sanggup bertahan. Sementara itu, keadaan telah mulai menjadi
remang-remang, tanda bahwa senjakala telah hampir terganti malam.
Gwat Kong merasa sudah cukup menguji ilmu kepandaian gadis itu, maka tiba-tiba ia berseru
keras dan gerakan pedangnya berubah hebat. Cui Giok terkejut sekali dan hampir saja
pundaknya terkena sambaran ujung pedang pemuda itu. Gwat Kong makin gembira melihat
hasil perubahan ini dan menyerang makin hebat. Benar saja, Cui Giok menjadi terdesak dan
gadis ini nampak sibuk sekali.
Ternyata bahwa Gwat Kong telah mencampur adukkan ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat
dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat. Ilmu pedang dan ilmu tongkat memang berbeda,
akan tetapi banyak pula persamaannya, yakni dalam hal serangan menusuk dan membacok.
Hanya berbeda, pedang menusuk untuk menembus kulit daging lawan sedangkan tongkat
menusuk ke arah jalan darah lawan. Diserang dengan ilmu silat campuran yang memang luar
biasa ini, Cui Giok benar-benar merasa bingung dan akhirnya ia merasa bahwa ia takkan kuat
menghadapi pemuda yang luar biasa ini, Maka ia lalu melompat ke belakang dan melarikan
diri.
Gwat Kong merasa tidak puas. Setelah bertempur sekian lamanya, ia harus dapat
mengalahkan gadis itu, atau setidaknya nona itu harus mengakui bahwa Im-yang Kiam-hoat
masih kalah oleh ilmu silatnya yang campuran ini. Maka melihat nona itu melarikan diri, ia
juga berlari cepat mengejar.
Sie Cui Giok berlari menuju ke utara dan tiba-tiba di depannya terdapat sebatang anak sungai
yang cukup lebar dan airnya jernih itu nampak kehijauan, tanda bahwa sungai itu cukup
dalam. Pemandangan di situ amat indahnya karena pohon-pohon dan bunga tumbuh di kedua
tepi sungai, dan di situ terdapat pula sebuah jembatan terbuat dari pada tiga batang bambu
yang disambung-sambung.
Rupa-rupanya para pemburu binatang yang membuat jembatan darurat ini.
Tanpa pikir panjang lagi Cui Giok lalu melompat dan berlari melalui bambu itu. Bambu itu
ketika diinjak dengan keras lalu bergerak-gerak dan bukan main sukarnya melintasi bambubambu
yang kecil, licin dan bergerak-gerak ini. Akan tetapi gadis itu sudah tak dapat kembali
lagi, karena ia melihat Gwat Kong sudah tiba di pinggir sungai pula dan agaknya hendak
melintasi jembatan itu pula.
“Awas nona, kau nanti jatuh!” Gwat Kong berseru kaget melihat betapa tubuh nona itu
bergerak-gerak di atas bambu yang bergoyang-goyang. Ia sendiri tidak berani melompat ke
atas jembatan karena maklum bahwa kalau ia ikut melompat, bambu-bambu itu belum tentu
kuat menahan beratnya dua tubuh orang.
Cui Giok agaknya akan dapat menyeberang dengan selamat, akan tetapi tiba-tiba gadis itu
berteriak ketakutan. Di tengah-tengah jembatan itu terdapat seekor tikus hutan yang besar dan
yang sedang menyeberangi jembatan itu pula. Dan Cui Giok termasuk seorang di antara para
gadis yang jijik dan takut serta geli melihat tikus. Wajahnya pucat, dan ia menjadi begitu takut
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 195
dan kaget sehingga ia tidak dapat mengatur imbangan tubuhnya lagi. Dengan teriakan ngeri,
gadis itu terpeleset dari jembatan bambu dan tubuhnya melayang ke bawah.
“Jebur!!” Air memercik tinggi dan Gwat Kong menahan napas ketika melihat betapa tubuh
gadis itu timbul dipermukaan air dengan kedua tangan diangkat tinggi-tinggi, tanda seorang
yang tak dapat berenang. Gadis itu memandangnya seketika, kemudian tenggelam timbul
dengan tangan terangkat. Keadaannya sungguh menyedihkan sekali.
Bab 22 …
SUNGGUHPUN ia sendiri tak amat pandai berenang, akan tetapi kalau hanya berenang dan
menolong orang tenggelam saja Gwat Kong masih sanggup, maka tanpa banyak pikir lagi ia
lalu melompat dan terjun ke bawah.
“Jebur!!” Air memercik lagi tinggi-tinggi dan Gwat Kong menggunakan kakinya untuk
mengangkat tubuh ke permukaan air. Kepalanya telah tersembul ke atas. Ia memandang ke
kanan kiri. Akan tetapi ia tidak melihat tubuh gadis yang sedang hanyut tadi!
“Nona ..... nona ....!” Ia berteriak-teriak dengan panik menyangka bahwa nona itu tentu
tenggelam. Ia berenang ke sana ke mari sampai kaki dan tangannya terasa lemas karena selain
ia tidak biasa berenang, juga rasa lelah cepat membuatnya lemas.
Tiba-tiba Gwat Kong melihat ke pinggir sungai dan nampak nona baju kuning itu sedang
duduk dalam keadaan basah kuyup, dan sedang memandang ke arahnya sambil tersenyum.
Gwat Kong merasa seakan-akan hidungnya dipukul dari depan. Dengan gemas ia dapat
menduga bahwa tadi gadis ini hanya berpura-pura belaka. Dengan susah payah, Gwat Kong
lalu berenang ke pinggir sambil diam-diam menyumpahi ketololannya sendiri.
Ia merayap ke atas melalui tanah lumpur sehingga ketika ia telah berhasil duduk di dekat nona
itu dengan napas terengah-engah, seluruh pakaiannya kotor terkena lumpur dan seluruh
tubuhnya basah kuyup. Dalam keadaan basah dan hawa senja amat dinginnya itu, Gwat Kong
merasa amat tidak enak. Akan tetapi, tidak hanya tubuhnya terasa tidak enak, malah hatinya
terasa lebih-lebih tak enak lagi. Ia merasa mendongkol sekali, apalagi ketika melihat betapa
gadis itu memandangnya seperti seorang kakak memandang adiknya yang tolol.
“Nona, kau benar-benar keterlaluan!” katanya.
Cui Giok bangun berdiri, mencari-cari, lalu membungkuk dan mengumpulkan daun-daun dan
ranting kering. “Sebelum mengobrol, lebih baik membuat api unggun untuk mengusir dingin
dan mengeringkan pakaian,” katanya.
Gwat Kong menyetujui usul ini dan juga berdiri lalu membantu pengumpulan kayu-kayu
kering yang ditumpuk di dekat sungai itu. Lalu mereka membuat api dan tak lama kemudian
mereka duduk di dekat api unggun yang bernyala besar dan hangat.
“Kau benar-benar keterlaluan!” kata Gwat Kong sambil membuka jubah luarnya dan
memanggangnya di dekat api setelah diperasnya tadi.
“Mengapa keterlaluan?” Nona itu balas memandang sambil melonjorkan kakinya ke dekat api
karena sepatu dengan kaos kaki yang masih basah itu terasa tidak enak sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 196
“Kukira tadi kau betul-betul akan tenggelam sehingga aku melompat ke air. Kalau aku tahu
kau pandai berenang, untuk apa aku bersusah payah sampai basah semua macam ini?”
Nona itu tertawa dan bukan main manisnya kalau ia tertawa. Dekik-dekik manis sekali
menghias kanan kiri mulutnya. “Hmm, memang kau seorang muda yang usilan dan selalu
mencampuri urusan orang lain. Siapakah yang minta kau menolongku? Apakah kau
mendengar aku menjerit minta tolong?”
Terpaksa Gwat Kong harus mengakui bahwa gadis itu tadi memang tidak minta tolong. Akan
tetapi mengapa kedua tangan gadis itu bergerak seakan-akan tak pandai berenang dan akan
tenggelam? Diam-diam Gwat Kong dapat menduga bahwa gadis ini selain cerdik sekali, juga
mempunyai kejenakaan. Sifatnya ini membuatnya teringat akan Tin Eng dan diam-diam ia
memandang dengan penuh perhatian.
Biarpun tubuhnya telah mulai hangat karena terpanggang api dari luar, namun ia masih
merasa dingin perutnya. Maka Gwat Kong lalu mengeluarkan guci araknya dan membuka
tutupnya. Ia mengulurkan tangan menawarkan minuman itu kepada Cui Giok.
“Minumlah supaya perut menjadi hangat!”
Cui Giok menerimanya dan memandang guci perak itu dengan kagum dan tanyanya,
“Mana cawannya?”
Gwat Kong menggeleng kepala. “Aku tidak pernah membawa cawan.”
“Habis bagaimana minumnya?”
“Teguk saja dari mulut guci!”
“Kau kira aku setan arak?” kata Cui Giok. Akan tetapi karena iapun merasa betapa perut dan
dadanya dingin, ia lalu membawa mulut guci itu ke bibirnya dan menuangkan sedikit isinya
ke dalam mulut. Ia merasai minuman yang manis dan wangi, sama sekali berbeda dengan arak
biasa, akan tetapi juga mempunyai sifat panas seperti arak. Ia menunda minumnya, dan
memandang kepada pemuda itu dengan heran dan mata mengandung pertanyaan.
“Itu sari buah, bukan arak biasa. Disebut arak obat oleh suhu, baik untuk peredaran darah.”
Cui Giok tersenyum lalu minum lagi beberapa teguk. Benar saja, tubuhnya terasa hangat dan
enak setelah arak obat itu mengalir masuk ke dalam perutnya. Ia mengembalikan guci itu
kepada Gwat Kong yang menerimanya dan terus meneguknya dengan gaya seorang ahli
minum benar-benar.
Melihat betapa pemuda itu tidak membersihkan atau menghapus dulu mulut guci yang tadi
menempel di bibirnya dan terus meneguknya, tak terasa lagi muka gadis itu menjadi merah
karena jengah. Akan tetapi melihat cara pemuda itu minum arak ia teringat akan sesuatu dan
setelah Gwat Kong menurunkan guci dan menutupnya kembali, Cui Giok berkata,
“Kau, tentulah Kang-lam Ciu-hiap yang disohorkan orang!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 197
Gwat Kong tercengang, akan tetapi ia memandang kepada guci araknya dan tersenyum. “Kau
pandai sekali menghubungkan sesuatu. Tentu guci arakku ini yang telah membuka rahasia.
Nona bicaramu seperti orang selatan. Apakah benar-benar kau ahli waris Im-yang Siangkiam-
hoat sebagaimana yang aku dengar tadi? Telah lama sekali aku mendengar dari suhu
tentang kelihaian Im-yang Siang-kiam dan hari ini benar-benar aku membuktikan kebenaran
ucapan suhu itu. Ilmu pedangmu benar-benar hebat!”
Merahlah wajah gadis itu. “Kalau kau tidak mengeluarkan ilmu silat cap-jai itu, ilmu
pedangku takkan kalah oleh Sin-eng Kiam-hoat atau Sin-hong Tung-hoat!”
Gwat Kong tersenyum mendengar betapa ilmu silat campuran yang ia mainkan tadi untuk
mengalahkan gadis ini disebut ilmu silat cap-jai.
“Memang Im-yang Siang-kiam hebat sekali,” ia memuji. “Nona sebetulnya siapakah kau dan
hendak pergi ke mana?”
Nona itu memandang dengan mata yang tajam, lalu menjawab,
“Kau yang mengejarku dan karena gara-gara kau aku menjadi basah semua, maka sudah
sepatutnya kalau kau yang menceritakan lebih dulu siapa kau ini dan apa maksudmu
mengejarku tadi!”
Kembali Gwat Kong tertegun karena banyak sekali persamaan watak gadis ini dengan Tin
Eng akan tetapi ia mengalah dan mulai menuturkan keadaan dirinya.
“Aku bernama Gwat Kong, she Bun seorang ..... biasa saja, tidak ada apa-apa yang aneh
padaku dan .... eh, apalagi yang harus kuceritakan padamu?”
Ia memandang dengan bingung sambil menggaruk-garuk belakang kepalanya. Ketika ia
melihat betapa mata gadis itu memandang dengan lucu seakan-akan mentertawakannya, ia
buru-buru melanjutkan penuturannya.
“Aku Bun Gwat Kong ... eh, sudah kukatakan tadi .... hmmm ........ kau juga sudah tahu bahwa
aku disebut Kang-lam Ciu-hiap. Aku yatim piatu, sebatang kara tak berhandai taulan, tiada
kawan kenalan, dan aku ..... tadi tanpa kusengaja aku melihat sepak terjangmu dan mendengar
bahwa kau adalah ahli waris Ilmu pedang Im-yang Siang-kiam. Oleh karena itu, aku sengaja
hendak berkenalan dengan ilmu pedangmu.”
Gwat Kong menarik napas lega karena dapat bicara lancar dan dapat menyelesaikan
penuturan itu, karena sesungguhnya belum pernah ia menuturkan riwayatnya sendiri di depan
orang lain, terutama kalau orang lain itu seorang gadis muda yang memandangnya dengan
sepasang mata yang bersinar demikian tajam dibarengi bibir menahan senyum geli seakanakan
mentertawakan.
“Jadi, kau murid Bok Kwi Sianjin?”
“Benar”
“Kalau begitu, untung aku bertemu dan bertempur dengan kau!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 198
Gwat Kong memandang heran. “Mengapa bertempur dengan aku, kau anggap untung?”
“Kalau tidak bertemu dan bertempur dengan kau, tentu aku akan bertemu dengan Bok Kwi
Sianjin!”
“Nona, apa maksudmu?”
Sie Cui Giok menarik napas panjang dan berkata sambil mulai menguncir kembali rambutnya
yang telah mulai kering. Tadi ia melepaskan kuncirnya sehingga rambut terurai di atas
pundaknya.
“Untuk menjelaskan maksud kata-kataku tadi, terpaksa aku harus menceritakan riwayatku.”
“Ceritakanlah!” kata Gwat Kong dengan gembira dan penuh perhatian.
“Namaku Cui Giok, she Sie. Keluargaku tinggal di daerah selatan, di propinsi Ciang-si. Aku
memang keturunan langsung dari pencipta Im-yang Kiam-hoat, yakni Sie Cui Lui, kakekku.
Ayah telah meninggal dunia semenjak aku masih kecil. Ibu tinggal bersama kakek dan nenek.
Jadi nasibku tak banyak bedanya dengan kau.
“Tapi kau masih punya ibu!” Gwat Kong mencela.
“Ya, akan tetapi ada ibu tidak ada ayah, apa artinya?”
“Tapi kau masih punya kakek, punya nenek!” Gwat Kong mengejar dan mendesak lagi.
Cui Giok memandangnya dan tersenyum, “Sudahlah, biar kau menang! Memang nasibmu
lebih buruk. Semenjak kecil aku mendapat latihan Im-yang Kun-hoat dan kiam-hoat dari
kakekku.”
“Kemudian aku mulai melakukan perjalanan perantauan, yakni kurang lebih satu setengah
tahun yang lalu. Aku mendapat dua macam pesanan dari kakek yang merupakan tugas bagiku
dan belum terlaksana. Pertama-tama kalau aku kebetulan lewat di daerah di mana tinggal Bok
Kwi Sianjin, aku harus menemuinya dan mengajak pibu sebagai wakil dari kakekku yang
menjadi kawan baik Bok Kwi Sianjin! Karena kakek berpesan bahwa pibu ini harus dilakukan
secara persahabatan untuk mengukur kepandaian masing-masing. Maka setelah kini bertemu
dengan kau yang menjadi murid Bok Kwi Sianjin, bahkan kita sudah bertempur pula, kurasa
tugas pertama ini sudah kupenuhi!”
Gwat Kong mengangguk-angguk. “Kurasa memang benar begitu!” Ia sengaja membenarkan
pandangan nona ini agar nona yang karena hari ini tidak mencari suhunya untuk mengajak
pibu.
“Karena inilah maka tadi kukatakan untung telah bertempur dengan kau!” kata pula nona itu
dan karena melihat betapa api unggun itu mengecil karena kayu bakarnya telah hampir habis,
ia berkata,
“Apa ini perlu ditambah bahan bakar lagi?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 199
Gwat Kong tersenyum, karena ia maklum bahwa secara tidak langsung, gadis ini minta ia
mencari tambahan kayu kering. Tak terasa lagi, ketika ia mencari kayu kering di bawahbawah
pohon, ia mendapat kenyataan bahwa pada saat itu senja telah terganti malam. Ia cepat
mengumpulkan kayu kering dan menambahkannya pada api unggun itu yang segera
membesar lagi nyalanya.
“Dan apakah adanya pesan kedua dari kakekmu?” tanya Gwat Kong setelah menambah kayu
pada api itu dan duduk di atas rumput lagi.
Untuk beberapa lama gadis itu tidak menjawab, kemudian tiba-tiba ia berkata, “Kau putarlah
tubuhmu dan harap duduk membelakangiku, jangan sekali-kali melihat aku!”
Tentu saja Gwat Kong menjadi bengong dan memandang dengan terheran-heran lalu
bertanya, “Bagaimanakah ini? Jawabanmu sama sekali tidak sejalan dengan pertanyaanku.
Dan mengapa aku harus duduk membelakangimu? Apakah mukaku begitu mengerikan dan
menjijikan sehingga kau tidak kuat memandang lebih lama lagi? Kalau kau tidak tahan duduk
lebih lama di dekatku, katakanlah saja, aku bersedia untuk pergi!”
“Bodoh!” gadis itu menjawab dengan muka merah. “Pakaianku telah kering, akan tetapi
sepatu dan kaos kaki ini sukar sekali keringnya. Kalau dibiarkan basah amat tidak enak maka
aku hendak membuka dan memanggangnya dekat api. Karena itu kau harus memutar
tubuhmu!”
Merahlah muka Gwat Kong mendengar ini dan cepat-cepat ia memutar tubuhnya
membelakangi gadis itu. Ia mendengar suara sepatu dan kaos kaki dilepas dan diam-diam ia
tersenyum geli. Gadis ini berani, tabah dan lucu.
“Bagaimana kau begitu percaya kepadaku? Mengapa kau begitu yakin bahwa aku bukan
seorang laki-laki kurang ajar yang akan menengok dan melihatmu pada saat ini?” tanya Gwat
Kong tanpa menggerakkan kepalanya.
“Tak mungkin! Laki-laki seperti kau takkan berani berbuat sekurang ajar itu!”
Gwat Kong menggigit bibirnya. Benar-benar berani sekali gadis itu, lebih berani dari Tin Eng.
Ia merasa heran mengapa malam ini ia bisa duduk-duduk di dekat api unggun bersama
seorang gadis yang tadinya sama sekali tak pernah dikenalnya, bercakap-cakap bagaikan dua
sahabat baik. Baru saja bertemu dan berkenalan belum beberapa lama, ia telah merasa dekat
sekali dengan nona ini, sama sekali tidak merasa asing, seakan-akan gadis ini adalah adik
perempuan sendiri.
Ia terkenang kepada Tin Eng, gadis yang telah merebut hatinya itu. Alangkah senangnya
kalau saja ia bisa melakukan perjalanan bersama Tin Eng, duduk di pinggir sungai di dekat
api unggun seperti sekarang ini.
“Gwat Kong, mengapa kau diam saja?”
Gwat Kong terkejut. Gadis ini tanpa banyak peraturan lagi telah memanggilnya berani.
Hampir saja ia lupa menengok. Untung ia masih teringat dan menjawab,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 200
“Aku sedang memikirkan tentang tugasmu yang kedua yang dipesankan oleh kakekmu. Kau
belum menceritakannya itu kepadaku.”
Terdengar gadis itu tertawa perlahan. “Kau benar-benar seorang pemuda yang ingin
mengetahui segalanya seperti watak seorang perempuan saja. Baiklah, dari pada kita diam
saja akan kuceritakan kepadamu. Pesan kakekku yang kedua ialah bahwa aku harus mencari
Liok-te Pat-mo (Delapan Iblis Bumi) dan membalaskan sakit hati kakekku kepada mereka.
Karena mencari mereka itulah maka aku sampai di tempat ini.”
“Siapakah delapan iblis bumi itu? Namanya amat mengerikan!”
“Ilmu kepandaian mereka lebih mengerikan lagi,” kata gadis itu. “Mereka adalah ahli-ahli
ilmu golok Pat-kwa To-hoat.”
Gwat Kong terkejut sehingga ia menengok. Akan tetapi untung bahwa ia hanya memandang
muka gadis itu dan segera membalikkan kepala kembali sebelum melihat kaki gadis itu yang
telanjang. (Pada masa itu, kaki seorang wanita dianggap sebagai bagian tubuh yang tak boleh
diperlihatkan kepada sembarangan orang, terutama kepada laki-laki, seperti halnya anggauta
tubuh lain yang dirahasiakan dan ditutup).
“Aku pernah mendengar dari suhu bahwa Pat-kwa To-hoat adalah ilmu golok yang menjagoi
di daerah utara, yang kedudukannya sama tingginya dengan Im-yang Siang-kiam-hoat!”
“Memang suhumu berkata benar,” jawab Cui Giok perlahan. “Di empat penjuru, Sin-eng
Kiam-hoat dari barat, Sin-hong Tung-hoat dari timur, Im-yang Siang-kiam-hoat dari selatan
dan Pat-kwa To-hoat dari utara telah amat terkenal. Kurasa Pat-kwa To-hoat tidak kalah
hebatnya dari ilmu pedangmu Sin-eng Kiam-hoat atau ilmu tongkatmu Sin-hong Tung-hoat.”
“Akan tetapi, mengapa pula kakekmu bermusuhan dengan mereka?”
Untuk beberapa lama Cui Giok tidak menjawab dan Gwat Kong mendengar betapa gadis itu
mengenakan kembali kaos kaki dan sepatunya pada kakinya.
“Sekarang kau boleh memutar tubuhmu.”
Gwat Kong memutar duduknya dan menghadapi gadis itu yang menarik napas panjang dan
kelihatan senang dan puas.
“Aaah ..... katanya senang. “Sekarang enaklah rasanya kedua kakiku. Hangat sekali!”
Gwat Kong merasa betapa sepatunya yang basah memang mendatangkan rasa dingin pada
telapak kakinya yang menjalar naik ke perut dan dada, maka iapun lalu melepaskan kedua
sepatunya dan mendekatkannya pada api.
“Kau pandai memancing cerita orang,” kata Cui Giok. “Karena untuk menjawab
pertanyaanmu terpaksa aku harus menuturkan pula riwayat Liok-te Pat-mo itu dan mengapa
mereka sampai dibenci oleh kakekku.”
Gwat Kong merasa betapa ia memang keterlaluan semenjak tadi hanya menjadi pendengar
saja dan ia belum menuturkan riwayatnya sendiri.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 201
“Biarlah kau menuturkan ceritamu dulu, Cui Giok, nanti baru tiba giliranku untuk bercerita.
Aku berjanji akan menceritakan keadaanku seluruhnya. Tentang riwayatku mempelajari ilmu
pedang Sin-eng Kiam-hoat dan lain-lain!”
“Nah, itu baru adil namanya!” Cui Giok berseru girang. Nah, sekarang dengarlah. Ilmu golok
Pat-kwa To-hoat diciptakan oleh mendiang Lok Kong Hosiang yang tinggal di propinsi Cekiang.
Sebagaimana sering kali terjadi pada ahli-ahli silat yang pandai, Lok Kong Hosiang
ternyata telah salah menerima murid. Murid tunggalnya ini bernama Ang Sun Tek, seorang
yang amat pandai membawa diri sehingga setiap orang akan menganggapnya sebagai seorang
pemuda yang amat berbudi. Oleh karena inilah maka Lok Kong Hosiang sampai tertipu
olehnya dan telah mewariskan seluruh kepandaiannya kepada pemuda she Ang itu. Ang Sun
Tek mempelajari Pat-kwa To-hoat sampai sempurna betul dan tidak ada satupun gerakan yang
belum ia pelajari dari Lok Kong Hosiang. Kemudian, suhunya anggap ia telah tamat belajar
dan menyuruhnya mencari pengalaman di dunia kang-ouw. Akan tetapi, begitu ia turun
gunung, ia membuka kedoknya dan nampaklah wajah serigala kejam di balik kedok domba
itu. Ang Sun Tek berubah menjadi seorang penjahat yang kejam, yang melakukan segala
macam perbuatan hina. Merampok, membunuh, mengganggu anak bini orang, ah ....
pendeknya segala macam perbuatan jahat tidak ada yang tak dilakukan oleh penjahat itu!”
“Benar-benar manusia rendah budi dan bejat akhlak!” seru Gwat Kong.
“Bukan itu saja,” Cui Giok melanjutkan penuturannya. “Bahkan ia lalu mengumpulkan
kawan-kawan lamanya yang terdiri dari orang-orang jahat. Kemudian memilih empat pasang
saudara yang berbakat, yakni dia dan adiknya sendiri yang bernama Ang Sun Gi dan tiga
pasang saudara lain she Liem, Thio dan Tan. Empat pasang saudara ini merupakan delapan
orang muda yang berbakat baik. Kemudian Ang Sun Tek melatih tujuh orang kawannya ini
dengan ilmu Pat-kwa To-hoat itu. Memang ia memiliki kecerdikan yang luar biasa, sehingga
ia dapat menciptakan Pat-kwa-tin (Barisan Pat-kwa atau segi delapan), dan pat-kwa-tin inilah
yang hebat luar biasa. Entah berapa banyak orang gagah tewas dalam menghadapi Pat-kwa-tin
ini. Karena setelah membentuk delapan sekawan ini, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya
makin mengganas dan berlaku sewenang-wenang, maka mereka diberi julukan Liok-te Patmo
atau Delapan Iblis Bumi dan banyak orang gagah datang untuk menumpasnya. Akan
tetapi mereka semua dipukul hancur, ada yang terluka, ada pula yang tewas. Bahkan, ketika
Lok Kong Hosiang mendengar hal ini dan datang pula untuk menghukum muridnya, ia
disambut dengan keroyokan delapan orang itu. Ang Sun Tek telah menyerang dan
mengeroyok gurunya sendiri mempergunakan Pat-kwa-tin!”
“Benar-benar manusia bong-im-pwe-gi (tak mengenal budi)!” seru Gwat Kong gemas.
Sebagai pencipta dari Pat-kwa To-hoat, tentu saja Lok Kong Hosiang dapat menghadapi
dengan baik Pat-kwa-tin itu, yang diciptakan oleh muridnya berdasarkan Pat-kwa To-hoat
pula. Akan tetapi, hwesio itu telah amat tua ketika meghadapi keroyokan mereka dan pula, ia
tidak tega untuk membunuh delapan orang-orang muda itu, sehingga akhirnya dia sendirilah
yang menderita luka-luka parah dan terpaksa melarikan diri.”
“Terkutuklah si jahanam Ang Sun Tek!” Gwat Kong memaki marah.
“Lok Kong Hosiang adalah sahabat baik dari kakekku dan ketika kakekku mendengar akan
hal itu, ia segera mencari Lok Kong Hosiang di propinsi Ce-kiang. Akan tetapi, kakek
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 202
terlambat karena ketika ia tiba di kelenteng tempat tinggal Lok Kong Hosiang, hwesio itu
telah menghembuskan napas terakhir.”
“Hmmm, muridnya sendiri yang membunuhnya! Benar-benar manusia she Ang itu harus
dibinasakan!” kata Gwat Kong sambil mengepal tinjunya.
“Kakek juga berpikir begitu, maka kakekku lalu pergi mencari mereka ke kota Sianuang di
propinsi Ce-kiang.”
“Bagus!” kata Gwat Kong memuji.
“Sama sekali tidak bagus!” Cui Giok mencela. “Ternyata bahwa kakekku sendiri masih tak
cukup kuat menghadapi Pat-kwa-tin mereka sehingga hampir saja kakek mendapat celaka.
Untung kakek masih dapat menyelamatkan diri. Akan tetapi, kakek merasa amat terhina dan
malu karena dikalahkan oleh mereka!”
“Sungguh lihai!” Gwat Kong memuji.
“Memang mereka lihai sekali. Akan tetapi aku tidak takut kepada mereka. Kakek telah
menggemblengku dan menurut pendapat kakek, kepandaianku telah lebih kuat dari pada
keadaan kakekku ketika menyerbu Pat-kwa-tin itu. Aku telah menyusul ke Ce-kiang. Akan
tetapi ternyata bahwa sekarang Liok-te Pat-mo telah pindah dan mereka itu telah diangkat
menjadi busu (perwira istana kaisar). Bahkan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya merupakan
pasukan perwira istana yang istimewa dan mereka tinggal di kota raja.”
“Jadi sekarang kau hendak menyusul ke kota raja?”
“Tentu saja! Jangankan ke kota raja, biarpun mereka itu pindah ke pulau api, aku tentu akan
mengejar mereka!” kata Cui Giok dengan suara gagah.
“Akupun akan ke sana dan membantumu!”
Cui Giok memandangnya dan merengut.
“Apa kau kira aku takut kepada mereka dan memerlukan bantuanmu?”
“Bukan begitu. Akupun ingin sekali mencoba kepandaian mereka yang sombong dan jahat
hati itu. Suhu pernah bercerita tentang adanya Pat-kwa To-hoat. Agaknya suhu belum tahu
tentang kejahatan anak murid Pat-kwa To-hoat ini. Kalau suhu tahu tentu aku diperintahkan
pula untuk menghancurkan mereka!”
Tiba-tiba Cui Giok tersenyum lebar. “Bagus kalau begitu, empat besar akan bertemu di kota
raja. Dengan adanya kau, aku merasa lebih yakin bahwa mereka tentu akan mengalami
kehancuran. Aku tidak malu datang bersama kau mencari mereka, karena merekapun delapan
orang!”
“Terima kasih Cui Giok. Kau baik sekali dan aku girang kau percaya kepadaku.”
“Sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan semua pengalamanmu semenjak kau terlahir
sampai sekarang!” kata Cui Giok yang mengumpulkan daun kering ditumpuk lalu ia
membaringkan tubuhnya berbantal daun kering setumpuk itu, di dekat api.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 203
Gwat Kong tersenyum geli mendengar ucapan itu, maka dengan singkat ia lalu bercerita
tentang riwayatnya, tentang ayahnya yang difitnah oleh hartwan Tan, tentang ibunya yang
hidup sengsara dan menderita. Kemudian ia menceritakan pula betapa ia bekerja sebagai
pelayan di rumah pembesar she Liok dan bagaimana ia menemukan kitab ilmu pedang Sineng
Kiam-hoat secara kebetulan.
Pendeknya ia menceritakan seluruh riwayatnya, kecuali tentu tentang Tin Eng ia tidak
menceritakan sama sekali. Lama juga ia bercerita sambil memandang ke arah api dengan
pikiran melayang ke masa lampau. Setelah ia berhenti bercerita dan memandang kepada Cui
Giok karena gadis itu semenjak tadi diam saja tidak bersuara sedikitpun, ia melengak. Karena
ternyata bahwa nona baju kuning itu telah tidur pulas!
Gwat Kong merasa mendongkol sekali karena agaknya sudah sejak tadi gadis itu tertidur
sehingga tadi ia bercerita kepada .... api unggun! Akan tetapi ia merasa geli juga dan
memandang kepada gadis itu dengan hati girang karena ia merasa suka melihat sikap gadis itu
yang begitu terbuka. Ia percaya bahwa Cui Giok bukan tertidur karena kesal mendengar
ceritanya. Akan tetapi karena memang benar-benar ia lelah sekali sehingga tertidur tanpa
terasa lagi.
Gwat Kong mencari ranting-ranting kering untuk menambah bahan bakar, kemudian iapun
duduk melenggut bersandarkan pohon dan tak lama kemudian iapun tertidur.
Pada keesokan harinya, pundaknya digoyang-goyang orang dan ketika ia terbangun ia
mendengar suara Cui Giok. “Bangun! Bangunlah, pemalas benar.”
Gwat Kong membuka matanya dan melihat bahwa malam telah berganti pagi dan api unggun
di depannya telah padam. Cui Giok nampak segar. Agaknya gadis ini pagi-pagi telah mandi di
sungai itu. Melihat pakaiannya sendiri yang masih kotor berlumpur, Gwat Kong lalu
membuka buntalan pakaiannya karena pakaian ini telah kering dan bersih. Kemudian ia
berlari menuju ke sungai untuk mandi dan bertukar pakaian. Ketika ia kembali ke tempat itu,
ternyata Cui Giok memanggang dua potong daging kelinci di atas api unggun. Bau daging
panggang yang sedap itu membuat perut Gwat Kong berbunyi keras dan panjang.
“Aduh sedapnya!” ia berkata sambil menelan ludah.
Cui Giok mengerling dan berkata, “Akan kuberikan sepotong kepadamu asal kau duduk
dengan baik dan menceritakan riwayatmu kepadaku. Kau belum menceritakannya sedangkan
aku telah menuturkan semua riwayatku.”
“Siapa bilang belum kuceritakan? Semalam telah kuceritakan semua dari awal sampai akhir.
Akan tetapi kau telah tertidur dan tidak mendengarkannya sama sekali!”
“Benarkah .....??” Suara ini terdengar demikian kecewa dan wajah yang manis itu nampak
demikian menyesal sehingga Gwat Kong segera berkata, “Ah, tidak, aku membohong. Kau
memang tertidur dan akupun menghentikan ceritaku. Nah, kau makanlah daging itu, aku akan
menuturkan riwayatku dengan singkat!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 204
Demikianlah, Gwat Kong untuk kedua kalinya menuturkan riwayatnya dan beberapa kali ia
memandang tajam, takut kalau-kalau ia dipermainkan lagi. Akan tetapi melihat perhatian yang
dicurahkan oleh Cui Giok, ia maklum bahwa gadis itu tidak mempermainkannya.
Setelah daging itu matang, mereka makan dengan lezat dan enaknya. Kemudian mereka
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja untuk mencari Liok-te Pat-mo si delapan iblis
bumi.
Di sepanjang jalan mereka merasa gembira dan cocok sekali, bagaikan dua orang sahabat
yang telah bertahun-tahun menjadi sahabat.
****
Setelah merobohkan Lui Siok si Ular Belang yang menjadi wakil ketua dari Hek-i-pang dan
menjadi suheng (kakak seperguruan) Gan Bu Gi, kemudian melukai kuda yang ditunggangi
oleh Song Bu Cu ketua Hek-i-pang sehingga ketua itu bersama Gan Bu Gi tak berdaya dan
tak dapat mengejar. Tin Eng dan Kui Hwa melarikan kuda mereka dengan senang dan di
sepanjang jalan kedua orang nona pendekar ini tertawa terkekeh-kekeh karena merasa geli
hatinya.
“Aah, cici Hwa, benar-benar puas hatiku dapat mempermainkan mereka! Ha ha ha !! Kedua
ketua dari Hek-i-pang bersama si keparat Gan Bu Gi itu telah mendapat hinaan dari kita
berdua. Aah, sungguh senang melakukan perjalanan dengan kawan segagah engkau, enciku
yang baik.”
Sebaliknya Kui Hwa menarik napas panjang. “Akan tetapi aku merasa kecewa, adik Eng.
Kalau saja aku dapat bertemu berdua saja dengan Gan Bu Gi, tanpa adanya bantuan dari Lui
Siok dan Song Bu Cu yang tangguh tentu pedangku akan menamatkan riwayat pemuda
jahanam itu!”
“Enci Hwa, mengapakah sebetulnya maka kau amat membenci Gan Bu Gi? Dahulu kau
mengatakan bahwa orang she Gan itu pernah menyakitkan hatimu. Penghinaan apakah yang
telah ia perbuat?”
Tiba-tiba Kui Hwa menghentikan kudanya bahkan lalu turun dan pergi duduk di tepi jalan di
bawah sebatang pohon. Tin Eng juga melompat turun dan melihat betapa kedua mata Kui
Hwa tiba-tiba menjadi merah dan beberapa titik air mata turun membasahi pipinya. Tin Eng
merasa terkejut sekali. Ia memegang tangan kawannya itu dan bertanya, “Ah, maafkan aku
telah menyinggung perasaan hatimu, enci Hwa.”
Alangkah herannya ketika ia melihat Kui Hwa tiba-tiba menangis sedih, menutupi mukanya
dan dengan ujung lengan baju dan tak dapat menjawab, hanya terisak-isak.
“Enci Kui Hwa, agaknya orang she Gan itu telah memberikan sesuatu yang hebat kepadamu.
Ketahuilah bahwa aku juga menderita oleh karena dia.”
Kui Hwa mengangkat mukanya yang merah dan memandang kepada Tin Eng. Ucapan Tin
Eng ini benar-benar menarik perhatiannya. Tin Eng maklum bahwa kawannya itu ingin
mengertahui riwayatnya dan karena menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang hebat
antara Gan Bu Gi dan Kui Hwa, maka ia lalu menuturkan riwayatnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 205
“Enci Kui Hwa, entah apa yang ia lakukan terhadapmu sehingga kau merasa amat berduka.
Akan tetapi, Gan Bu Gi yang menjadi biang keladi sehingga aku terpaksa meninggalkan
rumah orang tuaku dan merantau seperti seorang yang tak berkeluarga.”
Diceritakannya betapa Gan Bu Gi itu diantar oleh gurunya, yakni Bong Bi Sianjin tokoh Kimsan-
pai juga oleh Seng Le Hosiang tokoh Go-bi-pai mengunjungi ayahnya sehingga kemudian
Gan Bu Gi diberi kedudukan sebagai komandan pasukan pengawal. Betapa kemudian
ayahnya bahkan hendak memaksanya untuk menjadi isteri perwira she Gan itu.
“Demikianlah enci Kui Hwa, maka aku lalu melarikan diri dari rumah karena ayah
memaksaku. Aku tidak sudi menjadi isterinya, aku .... aku benci kepadanya. Akhir-akhir ini
aku mendapat perasaan bahwa orang she Gan itu bukanlah seorang manusia baik.”
“Kau benar, adikku dan dalam hal ini kau lebih cerdik dan awas dari padaku,” akhirnya Kui
Hwa berkata setelah berkali-kali menghela napas. “Gan Bu Gi memang hanya di luarnya saja
kelihatan tampan dan gagah serta halus, sopan sikapnya. Akan tetapi ia memiliki watak yang
tidak baik dan palsu.”
“Kalau kau percaya kepadaku, enci Kui Hwa, ceritakanlah pengalamanmu ini sehingga aku
dapat mendengar sampai di mana kejahatan Gan Bu Gi.”
Tadinya Kui Hwa masih merasa ragu-ragu untuk menuturkan riwayatnya. Akan tetapi melihat
pandang mata Tin Eng yang jujur dan karena ia memang merasa suka kepada dara ini dan
mempunyai perasaan seolah-olah Tin Eng menjadi adiknya sendiri, ia lalu menuturkan
riwayatnya secara singkat.
Bab 23 …
TAN KUI HWA adalah puteri seorang hartawan yang bernama Tan Kia Swi, yakni Tanwangwe
yang dahulu telah mencelakai orang tua dan keluarga Bun Gwat Kong! Semenjak
kecilnya, Tan Kui Hwa memang nakal sekali dan ia memiliki watak seperti seorang anak lakilaki
saja. Bahkan ia suka bermain-main dengan anak lelaki yang menjadi anak tetangga
ayahnya. Orang tuanya mendiamkannya, sebagai anak orang hartawan yang amat dimanja,
diturut belaka oleh ayah bundanya.
Ketika ia berusia sepuluh tahun, ia masih suka bermain-main di luar rumah tangga. Kawankawannya
yang sebagian besar terdiri anak-anak lelaki, bermain gundu, berkejar-kejaran,
bahkan ikut pula memanjat pohon-pohon tinggi mencari sarang-sarang burung atau ikut pula
berkelahi.
Pada suatau hari ia pergi bermain dengan beberapa orang kawan agak jauh dari rumahnya.
Ketika mereka tiba di kampung lain, mereka bertemu dengan anak-anak kampung itu dan
sudah menjadi kebiasaan bahwa anak-anak suka mengganggu anak-anak lain yang datang dari
kampung lain. Tadinya anak-anak kampung itu hanya mengeluarkan ucapan-ucapan
mengolok-olok saja, yang dibalas oleh olok-olok lain. Akan tetapi seorang di antara mereka
yang melihat Kui Hwa lalu berkata, “Eh anak perempuan mengapa bermain-main dengan
anak-anak lelaki. Sungguh tak tahu malu!”
“Barangkali dia bukan perempuan. Ia tentu seorang anak banci!” kata anak lain.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 206
“Mari kita lihat!” seru yang lain.
“Ya, ya ... mari kita buktikan!” kata lain anak lagi dan mereka lalu hendak menangkap Kui
Hwa.
Semenjak kecilnya, Kui Hwa memang tukang berkelahi. Adatnya keras dan hatinya tabah luar
biasa. Mendengar betapa ia dihina, ia lalu memaki-maki dan cepat menyerang anak yang
menyebutnya banci tadi. Bukan main kagetnya anak itu oleh karena tak disangkanya sama
sekali bahwa anak perempuan itu berani menyerangnya dan ternyata pukulannya keras dan
kuat sehingga begitu kena dipukul ia jatuh terguling dengan pipi biru. Maka terjadilah
perkelahian keroyokan yang ramai sekali di jalan itu. Tan Kui Hwa biarpun seorang anak
perempuan, akan tetapi oleh karena ia memiliki keberanian luar biasa dan kenekatan
berkelahi, maka sepak terjangnya mengecilkan hati anak-anak itu. Kui Hwa memukul,
menendang, mencakar, dan menggigit. Tidak ada anak yang berani mendekatinya.
Pada saat ramai-ramainya anak-anak itu berkelahi, tiba-tiba datang tosu (pendeta agama To)
yang segera menghampiri mereka dengan langkah lebar. Maka tosu memandang kepada Kui
Hwa dengan kagum sekali. Belum pernah ia melihat seorang anak perempuan yang demikian
tabah dan ganas dalam berkelahi. Memang amat ganjil kalau dilihat betapa seorang anak
perempuan kuat dalam perkelahian keroyokan antara anak-anak lelaki.
“Hai, jangan berkelahi!” seru tosu itu dan semua anak-anak cepat menoleh memandang ke
arah orang yang mencegah mereka. Bukan main terkejut hati mereka ketika melihat seorang
tosu yang bermuka aneh sekali. Kedua mata tosu itu yang nampak hanya putihnya saja,
karena manik matanya yang hitam hanya kecil sekali, bergerak-gerak liar ke kanan kiri
menimbulkan pemandangan yang menakutkan. Hidungnya mendongak ke atas, mulutnya
lebar sehingga hampir sampai ke telinga dengan dua buah gigi menonjol keluar seperti caling.
Tanpa diberi komando lagi, anak-anak itu melarikan diri dengan ketakutan. Semua anak
melarikan diri, kecuali Kui Hwa sendiri yang memandang dengan heran dan juga takut-takut.
Ia teringat akan dongeng-dongeng tentang setan dan iblis. Akan tetapi hatinya yang tabah
membantah, karena ia mendengar di dalam dongeng-dongeng bahwa setan dan iblis hanya
keluar di waktu malam hari. Saat itu mata hari telah naik tinggi, tak mungkin ada iblis berani
keluar.
“Anak yang gagah, kau siapakah dan di mana rumahmu?”
“Namaku Kui Hwa dan rumahku di sana!” Anak itu menunjuk ke arah tempat tinggal orang
tuanya.
“Mari kau kuantar pulang.” Kata tosu itu yang lalu memegang tangan Kui Hwa untuk menguji
ketabahan anak ini. Akan tetapi Kui Hwa sama sekali tidak merasa takut, bahkan ia
tersenyum-senyum bangga. Alangkah akan herannya kawan-kawannya. Ia akan
memperlihatkan bahwa ia lebih berani dan tabah dari pada mereka semua. Maka ia lalu
berjalan bersama tosu itu menuju ke rumahnya dengan dada terangkat tinggi-tinggi. Dan
benar saja, anak-anak yang melihat ia berjalan bersama tosu itu diam-diam mengintai dengan
hati berdebar dan mengulurkan lidah dan di dalam hati mereka amat mengagumi keberanian
Kui Hwa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 207
Tosu ini adalah Thian Seng Cu, tokoh Hoa-san-pai yang berilmu tinggi, yang kebetulan turun
gunung untuk melakukan perjalanan merantau. Ia adalah suheng dari Sin Seng Cu tosu Hoasan-
pai yang telah berhasil mengalahkan Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai sehingga kejadian
itu menimbulkan permusuhan antara Hoa-san-pai dan Go-bi-pai.
Thian Seng Cu lalu menemui Tan-wangwe dan menyatakan hasrat hatinya melatih silat
kepada Kui Hwa. Tadinya orang tua Kui Hwa tidak setuju, akan tetapi Kui Hwa berkeras
mengangkat guru kepada tosu itu dengan rengek dan tangis sehingga kedua orang tuanya
terpaksa menyetujuinya dengan syarat bahwa latihan ilmu silat itu harus dilakukan di rumah
mereka.
Selama tiga tahun Thian Seng Cu melatih kepada Kui Hwa di rumah Tan-wangwe. Akan
tetapi setelah anak itu berusia tiga belas tahun, pada suatu hari ia pergi meninggalkan rumah
bersama gurunya tanpa memberitahukan kepada ayah bundanya. Hanya meninggalkan
sepucuk surat yang menyatakan bahwa untuk memperdalam ilmu silat, Kui Hwa ikut gurunya
naik ke gunung Hoasan. Ia sengaja pergi dengan diam-diam oleh karena maklum bahwa
apabila ia minta ijin dari kedua orang tuanya tentu tak akan mungkin dapat.
Demikianlah, selama enam tahun mempelajari ilmu silat di puncak Hoasan, bersama dengan
kedua orang suhengnya yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok dibawah asuhan Thian Seng Cu,
Sin Seng Cu dan lain tokoh Hoa-san-pai. Setelah tamat belajar silat, Kui Hwa kembali ke
rumah orang tuanya dan disambut dengan kegirangan besar.
Dasar watak yang telah menjadi kebiasaan di waktu masih kanak-kanak, ternyata masih
belum meninggalkan tabiat Kui Hwa. Kini setelah menjadi dewasa, menjadi seorang dara
yang cantik dan gagah perkasa, kesukaannya untuk berkelahi masih saja ada. Tiap kali ia
mendengar ada seorang ‘jago silat’ yang berpengaruh, tidak perduli tempat jauh, tentu ia akan
pergi mengunjunginya untuk ditantang pibu (mengadu kepandaian silat). Karena ilmu silatnya
memang lihai maka entah sudah berapa banyaknya jago-jago silat dan guru-guru silat yang
roboh di dalam tangannya.
Selain ini, juga Kui Hwa amat benci kepada orang-orang jahat, terutama para perampok dan
bangsat-bangsat pemetik bunga. Ia tidak mengenal ampun terhadap mereka ini dan di mana
saja ia bertemu dengan orang jahat, ia tak akan merasa puas sebelum membasminya,
membunuh atau sedikitnya melukainya. Oleh karena ini, ia diberi julukan Dewi tangan maut.
Pada suatu hari, ia mendengar bahwa di kota Lok-se terdapat seorang penjahat yang
melakukan perbuatan terkutuk, yakni mengganggu anak bini orang. Kui Hwa paling benci
kepada bangsat Jay-hwa-cat (penjahat pemetik bunga), maka tanpa banyak menunda lagi, ia
lalu menuju ke kota Lok-se dan melakukan pengintaian di waktu malam. Ia mengenakan
pakaian hitam dan mendekam di atas genteng untuk menanti munculnya penjahat itu.
Baru setelah fajar hampir menyingsing, ia melihat berkelebatnya bayangan orang di atas
sebuah bangunan besar. Ia cepat mengejar dan mengintai. Alangkah marahnya ketika ia
mendapat kenyataan bahwa orang itu adalah Jay-hwa-cat yang dicari-carinya, karena orang
itu dengan gerakan yang amat cepat melompat ke dalam rumah dan memasuki kamar seorang
gadis muda, puteri tuan rumah.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 208
Dengan amarah meluap-luap, Kui Hwa lalu membentak keras sehingga penjahat itu menjadi
terkejut dan keluar dari jendela kamar itu. Kui Hwa telah menanti di atas genteng dan mereka
bertempurlah dengan amat sengit dan mati-matian.
Penjahat itu ternyata memiliki kepandaian yang tidak buruk, ilmu pedangnya cukup cepat
sehingga ia dapat bertahan sampai beberapa lama terhadap serangan-serangan pedang Kui
Hwa. Gadis ini setelah mengenali ilmu pedang penjahat itu sebagai ilmu pedang dari cabang
Go-bi-pai, membentak makin marah,
“Hmmm, dasar anak-anak murid Gobi amat rendah budi dan jahat. Kau membikin malu saja
kepada tokoh Go-bi-pai.”
“Ha ha, perempuan sombong. Kau kira aku tidak tahu bahwa kau adalah orang Hoasan?
Jangan banyak mulut, kau sudah berani berlancang tangan mencampuri urusanku.
Keluarkanlah kepandaianmu!”
Kui Hwa menyerang dengan ganasnya dan memang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari
pada penjahat itu, sehingga dengan mengeluarkan suara keras, pedang di tangan penjahat itu
terpental dan terlepas dari pegangan. Penjahat itu berseru kaget, memutar tubuh dan
melarikan diri.Akan tetapi, mana Kui Hwa mau melepaskannya. Ia amat membenci Jay-hwacat
dan sebelum ia dapat membunuh atau melukainya, ia tidak akan melepaskannya begitu
saja.
“Bangsat cabul, jangan harap akan dapat lari dari aku!” Bentaknya sambil mengejar cepat.
Penjahat itu, biarpun kepandaian ilmu pedangnya kalah oleh Kui Hwa, namun memiliki ilmu
lari cepat yang lumayan juga. Agaknya ia telah melatih ilmu berlari cepat ini yang memang
amat perlu dan penting bagi pekerjaannya. Namun Kui Hwa tidak mau mengalah dan
mengejar terus.
Penjahat itu berlari keluar dari kota, terus dikejar oleh Kui Hwa sampai pagi. Ketika mereka
tiba di sebuah kaki bukit, tiba-tiba muncul dua orang yang menghadang di jalan. Penjahat itu
tadinya terkejut melihat dua orang itu berjalan dengan ilmu lari cepat yang tinggi, akan tetapi
ketika ia mengenal mereka, ia menjadi girang dan berkata,
“Locianpwe ...... tolonglah teecu .....!”
Kedua orang itu ternyata adalah seorang tosu tua dan seorang pemuda yang tampan dan
mereka lalu mempercepat langkah menghampiri penjahat itu yang segera bersembunyi di
belakang mereka. Tosu itu tak lain adalah Bong Bi Sianjin dan pemuda itu adalah muridnya
yaitu Gan Bu Gi. Memang tokoh-tokoh Kim-san-pai ini telah mengadakan hubungan dengan
Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan telah berjanji untuk membantu dalam permusuhan Go-bipai
melawan Hoa-san-pai. Oleh karena itu, sebagian besar anak murid Go-bi-pai telah kenal
dengan Bong Bi Sianjin dan muridnya Gan Bu Gi. Juga anak murid Go-bi-pai yang tersesat
dan menjadi penjahat itupun kenal pula kepada mereka.
Melihat munculnya seorang tosu dan seorang pemuda tampan yang agaknya hendak
membantu penjahat itu, Kui Hwa melintangkan pedangnya di dadanya dan memandang
kepada mereka dengan tajam.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 209
“Sicu (tuan yang gagah),” kata tosu itu kepada si penjahat. “Mengapa kau dikejar-kejar oleh
nona ini?”
“Tolonglah, locianpwe. Dia adalah anak murid Hoa-san-pai! Kami telah bertempur, akan
tetapi teecu kehilangan pedang dan ....dan terpaksa melarikan diri!”
“Hmm, orang-orang Hoa-san-pai memang selalu mengandalkan kepandaiannya sendiri. Nona,
biarpun pinto (aku) telah berjanji untuk menghadapi orang-orang Hoa-san-pai dengan pedang
ditangan, akan tetapi melihat bahwa kau adalah seorang nona muda, biarlah pinto memberi
ampun dan kau boleh pergi dengan aman!”
Ucapan ini benar-benar sombong dan memandang rendah, maka Kui Hwa yang beradat tinggi
tentu saja merasa amat tersinggung.
“Totiang, kau seorang pertapa janganlah mencampuri urusan ini. Ketahuilah bahwa anak
murid Gobi ini adalah seorang bangsat besar, seorang jay-hwa-cat yang kejam!”
“Perempuan Hoasan tutup mulutmu yang kotor! Tidak malukah kau seorang perempuan
mengeluarkan kata-kata kotor itu? Memang tadi aku kurang hati-hati sehingga pedangku
terlepas. Sekarang menghadapi jago dari Kim-san-pai kau merasa takut dan hendak
mempergunakan ketajaman mulutmu. Cih, tak tahu malu!”
“Bangsat rendah!” Kui Hwa memaki dan menyerbu ke depan, hendak menyerang penjahat
itu. Akan tetapi Gan Bu Gi yang telah mencabut pedangnya lalu menangkis serangan itu.
“Kau hendak melindungi penjahat ini?” teriak Kui Hwa sambil memandang tajam.
“Suhu, biar teecu yang menangkap gadis liar ini,” Gan Bu Gi berkata seperti minta izin
kepada gurunya yang hanya mengangguk sambil tersenyum.
“Bagus, kalau begitu kaupun harus mampus di tanganku,” Kui Hwa berteriak garang dan
menyerang Gan Bu Gi. Pertempuran terjadi dengan amat serunya. Pemuda itu benar-benar
tangguh dan ilmu pedangnya hebat sekali, jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian Jayhwa-
cat itu. Akan tetapi Kui Hwa tidak takut dan mengerahkan seluruh kepandaiannya.
Setelah bertempur sampai seratus jurus lebih dengan amat seru dan saling serang tanpa ada
tanda-tanda siapa yang akan menang. Semalaman suntuk ia tidak tidur menjaga di atas
genteng yang dingin dan berangin, lalu ia harus bertempur melawan penjahat itu dan
mengejarnya sampai jauh sehingga tubuhnya telah merasa lelah dan lemas.
Kini menghadapi Gan Bu Gi yang benar-benar kosen, membuat ia lelah sekali dan permainan
pedangnya mulai kacau dan lemah. Akan tetapi sungguh aneh, ternyata pemuda yang tampan
itu tidak bermaksud mencelakainya. Buktinya, tiap kali pedangnya hampir mengenai
tubuhnya Kui Hwa, selalu ditariknya dan diserongkan sehingga tidak melukai Kui Hwa.
“Ha ha ha, muridku. Kau agaknya jatuh hati kepada lawanmu!” terdengar tosu itu tertawa
bergelak. Kui Hwa melihat betapa muka pemuda itu menjadi kemerahan dan ia sedikit pun
merasa jengah dan malu. Akhirnya dengan sabetan yang keras, pedang gadis itu terlepas dari
tangan dan sebelum ia sempat berbuat sesuatu, Gan Bu Gi berhasil menotok jalan darahnya
sehingga ia menjadi lemas dan lumpuh tak berdaya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 210
“Bunuh saja anjing betina Hoa-san-pai ini!” Jay-hwa-cat tadi berseru keras. Akan tetapi Gan
Bu Gi segera menjawab,
“Jangan!” Kau pergilah dari sini! Musuhmu ini aku yang menjatuhkannya, maka aku dan
suhu yang berhak memutuskannya. Pula kau telah melakukan pekerjaan buruk dan kalau saja
tidak mengingat bahwa kau adalah anak murid Gobi, tentu kami tak sudi membantumu.”
Penjahat itu pergi bagaikan anjing kena pukul, tidak berani menengok lagi, bahkan
mengucapkan terima kasih pun tidak.
“Suhu, teecu harap suhu tidak berkeberatan untuk mengampuni nona ini.”
Bong Bi Sianjin gelak terbahak mendengar ucapan muridnya ini.
“Kau yang menangkapnya, maka terserah kepadamu. Kau tahu kemana harus menyusul, kalau
sudah selesai urusanmu dengan nona ini!” Kembali tosu itu tertawa bergelak, lalu tubuhnya
berkelebat dan lenyap dari situ, meninggalkan Gan Bu Gi dan nona tawanan di tempat itu.
Tin Eng mendengar penuturan Kui Hwa dengan penuh perhatian. Ia melihat betapa kawannya
itu memandang jauh dengan mata penuh lamunan, seakan-akan membayangkan segala
peristiwa yang dahulu telah terjadi dan menimpa kepada dirinya.
“Demikianlah, adik Tin Eng. Tosu tua yang batinnya tidak bersih itu meninggalkan muridnya
seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada muridnya untuk melakukan
sesuatu yang tidak baik,” kata Kui Hwa melanjutkan ceritanya. “Dan semenjak saat itu, aku
telah bersumpah di dalam hatiku bahwa pada suatu hari aku pasti akan membunuh bangsat
Gan Bu Gi dan tosu keparat itu!” Gadis itu kini menjadi merah mukanya dan matanya
mengeluarkan cahaya berapi.
“Akan tetapi enci Hwa, apakah yang telah dilakukan oleh Gan Bu Gi kepadamu?” tanya Tin
Eng sambil memandang penuh perhatian.
“Apa yang dilakukan? Jahanam itu .... anjing rendah itu .... ia ....ah, tak dapat kuceritakan apa
yang telah ia perbuat terhadap diriku!” Dan tiba-tiba Kui Hwa mengucurkan air mata, lalu
bangkit berdiri dan melompat ke atas kudanya serta melarikan kuda itu secepatnya.
Tin Eng melengak, terpaksa iapun melompat ke atas kudanya dan menyusul kawannya.
Biarpun Kui Hwa tidak memberi penjelasan, akan tetapi ia dapat menduga apakah yang telah
diperbuat oleh Gan Bu Gi terhadap gadis itu. Dan kebenciannya terhadap Gan Bu Gi meluapluap,
Bangsat rendah, pikirnya, orang macam itu harus dibinasakan. Dan ayahnya bahkan
memaksanya untuk menjadi isteri dari pemuda macam itu.
Keduanya melanjutkan perjalanan menuju ke Hong-san dengan cepat. Karena Tin Eng tidak
mendesaknya dan tidak minta penjelasan, maka Kui Hwa tidak banyak bicara lagi dan soal
yang lalu itu tidak pernah disinggung-singgung oleh kedua pihak. Berkat kejenakaan dan
kegembiraan Tin Eng, awan gelap yang selalu menyelimuti wajah Kui Hwa semenjak ia
menuturkan pengalamannya, mulai pudar dan ia menjadi gembira lagi seperti biasa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 211
Pada suatu hari, mereka tiba di kota Keng-hoa-bun yang berada di tepi sungai Siong-kiang.
Baru saja mereka memasuki pintu gerbang kota dan kuda-kuda mereka dilarikan congklang,
tiba-tiba terdengar suara laki-laki memanggil Kui Hwa. “Tan-sumoi!”
Kui Hwa menengok dan ketika melihat dua orang pemuda berdiri di pinggir jalan, ia menahan
kudanya dan menjawab, “Hai ....! Jiwi suheng! Kalian juga berada di sini?”
Tin Eng menengok dan memandang kepada dua orang pemuda yang ditegur oleh Kui Hwa.
Mereka ini adalah dua orang laki-laki muda yang tegap dan gagah, yang seorang berpakaian
baju biru dan yang kedua baju putih. Dari sebutan yang dikeluarkan oleh Kui Hwa tadi ia
maklum bahwa kedua orang pemuda itu adalah suheng (kakak seperguruan) dari kawannya,
jago-jago muda dari Hoa-san-pai, maka ia memandang dengan penuh perhatian.
Kui Hwa melompat turun dari kudanya, dituruti oleh Tin Eng, sedangkan kedua orang
pemuda itupun berlari menghampiri mereka.
“Sumoi, kau hendak pergi kemanakah?”
Kui Hwa tersenyum dan berkata sambil menunjuk ke arah Tin Eng,
“Panjang untuk dibicarakan, kita harus mencari tempat yang cocok untuk memutuskan hal ini.
Sekarang perkenalkan dulu, ini sahabat baikku yang bernama Liok Tin Eng yang berjuluk
Sian-kiam Lihiap. Adikku, ini adalah kedua suhengku yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok!”
Kedua saudara Pui itu menjura kepada Tin Eng yang membalasnya pula sebagaimana
lazimnya.
“Sumoi berkata benar!” kata Pui Hok yang berbaju putih. “Mari kita pergi ke rumah makan
untuk bercakap-cakap.”
Tin Eng dan Kui Hwa lalu menuntun kuda mereka dan berempat pergi ke sebuah rumah
makan yang terdekat. Mereka disambut oleh seorang pelayan yang segera menyuruh seorang
kawannya menerima dua ekor kuda itu untuk dicancang di pinggir rumah makan. Kemudian
ia mengantar keempat orang tamunya ke ruangan tamu yang kosong.
Pui Kiat, Pui Hok, Tin Eng dan Kui Hwa lalu duduk mengelilingi sebuah meja. Rumah makan
itu amat sederhana, bahkan buruk sekali. Temboknya sudah banyak yang rusak kelihatan
batanya, karena keadaan di situ tidak amat bersih, mereka memilih tempat duduk dekat
jendela yang kereinya tergulung agar mendapat hawa segar. Pelayan itu lalu mendekati
mereka sambil membungkuk-bungkuk. Sikapnya menghormat sekali dan pelayan ini memang
lucu wajahnya. Mukanya bundar, seperti juga tubuhnya yang gemuk pendek, senyumnya
lebar dan pakaiannya sudah tambal-tambalan.
“Tuan-tuan dan nona-nona tentu haus dan hendak minum arak, bukan? Arak kami sudah
tersohor enak dan wangi dan saya berani bertanggung jawab bahwa setetes pun air tidak
dicampurkan seperti arak yang dijual di lain rumah makan!” kata pelayan itu sambil
mengacungkan ibu jari kedua tangannya.
Pui Kiat berwatak polos dan kasar dan pada waktu itu ia telah merasa lapar sekali, maka
berkata keras,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 212
“Sediakan nasi yang banyak dan arak baik!”
Pelayan itu mengangguk-angguk lalu mengundurkan diri untuk menyediakan pesanan Pui
Kiat. Kemudian Pui Kiat memandang kepada sumoinya dan berkata dengan muka girang,
“Sumoi, telah lama kita tidak bertemu. Kau harus menuturkan semua pengalamanmu. Kau
hendak pergi kemanakah dan setelah kita bertemu di sini, lebih baik kita mengadakan
perjalanan bersama.”
Kui Hwa tersenyum dan Tin Eng yang melihat pandangan mata Pui Kiat kepada sumoinya
diam-diam tersenyum juga karena pandang mata pemuda itu dengan jelas menyatakan bahwa
Pui Kiat menaruh hati sayang kepada sumoinya.
“Twa-suheng, aku dan adik Tin Eng ini hendak pergi ke Hong-san!” jawab Kui Hwa.
Pui Kiat yang duduk di sebelah kanannya memandang kepada Pui Hok dan kedua orang itu
menyatakan keheranan mereka.
“Mengapa semua orang hendak pergi ke Hong-san?” kata Pui Hok. “Pasukan berkuda itupun
hendak pergi ke Hong-san! Ada apakah di Hong-san, sumoi?”
Kui Hwa bertukar pandang dengan Tin Eng dan Dewi tangan maut itu mengerti bahwa Tin
Eng tidak setuju apabila ia menceritakan tentang harta terpendam itu kepada kedua
suhengnya, maka lalu ia menjawab,
“Ah, itu hanya kebetulan saja barangkali jiwi-suheng. Kami berdua hanya ingin meluaskan
pemandangan. Karena kami mendengar bahwa pemandangan di Hong-san amat indah, maka
kami hendak pesiar di sana.”
Sementara itu, semenjak tadi Pui Hok mengerling ke arah Tin Eng dengan pandang mata
kagum dan hormat,
“Bolehkah siauwte mengetahui, Liok lihiap ini anak murid dari mana?” ia bertanya kepada
Tin Eng. Dara ini merasa ragu-ragu untuk menjawab oleh karena maklum bahwa kedua
saudara Pui ini adalah anak murid Hoa-san-pai yang bermusuhan dengan Go-bi-pai, cabang
persilatan dari ayahnya, maka ia menjadi serba salah dan memandang kepada Kui Hwa. Dewi
tangan maut itu tertawa dan berkata kepada kedua suhengnya,
“Harap jiwi suheng jangan heran dan kaget. Nona ini adalah seorang anak murid yang tidak
langsung dari Go-bi-pai.”
Kedua saudara Pui ini tercengang, bahkan air muka mereka berubah ketika mendengar ini,
akan tetapi Kui Hwa cepat-cepat melanjutkan keterangannya.
“Suheng berdua jangan salah sangka. Biarpun adik Tin Eng anak murid Gobi, akan tetapi
sikap dan pendiriannya berbeda dengan anak murid Go-bi-pai yang lain. Ia tidak bermusuhan
dengan cabang kita, buktinya ia menjadi sahabat karibku. Adik Tin Eng samasekali tidak
memperdulikan permusuhan-permusuhan itu, dan menurut pertimbangannya, tidak perduli
dari cabang manapun yang jahat adalah musuhnya dan yang baik menjadi sahabatnya.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 213
Kedua saudara Pui itu mengangguk-angguk dan memandang dengan kagum dan girang.
“Pertimbangan yang amat bijaksana!” Pui Hok memuji.
“Bagus!” Pui Kiat menyatakan kegirangan. “Kalau semua anak murid Go-bi-pai seperti Liok
lihiap ini, alangkah akan senangnya hatiku.”
“Akan tetapi sesungguhnya adik Tin Eng bukanlah mengandalkan kepandaiannya dari ilmu
silat cabang Gobi. Ia mendapat sebutan Sian-kiam lihiap, bukan karena ilmu pedang cabang
Go-bi-pai, akan tetapi karena ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat!”
Makin tercengang kedua orang pemuda itu mendengar keterangan ini.
“Ah ...! Tidak tahunya kita berhadapan dengan seorang ahli pedang Sin-eng Kiam-hoat yang
terkenal itu!” kata Pui Kiat sambil berdiri dan menjura kepada Tin Eng, diturut pula oleh Pui
Hok. “Maaf, lihiap. Kami berlaku kurang hormat!”
Tin Eng cepat berdiri dan membalas penghormatan ini, lalu berkata cemberut sambil
mengerling kepada Kui Hwa yang duduk di sebelah kanannya,
“Dasar enci Kui Hwa yang bisa saja memuji orang. Ilmu pedangku yang masih dangkal apa
harganya untuk diperkenalkan? Harap jiwi enghiong tidak berlaku sungkan dan banyak
menjalankan peradatan!”
Pada saat itu, pelayan yang gemuk pendek itu muncul membawa guci arak, cawan-cawan arak
dan empat mangkok nasi putih yang bersih. Dengan cekatan dan tersenyum-senyum ia
mengatur cawan-cawan arak dan mangkok nasi itu dihadapan keempat orang tamunya.
“Silahkan, tuan-tuan dan nona-nona. Selamat makan dan minum!”
Pui Kiat sudah lapar semenjak tadi. Melihat nasi putih yang masih mengebul hangat itu, cepat
ia menyambarnya dan menggunakan sumpit untuk makan nasi itu. Akan tetapi Kui Hwa
memandang kepada pelayan tadi dan berkata,
“Apakah kau sudah mabok? Mana masakan sayurannya? Apakah kami harus makan nasi
saja?”
Pui Hok juga merasa tidak senang dan sambil memandang kepada pelayan itu dengan mata
mendelik ia berkata,
“Bagaimana sih kau melayani tamu? Apakah restoran ini hanya menjual nasi saja? Hayo,
cepat sediakan masakan-masakannya yang paling istimewa. Cepat, kami sudah lapar!”
Akan tetapi, pelayan itu tidak cepat-cepat melakukan perintah ini, bahkan berdiri seperti
patung dan memandang kepada mereka dengan muka yang bodoh.
“Mengapa kau masih berdiri saja?” Pui Kiat yang masih makan nasinya itu membentak pula.
Pelayan gemuk pendek itu mengangkat pundak dan mengembangkan kedua tangannya seperti
orang yang merasa susah dan putus harapan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 214
“Harap jangan marah, tuan-tuan dan nona-nona. Selain nasi, tidak ada masakan apapun juga
di sini. Kalau tuan-tuan dan nona-nona suka akan kecap saja ....”
“Kau suruh kami makan nasi dengan kecap? Gila! Kenapa tidak ada masakan? Apakah
restoranmu ini sudah mau gulung tikar?” kata Pui Kiat yang menunda makannya. Nasi
semangkok itu tinggal sedikit saja karena perutnya yang lapar membuat nasi tanpa sayur itu
terasa cukup nikmat.
“Pagi tadi sih lengkap,” pelayan itu menjawab. “Akan tetapi semua masakan kami diborong
oleh pasukan berkuda dari kota raja itu dan harus diantarkan semua ke tempat pemberhentian
mereka. Bukan dari restoran kami saja, bahkan dari restoran lain pun demikian.”
Pui Kiat menggebrak meja. “Apakah hanya mereka saja yang mampu membayar? Kami juga
akan membayar sepenuhnya!”
Pelayan itu makin gelisah dan mukanya menjadi pucat melihat dandanan pakaian empat orang
tamu ini. Ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw, ahli-ahli silat
yang tak boleh dibuat gegabah. Maka dengan amat hati-hati dan membungkuk-bungkuk ia
berkata,
“Maaf siauw-ya (tuan muda). Siapa berani membantah kehendak perwira dari kota raja?
Kalau kami memberi masakan kepada cuwi, kemudian terlihat kepada mereka, bukankah itu
berarti bahwa kami mencari bencana sendiri?”
“Jangan takut, kami yang akan tanggung!” kata pula Pui Kiat yang berangasan. Keluarkan
sayur dan daging untuk kami, akan kami bayar sepenuhnya. Lagi pula, kami hanya berempat
dan kami bukanlah orang-orang yang gembul, tentu takkan habis persediaan masakanmu oleh
kami berempat.”
Pelayan itu tidak menjawab hanya kini ia mewek seperti mau menangis, matanya memandang
bingung dan kadang-kadang melirik ke arah mangkok nasi Pui Kiat yang hampir habis
nasinya itu. Agaknya meragukan ucapan Pui Kiat yang menyatakan bahwa empat orang ini
bukan orang-orang gembul. Kalau bukan gembul, masa semangkok nasi tanpa sayur dapat
dilalap habis dalam waktu sebentar saja?
Pui Kiat tidak sabar lagi, lalu bangkit berdiri menghampiri pelayan itu, memegang tangannya
dan menariknya menuju ke dapur di restoran itu. Merasakan betapa pegangan tangan Pui Kiat
bagaikan jepitan besi pada pergelangan tangannya, pelayan itu tidak berani berlambat-lambat
lagi dan segera mengerjakan semua pesanan Pui Kiat. Juga para tukang masak melihat hal ini
menjadi bingung karena mereka benar-benar merasa takut kalau-kalau mendapat marah dari
perwira pemesan masakan itu.
Atas desakan dan ancaman Pui Kiat, karena bahan-bahan berupa sayur dan daging memang
sudah tersedia, sebentar saja beberapa mangkok masakan yang mengepul dan mengeluarkan
kesedapan yang menimbulkan selera dihidangkan oleh pelayan gemuk pendek ke meja empat
orang muda itu. Pui Kiat dan tiga orang kawannya lalu makan minum dengan gembira.
“Anak-anak murid Hoasan bermakan minum dengan seorang murid Gobi!” kata Pui Hok
sambil mengerling ke arah Tin Eng yang duduk di sebelah kanannya. “Aduh, sungguh hal
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 215
yang belum pernah terjadi selama bertahun-tahun ini. Sungguh hal yang mengagumkan dan
menyenangkan sekali!”
“Jiwi suheng (kakak seperguruan berdua) sebetulnya hendak ke manakah? Tanya Kui Hwa
yang telah menghabiskan nasinya.
“Kami hendak pergi ke Swi-siang mengunjungi seorang paman dan karena kita satu jurusan,
maka biarlah kita melakukan perjalanan bersama,” kata Pui Kiat. “Bukankah perjalanan ke
Hong-san melalui kota itu?”
“Bagiku sih tidak ada halangannya, bahkan makin banyak kawan seperjalanan makin
gembira. Akan tetapi harus ditanyakan dahulu kepada adik Tin Eng.”
“Liok–lihiap tentu tidak keberatan untuk melakukan perjalanan bersama kami berdua,
bukan?” Pui Hok bertanya sambil memandang pada gadis itu.
Bab 24 …
MENGHADAPI dua orang bersaudara yang amat peramah itu, tentu saja tak mungkin bagi
Tin Eng untuk menyatakan keberatannya. Sungguhpun ia akan lebih senang apabila dapat
melakukan perjalanan berdua saja dengan Kui Hwa. Demi kesopanan dan persahabatan, ia
tersenyum sambil menjawab,
“Mengapa aku harus keberatan? Jiwi enghiong adalah kakak seperguruan enci Kui Hwa dan
karena enci Kui Hwa adalah sahabat baikku, maka jiwi berarti juga sahabat-sahabatku pula.”
Bukan main girangnya Pui Kiat dan Pui Hok mendengar ini. Lagi-lagi mereka memuji gadis
ini dan menyatakan bahwa apabila semua anak murid Go-bi-san seperti Tin Eng, tentu
keadaan dunia akan menjadi aman.
“Akan tetapi kalian berdua menunggang kuda,” kata Pui Kiat. “Maka lebih baik aku dan
adikku ini mencari dua ekor kuda pula. Sumoi dan Liok-lihiap harap tunggu sebentar di sini,
karena aku dan adikku akan membeli dua ekor kuda dulu.”
Kui Hwa dan Tin Eng menyatakan baik dan kedua orang saudara Pui itu meninggalkan rumah
makan untuk pergi membeli kuda tunggangan. Kedua orang gadis yang ditinggal berdua saja
itu bercakap dengan gembira.
“Kedua suhengku itu biarpun agak kasar, akan tetapi mereka mempunyai hati yang baik dan
jujur,” kata Kui Hwa.
“Enci Hwa, melihat suhengmu Pui Kiat itu amat menaruh perhatian padamu. Apakah kau
tidak merasakan hal itu?”
Merahlah muka Kui Hwa. Ia mengangguk dan menjawab, “Dugaanmu memang benar, Tin
Eng. Semenjak dahulu dia memang ..... ada hati terhadapku.”
Setelah berkata demikian, Dewi tangan maut ini menundukkan kepalanya dan mukanya
membayangkan kedukaan besar. Tin Eng yang cerdik dapat menduga bahwa kawannya ini
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 216
tentu teringat lagi akan malapetaka yang menimpa dirinya berhubungan dengan pertemuannya
dengan Gan Bu Gi.
Pada saat itu terdengar suara orang di depan restoran dan mereka mengenal suara pelayan
pendek gemuk yang bicara dengan suara gemetar ketakutan.
“Ampun, tai-ciangkun. Bukan sekali-kali maksud hamba membangkang terhadap perintah
akan tetapi kami tidak berdaya. Empat orang tamu telah memaksa kepada hamba melayani
mereka dan menghidangkan masakan yang telah dipesan oleh Tai-ciangkun, maka terserahlah
kepada kebijaksanaan tai-ciangkun!”
“Kurang ajar!” terdengar suara orang memaki. Suara ini tinggi dan kecil hingga amat ganjil
bagi suara seorang laki-laki.
Kemudian terdengar tindakan kaki banyak orang memasuki restoran itu.
Tin Eng dan Kui Hwa saling pandang dan bersiap sedia karena mereka maklum bahwa yang
datang ini tentulah perwira kerajaan yang menurut kata pelayan tadi, itulah pemborong semua
masakan restoran itu. Mereka melihat munculnya lima orang.
Yang terdepan adalah seorang laki-laki berusia hampir empat puluh tahun yang berpakaian
seperti guru silat dengan sarung golok tergantung pada pinggang kirinya. Tubuh orang ini
tegap dan jenggotnya hanya sedikit, meruncing ke bawah bagaikan jenggot kambing bandot.
Di belakangnya nampak empat orang berpakaian seragam dan melihat hiasan bulu di atas topi
mereka, tahulah kedua orang gadis itu bahwa mereka adalah perwira-perwira kerajaan. Ketika
melihat seorang yang masuk paling belakang, Tin Eng terkejut sekali karena mengenal orang
itu sebagai Thio Sin, kepala pengawal atau perwira yang bekerja pada ayahnya. Thio Sin
membisikkan sesuatu kepada laki-laki setengah tua yang memimpin tadi. Laki-laki itu
berubah mukanya dan kalau tadi ia nampak marah sekali, kini ia berubah menjadi girang,
bahkan lalu tertawa bergelak.
“Ah, ini namanya jodoh! Dicari dengan sengaja ke mana juga tidak bertemu. Tidak tahunya
tanpa disengaja berjumpa di sini. Ha ha!”
Tin Eng berdiri dengan hati tidak enak. Ia tidak tahu siapakah orang ini. Akan tetapi dengan
hadirnya Thio Sin di situ, ia merasa bahwa tentu akan terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan.
“Liok-siocia,” kata Thio Sin. “Ketahuilah bahwa orang gagah ini adalah Ang Sun Tek,
pembantu istimewa dari kerajaan. Biarpun ia tidak mengenakan pakaian seragam, namun
Ang-ciangkun menduduki pangkat amat tinggi di kalangan perwira kerajaan.”
“Aku tidak perduli dan tidak ingin mengetahui hal itu!” jawab Tin Eng dengan kasar.
Orang yang bernama Ang Sun Tek itu tertawa bergelak. Dia inilah ketua dari Liok-te-Pat-mo
(Delapan Iblis Bumi) yang kini menjadi pembantu-pembantu istimewa dari pasukan pengawal
kerajaan. Ang Sun Tek inilah murid Lok Kong Hosiang yang telah mewarisi ilmu silat Patkwa
To-hoat, ahli golok yang amat lihai dan yang menjagoi di seluruh daerah utara. Dialah
yang kini sedang dicari-cari oleh Gwat Kong dan Cui Giok.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 217
“Nona Liok, sudah lama mendengar namamu yang hebat. Bukankah kau yang dijuluki Siankiam
Lihiap dan yang menerima tugas dari kedua anak Pangeran Pang Thian Ong untuk
mencari harta terpendam? Ha ha! Kebetulan sekali, kami serombongan ini sengaja keluar dari
kota raja untuk mencari permata yang telah terjatuh ke dalam tangan kedua putera she Pang
itu. Selain itu, akupun mendapat pesan dari ayahmu untuk mencarimu dan membawamu
kembali ke Kiang-sui!”
“Aku tidak kenal kepadamu dan tidak perduli apa yang sedang kau lakukan, tidak perduli
tentang segala urusanmu dengan ayahku!”
“Ha ha ha! Ganas, ganas! Aku hanya menerima pesan ayahmu dan mau atau tidak, kau harus
ikut kami pergi ke Kiang-sui untuk menghadap ayahmu!”
Tin Eng menjadi marah dan mencabut pedangnya. “Mau memaksa! Boleh, majulah
berkenalan dengan pedangku!”
“Ha ha ha! Sian-kiam Lihiap, si pedang dewa telah mencabut pedangnya Sungguh lihai!”
Sambil berkata demikian, Ang Sun Tek menggerakkan kaki tangannya ke kanan kiri dan
hebat sekali. Meja kursi yang berada di kanan kirinya, sungguhpun tidak tersentuh oleh kaki
tangannya, akan tetapi terdorong jatuh bagaikan disapu angin besar.
Tin Eng terkejut melihat kehebatan tenaga lweekang ini dan Kui Hwa yang melihat ini pun
kaget sekali. Ia maklum bahwa kepandaian Tin Eng takkan dapat menandingi laki-laki ini,
maka iapun segera mencabut pedangnya dan melompat di dekat Tin Eng.
“Eh, ada pendekar pedang wanita yang lain lagi. Siapakah kau, nona?” Ang Sun Tek tertawa
mengejek.
“Tak perlu aku memperkenalkan namaku kepada segala orang macam kau. Cukup kalau kau
kenal namaku sebagai Dewi Tangan Maut!”
Mendengar nama ini, kembali Ang Sun Tek tertawa menghina. “Ah, tidak tahunya ada anak
murid Hoa-san-pai di sini. Kau agaknya lebih bijaksana dari pada Sin Seng Cu. Buktinya kau
mau menjadi sahabat nona Liok yang menjadi anak murid Go-bi-pai.”
“Kau adalah seorang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi sungguh tidak kusangka bahwa
kepandaianmu itu hanya kau gunakan untuk menghina wanita. Adik Tin Eng tidak mau
pulang, mengapa kau hendak memaksanya?”
“Ha ha! Dewi Tangan Maut. Apa kaukira bahwa dengan adanya kau di sini, aku takkan dapat
membawa nona Liok pulang ke Kiang-sui.
“Manusia sombong, pergilah!” Tin Eng yang tak dapat menahan sabar lagi melompat maju
dan mengirim serangan kilat dengan pedangnya.
Ang Sun Tek tertawa-tawa dan menggunakan kakinya menendang meja kursi melayang ke
arah Tin Eng sehingga gadis itu terpaksa menangkis dengan pedangnya. Sekali bacok kursi itu
terbelah dua dan jatuh di atas lantai. Dengan perbuatannya itu, Ang Sun Tek membuat
ruangan itu menjadi lega.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 218
“Nah, majulah dan coba perlihatkan ilmu pedangmu!” ia menantang Tin Eng yang segera mau
menyerbu. Tadinya Ang Sun Tek mengira bahwa ilmu pedang Tin Eng tentulah ilmu pedang
cabang Go-bi-pai. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat pedang itu berkelebat
cepat laksana halilintar menyambar-nyambar.
Terpaksa ia harus menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana ke mari sambil
mempergunakan kedua tangannya mainkan ilmu silat semacam eng-jiauw-kang untuk
merampas pedang di tangan Tin Eng. Kalau saja Tin Eng mempergunakan ilmu pedang Gobi-
pai, dalam beberapa jurus saja pedangnya tentu telah kena dirampas oleh Ang Sun Tek.
Akan tetapi ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng adalah ilmu pedang Sin-eng Kiamhoat
yang luar biasa lihainya, maka jangankan untuk dapat merampas, bahkan kalau
dilanjutkan menghadapi gadis itu dengan tangan kosong, belum tentu Ang Sun Tek akan
dapat mengalahkannya.
Barulah Ang Sun Tek merasa terkejut dan tidak berani memandang rendah. Ia berseru keras
dan mencabut keluar goloknya dan ketika goloknya itu digerakkan, maka menyambarlah
angin dingin yang membuat Tin Eng tercengang. Bukan main hebatnya ilmu golok ini dan
luar biasa pula tenaga sambarannya. Ia tidak tahu bahwa ilmu golok ini adalah Pat-kwa Tohoat
yang merupakan ilmu silat yang paling tinggi untuk daerah utara.
Melihat betapa dalam segebrakan saja golok Ang Sun Tek telah menindih dan mendesak
pedang Tin Eng, Kui Hwa lalu melompat maju dan membantu Tin Eng. Sementara itu, empat
orang perwira kerajaan yang mengikuti Ang Sun Tek hanya berdiri di pinggir menjadi
penonton saja oleh karena mereka tidak berani membantu tanpa diperintah dari Ang Sun Tek.
Biarpun dikeroyok oleh dua orang gadis pendekar itu, namun ilmu golok Ang Sun Tek benar
lihai sekali. Tiap kali goloknya membentur pedang lawan, Tin Eng atau Kui Hwa merasa
tangan mereka tergetar dan pedang mereka hampir terlepas dari genggaman. Hoa-san Kiamhoat
yang dimainkan oleh Kui Hwa adalah ilmu pedang yang lihai, sedangkan Sin-eng Kiamhoat
lebih luar biasa lagi. Akan tetapi kalau kedua ilmu pedang itu digunakan berbareng oleh
dua orang untuk mengeroyok, kedua ilmu pedang ini tidak mendatangkan kehebatan yang
berganda. Biarpun keduanya merupakan ilmu pedang yang lihai, akan tetapi memiliki
keistimewaan masing-masing dan gerakannya yang berbeda.
Hal ini menguntungkan Ang Sun Tek karena kalau saja yang mengeroyoknya itu keduanya
memiliki ilmu pedang Hoa-san Kiam-hoat tentu akan lebih berat baginya. Atau kalau saja
yang mengeroyoknya adalah dua orang Tin Eng, agaknya akan sukar baginya untuk
menjatuhkan lawan-lawannya.
Dengan gerakan-gerakan ilmu golok Pat-kwa To-hoat, yang mempunyai dasar delapan segi
itu, maka ia dapat menghadapi dua orang lawannya dengan baik, bahkan ia selalu berada di
pihak yang mendesak. Baik Tin Eng maupun Kui Hwa telah mulai lambat dan kacau gerakan
pedang mereka, oleh karena mereka telah dibikin bingung oleh perobahan-perobahan sinar
golok yang menyilaukan mata. Ketika Ang Sun Tek sambil tertawa-tawa memperhebat
gerakannya, maka sibuklah mereka menangkis dan mengelak.
“Lepas senjata!” Ang Sun Tek berseru keras dan terdengar bunyi “trang!!” keras sekali. Tahutahu
pedang di tangan Kui Hwa telah terlempar dan mencelat ke atas sampai menancap pada
langit-langit rumah makan itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 219
“Ha ha ha! Dewi Tangan Maut, aku merasa malu untuk melukai seorang yang tak pantas
menjadi lawanku. Kalau kau masih penasaran, suruhlah Sin Seng Cu atau yang lain
mencariku di kota raja!” kata Ang Sun Tek sambil mengelak dari sambaran pedang Tin Eng.
Kemudian secepat kilat tangan kirinya menotok Tin Eng. Gadis itu menjerit, pedangnya
terlepas dari pegangan dan tubuhnya menjadi lemas tidak berdaya lagi.
“Thio-ciangkun, rawatlah baik-baik nona majikanmu itu!” kata Ang Sun Tek kepada Thio Sin
yang segera maju dan menolong Tin Eng yang sudah tak berdaya itu. Sementara itu dengan
hati gemas, marah, sedih dan malu, Kui Hwa melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Tak jauh dari situ, ia melihat Pui Kiat dan Pui Hok datang menunggang kuda. Kui Hwa lalu
memberi tanda-tanda kepada mereka sehingga kedua orang muda itu memutar kembali kuda
mereka dan mengikuti sumoi mereka itu keluar dari kota. Melihat wajah Kui Hwa yang
nampak pucat dan bersungguh-sungguh dan tidak bersama dengan Tin Eng, mereka merasa
gelisah.
“Sumoi, apakah yang telah terjadi?” tanya Pui Kiat setelah mereka tiba di luar kota.
“Dan dimanakah nona Liok?” tanya Pui Hok. “Mengapa ia tidak bersamamu?”
Dengan singkat Kui Hwa lalu menuturkan tentang pengalamannya bertemu dengan Ang Sun
Tek yang kosen dan yang telah berhasil menawan Tin Eng untuk dipulangkan ke Kiang-sui.
“Celaka!” kata Pui Kiat. “Dia adalah kepala dari Liok-te Pat-mo yang amat terkenal Pat-kwatin
mereka. Dia telah memandang rendah Hoa-san-pai kita. Benar-benar kurang ajar!”
“Mari kita tolong nona Liok!” kata Pui Hok.
“Tidak ada gunanya,” kata Kui Hwa. “Orang she Ang itu terlalu tangguh bagi kita. Aku
sendiri bersama Tin Eng sama sekali tidak berdaya menghadapinya. Ilmu goloknya amat luar
biasa. Selain itu, ia masih mempunyai kawan yang berkepandaian tinggi, semua perwira dari
kerajaaan yang tak boleh dipandang ringan. Kalau kita bertiga pergi menolong, kita sendiri
yang akan mendapat bencana.”
“Aku tidak takut!” seru Pui Hok bersemangat. “Apakah kita harus membiarkan saja nona
Liok tertawan?”
“Bukan begitu, ji-suheng,” kata Kui Hwa. “Aku sendiri tentu akan membela mati-matian
apabila mengetahui bahwa Tin Eng berada dalam bahaya. Akan tetapi ia tertawan oleh
kawan-kawan ayahnya sendiri dan maksud mereka hanya akan membawa Tin Eng secara
paksa kembali ke rumah orang tuanya. Memang Tin Eng pergi dari rumah orang tuanya tanpa
izin ayahnya.”
Kemudian karena terpaksa, secara singkat Kui Hwa menuturkan riwayat Tin Eng yang
dipaksa kawin sehingga lari dari rumahnya dan betapa mereka berdua bertemu dengan Phang
Gun dan Phang Si Lan yang mempercayakan pengambilan harta terpendam kepada Tin Eng
dan dia sendiri.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 220
“Oleh karena itu, keselamatan Tin Eng kurasa takkan terganggu. Mereka takkan berani
mengganggu puteri dari Kepala daerah Liok di Kiang-sui. Yang kukhawatirkan hanya kalaukalau
mereka akan dapat memaksa Tin Eng membongkar rahasia peta tempat harta pusaka itu
tersimpan. Dan terutama sekali, tantangan Ang Sun Tek amat menggemaskan hati, maka
sekarang baiknya diatur begini saja. Ang Sun Tek dan para kawannya belum kenal kepada
suheng berdua, maka suheng berdua baiknya mengikuti perjalanan mereka, sambil menjaga
kalau-kalau Tin Eng mengalami bencana. Pendeknya, suheng berdua mengawal Tin Eng
secara sembunyi. Aku sendiri hendak melaporkan hal ini kepada suhu dan susiok agar supaya
penghinaan Ang Sun Tek terhadap Hoa-san-pai dapat terbalas. Kemudian aku akan mewakili
Tin Eng mengambil harta pusaka itu sebelum didahului oleh Ang Sun Tek atau pesuruh dari
Pangeran Ong Kiat Bo yang lain.”
Pui Kiat dan Pui Hok menyatakan persetujuan dan kesanggupan mereka, terutama sekali Pui
Hok yang tanpa tedeng aling-aling lagi menyatakan perasaan tertarik dan sukanya kepada Tin
Eng dan pemuda ini amat mengkhawatirkan keadaan nona cantik itu. Dengan diam-diam
mereka mengikuti rombongan yang dipimpin oleh Ang Sun Tek itu, yang tidak melanjutkan
perjalanan mereka ke Hong-san, akan tetapi kembali ke utara dan kini menuju Kiang-sui.
Sebetulnya, ketika mereka memasuki kota itu dan bertemu dengan pasukan berkuda di bawah
pimpinan Ang Sun Tek, secara iseng Pui Kiat dan Pui Hok mencari keterangan tentang hal
mereka dan mendapat penuturan pengurus hotel bahwa rombongan berkuda itu adalah
perwira-perwira kerajaan yang akan pergi ke Hong-san. Tadinya mereka tidak mengambil
perhatian dan mereka tertarik ketika mereka bertemu dengan Kui Hwa dan mendapat
keterangan bahwa Kui Hwa dan Tin Eng juga sedang menuju ke Hong-san. Kini setelah
mendengar penuturan Kui Hwa, barulah kedua saudara Pui ini mengerti apakah maksud
semua orang pegi ke Hong-san, yakni mencari harta pusaka yang tersembunyi di daerah
pegunungan itu.
Sebagaimana yang telah diduga oleh Kui Hwa, Tin Eng tidak mendapat gangguan di tengah
perjalanan, sungguhpun ia tidak berdaya sama sekali, naik kuda di tengah-tengah rombongan,
Ang Sun Tek yang kosen itu senantiasa mendampinginya untuk menjaga kalau-kalau nona
pendekar itu melarikan diri.
****
Kita tinggalkan dulu pasukan berkuda yang membawa Tin Eng menuju Kiang-sui dan yang
selalu diikuti jejaknya oleh Pui Kiat dan Pui Hok itu dan marilah kita menengok keadaan Bun
Gwat Kong dan Sie Cui Giok yang melakukan perjalanan bersama.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan bahwa nona Sie Cui Giok yang gagah perkasa
itu sedang melakukan perjalanan untuk mencari Liok-te Pat-mo dan membalas dendam
kakeknya yang pernah dikalahkan oleh delapan iblis bumi yang lihai itu dan Bun Gwat Kong
yang merasa tertarik mendengar hal ini lalu ikut pergi bersama Cui Giok untuk bersama-sama
mencoba kelihaian Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo itu.
Karena perjalanan mereka ke kota raja itu, melalui Hun-lam, maka setelah lewat di kota itu,
Gwat Kong menyatakan kepada kawan seperjalanannya untuk mampir sebentar.
“Apakah kau ada keperluan di kota ini?” tanya Cui Giok yang ingin buru-buru sampai di kota
raja.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 221
Gwat Kong belum pernah menceritakan kepada nona ini perihal Tin Eng dan ia mengira
bahwa Tin Eng masih tinggal di rumah Lie-wangwe, yakni paman dari Tin Eng yang tinggal
di kota Hun-lam. Mendengar pertanyaan Cui Giok ini ia menjadi bingung karena sukar untuk
menyebut nama Tin Eng tanpa menceritakan semua riwayatnya dengan gadis itu. Akan tetapi
akhirnya ia menjawab juga, “Aku mempunyai seorang kawan baik di kota ini.”
“Siapa dia? Siapa namanya?”
Gwat Kong berwatak jujur dan sukar sekali baginya untuk membohong atau
menyembunyikan sesuatu, maka ia menjawab perlahan, “Namanya Tin Eng, ia she Liok.”
“Liok Tin Eng? Hm, indah sekali nama ini untuk seorang wanita!”
Muka Gwat Kong menjadi merah, “Memang dia seorang wanita.”
“Hmm, namanya sudah indah, tentu orangnya muda lagi cantik.”
“Eh, Cui Giok. Bagaimana kau bisa mengetahui hal itu?”
“Apakah kau menganggap aku sebodohnya orang? Kau katakan bahwa dia adalah kawan
baikmu. Kalau dia bukan seorang dara jelita, habis apakah kau berkawan baik dengan seorang
nenek-nenek tua yang ompong?”
Mau tak mau Bun Gwat Kong tertawa juga mendengar ucapan jenaka ini. Akan tetapi aneh
sekali, ketika ia memandang muka gadis itu, Cui Giok tidak tertawa geli sebagaimana
dugaannya, bahkan gadis itu nampak tak senang dan cemberut.
“Gwat Kong, apakah aku ..... harus ikut pula mengunjunginya?”
“Tentu saja!” jawab Gwat Kong sambil memandang heran. “Mengapa tidak ikut?”
Cui Giok menundukkan mukanya. “Ah, .... aku khawatir kalau-kalau ..... hanya akan
mengganggunya.”
“Kau benar-benar aneh. Bagaimana seorang sahabat dapat mengganggu pertemuan antara
kedua orang kawan?”
“Jadi kau anggap aku seorang sahabatmu?”
“Tentu saja, habis, bukankah kita memang sahabat karib?”
Diam sejenak.
“Gwat Kong, apakah dia akan suka melihat dan menerima aku kalau aku ikut ke sana?”
“Siapakah yang kau maksudkan? Tin Eng? Tentu saja! Tin Eng adalah seorang gadis
pendekar yang berkepandaian tinggi dan berhati gagah. Dia mempunyai ilmu pedang Sin-eng
Kiam-hoat.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 222
Mendengar ini, Cui Giok memandang cepat. “Oh, jadi dia masih sumoimu sendiri?”
Memang pertanyaan Cui Giok ini sudah sewajarnya oleh karena ia tahu bahwa Gwat Kong
adalah ahli waris Sin-eng Kiam-hoat, maka kalau gadis yang bernama Tin Eng itu pandai ilmu
pedang Sin-eng Kiam-hoat pula, siapa lagi kalau bukan sumoi (adik perempuan seperguruan)
dari Gwat Kong?
“Bukan, bukan sumoiku. Dia itu adalah anak dari bekas majikanku. Tentang kepandaiannya
dalam ilmu pedang Sin-eng Kiam-hoat itu sesungguhnya ada perbedaannya dengan
kepandaianku.”
Gwat Kong lalu menuturkan tentang kitab pelajaran ilmu pedang yang diketemukannya ketika
ia menggali kebun di belakang rumah gedung Liok-taijin dan bahwa Tin Eng hanya
mempelajari ilmu pedang itu dari kitab salinannya yang disalin secara buruk sekali oleh Bueng-
sian Leng Po In.
Sambil bercakap-cakap mereka memasuki kota Hun-lam dan tak terasa pula tahu-tahu mereka
telah berada di depan gedung Lie-wangwe. Hati Gwat Kong berdebar ketika ia melihat
gedung itu. Kegembiraan memenuhi hatinya kalau ia ingat bahwa sebentar lagi akan bertemu
dan berhadapan muka dengan Tin Eng.
Akan tetapi gedung itu nampaknya sunyi saja dan ketika Gwat Kong yang diikuti oleh Cui
Giok telah masuk di ruang depan, seorang pelayan menyambutnya. Pelayan itu masih
mengenali Gwat Kong maka dengan muka girang ia lalu mempersilahkan pemuda itu duduk
untuk menunggu sedangkan ia lalu melaporkan kedatangan tamu ini kepada Lie-wangwe.
Tak lama kemudian pelayan itu keluar lagi dan mempersilahkan kedua orang tamunya masuk
ke ruang tamu di mana Lie-wangwe sendiri menyambut mereka. Gwat Kong terkejut melihat
orang tua itu nampak pucat dan seperti keadaan sakit. Ia buru-buru memberi hormat yang
diturut pula oleh Cui Giok.
“Bun-hiante, kau baru datang?” tanya hartawan itu dengan suara lemah.
“Lie-siokhu, apakah kau selama ini sehat-sehat saja?”
Hartawan itu menghela napas dan memberi isyarat dengan tangannya untuk mempersilahkan
kedua orang tamunya mengambil tempat duduk.
“Semenjak Tin Eng pergi, kesehatanku selalu terganggu. Aku merasa sunyi dan tak ada
kegembiraan sama sekali.”
“Tin Eng pergi? Kemanakah dia siokhu? Apakah dia pulang ke Kiang-sui?” tanya Gwat Kong
dengan hati kecewa.
“Tidak, mana dia mau pulang ke Kiang-sui? Dia pergi bersama seorang sahabatnya, seorang
nona gagah perkasa yang bernama Tan Kui Hwa yang berjuluk Dewi Tangan Maut.”
“Ah, dia??” kata Gwat Kong, teringat bahwa Dewi Tangan Maut adalah anak musuh besar
ayahnya. “Kemanakah mereka pergi, susiokhu?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 223
“Siapa tahu ke mana anak-anak muda pergi. Mereka hanya menyatakan hendak merantau. Ah
... memang aneh sekali anak-anak muda sekarang. Lebih suka merantau bersusah payah dan
mencari lelah, padahal di rumah lebih senang dan segala apa tersedia.”
Gwat Kong tidak lama berada di situ, karena ia maklum bahwa orang tua yang sedang tidak
sehat itu tidak boleh diganggu terlalu lama. Ketika ia berpamit, Lie-wangwe hanya memesan
bahwa apabila pemuda itu bertemu dengan Tin Eng, minta supaya gadis itu kembali ke Hunlam.
Cui Giok dapat melihat kekecewaan yang membayang keluar dari pandang mata Gwat Kong,
maka ia tidak mau mengganggunya. Hanya berkata sambil berjalan di sebelah pemuda yang
menjadi pendiam itu,
“Aku pernah mendengar nama Dewi Tangan Maut yang terkenal. Bukankah dia itu anak
murid Hoa-san-pai?”
Gwat Kong hanya mengangguk. Kekecewaan membuat ia malas bicara. Cui Giok dapat
merasakan pula sikap Gwat Kong ini. Maka gadis yang berhati polos ini bertanya,
“Gwat Kong, agaknya kau dan Tin Eng saling menyintai.”
Gwat Kong terkejut mendengar ini dan mukanya menjadi merah sekali.
“Cui Giok, bagaimana kau bisa berkata demikian? Tin Eng adalah anak tunggal dari Kepala
daerah di Kiang-sui, seorang bangsawan tinggi yang berpengaruh dan kaya raya. Sedangkan
aku ini orang macam apakah? Aku dahulu hanyalah menjadi seorang pelayan tukang kebon
dari keluarga Liok. Mana ada aturan seperti yang kau duga itu?”
“Jadi kalau begitu, kau dan Tin Eng hanyalah sahabat belaka?”
“Disebut sahabat pun sudah janggal terdengarnya. Aku pernah menjadi pelayannya. Mana ada
pelayan menjadi sahabat puteri majikannya?”
Kini Cui Giok memandang dengan mata berseri.
“Gwat Kong ......” katanya akan tetapi kata-katanya terhenti.
“Kau hendak bilang apakah, Cui Giok?” Gwat Kong bertanya sambil memandang.
“Ada orang yang semenjak bertemu dengan kau ....” ia berhenti lagi.
“Ya ....?” Gwat Kong mendesak.
“Yang tidak memandang rendah kepadamu bahkan yang menganggap kau cukup berharga
untuk menjadi sahabat seorang puteri kaisar sekalipun!”
“Ah, orang itu tentu terdorong hatinya oleh rasa kasihan terhadap anak yatim piatu sebatang
kara yang miskin ini,” cela Gwat Kong.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 224
“Tidak! Orang itu menyatakan dengan sejujur hatinya bahwa kau adalah orang yang jujur dan
mulia. Sifat kebajikan ini tak dapat diukur dengan hanya melihat keadaan lahirnya. Sejarah
menyatakan bahwa tak sedikit jumlahnya orang-orang yatim piatu yang paling miskin
memiliki jiwa kesatria dan hati mulia yang jauh lebih berharga dari pada segala pangkat dan
harta benda orang-orang berhati rendah!”
Maka merahlah muka Gwat Kong. “Aaah, orang itu terlalu melebih-lebihkan!” Diam-diam ia
menjadi bingung dan dadanya berdebar, karena ia maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Cui
Giok ‘orang’ itu adalah Cui Giok sendiri.
Nona itu tertawa dan memandang kepada Gwat Kong dengan mata berseri dan gembira.
“Sayangnya kau pemalu dan berpura-pura ....... alim!”
“Haaa .....?” Gwat Kong memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi Cui Giok hanya
tertawa geli lalu berlari cepat sehingga Gwat Kong harus mengerahkan tenaga untuk
menyusulnya.
Beberapa hari kemudian mereka tiba di pinggiran sungai Yung-ting di propinsi Hope.
“Gwat Kong, aku sudah bosan melakukan perjalanan melalui darat. Marilah kita melanjutkan
melalui sungai Yung-ting ini. Aku mendengar kabar bahwa pemandangan di kanan kiri sungai
ini amat indahnya, pula dengan membonceng kepada aliran air, kita menghemat tenaga kaki.”
“Kau pemalas!” Gwat Kong menggoda.
Akan tetapi ia tidak membantah dan keduanya lalu menyewa sebuah perahu kepunyaan
seorang nelayan tua yang berjenggot panjang. Perahu itu kecil saja akan tetapi masih baik dan
kuat. Di sini terdapat sebuah payon dari bilik yang kecil akan tetapi cukup untuk digunakan
sebagai pelindung serangan hujan atau angin. Tiang layarnya dari kayu kasar dan kuat,
dipasang di tengah-tengah perahu.
“Ji-wi jangan kuatir, perahuku ini cukup dan baik, tidak bocor sedikitpun juga seperti mulut
seorang budiman.”
Gwat Kong tersenyum dan sambil memandang air sungai Yung-ting yang sedang pasang, ia
bertanya,
“Apakah tidak berbahaya, lopek? Aku harus akui bahwa aku tak pandai berenang,
sungguhpun kawanku ini seorang ahli berenang yang pandai.” Sambil berkata demikian, ia
mengerling kepada Cui Giok yang tertawa geli karena kata-kata ini mengingatkan ia akan
peristiwa ketika ia berjumpa untuk pertama kalinya dengan Gwat Kong.
“Sama sekali tidak berbahaya. Bahkan kalau air sedang pasang seperti ini, lebih mudah untuk
berlayar. Tidak takut akan bahayanya batu karang yang menghalang di bawah permukaan
air.”
“Apakah tidak ada bajak sungai?” tanya Cui Giok.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 225
Kakek nelayan itu mengerutkan alisnya. “Tak berani aku mengatakan tidak ada. Biasanya sih
aman saja. Hanya kadang-kadang di dekat Kiang-sui suka timbul gangguan bajak sungai.
Akan tetapi setelah Kepala daerah Kiang-sui mengadakan pembersihan, kabarnya banyak
bajak sungai tak berani mengganggu lagi.”
Gwat Kong melompat ke atas ketika mendengar ini. “Apa sungai ini mengalir sampai ke
Kiang-sui?”
“Tidak memasuki kotanya, kongcu. Hanya mengalir di sebelah selatan kota itu. Kira-kira lima
li jauhnya dari batas kota.”
“Bagus!” kata Gwat Kong dengan girang. “Kalau begitu kita dapat berhenti sebentar karena
aku akan mengunjungi Kiang-sui.”
Cui Giok cemberut. “Hmm, kau tentu mencari Tin Eng di rumah ayahnya.”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak, Cui Giok, Tin Eng tidak akan ada di rumahnya, karena aku
tahu betul gadis itu takkan mau pulang ke rumah orang tuanya. Aku hanya ingin melihat kota
di mana aku telah tinggal bertahun-tahun di situ, karena bukankah kita kebetulan melalui kota
itu?”
Pada saat kedua orang muda itu hendak naik ke dalam perahu itu, tiba-tiba terdengar derap
kaki kuda dan muncullah lima orang penunggang kuda. Dua di antara mereka adalah Lui Siok
si Ular Belang dan Song Bu Cu, dua orang pemimpin perkumpulan Hek-i-pang. Tiga yang
lain adalah tiga orang anak buah mereka di kota Tong-kwan, pusat perkumpulan itu.
Song Bu Cu dan Lui Siok belum pernah bertemu Gwat Kong, maka mereka hanya melirik
saja dan hendak melarikan kuda mereka melewati tempat itu. Akan tetapi seorang di antara
anak buah mereka pernah melihat Gwat Kong ketika pemuda ini menangkap Touw Cit dan
Touw Tek, pemeras kota Hun-lam dan anak buah Hek-i-pang, maka ia menahan kendali
kudanya dan berseru,
“Kang-lam Ciu-hiap!”
Mendengar disebutnya nama ini, Song Bu Cu dan Lui Siok terkejut dan segera menahan kuda
mereka.
“Mana jahanam itu?” tanya Lui Siok kepada anak buahnya yang berseru tadi. Orang itu lalu
menudingkan jarinya ke arah Gwat Kong dan berkata,
“Itulah dia orangnya, Kang-lam Ciu-hiap yang telah mengacau di Hun-lam!”
Song Bu Cu dan Lui Siok memandang dan ketika melihat bahwa yang bernama Kang-lam
Ciu-hiap seorang pemuda yang nampaknya lemah dan kawan pemuda itupun hanya seorang
dara muda yang cantik. Maka mereka lalu melompat turun dari kuda dan menghampiri perahu
itu dengan lagak sombong.
“Cui Giok,” kata Gwat Kong melihat sikap kedua orang itu. “Kita bertemu dengan orangorang
jahat. Mereka tentu akan mencari perkara.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 226
“Bagus!” kata Cui Giok tersenyum girang. “Mereka akan menyesal hari ini selama hidupnya.”
Bab 25 ...
SEMENTARA itu, nelayan tua ketika mendengar ucapan-ucapan ini dan melihat sikap Song
Bu Cu dan Lui Siok yang galak mengancam menjadi ketakutan. Ia berjongkok di dalam
perahunya dengan tubuh menggigil dan mulutnya tiada hentinya menyebut nama Budha
sambil memohon,
“Omi-tohud! Lindungilah hamba ........”
Dengan sikap tenang sekali Gwat Kong dan Cui Giok lalu keluar dari perahu dan berjalan
maju menyambut kedatangan kedua orang itu. Setelah mereka berhadapan, Lui Siok
menudingkan telunjuknya ke arah muka Gwat Kong dan membentak,
“Bangsat kecil, apakah kau yang bernama Gwat Kong dan yang menyombongkan diri sebagai
Kang-lam Ciu-hiap?”
“Bangsat besar!” Gwat Kong balas memaki. “Memang cocok sekali watakmu sebagai bangsat
besar, datang-datang memaki orang, seperti orang yang miring otaknya.”
“Kang-lam Ciu-hiap! Dengarlah baik-baik. Aku adalah Lui Siok, wakil ketua dari Hek-i-pang
di Tong-kwan, sedangkan twako ini adalah Song Bu Cu, ketua dari Hek-i-pang. Kau telah
berlaku kurang ajar dan telah menghina Touw Cit dan Touw Tek di Hun-lam. Mereka itu
adalah anggauta-anggauta perkumpulan kami.”
“Pantas, pantas!” Gwat Kong mengangguk-anggukkan kepalanya. “Pantas saja nama Hek-ipang
dibenci semua orang. Tidak tahunya yang menjadi ketua dan wakil ketuanya orangorang
macam ini.”
“Akupun pernah mendengar tentang kebusukan nama Hek-i-pang,” tiba-tiba Cui Giok ikut
bicara. “Karenanya sudah lama aku ingin menegurnya. Sekarang pemimpin-pemimpinnya
datang menyerahkan diri. Sungguh bagus, tidak usah aku mencapekkan diri mencari.”
Bukan main marahnya Song Bu Cu dan Lui Siok mendengar ucapan kedua orang muda ini.
“Perempuan busuk!” Song Bu Cu membentak. “Siapakah kau yang lancang mulut ini?”
Cui Giok tertawa. “Mau tahu aku siapa? Aku adalah malaikat penjaga sungai Yung-ting ini
dan aku telah mendapat pesan dari Hay-liong-ong (Raja naga laut yang menguasai air) agar
supaya aku menangkapmu dan melemparkan kau ke air agar dosa-dosamu dicuci bersih
dengan air sungai ini.”
“Anjing betina!” Song Bu Cu memaki dengan marah yang meluap-luap. Belum pernah ada
orang yang berani menghina sedemikian rupa. Apalagi seorang dara muda seperti Cui Giok.
Maka ia lalu bergerak maju hendak menyerang, akan tetapi ia didahului oleh Lui Siok yang
berkata,
“Twako, biarlah aku yang menangkap domba betina yang pandai berlagak ini. Harap twako
membereskan saja Kang-lam Ciu-hiap!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 227
Memang Lui Siok berwatak licik. Ia telah mendengar dari Gan Bu Gi tentang kelihaian Kanglam
Ciu-hiap, maka biarpun dulu di depan Gan Bu Gi ia bicara sombong, akan tetapi karena
kini Gwat Kong berkawan seorang gadis muda, ia hendak mengambil rsiko sekecil-kecilnya
dengan melawan gadis itu. Melawan Kang-lam Ciu-hiap ada bahayanya menderita kalah.
Akan tetapi menghadapi gadis muda ini tak mungkin akan kalah, demikian pikirnya.
Ia bermaksud membikin malu dara muda yang cantik itu, maka begitu ia menubruk maju, ia
mengeluarkan ilmu silatnya yang lihai, yakni ilmu tangkap yang disebut Siauw-kin-na-jiuhoat,
sebagaimana pernah ia pergunakan ketika ia melawan Tin Eng. Siauw-kin-na-jiu-hoat
ini dilakukan mengandalkan kekuatan jari tangan dan kecepatan gerakan. Setiap tangkapan
atau cengkeraman ditujukan kepada jalan darah sehingga sekali saja tangan atau bagian tubuh
lain dari lawan kena tertangkap, maka amat sukarlah bagi lawan itu untuk dapat melepaskan
diri.
Sambil berseru keras, Lui Siok menyerang ke arah kedua pundak Cui Giok dan ia merasa
bahwa serbuannya ini pasti akan berhasil karena selain ia lakukan dengan amat cepatnya, juga
ia melihat betapa gadis itu masih berdiri dengan bertolak pinggang, sama sekali tidak
memasang kuda-kuda.
Sementara itu, Song Bu Cu juga maju menyerbu Gwat Kong. Ketua dari Hek-i-pang terlalu
percaya kepada kepandaian sendiri dan ia memandang rendah kepada Gwat Kong yang masih
amat muda, maka ia menyerang menggunakan kedua tangannya saja. Melihat betapa pemuda
itu dengan sikap sembarangan berdiri dengan kaki kiri di depan dan dua tangan disilangkan di
dada, ia lalu memajukan kaki kanan dan memukul dengan gerak tipu Pek-wan-hian-tho
(Kerah putih persembahkan buah Tho) dengan maksud untuk menipu. Dan apabila lawannya
mengelak sambil mengundurkan kaki kiri, ia akan menyusul dengan kaki kirinya mengirim
tendangan dibarengi dengan pukulan tangan kanan.
Serangan yang dilakukan oleh Lui Siok dan Song Bu Cu datangnya pada saat yang sama, dan
keduanya telah merasa yakin bahwa serangan pertama itu tentu akan merobohkan lawan.
Akan tetapi, tiga orang anak buah Hek-i-pang dan nelayan tua yang menonton pertempuran
itu, tiba-tiba membelalakkan mata dan memandang dengan penuh keheranan ketika serangan
itu bukan mengakibatkan robohnya Gwat Kong dan Cui Giok, bahkan tiba-tiba terdengar
suara kaget disusul oleh melayangnya tubuh Song Bu Cu dan Lui Siok ke sungai.
“Byur........ byur .......!!” air memercik ke atas ketika dua tubuh ketua Hek-i-pang itu menimpa
air. Song Bu Cu masih untung oleh karena ia terjatuh di air dengan kepala lebih dahulu
sehingga ia dapat meluruskan tubuhnya dan kedua tangannya dipergunakan untuk memasuki
air dengan baik. Akan tetapi Lui Siok terjatuh dengan pantat lebih dulu sehingga ia merasa
pantatnya panas dan pedas.
Gwat Kong dan Cui Giok saling pandang dengan alis terangkat dan ulut tersenyum geli.
Sungguh tak pernah mereka duga bahwa mereka mempunyai maksud dan gerakan yang sama
yakni melemparkan kedua lawan itu ke dalam air. Maka tak tertahan pula keduanya tertawa
bergelak sambil memandang ke arah dua orang lawannya yang sedang berenang ke pinggir.
Song Bu Cu dan Lui Siok menjadi marah sekali. Memang tadi mereka telah sangka dan
terlalu memandang rendah kepada lawan yang muda-muda ini. Ketika tadi Lui Siok
mencengkeram ke arah pundak Cui Giok, gadis itu sama sekali tidak mengelak atau
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 228
menangkis, akan tetapi mengerahkan seluruh tenaga lweekangnya ke arah pundak dan
mengeluarkan ilmu sia-kut-hoat (melepas tulang melemaskan tubuh). Sehingga ketika kedua
tangan Lui Siok mencengkeram pundak gadis itu, si Ular Belang terkejut karena kulit pundak
gadis itu terasa amat licin dan tak dapat ditangkap. Sebelum ia menginsyafi bahwa ia telah
melakukan serangan yang amat berbahaya bagi kedudukannya sendiri, tiba-tiba kedua tangan
Cui Giok telah menangkap leher dan bajunya, lalu melontarkan dengan tenaga lweekang
hebat ke sungai.
Adapun Song Bu Cu ketika menyerang Gwat Kong dengan pukulan Pek-wan-hian-tho sama
sekali tidak mengira bahwa Gwat Kong sudah dapat menduga maksudnya, maka dengan
sengaja pemuda itu melangkahkan kaki kiri ke belakang. Song Bu Cu menjadi girang dan
cepat menyusul dengan tendangan kaki kirinya dan pukulan tangan kirinya. Akan tetapi, tibatiba
Gwat Kong berjongkok meluputkan diri dari pukulan lawan. Adapun kaki kiri Song Bu
Cu menyambar kearahnya. Ia menyambut kaki kiri itu dengan tangkapan tangan kanan dan
sambil ‘meminjam’ tenaga tendangan lawan, ia membetot dan melontarkan tubuh Song Bu Cu
ke dalam air.
Demikianlah, maka dengan amarah yang menyesakkan pernapasan dan dengan pakaian basah
kuyup, Song Bu Cu dan Lui Siok berenang ke pinggir dan melompat ke darat.
Cui Giok menyambut Lui Siok dengan tertawa mengejek, “Nah, baru sekali kau mencuci
dosa, masih belum bersih. Masih kurang lama kau mencuci dosamu.”
Gwat Kong menjadi gembira juga mendengar kejenakaan Cui Giok, maka sambil tersenyumsenyum
yang memanaskan hati, ia berkata kepada Song Bu Cu,
“Pangcu (ketua), orang bilang bahwa air sungai Yung-ting ini rasanya asin seperti air laut,
betulkah itu?”
Song Bu Cu dan Lui Siok menjawab ejekan ini dengan mencabut senjata masing-masing.
Song Bu Cu mengeluarkan sepasang pedangnya, sedangkan Lui Siok melepaskan sabuk ular
belang yang tadi melibat di pinggangnya,
Gwat Kong dan Cui Giok maklum bahwa kedua orang lawan ini betapapun juga tak boleh di
pandang ringan dengan senjata-senjata mereka, maka kedua orang muda itupun lalu mencabut
pedang masing-masing. Gwat Kong mengeluarkan Sin-eng-kiam yang bercahaya gemilang
sedangkan Cui Giok juga mengeluarkan sepasang pedangnya yakni Im-yang Siang-kiam.
Berbareng dengan bentakan-bentakan mereka, Song Bu Cu menyerang Gwat Kong sedangkan
Lui Siok menyerang Cui Giok. Pertempuran yang amat seru terjadi di pinggir sungai itu.
Benar-benar hebat dan menarik, karena Gwat Kong yang berpedang tunggal menghadapi
sepasang pedang Song Bu Cu. Sedangkan sabuk ular belang di tangan Lui Siok yang lihai
bertemu dengan sepasang pedang pula di tangan Cui Giok.
Lui Siok adalah seorang murid tertua Kim-san-pai. Maka ilmu silatnya sudah cukup tinggi.
Dibandingkan dengan sutenya, yakni Gan Bu Gi, kepandaiannya masih lebih tinggi dan
ditambah pula dengan pengalaman bertempur berpuluh tahun, maka ia benar-benar tangguh
dan merupakan lawan berat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 229
Juga Song Bu Cu lebih lihai lagi. Sepasang pedangnya berputar-putar cepat bagaikan
sepasang naga berebut mustika dan sebagai seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu
lweekang amat tinggi, maka gerakan sepasang pedangnya itu mengeluarkan angin dingin
yang mengerikan.
Akan tetapi kini kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu benar-benar menjumpai batu karang.
Betapapun lihainya Song Bu Cu, kini menghadapi Sin-eng Kiam-hoat yang dimainkan oleh
Gwat Kong, ia seakan-akan bertemu dengan gurunya. Pedang tunggal Gwat Kong bergerak
lebih cepat dan tiap gerakannya merupakan tangkisan dan serangan balasan yang berbahaya
sekali sehingga dalam beberapa belas jurus Song Bu Cu telah terdesak mundur dan sepasang
pedangnya tertindih, membuat ia sukar sekali mengirim serangan balasan.
Apalagi Lui Siok. Orang ini setelah bertempur belasan jurus, diam-diam mengeluh dan
memaki kepada dirinya sendiri yang dianggapnya goblok dan buta sehingga tadi memilih
gadis ini untuk menjadi lawannya. Biarpun ia belum pernah bertempur melawan Gwat Kong,
akan tetapi menghadapi kelihaian gadis ini, ia berani bersumpah untuk menyatakan bahwa
kepandaian Gwat Kong tak mungkin dapat setinggi gadis ini.
Sebentar saja gerakan sabuknya menjadi kalut sekali. Sepasang pedang dari Cui Giok yang
bergerak dengan tenaga lemas dan keras berganti-ganti membuat Lui Siok menjadi pening
kepala dan pandangan matanya menjadi kabur berkunang.
Cui Giok memang seorang dara yang jenaka sekali dan ia paling suka mempermainkan orang.
Apalagi kalau orang itu seorang penjahat yang dibencinya. Bagaikan seekor kucing betina
menangkap tikus, ia tidak mau menamatkan riwayat tikus itu demikian saja tanpa
dipermainkan terlebih dahulu.
Kalau ia mau, sudah semenjak gebrakan pertama ia dapat membabat putus sabuk lawannya,
atau bahkan melukai tubuh Lui Siok. Akan tetapi ia tidak melakukan hal ini dan sengaja
menanti sampai Gwat Kong mengalahkan lawannya lebih dulu. Maka ujung pedangnya hanya
‘mampir’ saja dipakaian lawannya sehingga baju Lui Siok sudah bolong-bolong dimakan
ujung pedang. Bahkan kulit tubuhnya di beberapa bagian juga terbawa hingga mengeluarkan
darah dan terasa perih sekali.
Di lain pihak, Gwat Kong tidak mau mempermainkan Song Bu Cu sebagaimana yang
dilakukan oleh Cui Giok. Pemuda ini mainkan pedangnya dengan hebat dan mendesak terus
sambil mengirim serangan-serangan yang berbahaya. Sungguhpun ia tidak mau melakukan
serangan yang mematikan atau membahayakan keselamatan lawannya.
Ia hanya ingin merobohkan lawannya dengan luka seringan mungkin. Beberapa kali ia
berusaha membuat kedua pedang lawan terlepas. Akan tetapi ternyata bahwa usaha ini
amatlah sukar. Oleh karena itu Gwat Kong menjadi penasaran sekali. Ia maklum bahwa
berkat keuletan lawannya, maka amat sukarlah baginya untuk dapat merobohkan lawan ini
tanpa mengirim serangan hebat yang dapat mengakibatkan luka berat atau kebinasaan. Maka
setelah berpikir agak lama, Gwat Kong lalu mencabut sulingnya yang disimpan pada buntalan
pakaian yang diikat di punggungnya. Kemudian dengan suling di tangan kiri dan pedang di
tangan kanan, ia mendesak lagi.
Bukan main terkejutnya hati Song Bu Cu melihat gerakan suling ini, karena tidak saja hebat
dan lihai, bahkan lebih berbahaya agaknya dari pada pedang pemuda itu. Ia tidak tahu bahwa
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 230
Gwat Kong mainkan sulingnya dengan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat, ilmu silat tingkat
tinggi yang dipelajari dari Bok Kwi Sianjin. Dengan suling dan pedang ditangannya, maka
sekali gus pemuda itu telah mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat.
Sudah tentu Song Bu Cu tidak kuat menghadapi dua ilmu silat yang telah menggemparkan
daerah barat dan timur ini. Maka mukanya menjadi pucat dan sepasang pedangnya tak
berdaya sama sekali. Pada saat yang tepat, suling di tangan kiri Gwat Kong bergerak
menyerang dengan totokan jalan darah di bagian pundak dan pedangnya berkelebat
mengancam pergelangan tangan lawan.
Song Bu Cu menjadi bingung oleh karena gerakan kedua senjata lawannya itu benar-benar tak
dapat diduga semula, maka ia terpaksa harus miringkan tubuh ke kiri untuk menghindarkan
totokan suling dan menggerakkan siang-kiamnya untuk menangkis sambaran pedang. Akan
tetapi pada saat itu ketika kedudukan tubuhnya masih buruk dan lemah, tiba-tiba kaki kanan
Gwat Kong menyambar dibarengi dengan ketokan sulingnya pada pergelangan tangan kanan
lawannya.
Song Bu Cu memekik nyaring dan untuk kedua kalinya, tubuhnya yang tinggi itu terlempar ke
tengah sungai.
Cui Giok gelak terbahak melihat hal ini, maka sambil tertawa-tawa ia lalu mempercepat
gerakan pedangnya yang menyambar-nyambar dan mengancam ulu hati dan leher lawan
bertubi-tubi. Lui Siok merasa bingung dan gelisah sekali, terutama karena ia melihat Song Bu
Cu telah dikalahkan, maka sambil menangkis ia main mundur saja tanpa dapat membalas
serangan Cui Giok.
“Hayo mundur! Terus sampai ke sungai. Kau harus mandi sekali lagi!” Sambil berkata
demikian, pedangnya berkelebat menghadang jalan keluar bagi Lui Siok, sehingga si Ular
Belang ini hanya mempunyai sejurus jalan, yakni di belakangnya di mana membentang sungai
Yung-ting. Makin cepat Cui Giok berjalan dan mendesak, makin cepat pula ia mundur
sehingga akhirnya ia sampai di pinggir sungai itu.
“Hayo, lekas lompat ke air! Kau harus mandi lagi seperti kawanmu!”
Karena pedang Cui Giok menyambar-nyambar dengan hebatnya, terpaksa Lui Siok melompat
ke belakang dan “byuuur..!” untuk kedua kalinya iapun dipaksa minum air sungai.
Bukan main hebatnya hinaan yang diderita oleh kedua orang pemimpin Hek-i-pang itu.
Mereka adalah jago-jago silat yang terkenal dan ditakuti, dan banyak orang kang-ouw
menganggap mereka sebagai ahli-ahli silat berkepandaian tinggi. Siapa nyana bahwa pada
hari ini mereka bertemu dengan dua orang muda yang mempermainkan mereka semaunya,
seakan-akan mereka adalah dua ekor tikus kecil berhadapan dengan dua kucing besar.
Lebih-lebih Song Bu Cu. Pangcu ini telah membuat nama besar dan belum pernah ia
dikalahkan orang dengan mudah. Kini setelah dipaksa untuk berenang melawan air sungai
oleh seorang pemuda yang baru saja muncul di dunia kang-ouw, ia merasa gemas dan marah,
sedih, malu dan penasaran sehingga ketika tubuhnya telah timbul dipermukaan air lagi, ia
memekik keras dan pingsan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 231
Tubuhnya hanyut dibawa air dan baiknya pada saat itu tubuh Lui Siok yang melompat ke air
jatuh menimpa badannya yang mulai hanyut. Lui Siok tadinya merasa terkejut sekali dan
mengira bahwa yang ditimpa oleh tubuhnya adalah seekor buaya atau ikan besar. Akan tetapi
ketika melihat bahwa yang disangka ikan itu bukan lain adalah Song Bu Cu, ia segera
menolongnya dan membawanya ke pinggir.
Ia dan Song Bu Cu lalu ditolong oleh tiga orang anak buahnya dan ketika Lui Siok
memandang ke arah kedua orang muda lawannya, ternyata Cui Giok dan Gwat Kong telah
naik ke atas perahu dan menyuruh nelayan tua itu mendayung perahu ke tengah. Sepasang
anak muda itu berdiri di kepala perahu sambil tersenyum memandangnya. Lui Siok tak dapat
berkata sesuatu hanya mendelikkan mata memandang penuh kebencian dan sakit hati.
Pengalaman dan pertempuran melawan dua orang pemimpin Hek-i-pang itu membuat
pergaulan antara Gwat Kong dan Cui Giok makin erat. Sambil menikmati pemandangan yang
sungguh indah di sepanjang sungai tiada hentinya mereka membicarakan kedua orang itu
sambil tertawa-tawa gembira. Yang lebih gembira lagi adalah tukang perahu yang tua itu.
Tiada habisnya ia memuji dan matanya yang sudah tua itu berseri-seri.
“Seumur hidupku belum pernah aku menyaksikan dua orang muda yang sehebat dan segagah
kalian!” katanya sambil mendayung. “Kalian merupakan pasangan yang paling cocok dan
hebat yang pernah kujumpai, sama gagah, sama elok, pendeknya .... hebat! Anak kalian kelak
tentu seorang yang luar biasa dan ....”
“Hush ....” Lopek jangan bicara sembarangan! Kami bukan suami isteri, juga bukan
tunangan!”
Nelayan itu melongo dan memandang dengan heran. Jelas bahwa ia merasa amat kecewa.
Adapun Cui Giok ketika mendengar ucapan kakek nelayan itu, merahlah wajahnya sampai ke
telinganya. Semenjak saat itu, apabila mata mereka bertemu, Gwat Kong melihat cahaya
gemilang yang aneh di dalam manik mata gadis itu, sinar yang sebelumnya tak terlihat
olehnya.
Dan kalau dulu Cui Giok memandangnya dengan berani dan terbuka, kini gadis itu tidak
berani menentang pandang matanya terlalu lama. Aneh, pikirnya. Akan tetapi sama sekali ia
tidak dapat menduga apakah sebenarnya yang terdapat dibalik sinar mata itu.
Benar sebagaimana keterangan nelayan tua itu, perjalanan melalui air sungai Yung-ting itu
aman dan mnyenangkan. Tidak terdapat gangguan bajak sungai dan mereka kadang-kadang
hanya bertemu dengan perahu-perahu nelayan yang menjala ikan. Akan tetapi ketika telah
memasuki daerah Kiang-sui yang banyak terdapat hutan-hutan lebat, muncullah bajak sungai
yang pernah dituturkan oleh nelayan tua itu kepada mereka.
Perahu mereka sedang berlayar dengan tenang melalui sebuah hutan dan pada sebuah
tikungan yang tajam, ketika perahu mereka baru saja membelok, tiba-tiba mereka berhadapan
dengan lima buah perahu besar penuh dengan bajak-bajak sungai.
“Celaka!” nelayan tua yang mengemudikan perahu kecil itu berseru dengan wajah pucat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 232
“Minggirkan perahu ke darat!” kata Gwat Kong yang duduk bersama Cui Giok. Kedua anak
muda ini masih tenang saja, bahkan ketika saling pandang, senyum gembira membayang di
bibir mereka.
Perahu-perahu bajak itu ketika melihat calon korbannya mendayung perahu ke pinggir, segera
meminggirkan perahu pula dan terdengar seruan-seruan mereka diselingi suara ketawa.
Mereka merasa gembira melihat betapa korban-korban mereka itu seperti hendak melarikan
diri ke darat. Akan tetapi, alangkah heran mereka ketika melihat sepasang orang muda yang
berada di perahu kecil itu setelah melompat ke darat. Bukannya mereka melarikan diri
sebagaimana mereka sangka, akan tetapi bahkan berdiri di pantai menanti mereka dengan
sikap menantang.
Kepala bajak ini adalah seorang bermuka hitam bertubuh kurus tinggi. Ia bernama Oey Bong
dan telah bertahun-tahun ia hidup sebagai kepala bajak yang ditakuti orang. Tadinya ia
bersama anak buahnya berpangkal di sungai Yung-ting dekat kota Kiang-sui. Akan tetapi
belakangan ini setelah Kepala daerah Kiang-sui, yakni Liok-taijin, mengerahkan tentara di
bawah pimpinan Gan Bu Gi yang pandai untuk menggempurnya, sehingga pasukan bajak itu
menjadi kocar-kacir. Terpaksa ia melarikan diri dan kini melakukan pencegatan dan
pembajakan di dalam hutan itu.
Melihat betapa sepasang muda-mudi yang hendak dirampok itu mendarat, Oey Bong lalu
mengerahkan anak buahnya untuk mengejar dan iapun terheran-heran ketika melihat sepasang
orang muda itu tidak melarikan diri. Maka ia menduga bahwa kedua orang muda itu tentulah
memiliki kepandaian.
Setelah perahunya berada dekat dengan daratan, ia lalu berseru keras dan tubuhnya melompat
ke darat dengan gesit. Beberapa orang pembantunya yang juga pandai ilmu silat, lalu
melompat pula ke darat dan sebentar saja Gwat Kong dan Cui Giok yang masih tersenyumsenyum
itu telah dikurung oleh belasan orang yang dipimpin oleh pemimpin bajak. Para
anggauta bajak hanya berdiri mengurung agak jauh sambil bersorak-sorak. Sementara itu,
kakek nelayan yang mengantar Gwat Kong, duduk mendekam di dalam perahunya dengan
tubuh menggigil ketakutan.
“Kalian ini orang-orang kasar menghadang perahu kami, mempunyai maksud apa?” tanya
Gwat Kong kepada si muka hitam Oey Bong.
Oey Bong tertawa geli dan kawannyapun tertawa bergelak mendengar pertanyaan ini.
“Orang muda,” kata Oey Bong. “Kami adalah orang baik-baik dan kami takkan
mengganggumu, asal saja kautinggalkan semua barang-barangmu, berikut isterimu yang
cantik jelita ini!” Dengan jari telunjuknya yang panjang, kepala bajak ini menunjuk ke arah
Cui Giok.
Merahlah wajah Cui Giok mendengar ini. Telah dua kali orang menyangka ia dan Gwat Kong
sebagai suami isteri. Akan tetapi, kalau persangkaan nelayan tua membuat ia malu dan hanya
diam-diam berdebar girang, adalah sangkaan kepala bajak yang amat kasar dan menghina ini
membuat ia jadi marah sekali.
“Anjing bermuka hitam!” ia memaki sambil menuding ke arah muka Oey Bong. “Apa sih
yang kau andalkan maka anjing buduk macam kau ini berani menjadi kepala bajak sungai?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 233
“Ha ha ha!” Oey Bong yang dimaki itu tertawa bergelak. “Sungguh galak, makin galak makin
manis! Kau cocok sekali untuk menjadi permaisuriku. Ha ha!
“Kurang ajar!” seru Gwat Kong sambil mencabut pedangnya. Hatinya panas dan marah sekali
melihat kekurang ajaran bajak itu. Akan tetapi Cui Giok berseru menahannya,
“Jangan Gwat Kong! Biar aku yang memberi hajaran kepada anjing buduk ini. Kalau dia
belum melepaskan dua buah telinganya, aku tak mau ampunkan dia!” Cui Giok mencabut
sepasang pedangnya.
Gwat Kong tersenyum. “Ah, dasar kau yang sudah bernasib harus kehilangan telinga! Jagalah
baik-baik daun telingamu, muka hitam!” Sambil berkata demikian, Gwat Kong
menggenjotkan kedua kakinya dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan ketika para
penjahat dengan terkejut memandang ke atas, ternyata pemuda itu telah duduk di atas sebuah
cabang pohon yang tinggi.
Mereka merasa kaget sekali karena gerakan itu saja sudah cukup membuka mata mereka
bahwa pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada mereka. Akan
tetapi telah terlanjur dan karena pemuda yang lihai itu tidak ikut menghadapi mereka, maka
Oey Bong lalu mencabut goloknya dan mendahului menyerang Cui Giok.
Ia maklum bahwa pemuda itu amat lihai, maka lenyaplah keinginannya mengganggu Cui
Giok. Ia hendak merobohkan gadis itu terlebih dahulu sebelum pemuda itu turun tangan.
Kemudian kalau pemuda itu terlalu lihai baginya, ia akan mengeroyok dengan semua anak
buahnya. Cepat sekali ia mencabut golok dan menyerang Cui Giok dengan sebuah sabetan ke
arah pinggang. Inilah tipu gerakan Hon-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun Tua) yang
dilakukan cukup gesit dan kuat.
Akan tetapi dengan tertawa mengejek, pedang di tangan Cui Giok melakukan gerakan
berbareng. Pedang kiri menangkis sambaran golok sedangkan pedang di tangan kanan
menghantam ke arah pergelangan tangan lawan. Oey Bong terkejut bukan main dan cepat
menarik kembali goloknya untuk menghindarkan tangannya terbabat putus. Akan tetapi
percuma saja ia mencoba menghindarkan diri. Oleh karena ujung pedang Cui Giok bagaikan
hidup dan bermata. terus mengikuti pergelangan tangannya dengan kecepatan yang
menyilaukan mata, maka Oey Bong menjadi makin gelisah.
“Lepaskan golok!” Cui Giok membentak dan Oey Bong merasa betapa pergelangan
tangannya menjadi perih sekali karena telah tertempel oleh mata pedang yang tajam. Ia tak
dapat berbuat lain dan terpaksa melepaskan goloknya. Dalam kegugupannya, ia berteriak
memberi komando kepada kawan-kawannya.
“Serbu!”
Setelah berteriak, kepala bajak yang licik ini lalu melompat mundur hendak lari.
Kawan-kawannya yang semenjak tadi telah berdiri dengan senjata di tangan, segera maju
menyerbu, mengeroyok Cui Giok. Akan tetapi gadis itu berseru keras dan begitu tubuhnya
berkelebat, maka terdengarlah seruan kaget dan pedang atau golok di tangan para bajak itu
beterbangan ke atas, ada yang patah, ada yang mencelat berikut jari-jari tangan yang terbabat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 234
putus. Jerit dan pekik terdengar dan keadaan menjadi amat gaduh. Oey Bong masih mencoba
untuk melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring di belakangnya,
“Anjing muka hitam! Tinggalkan dulu dua telingamu!” Sebelum ia dapat mengelak, tiba-tiba
kedua telinganya mendengar sambaran angin yang luar biasa dan tiba-tiba ia merasa
kepalanya menjadi sakit dan perih di kanan kiri. Ketika ia menggunakan kedua tangan untuk
meraba ia menjerit keras karena daun telinga di kanan kiri kepalanya benar-benar telah
lenyap. Oey Bong berhenti berlari dan membalikkan tubuh. Ia melihat gadis yang luar biasa
itu telah berdiri dengan tertawa bergelak sedangkan daun telinganya telah putus dan kini
berada di depan kakinya.
Melihat ini, makin sakitlah rasanya kepala yang luka itu. Maka tanpa dapat dicegah lagi, ia
lalu menjatuhkan diri berjongkok dan mengaduh-aduh seperti seekor anjing kena gebuk.
“Nah, siapa lagi yang sudah bosan mempunyai daun telinga?” seru Cui Giok sambil
memalangkan pedangnya di depan dada.
Para pemimpin bajak telah merasai kelihaian nona itu karena tadi ketika mereka menyerbu,
dalam segebrakan saja gadis itu telah berhasil merampas senjata dan melukai beberapa orang,
maka kini tak seorang pun berani bergerak. Juga anak buah bajak yang tadinya bersoraksorak,
kini berdiri bagaikan patung, sama sekali tak berani bersuara maupun bergerak.
Nelayan tua yang tadinya ketakutan, dengan memberanikan hati ia merangkak ke pinggir dan
menyaksikan pertempuran itu. Kini ia menjadi lega dan girang bukan kepalang, maka ia lalu
bangun berdiri dan dengan dada terangkat tinggi-tinggi dan kaki melangkah tetap, ia
menghampiri kepala bajak dan kawan-kawannya. Sambil bertolak pinggang ia lalu berkata
dengan suara keras,
“Nah, biarlah kali ini kalian mendapat pelajaran dan kapok. Kalian telah banyak mengganggu
orang, banyak membunuh nyawa orang-orang tak berdosa. Kalau sekarang mendapat
hukuman sebesar ini boleh dikatakan masih ringan dan terlalu murah. Jangan anggap bahwa
di kolong langit ini tidak ada orang yang gagah seperti siocia dan kongcu ini. Tadi baru siocia
sendiri yang turun tangan, kalau kongcu ikut marah, mungkin kepala kalian ini semua telah
putus. Tidak berlutut minta ampun sekarang, mau tunggu kapan lagi?”
Bentakannya terakhir ini amat berpengaruh karena tiba-tiba semua anggauta bajak itu lalu
menjatuhkan diri berlutut dan minta ampun. Bukan main senangnya hati kakek itu. Belum
pernah ia mengalami hal seperti itu dan karena para bajak itu berlutut di depannya, maka ia
merasa seakan-akan menjadi seorang raja. Ia lalu berkata lagi dengan suara gagah,
“Mulai sekarang jangan kalian berani sekali lagi mengganggu lalu lintas di sungai Yung-ting
ini. Ketahuilah aku adalah kawan baik sepasang pendekar ini. Aku tukang perahunya dan
kalau kalian mengganggu perahuku dan perahu kawan-kawanku. Tentu kedua pendekar gagah
ini akan datang untuk menghukum kalian.
Kemudian ia berkata kepada Cui Giok dan Gwat Kong,
“Jiwi yang mulia, marilah kita melanjutkan perjalanan kita!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 235
Melihat sikap nelayan tua ini, Cui Giok dan Gwat Kong tertawa geli dan merasa lucu sekali.
Akan tetapi mereka menganggap bahwa sikap nelayan tua itu bukan tak ada artinya bagi
keselamatan para nelayan. Maka Gwat Kong hendak memperkuat ucapan nelayan tadi. Ia
melompat turun bagaikan seekor burung garuda, kemudian menghampiri sebatang pohon
yang besarnya sepelukan lengan.
“Ucapan lopek ini harus kalian perhatikan dan taati, karena kami tidak mengancam kosong
belaka. Kalau kalian melanggar, inilah contohnya!” Dengan tangan kanannya, Gwat Kong
lalu memukul batang pohon itu dengan tangan dimiringkan sambil mengerahkan ilmu
keraskan tangan Cin-kong Pek-ko-jiu.
“Kraaak!” batang pohon itu terpukul patah dan dengan mengeluarkan suara keras pohon itu
tumbang.
Para bajak melihat ini dengan muka pucat dan mata terbelalak. Batang pohon yang besar dan
kuat itu sekali pukul saja patah, apalagi tubuh atau leher mereka. Maka mereka kembali
mengangguk-anggukan kepala bagaikan ayam mematuk beras dan mulut mereka tiada
hentinya minta ampun sambil berjanji akan mentaati larangan mengganggu sungai Yung-ting.
Gwat Kong, Cui Giok dan nelayan tua itu lalu berjalan kembali ke perahu mereka. Nelayan
tua itu berjalan dengan lenggang dibuat-buat, kepala dikedikkan dan dadanya yang kurus
ditonjolkan dengan perasaan seakan-akan dialah yang menjadi pendekar gagah dan
mengalahkan semua bajak kejam itu.
Pelayaran itu dilanjutkan dengan penuh kegembiraan. Makin lama, hubungan antara kedua
orang muda itu makin erat dan ternyata mereka saling cocok. Terutama sekali Cui Giok. Nona
ini tidak saja merasa kagum melihat Gwat Kong akan tetapi juga api asmara telah membakar
dan berkobar-kobar di dalam dadanya. Kalau dahulu dengan pedang ia sukar dirobohkan oleh
Gwat Kong, sekarang ia roboh betul-betul dan merasa bahwa tanpa Gwat Kong di dekatnya,
hidup akan sunyi tak berarti baginya.
Oleh karena itu semenjak gangguan bajak-bajak sungai, mereka tidak mendapat gangguan
lain, maka pelayaran berjalan lancar dan cepat. Apabila malam tiba, mereka berhenti di
pinggir sungai, membuat api unggun dan tidur di bawah pohon. Kadang-kadang Cui Giok
tidur di dalam perahu.
Bab 26 .....
NELAYAN tua itu membawa bekal beras dan dialah yang masak nasi dan memanggang ikan
yang mereka dapat memancing di sungai. Kadang-kadang Gwat Kong atau Cui Giok pergi ke
hutan dekat sungai untuk mencari binatang hutan seperti kijang, kelinci, ayam hutan dan lainlain
untuk dimakan dagingnya bersama nasi. Memang enak sekali makan di tempat-tempat
terbuka, dekat api unggun itu!”
“Nah, untuk mencari kota Kiang-sui, dari sinilah yang paling dekat.” Ia menunjuk ke arah
bukit di dekat pantai. “Dengan mengambil jalan mengitari bukit di depan itu, lalu membelok
ke kanan, maka paling jauh enam atau tujuh li, kongcu akan tiba di Kiang-sui.”
Gwat Kong memandang kepada Cui Giok dan aneh sekali, kembali gadis itu nampak muram
dan cemberut.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 236
“Cui Giok, apakah kau mau ikut ke Kiang-sui?” tanyanya manis.
Dara itu menggelengkan kepala. “Pergilah, biar aku menanti di sini saja!”
“Apakah kau tidak merasa kesal menanti seorang diri di sini? Tempat begini sunyi, jauh dari
perkampungan,” kata Gwat Kong sambil memandang ke sekeliling. Memang di situ sunyi,
yang nampak hanyalah pohon dan bukit-bukit.
Di dalam hatinya Cui Giok maklum bahwa ia tentu saja akan merasa kesal, akan tetapi
mulutnya berkata, “Mengapa kesal? Di sini ada lopek dan aku bisa memancing ikan!”
Tetap saja Gwat Kong merasa tidak puas dan tidak enak hati untuk meninggalkan Cui Giok,
maka ia membujuk lagi,
“Apakah tidak lebih baik kau ikut saja, Cui Giok? Kau bisa melihat-lihat keindahan kota,
mungkin ada barang-barang yang kau sukai, kau dapat berbelanja dan .....”
“Sudahlah,” Cui Giok memotong. “Kau pergilah sendiri karena kau mempunyai kepentingan
di sana.
“Kau mempunyai sahabat-sahabat baik di sana. Aku tidak mempunyai kenalan, untuk apa aku
harus pergi ke sana pula? Aku akan menunggu di sini saja!”
“Siocia berkata benar,” tiba-tiba nelayan tua itu ikut bicara. “Memang sudah menjadi
kelaziman bahwa wanitalah yang selalu harus menanti dengan sabar.”
Gwat Kong dan Cui Giok memandang kepada kakek nelayan itu.
“Eh, lopek apa maksudmu?” tanya Gwat Kong.
Karena sepasang anak muda itu memandangnya dengan mata tajam penuh pertanyaan, kakek
ini menjadi gugup.
“Aku ..... aku teringat akan permainan anak wayang yang kutonton belum lama ini .... katakata
siocia yang hendak menunggu tadi mengingatkan aku akan nyanyian yang diucapkan
oleh pelaku cerita sandiwara itu.” Kakek itu berhenti dan tertegun karena ia telah
mengeluarkan kata-kata yang makin mempersulit kedudukannya.
Bagaimana nyanyiannya? Coba kau jelaskan lopek,” Cui Giok juga mendesak.
“Ah .... eh ...” Ia ragu-ragu, akan tetapi kemudian berdehem untuk menetapkan hatinya, lalu
berkata, “Cerita itu adalah cerita tentang dua orang sahabat baik seperti kongcu dan siocia ini.
Si teruna hendak pergi meninggalkan si dara dan nyanyian dara itu begini,
“Pergilah kanda, pergilah ke kota raja,
Dinda akan menanti dengan setia,
Pergilah dengan hati ringan, kanda!
Seribu tahun dinda akan menanti juga!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 237
“Ah, lopek! Gwat Kong mencela. “Aku tidak pergi ke kota raja, juga tidak pergi lama.
Bagaimana kau bisa membandingkan kami dengan mereka?”
“Akupun takkan menanti sampai seribu tahun!” Cui Giok mencela.
Kakek itu hanya tertawa dan karena kata-kata nelayan itu membuat menjadi merah muka,
maka Gwat Kong segera melompat ke darat dan setelah berkata, “Aku pergi takkan lama!” Ia
lalu pergi dengan berlari menuju ke bukit itu.
Nelayan tua itu dan Cui Giok memandang sampai bayangan Gwat Kong lenyap di balik bukit.
Nona itu masih berdiri termenung sehingga ia terkejut ketika nelayan itu berkata,
“Dia seorang pemuda yang baik, seorang calon suami yang sukar dicari bandingannya!”
Cui Giok memandang nelayan itu dengan mata tajam. “Lopek, jangan kau bicara sembrono.
Gwat Kong hanya sahabatku belaka. Sahabat yang kebetulan melakukan perjalanan yang
sama.”
Nelayan tua itu menarik napas panjang. “Aku sudah tua siocia. Mataku menjadi tajam karena
pengalaman. Aku berani menyatakan bahwa siocia tertarik kepada pemuda itu. Tak usah
membantah siocia. Aku pernah mempunyai anak perempuan yang juga jatuh hati kepada
seorang pemuda. Akan tetapi oleh karena aku yang bodoh menghalanginya. Akhirnya ia jatuh
sakit dan ... meninggal dunia ....” Kakek itu menjadi berduka dan wajahnya muram.
Tadinya Cui Giok hendak marah, akan tetapi ketika kakek itu berkata tentang anaknya, gadis
ini menjadi tak tega hati.
“Aku tidak begitu bodoh untuk menyinta seorang pemuda yang sudah mempunyai kekasih,
lopek.”
Mendengar ini, kakek itu memandang dengan sinar mata yang demikian lembut dan penuh
iba, sehingga tanpa disadarinya dua butir air mata menitik turun dari mata Cui Giok. Gadis ini
buru-buru membalikkan tubuh, duduk di tepi perahu dan menatap air sungai dengan pikiran
melayang jauh.
****
Gwat Kong berlari cepat mengitari bukit itu dan benar saja, tak lama kemudian nampaklah
tembok kota Kiang-sui di depan matanya. Hatinya berdebar ketika ia melihat kota yang
pernah ditinggalinya sampai beberapa tahun itu dan teringatlah ia kepada Tin Eng. Bagaimana
kalau ia mengunjungi gedung Liok-taijin? Apakah pembesar itu masih marah kepadanya? Ia
teringat pula kepada Gan Bu Gi yang pernah menyerang dan hendak menangkapnya. Ia lalu
turunkan pedang dan menggantungkan sarung pedang Sin-eng-kiam di pinggangnya. Tadi ia
sengaja membawa pedang yang biasanya disimpan dalam bungkusan pakaian ini, untuk
menjaga kalau-kalau terjadi sesuatu. Ia tak perlu menyembunyikan kepandaiannya lagi,
bahkan kalau perlu ia hendak memperlihatkan kepada Liok-taijin bahwa dia bukanlah Gwat
Kong si pelayan yang bodoh dan lemah.
Kota Kiang-sui tidak banyak berubah semenjak ditinggalkan. Keadaannya masih tetap ramai,
bahkan restoran-restoran besar makin banyak dikunjungi orang. Gwat Kong berjalan-jalan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 238
melihat-lihat kota, bahkan ia berjalan di jalan raya depan gedung Liok-taijin. Akan tetapi pada
saat ia berjalan lewat di depan gedung itu, ia tidak melihat seorangpun di depan gedung. Ia
tidak berani masuk karena apakah yang akan dijadikan alasan untuk memasuki rumah itu?
Bagaimana kalau ia diusir seperti pengemis?
Gwat Kong lalu menuju ke sebuah restoran besar yang dulu hanya dilihat dari luar saja. Ia
maklum bahwa masakan restoran ini amat lezat dan mahal. Ia dahulu hanya dapat merasai
masakan restoran ini apabila Liok-taijin membeli masakan dari situ dan ia mendapatkan
sisanya. Kini ia ingin masuk dan membeli masakan sendiri, ingin duduk di bangku
menghadapi meja di restoran yang besar dan mewah itu.
Restoran besar itu mempunyai tiga ruang dan karena ruang di sebelah kanan dan tengah sudah
padat dengan tamu-tamu, Gwat Kong lalu melangkah memasuki ruangan sebelah kiri. Baru
saja kakinya melangkah ke ambang pintu, ia mendengar ribut-ribut di ruang itu dan ketika ia
memandangnya, alangkah terkejutnya melihat dua orang pemuda yang masih dikenalnya,
yakni Pui Kiat dan Pui Hok kedua orang murid Hoa-san-pai yang pernah bertemu dengannya
dahulu itu duduk menghadapi meja dan sedang dibentak-bentak oleh seorang setengah tua
yang berjenggot runcing.
“Kalian ini bajingan-bajingan kecil sungguh menjemukan sekali!” si jenggot runcing itu
membentak-bentak. “Tidak tahukah kau siapa aku? Apakah kalian mencari mampus? Aku
tahu bahwa kalian selalu mengikuti rombonganku semenjak dari Keng-hoa-bun sampai ke
Kiang-sui. Aku sengaja mendiamkan saja karena menyangka bahwa kalian hanya dua orang
penjahat tangan panjang. Akan tetapi sampai sekarang kalian tidak bergerak, bahkan masih
terus mengintaiku. Sekarang, katakanlah terus terang apakah kehendakmu? Awas, kalau tidak
berkata terus terang, kepalanku akan meremukkan kepalamu berdua seperti ini!” Sambil
berkata demikian, si jenggot runcing itu menggunakan kepalan tangannya ditekukkan dengan
perlahan pada ujung meja di mana kedua saudara Pui itu duduk dan .... hancurlah kayu tebal
itu bagaikan terpukul dengan penggada baja.
Gwat Kong merasa amat terkejut melihat kehebatan tenaga orang itu dan melihat demonstrasi
ini saja ia maklum bahwa kedua murid Hoa-san-pai itu bukanlah lawan orang yang kosen ini.
Maka ia lalu melangkah maju dan pada saat itu melihat seorang lain duduk menghadapi meja
di belakang si jenggot runcing yang sedang marah itu. Orang ini bukan lain adalah Gan Bu Gi
yang berpakaian sebagai panglima besar yang indah dan mentereng. Akan tetapi Gwat Kong
tidak memperdulikan. Gan Bu Gi hanya langsung menghampiri meja. Pui Kiat dan Pui Hok,
sengaja menuju ke depan si jenggot runcing itu dan berdiri membelakanginya.
“He, saudara2 Pui!” tegurnya keras.
Pui Kiat dan Pui Hok masih duduk dengan muka pucat. Mereka tidak mengira sama sekali
bahwa diam-diam Ang Sun Tek yang memimpin pasukan dan menawan Tin Eng itu mengenal
mereka dan tahu bahwa mereka mengikutinya sampai ke Kiang-sui. Karena terkejut, heran
dan gelisah, mereka tadi duduk diam saja bagaikan patung tak tahu harus berbuat apa.
Melihat pukulan Ang Sun Tek pada meja, mereka terkejut dan percaya kepada penuturan Kui
Hwa bahwa Ang Sun Tek memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada mereka. Maka
mereka berdua menjadi gentar juga. Selagi Pui Kiat dan Pui Hok tercengang dan mencari-cari
alasan untuk menjawab, tiba-tiba muncul Gwat Kong di depan mereka.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 239
Untuk beberapa lama mereka tidak mengenal Gwat Kong, akan tetapi Pui Kiat lalu teringat
akan pemuda aneh dan lihai yang pernah menolong mereka ketika mereka terdesak oleh Bong
Bi Sianjin.
“Ah, Bun-taihiap!” katanya girang sekali. Bagaimana pemuda ini selalu muncul pada waktu
mereka terancam bahaya? “Kau dari mana? Silahkan duduk!”
Sementara itu, Ang Sun Tek menjadi marah sekali melihat pemuda yang tidak
memperdulikannya dan bahkan secara sengaja berdiri menghalanginya dan
membelakanginya.
“Minggir kau, bedebah!” katanya sambil menggunakan tangan kanan memegang siku lengan
kiri Gwat Kong.
Angin gerakan Ang Sun Tek ini membuat Gwat Kong maklum bahwa apabila sambungan
sikunya terpegang, ada bahaya sambungan sikunya akan terluka atau terlepas maka dengan
cepat sekali sehingga tidak terlihat oleh kedua saudara Pui yang memandang cemas, ia
menggerakkan sikunya ke atas mengelak pegangan itu sehingga tangan Ang Sun Tek yang
mencengkeram itu tidak mengenai siku akan tetapi mengenai lengan.
Gwat Kong menggeser kakinya dan membalikkan tubuh sambil mengerahkan tenaga dalam
dengan ilmu Pi-ki-hu-hiat (Menutup hawa melindungi jalan darah), sehingga lengan yang
dicengkeram itu tidak terluka bagian dalamnya. Kemudian ia melangkah ke belakang dengan
cepat sambil membetot lengannya itu terlepas dari pegangan Ang Sun Tek.
Ang Sun Tek terkejut bukan main ketika tangannya yang mencengkeram itu merasa betapa
lengan tangan pemuda itu keras dan licin seperti besi, sehingga tenaga cengkeramannya dapat
terpental kembali. Dan tiba-tiba ia merasa betapa lengan tangan itu licin dan lemas bagaikan
belut sehingga dapat terlepas dari cengkeramannya ketika ditarik kembali oleh pemuda itu.
Inilah ilmu Jui-kut-kang atau ilmu melemaskan tulang yang hebat.
“Bagus!” teriaknya marah sekali. “Tidak tahunya kau memiliki sedikit ilmu kepandaian!” Ia
tahu bahwa pemuda ini lihai dan tindakannya tadi sengaja hendak mencari permusuhan untuk
melindungi kedua pemuda yang mengikutinya. Maka ia lalu menggerakkan tangan memegang
goloknya yang selalu tergantung di pinggang sambil membentak, “Barangkali kau sudah
bosan hidup!”
Dari pegangan pada lengannya tadi Gwat Kong dapat menduga bahwa orang berjenggot
runcing ini seorang ahli ilmu silat yang pandai karena biarpun ia berhasil melepaskan
tangannya, akan tetapi ketika ia membetot lengannya tadi, merasa betapa lengannya panas
tanda bahwa ilmu dan tenaga dalam orang ini tidak berada di sebelah bawah tingkatnya
sendiri. Maka iapun meraba gagang pedang Sin-eng-kiam dan berkata,
“Manusia sombong, apa kau kira, kau seorang saja yang mempunyai senjata tajam? Cabutlah
golokmu dan jangan kira bahwa aku takut kepadamu!”
Dua orang jago silat itu berdiri berhadapan dengan tangan memegang gagang senjata masingmasing,
siap untuk mencabutnya dan mata mereka saling pandang dengan tajam, seakan-akan
dua ekor ayam jago berlaga dan hendak bertempur mati-matian.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 240
Pui Kiat dan Pui Hok memandang dengan penuh kekhawatiran. Dua orang murid Hoa-san-pai
ini yang maklum akan kelihaian Ang Sun Tek, merasa gelisah dan takut kalau-kalau Gwat
Kong takkan dapat melawan ketua Liok-te Pat-mo itu maka Pui Kiat lalu bangun berdiri dan
menghampiri Gwat Kong sambil membujuk.
“Bun-taihiap, sudahlah, jangan kau berkelahi karena urusan kami. Mari kita pergi dari sini.
Ada urusan amat penting yang perlu kami sampaikan kepadamu.”
Sementara itu, Gan Bu Gi juga merasa cemas. Ia maklum pula akan kelihaian Gwat Kong dan
kalau sampai Ang Sun Tek kalah, tentu ia akan berada dalam bahaya menghadapi Gwat Kong
yang membencinya, maka ia membujuk Ang Sun Tek,
“Ang-ciangkun, jangan kau meladeni bocah ini!”
Memang Ang Sun Tek masih ragu-ragu untuk mencabut goloknya. Ia adalah seorang ternama
dan sedang menjalankan tugas sebagai seorang perwira kerajaan, maka di tempat umum ini
kalau sampai ia kalah oleh pemuda ini, tidak saja namanya akan jatuh, akan tetapi biar ia
menang sekalipun, namanya takkan menjadi harum karenanya. Melihat kepandaian pemuda
itu ketika melepaskan tangannya dari pegangannya, maka resikonya terlalu besar untuk
melawan pemuda ini yang sama sekali tidak berdasarkan permusuhan sesuatu. Maka iapun
hanya berdiri saja tak mau mencabut goloknya lebih dahulu.
Sementara itu, Gwat Kong ketika mendengar bujukan Pui Kiat, menjadi tertarik hatinya. Ia
tahu bahwa kedua orang ini bukan tanpa sebab berada di Kiang-sui dan tuduhan orang
berjenggot tadi terhadap kedua saudara Pui membuat ia menduga bahwa tentu terjadi sesuatu
yang hebat. Apalagi ia melihat bahwa orang berjenggot itu bersama Gan Bu Gi, maka ia lalu
melepaskan gagang pedangnya dan berpaling kepada Pui Kiat,
“Akupun tidak hendak mencari permusuhan dan perkelahian, asal saja orang tidak
mendahului dan menyerangku.”
Tanpa banyak cakap lagi, Pui Kiat lalu menggandeng tangan Gwat Kong dibawa keluar dari
restoran. Sedangkan Pui Hok lalu membayar harga makanan kepada seorang pelayan yang
semenjak tadi berdiri di sudut dengan muka pucat melihat pertempuran yang hampir saja
terjadi itu.
Setibanya di luar restoran, Pui Kiat dan Pui Hok membawa Gwat Kong ke tempat yang sunyi.
Mereka sudah mendapat tahu tentang keadaan Tin Eng.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, kedua saudara Pui ini mendapat tugas dari Kui Hwa
untuk mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng. Mereka merasa lega
ketika melihat bahwa Tin Eng benar-benar dikembalikan ke rumah orang tuanya dan tidak
mendapat gangguan di jalan.
Akan tetapi mereka masih tidak mengerti apakah sebenarnya kehendak Ang Sun Tek dengan
penangkapan atas diri Tin Eng itu dan mengapa pula Ang Sun Tek yang tadinya hendak pergi
ke Hong-san sampai menunda perjalanannya di Kiang-sui. Kemudian mereka melihat betapa
Ang Sun Tek mengadakan pertemuan dengan Gan Bu Gi dan masuk ke dalam restoran untuk
mencuri dengar pembicaraan mereka.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 241
“Saudara Pui, sebenarnya mengapakah kalian berada di kota ini dan mengapa pula orang itu
hendak menyerangmu? Siapakah dia yang kepandaiannya tinggi itu?”
Pui Kiat lalu menuturkan pengalamannya dengan singkat dan menutup penuturannya dengan
menghela napas,
“Bun-taihiap, memang dia bukan orang sembarangan. Dia adalah seorang yang kini menjadi
pembantu istimewa pada perwira-perwira kerajaan. Namanya Ang Sun Tek. Dialah ketua dari
Liok-te Pat-mo, delapan iblis bumi yang amat terkenal itu!”
Terkejutlah Gwat Kong mendengar penuturan Pui Kiat. Sungguhpun nama Ang Sun Tek ini
membuatnya menjadi tercengang. Karena ini tidak disangkanya sama sekali bahwa ia akan
bertemu dengan orang yang sedang dicari-cari oleh Cui Giok. Namun ia lebih terkejut lagi
mendengar bahwa Tin Eng telah ditawan oleh Ang Sun Tek itu dan dengan paksa
dikembalikan ke rumah orang tuanya.
“Saudara Pui berdua, kalau begitu, serahkanlah urusan ini kepadaku. Kalian telah diketahui
bahwa kalian mengikuti rombongan mereka, dan hal ini berbahaya sekali. Aku kenal baik
dengan nona Liok Tin Eng, bahkan sekarang juga aku akan menengoknya. Tentang Ang Sun
Tek itu, memang sudah lama aku hendak mencoba kepandaiannya, bahkan terus terang saja,
aku ingin menghadapi delapan iblis itu sekali gus. Lebih baik sekarang kalian berdua cepat
pergi dari kota ini, menyusul dan membantu sumoimu itu.”
Pui Kiat dan Pui Hok tercengang mendengar ucapan ini, akan tetapi karena merekapun
maklum bahwa keadaan mereka di kota Kiang-sui akan membahayakan keselamatan mereka,
maka mereka menyatakan setuju dan segera meninggalkan Gwat Kong untuk keluar kota dan
pergi menyusul Kui Hwa ke Hong-san.
Gwat Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ia maklum akan kesedihan hati Tin Eng
dan ia merasa gemas kepada Ang Sun Tek yang telah menawan dan memaksa Tin Eng
pulang. Kalau saja ia tidak sedang merasa cemas memikirkan keadaan Tin Eng, tentu ia akan
kembali ke restoran itu menemui Ang Sun Tek dan mengajaknya berkelahi! Akan tetapi, ia
perlu sekali mendapatkan Tin Eng dan menengok keadaan gadis pujaan hatinya itu. Kalau
perlu menolongnya keluar dari gedung Liok-taijin.
Mudah saja bagi Gwat Kong untuk memasuki pekarangan belakang dari gedung keluarga
Liok, oleh karena ia memang hafal akan keadaan dan jalan di situ. Ia maklum bahwa kalau ia
mengambil jalan dari pintu depan dan masuk secara berterang, tak mungkin Liok-taijin akan
suka menerimanya. Atau andaikata pembesar itu suka menerimanya juga, sungguh amat tak
mungkin kalau ia diperkenankan bertemu dengan Tin Eng. Oleh karena itu, Gwat Kong
sengaja mengambil jalan belakang dan masuk ke dalam kebun bunga secara sembunyisembunyi
bagaikan maling.
Ia tidak berani mengambil jalan dari atas genteng, oleh karena maklum bahwa di dalam
gedung itu terdapat orang-orang pandai dan juga Liok-taijin sendiri memiliki ketajaman
telinga yang cukup sehingga hal itu akan membuat ia ketahuan orang sebelum dapat bertemu
dengan Tin Eng. Maka ia hanya bersembunyi dan mengintai menanti saat yang baik.
Kebetulan sekali seorang pelayan yang dikenalnya baik, keluar dari pintu belakang. Pelayan
ini adalah seorang wanita tua yang telah ikut keluarga itu semenjak Tin Eng masih kecil,
bahkan ia menjadi bujang pengasuh dari gadis itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 242
“Bibi Song ......!” Gwat Kong memanggil perlahan sambil keluar dari tempat sembunyinya.
Nenek pelayan itu terkejut memandang. Eh, kau itu, Gwat Kong? Aduh, sampai kaget
setengah mati aku! Seperti setan saja kau muncul tiba-tiba.”
“Ssst ....... jangan keras-keras, bibi Song! Kehadiranku di sini tidak dikehendaki orang!”
Nenek itu mengangguk-angguk. “Aku tahu, aku tahu! Kalau kau terlihat oleh taijin, kepalamu
akan digebuk!”
“Bibi yang baik, tolonglah aku. Aku ..... aku ingin bertemu dengan siocia, di manakah dia?”
Nenek itu mainkan matanya. “Hm, ..... kau main api!”
“Bibi tolonglah! Bukankah siocia sedang berduka? Tolonglah beritahu bahwa aku berada di
sini dan ingin berjumpa dengan dia!”
“Bagaimana kau bisa tahu dia berduka?” nenek itu bertanya heran.
“Bibi lekaslah kau beritahukan padanya. Apakah kau ingin ada orang melihat kita bicara di
sini? Kaupun akan mendapat gebukan kalau taijin melihatnya!”
Terkejut dan takutlah bibi Song mendengar hal ini. “Akan tetapi, tak mungkin siocia dapat
keluar. Ia dilarang keras untuk meninggalkan kamarnya!”
“Kalau begitu, beritahulah saja. Aku menanti di sini untuk mendengar jawabannya.”
Nenek itu lalu masuk ke dalam sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang sudah putih
rambutnya itu.
Memang semenjak Tin Eng ditawan oleh Ang Sun Tek, gadis ini sama sekali tidak berdaya
dan terpaksa menurut saja dibawa pulang ke rumah orang tuanya dengan paksa. Ketika tiba di
rumah, ia disambut dengan wajah muram dan marah oleh ayahnya. Akan tetapi ibunya segera
menubruk dan memeluknya sambil menangis tersedu-sedu. Tin Eng terkejut melihat betapa
ibunya menjadi kurus sekali dan pucat seperti orang yang bersedih. Ia dibawa masuk ke dalam
kamar oleh ibunya di mana ibunya itu sambil menangis berkata,
“Tin Eng ..... apakah kau tidak kasihan kepada ibumu. Anakku, janganlah kau pergi lagi
meninggalkan ibumu!”
Tin Eng menjadi terharu dan memeluk ibunya sambil menangis pula.
Ayahnya menyusul ke dalam kamar dan pembesar ini marah sekali.
“Tin Eng, bagus sekali perbuatanmu, ya? Kau sebagai puteri tunggal seorang pembesar telah
menodai nama baik orang tuamu! Kau telah membikin malu ayah ibumu dan membikin kami
merasa susah sekali. Apakah benar-benar kau tidak mempunyai rasa sayang kepada orang tua
dan akan menjadi anak yang puthauw (tidak berbakti)?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 243
Tin Eng melihat betapa di dalam kemarahannya, ayahnya itu nampak amat berduka sehingga
muka ayahnya itu kelihatan makin tua. Ia menjadi kasihan juga dan dengan tangis sedih ia
menjatuhkan diri berlutut di depan ayahnya. Hati seorang ayah betapa bengispun akan
menjadi lunak apabila melihat anak tunggalnya berlutut dan menangis di depan kakinya, maka
pembesar ini lalu mengelus-elus kepala puterinya.
“Tin Eng, jadilah seorang anak yang baik dan jangan kau menyusahkan hati ayah ibumu.”
“Ayah, anak berjanji takkan pergi lagi, asal saja jangan memaksa anak harus kawin dengan
orang she Gan itu! Kalau ayah memaksa, biarlah anak membunuh diri saja!”
Ibunya menjerit dan memeluknya, sedangkan Liok-taijin menjadi pucat wajahnya. Kemudian
ia hanya menghela napas berulang-ulang dan menggelengkan kepala.
“Kau memang keras kepala ..... terlalu dimanja tadinya ....” kemudian ia bicara keras-keras,
“Hal ini kita bicarakan kelak saja. Akan tetapi, mulai sekg kau jangan keluar dari kamarmu.
Berlakulah sebagai seorang gadis bangsawan yang terhormat. Jangan kau berkeliaran di luar
seperti seorang gadis kang-ouw yang liar dan tidak tahu kesopanan!” Ayah ini lalu
meninggalkan anaknya yang masih bertangisan dengan ibunya.
Demikianlah, semenjak saat itu Tin Eng tidak pernah keluar dari dalam rumah. Ia bermaksud
untuk mentaati ayah ibunya, asal jangan dikawinkan dengan Gan Bu Gi.
Pada waktu Gwat Kong datang, Tin Eng sedang berada di dalam kamarnya bersama ibunya.
Gadis ini sedang membaca sebuah kitab kuno untuk menghibur hatinya waktu senggang.
Ibunya menyulam dan duduk di dekatnya. Tiba-tiba pintu diketuk dan bibi Song masuk
dengan membungkuk-bungkuk.
Nyonya Liok mengangkat muka memandang pelayan itu. “Ada keperluan apakah?” tanyanya.
Bukan main bingungnya hati nenek itu. Ia memandang ke arah Tin Eng yang sudah
mengangkat muka memandang nenek itu. “Hamba ........ hamba ....... ada pesanan untuk siocia
......”
Tin Eng lalu berdiri dan menghampiri nenek itu. “Ada apakah bibi Song? Pesanan apa dan
dari siapa?”
Nenek itu ragu-ragu dan memandang kepada nyonya Liok dengan takut-takut. Bagaimana ia
harus menyampaikan pesanan Gwat Kong di depan nyonya majikannya itu?
“Jangan takut, katakanlah bibi Song!” Tin Eng mendesak.
“Gwat Kong .....”
Mendengar nama ini, Tin Eng memegang pundak pelayan itu. “Apa .....? Dia di mana .....?”
Juga nyonya Liok bangun berdiri dari kursinya. “Kau bilang Gwat Kong berada di sini?
Berani betul anak itu! Tin Eng, ada perlu apakah kau dengan bekas pelayan itu?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 244
“Ibu, Gwat Kong bukan pelayan kita lagi! Dia ..... dia adalah .... guruku yang mengajar ilmu
pedang. Biarkan aku betemu dengan dia!”
Pandangan mata gadis itu kepada ibunya membuat nyonya Liok tertegun dan terkejut sekali.
Sepasang mata gadis itu bersinar dan wajahnya berseri-seri.
“Bagaimana mungkin? Kau tidak boleh keluar dari sini. Kalau ayahmu melihatnya, ia tentu
akan marah sekali. Apa lagi kalau dilihatnya kau bertemu dengan Gwat Kong!”
“Kalau begitu, biar dia masuk ke kamar ini!” Tin Eng mendesak.
“Gila!” Ibunya berseru kaget. “Kau lupa daratan, Tin Eng. Bagaimana seorang laki-laki muda
boleh memasuki kamar kita? Tidak, hal itu tidak boleh jadi!”
Tin Eng membanting-banting kakinya dengan manja. “Akan tetapi, aku harus bertemu dan
bicara dengan dia, ibu!”
Nyonya Liok menarik napas panjang dan ia bingung sekali. Kemudian ia menengok ke arah
jendela kamar yang beruji besi dan berkata,
“Begini saja, suruh dia masuk dan bicara kepadamu dari balik jendela itu!”
Tin Eng memberi isyarat kepada nenek pelayan tadi untuk melakukan usul ibunya ini. Bibi
Song segera keluar lagi menemui Gwat Kong yang masih menanti di belakang rumah.
“Bagaimana, bibi yang baik?” tanya pemuda itu dengan penuh gairah.
“Sssst, jangan banyak ribut. Kau pergilah ke kamar siocia melalui ruang pelayan dan kau
boleh bicara dengan siocia dari balik jendela!”
Gwat Kong sudah hafal keadaan rumah itu. Maka setelah mendengar kata-kata ini, ia lalu
masuk ke dalam rumah itu melalui ruang pelayan dan langsung menuju ke ruang dalam, terus
menghampiri jendela kamar Tin Eng yang menembus di ruang dalam itu. Ia melihat Tin Eng
sudah berdiri di dekat jendela dan memandang keluar.
“Tin Eng ......” bisik Gwat Kong sambil menghampiri dengan cepat.
“Gwat Kong ........” Tin Eng memanggil dengan girang.
Panggilan yang disertai pandangan mata mesra ini sudah cukup bagi keduanya untuk
menyatakan perasaan hati mereka yang girang dan gembira sekali. Wajah Tin Eng menjadi
merah padam, akan tetapi Gwat Kong menjadi pucat ketika melihat bahwa di belakang Tin
Eng itu nampak nyonya Liok duduk sambil menyulam. Nyonya itu mengerling ke arahnya
dan Gwat Kong buru-buru menjurah memberi hormat. Akan tetapi nyonya Liok segera
membuang muka pura-pura tidak melihatnya.
“Tin Eng .... kau .... baik-baik saja?”
Tin Eng mengangguk singkat lalu berkata, “Gwat Kong aku dikalahkan Ang Sun Tek ....”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 245
“Aku sudah tahu akan hal itu. Aku sudah bertemu dengan kedua saudara Pui!”
“Bagus kalau begitu. Kau harus balaskan penasaranku kepada bangsat she Ang itu!”
“Jangan khawatir, memang aku hendak mencari dan mencoba kepandaiannya.”
“Dan ....... Gwat Kong, karena aku tak mungkin melanjutkan tugasku yang sudah kujanjikan
kepada dua orang sdr Pang, kau harus mewakili aku dan meneruskan usahaku. Aku tak dapat
bercerita panjang lebar. Gwat Kong, kau pergi dan carilah sahabatku Kui Hwa, si Dewi
Tangan Maut!”
“Hm, dia .... ?”
“Ya, dia musuh besarmu itu! Akan tetapi, kau tak boleh memusuhinya, biarpun ia anak Tanwangwe
yang menjadi musuh besarmu. Ia seorang baik dan gagah, bantulah dia, Gwat Kong.
Tanpa bantuanmu, tak mungkin ia akan dapat menemukan harta itu.”
“Mengapa?” tanya Gwat Kong yang hanya mengetahui sedikit saja dari kedua saudara Pui
tentang harta terpendam itu.
“Karena dahulu aku belum memberitahukan dengan jelas tempat harta itu tersembunyi.
Majulah dan perhatikan ini!”
Gwat Kong mendekat dan Tin Eng lalu mengeluarkan sehelai saputangan sutera hijau dari
kantong bajunya bagian dalam. Ia memang telah menyediakan sebuah peta yang digambarnya
di atas saputangan itu karena takut kalau-kalau ia akan lupa lagi. Ia membuka sapu tangan
yang berbau harum itu dengan telunjuknya yang kecil runcing. Ia menunjuk sebuah titik pada
saputangan yang bergambar peta itu.
“Tempatnya memang di sini, akan tetapi enci Kui Hwa belum tahu bahwa jalan masuknya
bukan dari kanan atau kiri, melainkan dari atas! Orang harus naik ke atas dan di bawah sebuah
batu besar terdapat jalan masuk itu. Simpanlah saputangan ini, Gwat Kong!”
Bab 27 .....
GWAT KONG menerima saputangan itu yang cepat dimasukkan ke dalam saku bajunya.
Kemudian ia memandang gadis itu dengan sayu.
“Tin Eng .....kau tidak .......... tidak dengan Gan Bu Gi?” Sukar baginya untuk mengucapkan
kata-kata “kawin” yang menikam hatinya.
Makin merahlah wajah Tin Eng mendengar ini dan berbareng dengan perasaan malu yang
menyerangnya, ia merasa amat girang. Teranglah sudah bahwa pemuda yang gagah perkasa
ini masih mencintainya dan kalau saja keadaan tidak seperti itu, ingin sekali ia menggoda
pemuda ini.
“Tidak, Gwat Kong! Apapun yang akan terjadi, aku takkan sudi! Aku lebih suka mati!” Gwat
Kong bernapas lega mendengar ini dan sebelum ia dapat berkata lagi, tiba-tiba nyonya Liok
berkata perlahan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 246
“Pergilah, Liok-taijin datang ........!”
Gwat Kong mengulur tangan dan memegang tangan Tin Eng yang keluar dari jendela.
“Tin Eng ..... aku pergi .........!”
“Pergilah, Gwat Kong, aku ...... menantimu!”
Gwat Kong menyelinap dari jendela itu dengan hati berdebar. Teringatlah ia kepada Cui Giok
dan nelayan tua itu. Juga Cui Giok berkata seperti yang baru saja diucapkan oleh Tin Eng itu.
Mereka akan menanti! Ia bingung, akan tetapi telinganya masih dapat menangkap suara Liok
Ong Gun berkata,
“Apakah kalian tidak melihat sesuatu? Menurut laporan penjaga, bangsat kecil Gwat Kong itu
tadi kelihatan berada di dekat rumah kita!”
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menuju ke belakang rumah untuk pergi dari tempat
berbahaya itu. Dengan cepat ia dapat keluar dari pintu belakang memasuki taman bunga, akan
tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka di tengah taman di mana dahulu dilakukan ujian
terhadap Gan Bu Gi, tiba-tiba saja dari belakang pohon dan gerombolan kembang
berlompatan keluar beberapa orang perwira.
“Ha ha ha! Gwat Kong penjahat rendah!” teriak Gan Bu Gi. “Kau benar-benar berani mati,
masuk ke dalam tempat orang seperti maling!”
Gwat Kong cepat memandang dan ternyata ia telah dikurung oleh sepuluh orang, diantaranya
Ang Sun Tek yang sudah memegang goloknya yang bersinar mengkilap. Tujuh orang lain
juga memegang golok yang sama bentuknya, bahkan pakaian mereka juga sama dengan
pakaian Ang Sun Tek sehingga hati Gwat Kong tergerak karena ia menduga bahwa ketujuh
orang ini tentulah kawan-kawan Ang Sun Tek sehingga mereka ini delapan orang merupakan
Liok-te Pat-mo Delapan iblis bumi yang memiliki ilmu silat Pat-kwa To-hoat dan merupakan
barisan Pat-kwa-tin yang terkenal! Selain Liok-te Pat-mo dan Gan Bu Gi, terdapat pula
seorang perwira yang brewok dan bertubuh tinggi besar, memegang sebatang tombak
panjang. Perwira ini bernama Lim Pok Ki, seorang perwira kerajaan yang berkepandaian
tinggi dan tingkatnya menduduki tempat kedua di kotaraja.
Melihat sikap sepuluh orang ini, Gwat Kong maklum bahwa ia takkan dapat keluar dari
tempat itu tanpa pertempuran mati-matian. Maka ia lalu mencabut pedang Sin-eng-kiam,
memasang kuda-kuda dan berkata dengan senyum sindir,
“Gan Bu Gi! Kau pengecut besar. Apakah kau hendak mengandalkan keroyokan untuk
melawanku?”
“Maling busuk!” Gan Bu Gi memaki. “Kau takut menghadapi kami?”
Gwat Kong tersenyum, sikapnya masih tenang. “Orang she Gan! Biarpun belum tentu aku
akan dapat menang menghadapi keroyokan kau dan kawan-kawanmu, akan tetapi jangan
harap akan membikin aku takut. Biar kau tambah dengan sepuluh orang lagi, aku takkan takut
menghadapinya!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 247
“Bangsat sombong!” teriak Ang Sun Tek yang melompat maju dengan goloknya yang lihai.
Gwat Kong menangkis dan segera ia dikeroyok oleh sepuluh orang kosen itu!
Melihat gerakan senjata mereka, Gwat Kong kaget juga, karena kesemuanya memiliki
gerakan yang amat cepat dan lihai sekali sehingga ia segera berseru keras dan memutar Sineng-
kiam sambil mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. Sin-eng Kiam-hoat adalah
ilmu pedang yang menduduki tempat tinggi di kalangan persilatan. Sedangkan Gwat Kong
telah mempelajarinya dengan sempurna, maka pedangnya menyambar-nyambar seperti kilat
dan tubuhnya terbungkus oleh sinar pedang.
Bukan main kagumnya Ang Sun Tek melihat kehebatan ilmu pedang lawannya ini. Sama
sekali ia tidak menduga bahwa pemuda yang pernah ia jumpai di restoran dan yang telah ia
coba pula tenaga dan kelihaiannya, memiliki ilmu pedang yang belum pernah ia lihat selama
hidupnya. Ia teringat akan ilmu pedang yang dimainkan oleh Tin Eng. Akan tetapi
dibandingkan dengan Tin Eng, kepandaian pemuda ini jauh lebih tinggi dan lebih hebat.
Biarpun delapan buah golok, sebuah pedang dan sebatang tombak menyerang bagaikan hujan
lebat. Namun pedang ditangan Gwat Kong dapat melayani dan menangkis semua itu dengan
amat baik dan cepatnya!
Akan tetapi, diam-diam Gwat Kong mengeluh di dalam hatinya. Untuk menghadapi Liok-te
Pat-mo delapan orang itu saja, belum tentu ia akan dapat memperoleh kemenangan, oleh
karena mereka ini benar-benar hebat sekali permainan goloknya. Apalagi di tambah dengan
Gan Bu Gi yang juga lihai ilmu pedang Kim-san-painya, sedangkan perwira tinggi besar
itupun hebat sekali permainan tombaknya. Baiknya bahwa dengan ikut sertanya Gan Bu Gi
dan Lim Pok Ki perwira brewok tinggi besar itu, maka Liok-te Pat-mo tidak sempat untuk
mengatur barisan Pat-kwa-tin mereka dan di dalam keroyokan yang tak teratur ini, kelihaian
mereka banyak berkurang.
Gwat Kong merasa menyesal mengapa ia tidak membawa sulingnya, karena kalau ia
membawa benda itu, ia akan dapat melakukan perlawanan lebih baik lagi dan dapat mainkan
ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat dengan sulingnya. Tentu saja ketika berangkat ke Kiangsui,
ia tidak pernah menyangka akan bertemu dan menghadapi sekian banyaknya lawan-lawan
yang tangguh dan berat.
“Tahan!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru keras. Semua orang menahan senjata masing-masing.
“Apakah kau yang disebut Kang-lam Ciu-hiap?” Ang Sun Tek menegaskan.
“Benar,” jawab Gwat Kong.
“Apakah kau ahli waris dari Sin-eng Kiam-hoat?”
Gwat Kong tersenyum. “Hmm, masih bagus matamu tidak tertutup oleh kesombonganmu,
Ang Sun Tek. Memang aku ahliwaris Sin-eng Kiam-hoat dan tentu kau akan dapat melihat
pedang Sin-eng-kiam ini kalau matamu tidak buta.”
“Bagus!” teriak Ang Sun Tek dengan girang. Aku bersama tujuh orang saudaraku telah
mengalahkan Im-yang Siang-kiam dari selatan, hanya tinggal Sin-eng Kiam-hoat dan Sinhong
Tung-hoat yang belum dicoba!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 248
“Ketahuilah, Ang Sun Tek! Kalau kau hendak mencoba Sin-hong Tung-hoat, kaupun harus
berhadapan dengan aku sendiri.”
“Apa? Kau anak murid Bok Kwi Sianjin pula ......?”
“Benar! Sayang tidak ada senjata tongkat untuk membuktikannya kepadamu!”
“Bagus, bagus! Kalau begitu, cobalah kau hadapi Pat-kwa-tin kami!” seru Ang Sun Tek
dengan gembira.
“Ang Sun Tek, telah lama aku mendengar bahwa Pat-kwa-tin dari Liok-te Pat-mo berbahaya
dan hebat sekali, dan semua golok dimainkan berdasarkan Pat-kwa-tin, ilmu golok yang
menggetarkan daerah utara. Akan tetapi kau dan kawan-kawanmu berjumlah delapan orang
sedangkan aku hanya seorang diri. Kalau kau memang gagah dan hendak mempertahankan
nama barisanmu, beranikah kau menghadapi aku dan seorang kawanku?”
“Ha ha ha! Tentu saja berani. Siapakah kawanmu itu dan di manakah dia?”
Gan Bu Gi dan Lim Pok Ki merasa kurang puas melihat betapa Ang Sun Tek kini bercakapcakap
dengan Gwat Kong sebagai ahli silat menghadapi ahli silat, bukan sebagai perwira yang
hendak menangkap seorang pelanggar hukum, maka Gan Bu Gi berseru,
“Hayo, tangkap maling ini!”
“Gan-ciangkun, jangan bergerak!” seru Ang Sun Tek marah. “Atau barangkali kau mau
menghadapi Kang-lam Ciu-hiap sendiri saja?”
Ditegur secara demikian, Gan Bu Gi tertegun. Tentu saja ia tidak berani menghadapi Gwat
Kong seorang diri saja.
“Ha ha ha, ternyata Ang Sun Tek masih memiliki kegagahan tidak seperti tikus kecil she Gan
yang bersifat pengecut ini,” kata Gwat Kong. “Ang Sun Tek, tadi kau bertanya tentang
kawanku itu. Masih ingatkah kau kepada jago tua Sie Cui Lui di Ciang-si?”
“Pencipta Im-yang Siang-kiam-hoat? Tentu saja, dia pernah menjadi pecundang menghadapi
barisan kami!”
Gwat Kong mengangguk. “Benar, dan karena itulah maka kawanku itu memang sengaja
mencari-carimu di Sian-nang, akan tetapi ternyata kalian telah pergi ke ibukota. Dia adalah
cucu dari Sie Cui Lui Locianpwe, dan sengaja hendak membalas dan menebus kekalahan Sie
locianpwe!”
“Bagus, suruh dia datang ke sini. Biar kau dan dia maju berbareng!” tantang Ang Sun Tek.
Pada saat itu, terdengar ribut-ribut dan dari pintu depan muncullah Liok Ong Gun bersama
perwira dan yang jumlahnya dua puluh orang lebih.
“Tangkap penjahat ini!” teriak Liok-taijin dan menyerbulah semua perwira itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 249
Ang Sun Tek sendiri bersama tujuh orang kawannya ketika melihat munculnya Liok-taijin,
merasa tidak enak hati kalau tinggal diam saja, maka Ang Sun Tek berkata, “Mungkin kau
tidak mempunyai kesempatan lagi untuk menguji barisan kami, Kang-lam Ciu-hiap!” Dan
iapun menggerakkan goloknya maju menerjang, diikuti oleh kawan-kawannya yang lain!”
Kini keadaan Gwat Kong benar-benar berbahaya sekali. Ia telah diserang lagi oleh Ang Sun
Tek dan kawan-kawannya. Sedangkan Liok-taijin bersama pengikutnya telah mengurung dan
siap sedia menyerbu pula.
Akan tetapi, Gwat Kong merasa aneh sekali mendapat kenyataan bahwa gerakan golok Ang
Sun Tek amat berlainan dengan tadi. Kini gerakan golok mereka lemah dan biarpun gerakan
itu masih amat cepat akan tetapi mereka tidak menyerang dengan sungguh-sungguh. Tentu
saja Gwat Kong menjadi girang sekali dan diam-diam ia tahu akan maksud Ang Sun Tek dan
kawan-kawannya. Liok-te Pat-mo ini terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dan mereka amat
bangga dengan Pat-kwa-tin mereka sehingga ketika mendengar bahwa Gwat Kong bersama
seorang keturunan Sie Cui Lui hendak mencoba kekuatan barisan mereka, Ang Sun Tek dan
kawan-kawannya telah menjadi gembira. Oleh karena itu, mereka ini sengaja tidak menyerang
sungguh-sungguh dan hendak memberi kesempatan kepada Gwat Kong untuk melarikan diri
agar kelak mereka dapat berhadapan di depan pibu (adu kepandaian).
Akan tetapi agaknya Ang Sun Tek hendak memperlihatkan kepada Gwat Kong akan kelihaian
ilmu goloknya, karena tiba-tiba ia berseru keras,
“Kang-lam Ciu-hiap, aku takkan puas membiarkan kau pergi begitu saja!” Ia memberi isyarat
dengan kata-kata rahasia kepada kawan-kawannya dan dengan amat cepatnya mereka itu lalu
menyerbu, merupakan serangan yang bersegi delapan. Inilah gerakan dari Pat-kwa-tin yang
sengaja didemonstrasikan oleh Ang Sun Tek dan kehebatannya memang luar biasa sekali.
Delapan buah golok yang menyerang Gwat Kong itu tidak dilakukan dalam saat yang sama,
akan tetapi sambung menyambung dan selalu mengarah bagian yang lemah menurut gerakan
Gwat Kong ketika mengelakkan diri dari golok yang menyerangnya. Pemuda ini dengan
kecepatannya masih dapat menghindarkan tujuh batang golok yang menyerang berturut-turut.
Akan tetapi golok Ang Sun Tek yang menyerang terakhir masih dapat menyerempet
pundaknya sehingga bajunya di bagian pundak kiri robek dan kulitnya terbabat berikut sedikit
daging. Darah keluar membasahi bajunya itu.
Terdengar Ang Sun Tek tertawa bergelak, akan tetapi mereka kini menyerang kembali dengan
mengendurkan dan tidak sungguh-sungguh. Gwat Kong terkejut sekali, akan tetapi ia juga
bersyukur oleh karena Ang Sun Tek ternyata tidak hendak mencelakainya, hanya terdorong
oleh karena kesombongannya hendak memberi peringatan bahwa Pat-kwa-tinh tidak boleh
dibuat main-main.
Karena merasa bahwa percuma saja baginya untuk melanjutkan perlawanan lebih lanjut, Gwat
Kong lalu menyerbu keluar hendak melarikan diri. Ia berhasil membabat putus tombak Lim
Pok Ki yang menghadang di jalan. Kemudian ia menyerbu keluar dari bagian yang terjaga
oleh Lim-ciangkun itu. Para penjaga di belakang yang dipimpin oleh Liok Ong Gun segera
menghadang di jalan dengan senjata diputar dan kembali Gwat Kong terkurung.
Akan tetapi kini Liok-te Pat-mo tidak ikut mengurung karena ketika Gwat Kong lari, mereka
sengaja tidak mau mengejar. Biarpun kini dikurung lagi, namun oleh karena para
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 250
pengeroyoknya hanya terdiri dari penjaga-penjaga yang berkepandaian biasa, mudah bagi
Gwat Kong untuk merobohkan beberapa orang dan membikin terpental banyak senjata lawan.
Kemudian ia melompat lagi keluar dari kepungan. Para pengeroyoknya mengejar sambil
berteriak-teriak.
Cepat bagaikan seekor burung walet, Gwat Kong melompat ke atas pagar tembok yang
mengurungi taman bunga itu. Akan tetapi baru saja kakinya menginjak tembok, dari luar
tembok menyambar anak panah dan piauw bagaikan hujan ke arah tubuhnya. Untung baginya,
ia telah berlaku waspada dan tenang sehingga dengan cepat ia lalu memutar pedangnya
dengan gerakan Sin-eng Po-in (Garuda sakti menyapu awan) sehingga seluruh tubuhnya
bagian depan terlindung oleh sinar pedang dan semua anak panah dan senjata rahasia lain
tertangkis runtuh ke bawah tembok.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia mendengar suara sambaran angin senjata rahasia
dari belakang. Ternyata bahwa para pengejar di sebelah dalam taman itupun telah
menyerangnya dengan senjata-senjata rahasia pula.
“Pengecut!” Gwat Kong berseru dan menggunakan kedua kakinya menggenjot tubuh dan
melompat ke bagian lain di atas pagar tembok itu. Akan tetapi, oleh karena ia tidak dapat
menggunakan pedangnya untuk menangkis ke belakang pada saat pedangnya digunakan
untuk menangkis senjata rahasia dari depan, maka biarpun lompatannya cepat sekali, namun
masih ada sebatang anak panah yang menancap pada punggungnya.
Baiknya pemuda ini telah siap sedia dan mengerahkan tenaga khikang di bagian tubuh
belakang. Biarpun anak panah itu menancap pada punggungnya, akan tetapi tidak dalam
betul, hanya kepalanya saja yang menancap. Betapapun juga, ia merasa sakit sekali, terutama
karena luka di pundak kirinya dan keroyokan-keroyokan itu membuat ia merasa lelah dan
darah yang keluar dari luka-lukanya membuat ia merasa pening kepala.
Dengan cepat Gwat Kong lalu menyambar turun sambil memutar pedangnya. Ketika para
tentara penjaga di luar tembok itu menyerbu, ia berlaku ganas, dan roboh mandi darah.
Namun, para penjaga masih saja mendesak maju. Pada saat yang amat berbahaya itu, tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring,
“Barisan penjaga, mundur!”
Para penjaga mengenal suara ini dan menjadi ragu-ragu. Ketika Gwat Kong menengok,
alangkah kaget dan girangnya karena yang membentak itu adalah Tin Eng yang datang
menuntun seekor kuda putih.
“Gwat Kong, lekas kau lari!” kata gadis itu sambil menyerahkan kendali kuda. Para penjaga
tidak berani menyerang oleh karena gadis majikannya itu berada bersama Gwat Kong.
“Tin Eng,” bisik Gwat Kong. “Jaga dirimu baik-baik. Aku akan kembali kelak .....”
“Gwat Kong, kau terluka ...?”
“Tidak mengapa, hanya luka sedikit!” kata Gwat Kong yang segera melompat ke atas kuda
dan segera membalapkan kuda putih itu dengan cepat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 251
“Aku menunggu .....” masih terdengar suara Tin Eng dan gadis itu segera melompat kembali
ke dalam pintu depan untuk kembali ke kamarnya, sebelum ayahnya yang masih berada di
dalam taman bunga itu melihatnya. Gadis ini tadi mendengar teriakan-teriakan di luar gedung,
dan karena ia maklum bahwa Gwat Kong sedang dikeroyok, maka dengan nekad gadis ini lalu
berlari keluar, tidak memperdulikan teriakan dan larangan ibunya. Ia melihat betapa Gwat
Kong dikeroyok dan sedang bertempur mati-matian. Maka ia lalu cepat mengambil seekor
kuda yang terbaik dari kandang kudanya kemudian menuntun kuda itu keluar dan menolong
Gwat Kong melarikan diri.
Ketika Liok-taijin berlari keluar, ia masih melihat bayangan Gwat Kong di atas kuda yang
melarikan diri dengan amat cepatnya.
“Keluarkan kuda!” teriaknya. “Kejar bangsat itu sampai dapat!”
Sepasukan berkuda lalu melakukan pengejaran, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri.
Gwat Kong membandel kudanya dan ketika ia menengok, ia melihat sepasukan berkuda yang
terdiri dari belasan orang, dipimpin oleh Liok-taijin sendiri melakukan pengejaran. Karena ia
tidak melihat Liok-te Pat-mo di antara para pengejar itu, kalau ia mau, ia akan dapat
menghadapi mereka. Akan tetapi ia telah merasa jemu dan pening. Apalagi karena ia tidak
mau melawan Liok-taijin bekas majikannya sendiri itu.
Baiknya Tin Eng memberikan kuda putih yang paling baik di antara semua kuda di dalam
kandang Liok-taijin. Bahkan kuda putih ini adalah kesayangannya ketika ia masih menjadi
pelayan di gedung itu. Maka ia dapat melarikan kuda itu dengan amat cepatnya sehingga para
pengejarnya tertinggal di belakang.
Anak panah yang mengenai punggungnya masih menancap di punggung. Akan tetapi ia tidak
merasa khawatir karena luka itu hanyalah luka di luar saja yang cukup mendatangkan rasa
panas dan sakit.
Ia hanya mengharapkan untuk cepat sampai di sungai, di mana perahu telah menunggu, di
mana Cui Giok dan nelayan tua telah menunggunya. Mudah-mudahan Cui Giok dan nelayan
itu ada di sana, pikirnya. Bagaimana kalau Cui Giok tidak berada di dalam perahu?
Bagaimana kalau nona itu sedang pergi meninggalkan perahu untuk menghibur diri ke darat?
Ia telah terlalu lama meninggalkan Cui Giok. Ketika ia berangkat tadi, matahari baru saja
muncul. Sekarang matahari telah jauh berada di barat. Hampir sehari penuh ia meninggalkan
perahu. Ah, Cui Giok tentu merasa amat kesepian. Mengingat akan hal ini, Gwat Kong makin
mempercepat larinya kuda yang ditendang-tendangnya sehingga kuda itu membalap bagaikan
terbang cepatnya.
Ketika ia lewat di bukit dekat sungai itu, dan membelok ke kiri, hatinya merasa girang sekali.
Hampir saja ia berseru karena girangnya ketika melihat bahwa Cui Giok sedang berdiri di
kepala perahu. Gadis itu berdiri lurus dan jelas terlihat dari jauh bahwa gadis itu sedang
menungguinya. Angin yang bertiup perlahan membuat ikat pinggang gadis itu melambailambai
seakan-akan menyuruh ia datang lebih cepat.
Gwat Kong telah merasa pusing sekali, akan tetapi ia tersenyum girang.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 252
“Cui Giok,” bisiknya di dalam hati. “Kau benar-benar menungguku .....,” ia memandang
kepada gadis yang berdiri dengan gagah dan cantik menarik itu.
Sementara itu, Cui Giok berdiri dengan mulut merengut. Ia marah sekali setelah melihat
munculnya orang yang ditunggu-tunggu semenjak tadi. Semenjak Gwat Kong pergi, ia duduk
termenung saja, dan setelah hari menjadi siang, ia mulai gelisah karena belum juga melihat
Gwat Kong kembali.
Ketika nelayan tua itu telah memasak nasi dan menyuruh ia makan, gadis itu menolaknya,
menyatakan bahwa ia belum lapar. Nelayan itu menggeleng-gelengkan kepala dan maklum
bahwa gadis ini tak merasa senang karena Gwat Kong tidak berada di situ.
“Kongcu tentu akan kembali, siocia. Makanlah dulu dan jangan khawatirkan dia.”
“Siapa memikirkan dia?” kata Cui Giok marah. “Biar dia tidak kembali sekalipun, aku tidak
perduli.” Akan tetapi ia tahu bahwa ucapannya ini bohong belaka.
Setelah hari menjadi makin gelap, kegelisahannya memuncak. Semenjak tadi ia berdiri di
kepala perahu memandang ke arah jalan tikungan di balik bukit itu dengan wajah sayu dan
muram. Ingin sekali ia menyusul ke Kiang-sui. Akan tetapi ia merasa malu kepada Gwat
Kong dan malu kepada diri sendiri. Ia teringat akan dongengan nelayan tadi, dan diam-diam
di dalam hatinya terdengar nyanyian,
“Seribu tahun dinda akan menanti juga!”
Ketika tiba-tiba Gwat Kong muncul dari balik bukit sambil menunggang seekor kuda putih,
dadanya berdebar dan mukanya terasa panas. Sepasang matanya terasa pedas karena air mata
hampir menitik turun. Sedangkan mulutnya menjadi cemberut. Ia gemas dan marah.
Lenyaplah semua kegelisahannya berganti oleh rasa marah mengapa pemuda itu demikian
lama meninggalkannya.
Akan tetapi, ketika melihat pasukan berkuda yang mengejar dari belakang, kemarahannya
lenyap tersapu angin dan pada wajahnya yang manis itu terbayang kegelisahan hebat. Apalagi
setelah Gwat Kong tiba di depannya dan pemuda itu melompat turun terhuyung-huyung
dengan tubuh lemas. Ia menjadi kaget sekali. Dengan lompatan kilat ia mendarat dan
memegang tangan pemuda itu,
“Gwat Kong, apa yang terjadi ....?” suaranya gemetar ketika ia melihat pundak pemuda itu
yang penuh darah dan terbelalak matanya ketika melihat anak panah di punggung pemuda itu.
“Cui Giok! Syukurlah kau berada di perahu. Lekas kita pergi dari sini. Lopek, lekas lepaskan
tambang perahu dan jalankan perahu.”
Cui Giok menggandeng tangan Gwat Kong masuk ke dalam perahu. Ia penasaran sekali.
“Gwat Kong, kau beristirahatlah dan biar aku menghajar sampai mampus semua pengejarmu
itu.” Sambil berkata demikian, Cui Giok lalu mencabut sepasang pedangnya yang disimpan di
buntalan pakaiannya.
Akan tetapi Gwat Kong memegang tangannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 253
“Jangan, Cui Giok. Jangan lawan mereka. Pasukan itu dipimpin oleh Liok-taijin dan aku tak
dapat melawan dia. Lopek, hayo cepat jalankan perahu!”
Nelayan itu tak perlu diperintahkan lagi, karena dengan ketakutan ia telah melepaskan
tambang yang mengikat perahu dan cepat mendayung perahu itu ke tengah sungai, yang
menghanyutkan perahu itu dengan cepat, dibantu oleh tenaga dayung nelayan itu.
Cui Giok merasa dadanya panas. “Hmm, kau tidak mau melawan orang she Liok itu, karena
dia ayah .... Tin Eng ...??” Nada suaranya penuh perasaan cemburu.
Gwat Kong menjatuhkan diri di bangku perahu. “Tidak ..., aku, aku .... ah, pening sekali
kepalaku ....”
Lenyap pula kemarahan Cui Giok. Ia berlutut dan menahan tubuh Gwat Kong yang lemah.
Sementara itu para pengejar tiba di pantai sungai dan terdengar mereka memaki-maki marah,
karena mereka tidak berdaya mengejar perahu yang telah jauh itu. Tak lama kemudian mereka
lalu melarikan kuda kembali sambil membawa kuda yang tadi ditunggangi oleh Gwat Kong.
“Gwat Kong, kau terluka ......?” Cui Giok berbisik penuh perhatian. Mendengar pertanyaan
ini, Gwat Kong teringat akan ucapan Tin Eng yang sama pula. Tin Eng juga mengeluarkan
bisikan seperti itu ketika menyerahkan kuda tadi. Gelap kedua mata Gwat Kong dan tak dapat
ditahannya lagi. Ia lalu roboh tak sadarkan diri.
“Gwat Kong ...!”
Cui Giok menjerit perlahan dan ia lalu mencabut anak panah yang masih menancap di
punggung pemuda itu. Ia merasa ngeri melihat dara mengalir keluar dari punggung itu. Tanpa
ragu-ragu lagi ia merobek baju Gwat Kong dan sambil melepaskan kepala pemuda itu di atas
pangkuannya, ia lalu membalut luka pemuda itu dengan ujung ikat pinggangnya yang
diputuskannya. Nelayan tua itupun membantunya dan melihat betapa gadis itu hendak
membalut pundak dan punggung yang luka, ia berkata dengan tenang,
“Tenanglah, siocia. Luka ini tidak besar dan berbahaya. Sebelum dibalut, lebih baik dicuci
lebih dahulu.”
Nelayan itu lalu membuat api di atas perahu dan memasak air sungai, karena menurut
pengalamannya, untuk mencuci luka, lebih baik menggunakan air yang telah matang.
Sementara itu, Cui Giok menutup luka dipunggung dan pundak Gwat Kong dengan sapu
tangannya yang telah basah oleh darah.
Melihat muka Gwat Kong yang pucat dan tak bergerak bagaikan mayat itu, hatinya terasa
gelisah dan terharu. Pikirannya bingung tidak keruan sehingga tanpa disadarinya pula
beberapa titik air matanya menetes turun dan mengenai muka Gwat Kong. Karena sapu
tangannya telah penuh dengan darah, Cui Giok lalu menggunakan ujung bajunya untuk
menghapus air mata yang membasahi hidung dan pipi pemuda itu.
Malam tiba dengan lambat, sama lambatnya dengan perahu kecil yang hanyut oleh aliran air
sungai Yung-ting. Untuk menjaga serangan angin malam, Cui Giok telah memindahkan Gwat
Kong ke dalam perahu, menyelimuti tubuh pemuda itu dengan selimut mantelnya dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 254
menggunakan setumpuk pakaian sebagai bantal. Ketika perahu itu tiba di sebuah tempat yang
banyak pohonnya, Cui Giok minta nelayan minggirkan perahu dan nelayan tua itu lalu
mengikat perahu pada akar pohon.
Angkasa penuh bintang gemerlapan membuat langit nampak bagaikan beludru hitam terhias
ratna mutu manikam yang serba indah. Nelayan itu membuat api unggun di tepi sungai dan
karena ia merasa amat lelah, ia tertidur di bawah pohon, dekat api unggun.
Akan tetapi Cui Giok tak dapat tidur. Ia semenjak tadi duduk menjaga di dekat Gwat Kong
setelah mencuci luka-luka di tubuh pemuda itu dan membalutnya dengan hati-hati. Gwat
Kong masih tetap tak sadar, tak bergerak dengan wajah pucat. Akan tetapi pernapasannya
normal dan Cui Giok menjaga dengan hati gelisah. Gadis ini hanya memperhatikan jalan
pernapasan Gwat Kong, seakan-akan khawatir kalau-kalau jalan pernapasan itu tiba-tiba
berhenti.
Beberapa kali ia meraba-raba jidat pemuda itu dan mencoba untuk memanggil-manggilnya.
Akan tetapi Gwat Kong tetap tak sadar, bagaikan seorang yang tidur nyenyak.
Bukan main gelisahnya hati dara itu. Ia tidak mempunyai pengalaman merawat orang sakit,
dan tidak tahu harus berbuat apa. Kadang-kadang ia mencucurkan air mata kalau
kegelisahannya memuncak, takut kalau-kalau Gwat Kong akan mati karena luka-lukanya ini.
Setelah dapat menahan air matanya, ia memandang dengan mata sayu dan menghela napas
panjang berulang-ulang. Menjelang tengah malam, tiba-tiba terdengar keluhan dari mulut
pemuda itu dan tangannya bergerak-gerak.
“Gwat Kong ....” Cui Giok memanggil dengan mesra dan memegang tangan pemuda itu. Ia
merasa betapa Gwat Kong menekan jari-jari tangannya dan memegang tangannya itu eraterat.
“Gwat Kong ....” kembali Cui Giok memanggil perlahan dengan suara gemetar penuh
perasaan. Ia merasa girang karena pemuda itu telah siuman kembali.
Gwat Kong membuka matanya, akan tetapi ia tidak mengenal Cui Giok terbukti dari pandang
matanya yang liar. Penerangan api lilin di dalam perahu itu hanya suram-suram. Akan tetapi
Cui Giok dapat melihat betapa pipi Gwat Kong merah sekali. Ia mengulur tangan menyentuh
jidat pemuda itu. Alangkah kagetnya, ketika merasa betapa jidat itu panas membara. Gwat
Kong telah terserang demam yang timbul karena luka-lukanya. Luka itu memerlukan
perawatan dan pengobatan, akan tetapi Cui Giok dan nelayan itu tidak mempunyai obat dan
tidak tahu pula harus memberi obat apa, maka hanya dicuci dan dibalut. Inilah yang membuat
luka itu membengkak dan menimbulkan panas demam.
“Panas ..... panas ......” Gwat Kong berkata gelisah sambil menggoyang kepala ke kanan kiri.
Cui Giok makin bingung. “Bagaimana Gwat Kong ...? Sakitkah ....?”
“Panas .... minum ....” Gwat Kong berkata setengah sadar.
Cui Giok cepat berbangkit dan mengambil minum yang tersedia di cawan. Ia mengangkat
kepala pemuda itu dan memberi minum yang diminum oleh Gwat Kong dengan lahapnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 255
Kemudian ia meletakkan kepala pemuda itu di atas tumpukan pakaian lagi. Akan tetapi Gwat
Kong tetap gelisah. Kepalanya berdenyut-denyut, tubuhnya terasa amat panasnya. Bagaikan
seorang gila ia merenggut pakaiannya dan “bret .... bret ...” bajunya terobek dan terbuka
sehingga tubuhnya bagian atas terbuka dan telanjang sama sekali.
“Eh, jangan begitu, Gwat Kong! Kau nanti terkena angin!” kata Cui Giok yang segera
menarik mantelnya untuk diselimutkan kepada tubuh Gwat Kong.
“Panas ......,” Gwat Kong makin gelisah dan kepalanya miring ke kanan kiri sehingga
akhirnya terjatuh dari tumpukan pakaian itu.
“Diamlah, Gwat Kong. Tenanglah!” Cui Giok hampir menangis saking gelisahnya dan
bingungnya. Ia memegang kepala Gwat Kong, mengangkatnya dan meletakkan kepala itu di
atas pangkuannya sambil memeluk kepala itu erat-erat agar jangan tergoyang ke kanan kiri. Ia
menggunakan jari-jari tangannya yang halus itu untuk memijit-mijit kepala Gwat Kong
dengan mesra. Agaknya Gwat Kong merasa nyaman dipijit-pijit dan dipeluk kepalanya itu.
Karena ia menjadi tenang lagi dan sambil meramkan mata ia tertidur pula di atas pangkuan
Cui Giok.
Gadis itu merasa lega dan tidak berani bergerak sedikitpun, khawatir kalau-kalau ia
mengagetkan Gwat Kong. Dengan penuh kasih sayang, ia mengusap-usap rambut kepala
pemuda itu bagaikan seorang ibu mengelus-elus kepala anaknya. Kasih sayangnya terhadap
pemuda ini meluap-luap dan hatinya berdebar penuh kebahagiaan.
Semalam suntuk Cui Giok memangku kepala Gwat Kong dengan hati-hati dan tidak berani
bergerak sedikitpun sehingga kedua kakinya terasa lumpuh dan kaku kesemutan karena
darahnya tidak dapat berjalan dengan baik. Namun ia dapat mempertahankan diri dengan
setia. Tubuh Gwat Kong masih panas sekali sehingga rasa panas yang hebat menembus
pakaian dan membuat kedua paha Cui Giok terasa panas bagaikan dekat api.
Bab 28 .....
KETIKA matahari mulai menyinarkan cahayanya, nelayan tua itu terjaga dari tidurnya.
Melihat betapa Cui Giok masih duduk di dalam perahu sambil memangku kepala Gwat Kong,
ia menggeleng-geleng kepala dan merasa amat terharu, teringat akan anak perempuannya
yang telah mati.
“Siocia, tidurkan kongcu di atas tumpukan pakaian dan kau perlu beristirahat.”
Akan tetapi Cui Giok menggelengkan kepala dan berbisik,
“Tubuhnya panas sekali, lopek. Agaknya ia terkena demam.”
Nelayan itu meraba jidat Gwat Kong dan keningnya berkerut ketika merasa betapa panasnya
jidat pemuda itu.
“Hmmm, benar-benar ia terkena demam,” katanya.
Pada saat itu, Gwat Kong sadar kembali dan menggeliat-geliat karena napasnya. Cui Giok
menaruh kepala pemuda itu di atas bantal pakaian dan memberinya minum lagi.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 256
“Kita berhenti dulu di sini, lopek. Tak perlu melanjutkan pelayaran,” katanya.
Demikianlah dengan penuh perhatian dan amat telaten dan sabar, Cui Giok dan nelayan tua
itu merawat Gwat Kong. Ternyata bahwa luka di bagian punggung yang terkena anak panah
itu membengkak dan berwarna merah sekali. Luka di pundak sudah mulai mengering.
Agaknya anak panah itu telah berkarat sehingga mendatangkan racun dan membuat luka itu
bengkak dan panas.
Sampai tiga hari Gwat Kong terserang demam dan tidak ingat akan keadaan sekelilingnya.
Akan tetapi pemuda itu bertubuh kuat dan darahnya yang sehat ternyata mempunyai daya
tahan yang luar biasa sehingga biarpun luka itu tidak diobati akan tetapi tiga hari kemudian
bengkaknya mengempis dan panasnya turun.
Ia mulai sadar dan teringat akan semua kejadian. Ketika ia membuka mata, sadar dari tidurnya
yang sudah mulai tenang, ia mendapatkan Cui Giok duduk di dekatnya dan kagetlah ia ketika
melihat betapa gadis itu nampak pucat dan kurus, sepasang matanya agak cekung. Ia tidak
tahu bahwa selama tiga hari itu Cui Giok hampir tidak makan sama sekali, hanya makan
sedikit kalau sudah dipaksa-paksa dan diberi nasehat oleh nelayan tua itu.
“Siocia,” nelayan itu memberi nasehat dengan terharu. “Kau benar-benar seorang gadis
berhati mulia dan amat setia kepada kawanmu. Akan tetapi, kongcu telah menderita sakit dan
betapapun juga, kita harus bersabar. Kalau kau menyiksa dirimu sendiri, tidak tidur dan tidak
makan, bagaimana kalau kau sampai menderita sakit pula? Bukankah hal itu membuat
keadaan menjadi makin buruk? Kalau kau jatuh sakit pula, siapa yang akan merawat kongcu?
Aku sudah tua dan bodoh. Bagaimana aku dapat mengurus kalian berdua kalau keduanya
jatuh sakit? Maka dari itu, makanlah siocia, biarpun hanya sedikit!”
Setelah diberi nasehat dan dibujuk-bujuk, barulah Cui Giok mau makan sedikit bubur, akan
tetapi apabila ia memandang ke arah Gwat Kong, ia melepaskan mangkuk buburnya lagi.
Dengan telaten ia menyuapkan bubur ke mulut Gwat Kong dan selama tiga hari itu biarpun ia
makan sedikit bubur, namun ia sama sekali tak pernah tidur.
Ketika Gwat Kong sadar dan melihat keadaan Cui Giok, ia bangun dan dibantu oleh Cui
Giok, ia duduk. Tubuhnya masih lemah, akan tetapi tidak panas lagi dan kepalanya tidak
pusing.
“Bagaimana, Gwat Kong? Apakah masih merasa sakit dan pusing?” tanya Cui Giok penuh
perhatian.
Gwat Kong menggeleng kepalanya. “Aaah, apakah selama ini aku tidur saja? Alangkah
malasnya. Sudah berapa lamakah aku tertidur? Kita telah sampai di mana?” Ia memandang ke
darat di mana nelayan tua itu sedang memanggang ikan.
“Kau menderita demam,” kata Cui Giok dan wajahnya berseri girang karena ternyata bahwa
pemuda itu telah sembuh betul.
“Tubuhmu panas sekali, membikin aku dan lopek merasa gelisah dan bingung.”
“Akan tetapi, kau ... kenapa kau kurus sekali...?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 257
Dengan penuh perhatian Gwat Kong memandang kepada Cui Giok yang segera menundukkan
mukanya. Setelah hatinya menjadi lapang melihat Gwat Kong sembuh, ia merasa lelah dan
mengantuk sekali.
“Aku mengantuk ..... aku mau tidur Gwat Kong.....,” katanya sambil merebahkan diri dalam
perahu itu, berbatalkan lengan. Ia meramkan mata dan .... sebentar saja ia tidur nyenyak
sekali.
Gwat Kong termenung. Ia tidak tahu berapa lama ia telah jatuh sakit. Ia memandang kepada
wajah Cui Giok yang tidur nyenyak. Gadis itu rebah dengan tubuh miring, menghadap
kepadanya. Ia mengamati wajah yang agak pucat dan kurus itu, dan iapun merasa heran.
Mengapa Cui Giok nampak seperti orang sakit? Dan mengapa pula pada pagi hari gadis itu
demikian mengantuk sehingga jatuh pulas begitu tubuhnya dibaringkan?
Perahu bergoyang sedikit ketika nelayan masuk ke dalam perahu membawa poci teh dan
mangkok bubur.
“Makanlah bubur ini, kongcu. Aku girang sekali kau dapat bangun pagi ini.”
Gwat Kong menjadi amat terharu. “Berapa lama aku menderita sakit dan tidur saja, lopek?”
Kakek itu memandangnya dan mulutnya tersenyum. “Berapa lama? Tak kurang dari tiga
malam, kongcu! Kau selama itu tidak ingat menderita demam panas, membuat kami merasa
khawatir sekali.”
Gwat Kong tercengang dan makin terharu, “Aaah .... dan selama itu kau merawatku, lopek?
Alangkah berbudi hatimu. Aku harus menyatakan terima kasihku kepadamu.”
“Berbudi? Terima kasih kepadaku? Kongcu, kalau mau bicara tentang budi dan terima kasih,
jangan tujukan itu kepadaku, akan tetapi kepada siocia ini. Dialah yang merawatmu selama
itu!”
Gwat Kong memandang ke arah Cui Giok yang masih tidur nyenyak.
“Dia ...?” tanyanya terharu.
Kakek itu mengangguk-angguk. “Belum pernah aku melihat seorang gadis sedemikian setia
dan mulia. Ia pasti menyintaimu dengan sepenuh hati dan jiwanya. Tahukah kau, kongcu
bahwa dia selama tiga malam ini sedikitpun tidak pernah tidur? Bahkan dia hampir tidak
makan sama sekali. Dan tak pernah pergi dari sisimu, menjagamu, merawatmu, menyuapkan
bubur kepadamu. Bahkan ..... tidak jarang ia menangisimu.”
Gwat Kong merasa betapa lehernya seakan-akan tercekik ketika sedu-sedan keharuan naik
dari dalam dadanya.
“Be .... benarkah, lopek?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 258
“Mengapa tidak benar?” Kakek itu mengangguk-angguk lagi. “Dia menjaga dan merawatmu
bagaikan seorang ibu merawat anaknya, penuh kasih sayang dan kalau tidak ada dia, entah
akan bagaimana jadinya dengan kau, kongcu. Kau benar-benar bahagia mendapat cinta kasih
seorang gadis semulia dia ini ...” Kakek itu mengangguk-angguk lagi, dan keluar dari perahu
itu.
Bukan main terharunya hati Gwat Kong. Ia menatap wajah Cui Giok yang kurus dan pucat.
Tak terasa lagi dua titik air mata turun dan mengalir di pipinya. Alangkah mulia hati gadis ini,
pikirnya. Gadis yang cantik dan luar biasa gagahnya ini, yang berkepandaian tinggi, telah
merawatnya, menjaganya sampai tiga malam tanpa tidur sehingga muka menjadi pucat dan
kurus.
Ah, bukan main. Hampir tak dapat dipercaya. Dengan perlahan Gwat Kong lalu
menanggalkan mantel yang tadinya diselimutkan kepada tubuhnya itu, mantel merah
kepunyaan Cui Giok. Ia lalu menghampiri gadis itu dan dengan hati-hati ia menyelimuti tubuh
gadis itu.
Kemudian ia duduk termenung lagi. Pikirannya bingung. Teringat ia kepada Tin Eng gadis
yang dicintainya itu. Kemudian ia teringat akan penuturan nelayan tadi, tentang kecintaan dan
kesetiaan Cui Giok. Ia menjadi bingung sekali memikirkan ini semua.
Setelah matahari naik tinggi, Cui Giok membuka matanya melihat Gwat Kong duduk di
dekatnya. Ia segera berbangkit dan kata-kata pertama yang keluar dari mulutnya, ialah,
“Gwat Kong, apakah kau sudah sembuh betul? Tidak merasa sakit lagi?”
Ucapan ini mengharukan hati Gwat Kong benar. Dari ucapan yang sederhana ini terjamin
cinta kasih gadis itu yang amat besar. Begitu bangun dari tidur, yang menjadi perhatian
pertama adalah keadaannya. Gwat Kong tak dapat menahan keharuan hatinya. Ia memegang
kedua tangan gadis itu dan sambil memandangnya tajam ia berkata dengan suara gemetar
penuh perasaan,
“Cui Giok, alangkah mulia hatimu. Aku berterima kasih kepadamu, dan aku ... aku berhutang
budi kepadamu. Percayalah bahwa selama aku hidup, aku takkan melupakan kamu dan
hatimu ini ...”
Merahlah wajah Cui Giok. Untuk beberapa lama ia menatap wajah pemuda itu dengan
pandang mata yang mesra sekali, karena seluruh perasaan hatinya terpancar keluar dari
pandang mata ini. Akan tetapi ia segera menundukkan muka dan menarik kedua tangannya.
“Aaah, baru saja sembuh kau sudah berlaku aneh, Gwat Kong. Di antara kita untuk apa
berhutang budi. Gwat Kong mengapa kau sampai terluka? Ceritakanlah pengalamanmu di
Kiang-sui. Aku sudah tak sabar lagi untuk mendengar ceritamu itu.”
Maka berceritalah Gwat Kong tentang pengalamannya di Kiang-sui. Betapa Tin Eng ditawan,
dipaksa pulang oleh Ang Sun Tek. Beberapa lama kemudian Tin Eng minta pertolongannya
untuk membantu anak murid Hoa-san-pai mencari harta pusaka yang juga dicari oleh Ang
Sun Tek bersama kawan-kawannya. Juga ia menceritakan tentang pertempurannya melawan
Liok-te Pat-mo dan perwira-perwira lain.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 259
“Ah, kalau saja aku tahu bahwa Liok-te Pat-mo berada di Kiang-sui, tentu aku akan pergi
mencari mereka di sana,” kata Cui Giok setelah mendengar penuturan ini. “Gwat Kong,
biarlah sekarang aku pergi ke Kiang-sui untuk menantang mereka.”
“Jangan, Cui Giok. Aku telah mengajukan tantangan kepada mereka dan juga sudah
menyebutkan namamu. Agaknya Ang Sun Tek bersedia menghadapi kita di Sian-nang dan
diam-diam aku telah mengadakan perjanjian ini dengan dia. Bahkan ketika aku terdesak, ia
sengaja tidak mau membunuhku, hanya melukai pundakku, agaknya untuk memberi
kesempatan agar aku dan kau kelak dapat bertempur dengan Pat-kwa-tin di Sian-nang. Lagi
pula, sekarang mereka tidak berada di Kiang-sui lagi, karena mereka bertugas pula mencari
harta pusaka itu di Hong-san. Maka dari itu, kalau kau tidak berkeberatan, Cui Giok, marilah
kita pergi ke Hong-san lebih dahulu.”
“Hmm kau hendak mencarikan harta pusaka itu untuk Tin Eng?” Aneh, tiap kali menyebut
nama Tin Eng, suara gadis ini gemetar, dan sinar matanya memancarkan cahaya ganjil.
“Itu hanya soal kedua, Cui Giok. Harta pusaka itu adalah hak milik kedua saudara Phang yang
masih muda, keturunan dari Pangeran Phang Thian Ong. Yang terpenting bagiku adalah
membantu murid-murid Hoa-san-pai, karena apabila mereka bertiga itu, yakni yang bernama
Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok, sampai bersua dengan rombongan perwira kerajaan,
mereka tentu akan mendapat bencana besar. Pula, selain maksud tersebut, kitapun akan dapat
bertemu dengan Liok-te Pat-mo di tempat itu sehingga kita sekalian dapat menghadapi
mereka dalam pibu. Bukankah ini berarti sekali bekerja banyak hasilnya?”
Cui Giok terpaksa harus menyatakan setujunya, oleh karena memang alasan pemuda itu kuat
sekali. Liok-te Pat-mo sedang pergi ke Hong-san, maka untuk apa mencari mereka ke kota
raja?”
“Baiklah, Gwat Kong. Akan tetapi, apakah kau sudah kuat betul untuk melakukan perjalanan
ke sana?”
Gwat Kong tersenyum. “Tidak percuma kau merawatku selama tiga malam ini, Cui Giok.
Aku sudah sembuh betul dan kalau digunakan untuk melakukan perjalanan darat, tentu
kekuatanku akan timbul kembali.”
Mereka lalu berkemas dan menyatakan keinginan mereka kepada nelayan tua itu.
“Lopek,” kata Gwat Kong. “Kami terpaksa meninggalkan perahumu untuk melanjutkan
perjalanan melalui darat. Besar jasamu untuk kami, lopek dan tak lupa kami menyatakan
terima kasih kami. Terimalah sedikit uang ini sekedar pembalas jasamu.” Gwat Kong
menyerahkan uang sepuluh tail kepada kakek itu.
Nelayan itu menghela napas. “Kongcu, selama aku menjadi nelayan, baru kali ini aku merasa
beruntung mempunyai penumpang-penumpang seperti kongcu dan siocia. Aku merasa
seakan-akan melakukan pelayaran dengan keluarga sendiri. Mudah-mudahan kalian berdua
selamat dan bahagia, kongcu dan besar harapanku kelak kita akan dapat bertemu pula.”
Juga Cui Giok menyatakan terima kasihnya dan sebagai tanda jasa, ia memberi sebuah hiasan
rambut dari pada emas. Kakek itu menerimanya dengan penuh kegirangan.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 260
Maka berangkatlah Cui Giok dan Gwat Kong meninggalkan perahu itu, langsung menuju ke
selatan untuk pergi ke Hong-san. Pada hari-hari pertama mereka melakukan perjalanan
seenaknya dan lambat karena kesehatan Gwat Kong baru saja sembuh. Akan tetapi, tiga hari
kemudian, Gwat Kong sudah sembuh sama sekali dan mereka dapat melakukan perjalanan
dengan cepat mempergunakan ilmu lari cepat. Setelah mereka tiba di pantai sungai Huang-ho
mereka lalu membelok ke kiri, menuju ke timur karena bukit Hong-san terletak di lembah
sungai Huang-ho sebelah timur.
Pada suatu hari, ketika mereka sedang berlari cepat melalui sebuah hutan, tiba-tiba dari depan
mereka melihat seorang kakek tua yang rambutnya putih, pakaiannya putih bersih penuh
tambalan. Biarpun kakek itu berjalan dibantu oleh tongkatnya, akan tetapi kedua kakinya
seakan-akan tidak mengambah bumi.
Cui Giok mengeluarkan seruan heran dan terkejut menyaksikan ilmu ginkang yang
sedemikian hebatnya, akan tetapi Gwat Kong berseru dengan girang,
“Suhu ........!”
Memang kakek itu bukan lain adalah Bok Kwi Sianjin, pencipta ilmu tongkat Sin-hong Tunghoat,
yang pernah melatih ilmu silat itu kepada Gwat Kong. Sebagaimana diketahui, tempat
pertapaan kakek sakti ini memang dekat sungai Huang-ho.
Melihat Gwat Kong yang berlutut di depannya, dan juga seorang nona cantik jelita yang
gagah berlutut pula di depannya di sebelah Gwat Kong, kakek itu nampak girang sekali.
“Bagus! Memang agaknya Thian menaruh kasihan kepada sepasang kakiku yang tua sehingga
kita dapat bertemu di sini. Gwat Kong, siapakah kawanmu yang manis dan gagah ini?”
“Suhu, dia ini Sie Cui Giok, cucu dari Sie Cui Lui locianpwe. Dialah yang menjadi ahli waris
Im-yang Siang-kiam-hoat!”
Tercenganglah kakek itu mendengar keterangan ini. Tak disangkanya sama sekali bahwa Imyang
Siang-kiam-hoat terjatuh ke dalam tangan seorang gadis muda secantik ini.
“Ah, bagus, bagus! Nona, aku kenal baik kepada kakekmu Sie Cui Lui itu!”
Dengan amat hormatnya, Cui Giok berkata,
“Locianpwe, harap sudi menerima hormat dari aku yang muda dan bodoh.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Gwat Kong, apakah kau sudah mencoba Im-yang Siang-kiam
dengan tongkatmu?”
“Sudah suhu. Pada pertemuan teecu dengan nona ini, kami telah bertempur.”
“Bagaimana keadaannya? Kau kalah?”
Gwat Kong hanya tersenyum sambil melirik ke arah Cui Giok. Gadis itulah yang menjawab
sambil tersenyum pula,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 261
“Teeculah yang kalah, Sin-hong Tung-hoat benar-benar lihai!”
“Jangan percaya kepadanya, suhu,” Gwat Kong membantah. Kalau teecu tidak menggunakan
Sin-hong Tung-hoat digabung Sin-eng Kiam-hoat tentu teecu yang kalah.”
Kembali kakek itu tertawa. Ia nampak senang sekali. “Dan apakah kalian pernah bertemu
dengan ahli waris Pat-kwa-tin dan mencoba kelihaiannya?”
Dengan singkat Gwat Kong lalu menuturkan tentang pertemuannya dengan Ang Sun Tek,
bahkan ia menuturkan tentang riwayat jahat dari Ang Sun Tek. Kemudian ia menuturkan pula
tentang perjalanannya menuju Hong-san.
Setelah mendengar semua penuturan itu dengan sabar, kakek itu berkata, “Kalau kalian
berdua yang maju menghadapi Liok-te Pat-mo, kalian takkan kalah. Gwat Kong, kalau bisa
perjalanan ke Hong-san itu baik kau tunda dulu karena ada hal yang lebih penting dari pada
itu. Ketahuilah bahwa murid-murid Go-bi-pai yang dikepalai oleh Seng Le Hosiang telah
mengadakan tantangan untuk bertempur mati-matian dengan anak murid Hoa-san-pai yang
dikepalai oleh Sin Seng Cu dan Thian Seng Cu. Mereka itu hendak mengadakan pertempuran
di puncak Thaysan pada permulaan musim Chun. Hal ini berbahaya sekali dan sudah menjadi
kewajiban kita untuk berusaha mencegahnya. Aku mendapat tahu bahwa tantangan bertempur
mengadu jiwa itu bukanlah kehendak ketua Go-bi-pai atau tokoh besar Hoa-san-pai. Oleh
karena itu, hal ini harus diberitahukan kepada Thay Yang Losu, ketua Go-bi-pai dan kepada
Pek Tho Sianjin ketua Hoa-san-pai. Dengan adanya campur tangan kedua orang tua itu, tentu
pertempuran dapat dicegah dan permusuhan yang bodoh itu akan dilenyapkan. Tadinya aku
sendiri hendak pergi ke Gobi dan Hoasan. Akan tetapi karena ada kau di sini, kau harus
membantuku dan mewakili aku pergi ke Gobi dan Hoasan.”
“Akan tetapi, suhu. Bagaimana dengan anak murid Hoa-san-pai di Hong-san nanti? Mereka
terancam oleh Liok-te Pat-mo dan para perwira kerajaan,” kata Gwat Kong ragu-ragu.
Bok Kwi Sianjin merasa ragu-ragu juga. “Ah, benar sulit.”
“Locianpwe,” tiba-tiba Cui Giok berkata. Karena kita bertiga dan hal yang perlu dilakukan
juga tiga macam, mengapa sulit?” Kemudian ia memandang kepada Gwat Kong dan berkata,
“Urusan di Hong-san itu serahkan saja kepadaku, pasti beres. Kalau kau mewakili locianpwe
ke Hoasan, yang tak berapa jauh dari sini, kemudian kau menyusul ke Hong-san. Bukankah
hal itu akan beres mudah saja?”
Bok Kwi Sianjin tertawa tenang. “Nona Sie, kau benar-benar cerdik seperti kakekmu. Ha ha
ha! Baik, demikianlah harus diatur, Gwat Kong. Aku sudah lama tidak bertemu dengan Thay
Yang Losu di Gobi, maka biarlah aku pergi ke Gobisan, sedangkan kau pergilah ke Hoasan
membawa surat dariku untuk Pek Tho Sianjin. Nona ini bisa mewakili kau pergi ke Hong-san
untuk membantu anak-anak murid Hoa-san-pai apabila mereka terancam bahaya.”
Terpaksa Gwat Kong menerima perintah ini. Kakek sakti itu lalu membuat sepucuk surat
untuk ketua Hoa-san-pai kemudian ia tinggalkan kedua orang muda itu.
Cui Giok, kau berhati-hatilah. Kalau bertemu dengan Liok-te Pat-mo, harap kau berlaku hatihati
sekali, karena mereka itu benar-benar lihai.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 262
Gadis itu tersenyum. “Jangan khawatir, Gwat Kong. Kuharap saja kau tidak terlalu lama di
Hoasan dan segera menyusul ke Hong-san. Oh, ya, siapa namanya ketiga anak murid Hoasan-
pai itu? Aku lupa lagi.”
“Seorang gadis bernama Tan Kui Hwa dan dua orang pemuda kakak beradik bernama Pui
Kiat dan Pui Hok.”
“Nah, selamat berpisah, Gwat Kong.” Gadis itu membalikkan tubuh dan melanjutkan
perjalanan ke Hong-san. Gwat Kong berdiri memandang sampai bayangan Cui Giok lenyap di
balik pohon. Kemudian iapun lalu lari cepat menuju ke Hoasan.
Karena ia amat tergesa-gesa hendak segera sampai di Hoasan dan segera kembali lagi ke
Hong-san, maka biarpun perjalanannya ini melalui Kiang-sui, Gwat Kong tidak berhenti.
Bahkan tidak mau masuk ke kota itu untuk menghindarkan rintangan perjalanannya.
Ketika ia tiba di Hoasan dan mendaki bukit itu, orang pertama yang menyambutnya adalah ....
Sin Seng Cu, tosu yang berangasan dan berwatak keras itu.
“Kau ....?” Tosu itu membentak marah. “Apa kehendakmu naik ke Hoasan?”
Gwat Kong menjura dan memberi penghormatan sepantasnya.
“Totiang, perkenankanlah aku menghadap kepada Pek Tho Sianjin.”
Pek Tho Sianjin adalah susiok (paman guru) dari Sin Seng Cu dan kakek itu pada waktu itu
menjadi orang tertua dan tokoh tertinggi di Hoasan. Heran dan curigalah hati Sin Seng Cu
mendengar bahwa pemuda ini hendak menghadap susioknya.
“Apa kehendakmu minta menghadap kepada susiok?”
“Totiang, maksud kedatanganku ini hanya dapat kuberitahukan kepada Pek Tho Sianjin
sendiri, dan aku datang atas perintah suhuku yakni Bok Kwi Sianjin membawa surat suhu
untuk diberikan kepada Pek Tho Sianjin.”
“Hmm, orang tua itu mau apakah berurusan dengan kami orang-orang Hoa-san-pai?” Akan
tetapi biarpun ia berkata demikian, namun ia tidak berani menghalangi kehendak pemuda itu.
Sebagai tuan rumah, ia masih mempunyai kesabaran dan tahu aturan.
“Ikutlah padaku!” katanya tanpa banyak cakap lagi. Gwat Kong mengikutinya naik ke puncak
dan masuk ke dalam sebuah kuil di puncak.
Mereka masuk ke dalam ruang dalam di mana Pek Tho Sianjin sedang duduk bersila di atas
bangku dan beberapa orang tosu sedang duduk dihadapannya. Agaknya kakek itu sedang
memberi wejangan dan pelajaran ilmu batin tentang agama To kepada murid-muridnya.
“Maaf susiok, teecu berani mengganggu. Ada seorang murid dari Bok Kwi Sianjin datang
menghadap membawa surat dari orang tua itu,” kata Sin Seng Cu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 263
Pek Tho Sianjin memandang kepada Gwat Kong dan pemuda itu tercengang melihat betapa
kakek yang sudah amat tua itu memiliki sepasang mata yang mengeluarkan sinar tajam
berpengaruh. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut hormat di depan kakek itu.
“Locianpwe, teecu Bun Gwat Kong murid dari Bok Kwi Sianjin datang menghadap.”
“Ah, sudah belasan tahun pinto (aku) tidak bertemu dengan Bok Kwi Sianjin. Tidak tahunya
ia telah mempunyai seorang murid yang gagah.” Kakek itu menarik napas panjang. Kemudian
ia berkata kepada murid-muridnya,
“Keluarlah kalian dan pikirkan baik-baik semua pelajaran tadi.”
Semua tosu yang tadi duduk di depannya, meninggalkan tempat itu akan tetapi Sin Seng Cu
tetap duduk di tempatnya.
“Sin Seng Cu, kau juga keluarlah dan biarkan pinto bicara sendiri dengan anak muda ini.”
Biarpun hatinya merasa tidak puas sekali, akan tetapi Sin Seng Cu tak berani membantah dan
ia meninggalkan tempat itu dengan penasaran.
“Anak muda, ada keperluan apakah maka suhumu sampai menyuruhmu datang di tempat
ini?”
“Teecu membawa sepucuk surat dari suhu untuk menyampaikan kepada locianpwe,” kata
Gwat Kong yang lalu mengeluarkan surat itu dari saku bajunya dan menyerahkan surat itu
dengan hormat kepada Pek Tho Sianjin.
Kakek itu menerima dan membaca surat itu. Berkali-kali terdengar ia menghela napas.
Kemudian terdengar ia berkata,
“Memang Bok Kwi Sianjin lebih benar, tidak mau mengikatkan diri dengan perguruanperguruan
dan tidak mau mempunyai banyak murid. Eh, Gwat Kong, menurut surat gurumu,
kau dapat menceritakan tentang pertikaian yang timbul di antara golongan Go-bi-pai dan
golongan kami. Sebetulnya, bagaimanakah soalnya?”
Bingunglah Gwat Kong mendapat pertanyaan ini. Sebenarnya ia adalah seorang luar yang
tidak mengetahui sejelas-jelasnya tentang pertikaian itu, yang ia ketahui hanya dari
pengalaman-pengalamannya dan dari penuturan kedua saudara Pui. Maka ia menjawab
dengan hati-hati,
“Locianpwe, semua permusuhan tentu ada sebabnya dan dalam permusuhan Go-bi-pai dan
Hoa-san-pai ini, menurut pendapat teecu yang muda dan bodoh, disebabkan oleh sifat tidak
mau mengalah. Menurut pendengaran teecu, pertama-tama disebabkan oleh pibu yang
dilakukan oleh Seng Le Hosiang dari Go-bi-pai dan Sin Seng Cu dari Hoa-san-pai. Kekalahan
Seng Le Hosiang membuat murid-murid Go-bi-pai merasa penasaran dan menaruh dendam.
Oleh karena sudah ada bahan ini, apabila murid Hoa-san-pai bertemu dengan murid Go-bipai,
keduanya tidak mau mengalah. Murid Gobi merasa penasaran dan hendak membalas
kekalahan sedangkan murid Hoasan merasa lebih tinggi karena kemenangannya, maka
pertempuran-pertempuran tak dapat dicegah lagi. Sekarang menurut penuturan suhu, kedua
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 264
pihak hendak mengadakan pertempuran besar, maka kalau locianpwe tidak turun tangan
mendamaikan, tentu akan jatuh korban di kedua pihak.”
Pek Tho Sianjin mengangguk-angguk. “Aah, anak-anak itu membikin repot orang tua saja.
Sin Seng Cu beradat keras dan ia perlu ditegur.”
Kakek itu lalu memanggil, “Sin Seng Cu .....!” Terkejutlah Gwat Kong mendengar suara
panggilan ini, karena bukan main nyaringnya sehingga ia merasa selaput telinganya
menggetar dan sakit.
Sin Seng Cu datang menghadap dan berlutut di depan susioknya.
“Sin Seng Cu, perbuatan apalagi kau lakukan untuk mengacau dunia yang sudah kacau ini?
Benarkah kau hendak mengadakan pertempuran besar-besaran dengan pihak Go-bi-pai di
puncak Thaysan pada permulaan musim Chun?”
Sin Seng Cu menundukkan kepalanya akan tetapi matanya mengerling ke arah Gwat Kong,
“Maaf, susiok. Bukan pihak kami yang mulai lebih dahulu. Pihak merekalah yang mencari
permusuhan.”
“Bodoh!” Pek Tho Sianjin membentak. “Lupakah kau bahwa api takkan bernyala kalau tidak
bertemu dengan bahan kering? Lupakah kau telapak tangan kiri takkan mengeluarkan bunyi
keras apabila tidak bertumbuk kepada telapak tangan kanan? Tak mungkin akan ada
permusuhan dan pertempuran apabila pihak yang lain tidak melayani aksi pihak pertama.”
“Ampun, susiok ....,” Sin Seng Cu hanya dapat berkata demikian.
“Awas, jangan kau membawa murid-murid lain untuk permusuhan dengan golongan lain.
Pada permulaan musim Chun, kau dan pinto sendiri yang akan naik ke Thaysan untuk
bertemu dengan tokoh-tokoh Gobi dan di sana kami harus minta maaf kepada mereka.
Mengerti?”
“Baik, susiok.” Sungguh menggelikan dan lucu bagi Gwat Kong ketika melihat seorang tua
seperti Sin Seng Cu itu mendapat marah dan kini menundukkan kepala minta maaf seperti
anak kecil.
“Nah, keluarlah!”
Sin Seng Cu meninggalkan ruang itu dengan kepala tertunduk.
Pek Tho Sianjin berkata kepada Gwat Kong, “Orang yang mempunyai watak keras seperti Sin
Seng Cu itu, hanya mulutnya saja berkata baik, akan tetapi hatinya panas terbakar. Betapapun
juga, ia jujur dan baik. Kau pulanglah, Gwat Kong dan sampaikan kepada suhumu bahwa
pinto berterima kasih atas jasa-jasa baiknya mendamaikan urusan ini.”
Gwat Kong memberi hormat dan keluar dari ruangan itu, terus turun gunung. Akan tetapi,
ketika ia tiba di lereng gunung Hoasan, Sin Seng Cu telah berdiri menghadang di jalan. Muka
tosu ini kemerah-merahan, tanda bahwa ia marah sekali.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 265
“Tak kusangka sama sekali bahwa Kang-lam Ciu-hiap tak lain hanya seorang pemuda dengan
mulut tajam bagaikan ular yang hanya pandai mengadukan orang lain. Sebetulnya, kau
perduli apakah dengan urusan kami orang Hoa-san-pai, maka berani lancang mengadukan
urusan kami kepada susiok?”
Gwat Kong maklum bahwa ia menghadapi seorang berwatak keras dan sukar diajak
berunding, maka jawabnya sabar,
“Totiang, harap kau suka berlaku tenang dan sabar. Aku datang bukan untuk mengadu
sebagaimana yang kau kira, akan tetapi aku membawa surat suhu kepada susiokmu. Suhu
melihat bahwa apabila pertempuran yang hendak kau adakan di puncak Thaysan melawan
orang-orang Go-bi-pai itu dilanjutkan, maka akan jatuh banyak korban dan hal ini tentu saja
tidak baik bagi orang-orang dunia persilatan seperti kita.
SEBAB-sebabnya terlampau kecil untuk direntang panjang dan untuk dijadikan alasan
pertempuran mengadu jiwa. Seharusnya kau berterima kasih kepada usaha suhu yang baik ini.
Mengapa kau bahkan marah-marah?”
“Aku tak butuh pendamai seperti suhumu atau kau! Kau mengandalkan apakah maka berani
berlancang mulut? Apakah kepandaianmu sudah cukup tinggi maka kau berani sesombong
ini? Coba kau hadapi tongkatku kalau kau memang gagah! Sambil berkata demikian, Sin
Seng Cu mengeluarkan senjatanya Liong-thow-koay-tung, yakni tongkat kepala naga yang
hebat itu.
“Sabar, totiang. Janganlah menambah kesalahan dengan kekeliruan yang lain lagi!” Gwat
Kong mencoba menyabarkan, akan tetapi ucapan ini bukan menambah kemarahan Sin Seng
Cu reda.
“Anak sombong! Kau mencoba untuk memberi wejangan kepadaku?” Sambil berkata
demikian, tongkatnya menyambar dan memukul ke arah kepala Gwat Kong yang segera
mengelak dan mencabut pedang dan sulingnya sambil berkata,
“Totiang, menyesal sekali aku harus mengadakan perlawanan untuk membela diri!”
“Jangan banyak cakap!” teriak Sin Seng Cu dan menyerang lagi dengan lebih ganas.
Gwat Kong menangkis dan melawan sambil mengeluarkan dua macam ilmu silatnya yang
lihai, yakni tangan kanan memegang pedang mainkan Sin-eng Kiam-hoat, sedangkan suling
di tangan kiri digerakkan menurut ilmu silat Sin-hong Tung-hoat.
Sin Seng Cu dalam kemarahannya merasa terkejut sekali melihat hebatnya suling dan pedang
itu yang menyambar-nyambar bagaikan seekor garuda dan seekor burung Hong,
mendatangkan angin dingin dan sinarnya menyilaukan mata. Karena gerakan suling dan
pedang itu amat berlainan, maka sungguh sukarlah menjaga serangan kedua senjata itu.
Terpaksa ia memutar tongkatnya sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya dan membalas
dengan serangan dahsyat. Namun tetap saja ia terdesak hebat. Dari jurus pertama ia sudah
tertindih dan terdesak oleh gerakan pedang dan suling itu sehingga diam-diam ia merasa
kagum sekali. Tak disangkanya bahwa setelah mendapat latihan dari Bok Kwi Sianjin,
pemuda ini menjadi demikian lihai.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 266
Bab 29 ...
BARU saja bertempur tiga puluh jurus lebih, Sin Seng Cu sudah tak dapat bertahan dan
bersilat sambil mundur. Ketika suling Gwat Kong menusuk ke arah leher, ia menangkis
dengan gagang tongkat yang berbentuk kepala naga, akan tetapi pedang Gwat Kong
menyambar ke arah pinggang. Terpaksa ia membalikkan tongkatnya menangkis dan terdengar
suara keras “Trang!” sehingga bunga api memancar keluar. Alangkah kagetnya Sin Seng Cu
ketika melihat betapa ujung tongkatnya telah putus.
Namun tosu yang keras hati ini belum mau mengaku kalah dan hendak menyerang lagi, akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,
“Sin Seng Cu, mundur kau!”
Sin Seng Cu terkejut karena bentakan ini adalah suara susioknya. Gwat Kong cepat
menyimpan suling dan pedangnya, lalu menjura kepada Pek Tho Sianjin yang tahu-tahu telah
berdiri di situ.
“Mohon maaf sebanyak-banyaknya, locianpwe. Teecu terpaksa berani bertempur dengan Sin
Seng Cu totiang.”
Akan tetapi Pek Tho Sianjin berpaling kepada Sin Seng Cu dengan marah. “Tak malukah
kau? Kau menyerang seorang muda dan akhirnya kau kalah. Orang seperti kau ini benarbenar
membikin malu nama Hoa-san-pai. Hayo naik ke atas dan tutup dirimu di dalam kamar
dan jangan keluar sebelum pinto datang!”
Bagaikan seekor anjing kena pukulan, Sin Seng Cu berlutut di depan susioknya dan berkata,
“Teecu bersedia dihukum, susiok. Akan tetapi, Gwat Kong ini terlalu berat sebelah. Dia hanya
menegur dan memperingatkan teecu sedangkan terhadap Gobi dia menutup mulut.”
“Suhu pergi ke Gobisan untuk mendamaikan hal ini dengan Thay Yang Losu,” kata Gwat
Kong.
“Hm, kau mau berkata apa lagi?” Pek Tho Sianjin menegur Sin Seng Cu.
“Ampun, susiok hendaknya diketahui bahwa penggerak Seng Le Hosiang untuk memusuhi
teecu adalah seorang pembesar di Kiang-sui bernama Liok Ong Gun. Seng Le Hosiang
bersekutu dengan Bong Bi Sianjin dari Kim-san-pai dan mendekati orang-orang besar di
kerajaan untuk memusuhi Hoa-san-pai. Gwat Kong ini dahulunya adalah pelayan dari Liok
Ong Gun dan ia tidak pernah menegur pembesar itu. Bahkan teecu meragukan apakah dia
tidak membantu pembesar itu dengan diam-diam?”
Hal ini benar-benar tak diduga oleh Pek Tho Sianjin, maka ia lalu memandang kepada Gwat
Kong dan bertanya,
“Benarkah ini?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 267
“Locianpwe, tidak teecu sangkal bahwa dahulu teecu memang menjadi pelayan di gedung
Liok-taijin. Akan tetapi bohonglah kalau dikatakan bahwa teecu membantu usaha Liok-taijin
untuk mengadakan permusuhan dengan pihak Hoa-san-pai.”
“Susiok, Liok-taijin atau Liok Ong Gun itu adalah anak murid Go-bi-pai!” kembali Sin Seng
Cu berkata untuk memanaskan hati susioknya.
“Hm, kalau benar demikian, keadaanmu sulit sekali, Gwat Kong,” kata tokoh besar Hoa-sanpai
itu. “Anak muda, untuk menghilangkan tuduhan Sin Seng Cu sudah sepatutnya kalau kau
menemui Liok Ong Gun itu untuk memberi peringatan dan nasehat agar ia jangan
melanjutkan usahanya yang buruk itu. Beranikah kau?”
Kalau saja Pek Tho Sianjin bertanya, “Maukah kau?” Mungkin Gwat Kong akan menyatakan
keberatannya. Akan tetapi karena tokoh besar Hoasan itu bertanya, “Beranikah kau?” terpaksa
ia menjawab,
“Tentu saja teecu berani, locianpwe.”
“Nah, Sin Seng Cu, kembali kau terpukul kalah. Dengarlah bahwa anak muda itu akan pergi
menemui Liok Ong Gun dan memberi peringatan kepadanya. Maka jangan kau banyak rewel
lagi. Hayo, lekas naik ke atas dan lakukan perintahku tadi!”
Maka pergilah Sin Seng Cu sambil berlari cepat ke atas puncak.
“Gwat Kong, Sin-eng Kiam-hoat dan Sin-hong Tung-hoat yang kau perlihatkan tadi benarbenar
indah dan hebat. Kau benar-benar tidak mengecewakan menjadi murid Bok Kwi Sianjin
dan kau patut pula menjadi pendamai pertikaian antara Go-bi-pai dan Hoa-san-pai. Selamat
jalan, anak yang baik!”
Gwat Kong memberi hormat lalu berlari, turun gunung. Hatinya rusuh dan gelisah. Ia telah
berjanji akan mengunjungi Liok Ong Gun untuk memberi nasehat dan peringatan! Ah,
bagaimana ia dapat melakukan hal itu? Apakah akan kata Tin Eng apabila ia melihat ayahnya
dinasehati dan diperingatkan, yang merupakan hinaan bagi seorang pembesar tinggi seperti
Liok-taijin? Akan tetapi, ia telah berjanji dan sebagai seorang gagah, ia harus memegang
teguh janjinya itu dan menemuinya, apapun yang akan menjadi halangannya.
Perjalanan ke Hong-san melalui Kiang-sui, maka ia hendak mampir di kota itu sebentar,
menemui Liok Ong Gun dan menyampaikan nasehat dan peringatannya. Mudah-mudahan
saja Tin Eng takkan melihatnya. Setelah menyampaikan nasehat itu, tidak perduli diturut atau
tidak, ia akan cepat meninggalkan kota itu menyusul Cui Giok di Hong-san. Ia tidak takut
menghadapi siapapun juga. Yang menggelisahkan hatinya hanya Tin Eng seorang.
Makin dekat dengan Kiang-sui, makin gelisahlah hatinya. Karena ia tiba di kota itu sudah
malam, ia merasa ragu-ragu untuk mendatangi gedung Liok-taijin dan semalam suntuk Gwat
Kong berada di sekeliling gedung itu, tak berani melakukan niatnya, takut kalau-kalau hal ini
akan menyakiti hati Tin Eng, gadis yang dicintainya.
Akan tetapi, pada keesokan harinya, karena ia melihat di gedung itu sunyi saja dari luar, ia
membesarkan hatinya dan dengan gagah ia memasuki pekarangan depan gedung itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 268
Seorang pelayan yang kebetulan membersihkan meja kursi di ruangan depan, ketika melihat
pemuda itu memasuki pekarangan, memandang dengan mata terbelalak. Nama Gwat Kong
menggemparkan seluruh penduduk Kiang-sui, semenjak pemuda itu bertempur dan dikeroyok
pada waktu pemuda itu mengunjungi Tin Eng. Terutama sekali para pelayan di gedung
keluarga Liok.
Mereka terheran-heran karena bagaimana pelayan muda itu kini telah menjadi seorang yang
berkepandaian demikian tinggi? Pelayan yang sedang bekerja itu, ketika Gwat Kong
melangkah masuk dengan gagahnya, menjadi terkejut dan takut. Tak terasa lagi ia bangkit
berdiri dan berlari masuk bagaikan dikejar setan. Ia segera memberi laporan kepada Lioktaijin
yang pada saat itu sedang mengadakan pertemuan dan perundingan dengan Seng Le
Hosiang, Gan Bu Gi, dan seorang muda murid Kim-san-pai, yakni sute dari Gan Bu Gi.
Mereka sedang membicarakan tentang maksud mengadakan pertempuran melawan orangorang
Hoa-san-pai.
Alangkah marah dan herannya Liok-taijin ketika mendengar laporan pelayannya bahwa Bun
Gwat Kong mendatangi dari luar. Ia hendak keluar, akan tetapi dicegah oleh Seng Le Hosiang
yang berkata,
“Biarlah aku menemui anak muda yang lancang itu!”
Dengan tindakan lebar, Seng Le Hosiang keluar dari ruang dalam dan benar saja, ketika ia
tiba di ruangan depan, ia melihat Gwat Kong masuk dengan tenang dan gagah. Biarpun
hatinya tercengang melihat Seng Le Hosiang berada di tempat itu, namun ia dapat
menenangkan hatinya dan berkata sambil menjura dan tersenyum,
“Ah, tidak tahunya Losuhu juga berada di sini. Apakah selama ini losuhu baik-baik saja?”
Seng Le Hosiang telah mendengar tentang keadaan Gwat Kong, maka kini melihat munculnya
pemuda ini, diam-diam ia memuji keberanian anak muda ini.
“Kau ... pelayan muda dahulu itu? Apakah perlumu datang ke sini setelah dahulu membikin
kacau? Apakah kau hendak membuat pengakuan bahwa kau telah membawa lari siocia?”
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini.
“Apa katamu, losuhu? Siapa membawa lari Liok-siocia?”
Pada saat itu, Liok Ong Gun, Gan Bu Gi, dan pemuda sute Gan Bu Gi yang bernama Lui Kun
itu muncul dari pintu.
“Bangsat, kurang ajar!” Liok Ong Gun berseru keras. “Di mana kau sembunyikan Tin Eng?
Kau sungguh seorang yang tak kenal budi. Sudah bertahun-tahun kami memberi tempat
tinggal, makan dan pakaian padamu. Kau diperlakukan dengan baik, akan tetapi apa
balasanmu? Kau menghina kami, mengacau dan menodai nama kami! Bahkan sekarang kau
berani melarikan Tin Eng! Kau benar-benar manusia bo-ceng-bo-gi (tidak punya aturan dan
pribudi), manusia rendah dan jahat.”
Gwat Kong mengangkat muka memandang kepada pembesar itu dengan mata sedih. Ia
kasihan melihat Liok Ong Gun yang nampak sedih, dan menyesal. Pembesar ini memakai
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 269
pakaian biasa saja, berbeda dengan Gan Bu Gi yang berpakaian mentereng dengan tanda
pangkatnya, yang membuat ia nampak tampan seperti seorang pangeran dari istana kaisar.
“Taijin, sebelum hamba mohon maaf sebanyaknya apabila taijin menganggap hamba
mendatangkan bencana kepada keluarga taijin yang benar-benar telah melimpahkan budi,
kepada hamba.”
Gwat Kong bicara dengan suara terharu oleh karena ia memang tidak melupakan budi
pembesar itu dan dengan merendah ia masih menyebut diri sendiri “hamba” oleh karena
selain bekas majikan, Liok-taijin adalah ayah Tin Eng yang harus dihormati.
“Akan tetapi, seorang rendah dan bodoh seperti hamba ini, dapat membalas jasa apakah?
Hamba hanya mohon kepada Thian semoga taijin akan hidup bahagia dan berusia panjang.
Sesungguhnya taijin tidak sekali-kali hamba berani membujuk atau mengajak lari Liok-siocia
dan sungguh-sungguh hamba tidak tahu kemana perginya siocia. Baru sekarang hamba
ketahui bahwa siocia tidak berada di rumah.”
“Dia bohong!” tiba-tiba Gan Bu Gi membentak marah.
“Taijin,” Gwat Kong melanjutkan kata-katanya tanpa memperdulikan Gan Bu Gi. “Terserah
kepada taijin untuk mempercayai kata-kata hamba atau mempercayai ucapan Gan-ciangkun
yang palsu itu. Ketahuilah terus terang saja hamba baru datang dari Hoasan dan menemui Pek
Tho Sianjin, juga suhu hamba, yakni Bok Kwi Sianjin, sedang pergi ke Gobisan untuk
menemui Thay Yang Losu, perlu untuk membujuk agar supaya pertempuran antara muridmurid
Go-bi-pai dan Hoa-san-pai dapat dicegah. Hamba datang ini sengaja dengan maksud
membujuk kepada taijin agar jangan menuruti maksud jahat dari Seng Le Hosiang untuk
mengadakan pertempuran itu. Ini hamba maksudkan sebagai sekedar pembalasan budi, karena
hamba akan ikut bersedih mendengar taijin terbawa-bawa dalam pertikaian yang tidak sehat
itu. Taijin waspadalah terhadap orang-orang seperti Gan Bu Gi, terutama terhadap orangorang
yang memancing permusuhan dengan segolongan orang gagah. Karena hal ini akan
mendatangkan malapetaka dan pertumpahan darah. Adapun tentang nona Tin Eng, kalau saja
benar dia melarikan diri dari rumah, hamba akan mencoba untuk mencarinya dan
membujuknya pulang.”
Seng Le Hosiang marah sekali mendengar ucapan ini.
“Bangsat kecil kau lancang sekali.” Sambil berkata demikian hwesio itu lalu melompat dan
menerjang Gwat Kong dengan serangan maut, yakni dengan menggunakan pukulan Lui-kongtoat-
beng (Dewa geledek mencabut nyawa). Akan tetapi Gwat Kong mengelak dengan mudah
dan berkata kepada Liok-taijin,
“Maaf, taijin. Lihatlah betapa hwesio ini berdarah panas dan selalu menyerang orang
mengandalkan kepandaiannya!”
Gan Bu Gi dan Lui Kun bergerak hendak membantu Seng Le Hosiang, akan tetapi hwesio itu
membentak,
“Jangan ikut campur! Biar aku hancurkan kepala anak sombong ini!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 270
Gan Bu Gi dan sutenya tidak berani melanjutkan niatnya dan hanya berdiri di belakang
hwesio itu, sedangkan Liok Ong Gun masih berdiri di depan melihat betapa bekas pelayan
muda itu berani menghadapi susiok-couwnya yang lihai.
“Seng Le Hosiang, kalau Thay Yang Losu melihat kelakuanmu ini, tentu kau akan mendapat
jiwiran pada telingamu!”
“Bangsat rendah, mampuslah kau!” bentak Seng Le Hosiang yang sudah marah sekali dan ia
lalu menyerang lagi dengan hebat. Tangan kirinya dipentangkan hendak mencengkeram ke
arah leher Gwat Kong, sedangkan kaki kirinya berbareng mengirim tendangan kilat. Inilah
gerak tipu Pek-ho-liang-ci (Bangau putih pentang sayap) yang dilakukan dengan tenaga
lweekang sepenuhnya.
Cengkeraman itu kalau mengenai leher, tentu akan hancur daging dan kulit dan remuk tulang
leher sedangkan tendangan yang diarahkan kepada kaki Gwat Kong itu cukup hebat untuk
membuat tulang kaki Gwat Kong patah-patah. Akan tetapi Gwat Kong telah memiliki
kepandaian tinggi dan melihat betapa hwesio itu menyerangnya dengan tenaga keras, iapun
hendak melawan dengan kekerasan pula.
Untuk menghindari tendangan lawan, ia melompat ke atas dengan gerak kaki Lo-wan-teng-ki
(Monyet tua loncati cabang). Kemudian tangan kanannya menyambar dengan jari terbuka,
memukul tangan kiri lawan itu sambil mengerahkan tenaga Pek-lek-jiu (si tangan kilat). Dua
tangan itu bertumbuk dan dua tenaga raksasa beradu.
Tubuh Gwat Kong yang sedang melompat itu terpental hampir setombak ke belakang.
Sedangkan Seng Le Hosiang juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dan karena ia tadi
berdiri dekat meja, maka ketika ia terhuyung mundur, tubuhnya menubruk meja. Sebagai
seorang ahli silat tinggi, tangan kanannya memukul ke belakang dan “brak!!” sebagian meja
kayu yang tebal dan besar itu hancur berkeping-keping.
Akan tetapi, biarpun dalam adu tenaga itu ternyata Gwat Kong masih kalah kuat, namun
pemuda itu tidak terluka, bahkan memandang dengan senyum menghias mulut.
“Masih belum cukupkah kau melampiaskan kemurkaanmu, losuhu?” tanyanya.
Dengan muka merah bagaikan kepiting direbus, Seng Le Hosiang membentak,
“Bangsat kurang ajar! Hari ini kau harus mampus dalam tanganku!” sambil berkata demikian,
Seng Le Hosiang lalu mencabut pedangnya dari punggung.
Ketika masuk ke halaman rumah Liok-taijin tadi, Gwat Kong sengaja menyembunyikan
pedangnya di bawah baju. Karena ia merasa tidak pantas untuk mengunjungi bekas
majikannya dengan pedang tergantung di pinggang. Gwat Kong melihat betapa Seng Le
Hosiang mencabut pedang, ia tidak berani berlaku sembrono. Ia cukup maklum bahwa hwesio
ini amat lihai dan ilmu pedang Go-bi-pai sudah cukup terkenal kehebatannya. Maka iapun
mencabut Sin-eng-kiam dan sekalian ia mengeluarkan suling bambunya yang dipegang di
tangan kiri.
“Bangsat, lihat pedang!” Seng Le Hosiang berseru sambil menyerang dengan pedangnya.
Gwat Kong menangkis dan cepat mengirim serangan balasan. Sebentar saja lenyaplah tubuh
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 271
mereka terbungkus oleh sinar pedang yang bergulung-gulung bagaikan awan putih menutupi
matahari.
Bukan main kagum dan herannya hati Liok Ong Gun melihat ini. Dahulu ketika Gwat Kong
dikeroyok oleh perwira-perwira dan dapat melepaskan diri, ia telah merasa heran sekali. Akan
tetapi pada waktu itu ia tidak dapat menyaksikan kelihaian pemuda itu secara jelas. Akan
tetapi sekarang, ia melihat betapa pemuda itu menghadapi susiok-couwnya dengan demikian
hebatnya, maka diam-diam ia menghela napas. Ia melihat bahwa ada persamaan antara ilmu
pedang Tin Eng dengan ilmu pedang pemuda ini hanya permainan pemuda ini lebih hebat dan
cepat.
Seng Le Hosiang juga terkejut sekali karena benar-benar ilmu pedang pemuda ini tidak kalah
tingginya dari ilmu pedangnya sendiri. Bahkan ilmu pedang Gwat Kong ini mempunyai
gerakan-gerakan yang amat aneh dan tidak terduga. Apalagi ditambah dengan gerakan suling
yang demikian cepatnya, yang setiap kali bergerak mengirim totokan ke arah jalan darah
dengan jitu dan berbahaya sekali, membuat ia harus mengerahkan seluruh perhatiannya.
Namun segera ternyata bahwa ilmu pedang Gwat Kong masih lebih tinggi karena setelah
bertempur puluhan jurus, Seng Le Hosiang mulai merasa pening sekali. Pedang dan suling itu
merupakan senjata yang berlainan sifat menyerangnya dan berbeda pula gerakannya, maka
amat sukarlah baginya untuk memecahkan perhatiannya kepada dua senjata itu. Ia merasa
seakan-akan menghadapi dua orang lawan yang luar biasa lihainya dan yang memiliki
kelihaian sendiri. Ia mulai berkelahi dengan hati-hati dan mundur, dan mengerahkan
kepandaian dan tenaga untuk mempertahankan diri saja.
Gwat Kong pun hanya bermaksud untuk memperlihatkan bahwa ia tidak takut menghadapi
pendeta gundul itu dan sama sekali tidak bermaksud untuk mencari kemenangan. Setelah
dapat mendesak, ia mulai berusaha untuk mengakhiri perkelahian ini.
“Losuhu, awas!” teriaknya dan tiba-tiba ia merobah gerakan pedang dan sulingnya. Kini
sulingnya berkelebat bagaikan seekor naga menyambar-nyambar ke depan mata lawan
seakan-akan hendak menyerang mata. Tentu saja Seng Le Hosiang berlaku hati-hati dan cepat
menggunakan pedangnya untuk melindungi matanya. Akan tetapi ini hanya merupakan tipu
dan pancingan belaka dari Gwat Kong karena setelah ia berhasil memancing lawan sehingga
hwesio itu mengerahkan pedangnya di bagian atas, tiba-tiba pedangnya menyambar ke bawah
dan “bret!” putuslah ujung jubah pendeta itu.
“Maaf, aku tak dapat melayani terlebih jauh!” kata Gwat Kong dan sekali ia berkelebat
keluar, tubuhnya bagaikan seekor burung walet terbang menembus pintu depan dan lenyap.
Seng Le Hosiang berdiri dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
“Hebat, hebat!!” ia menggeleng-gelengkan kepala sambil memandang ke arah potongan ujung
jubahnya di atas lantai. “Setan itu telah mewarisi dua ilmu silat yang tinggi, yang dapat
dimainkan berbareng.”
Juga Liok Ong Gun terpesona oleh kelihaian Gwat Kong ini, maka diam-diam iapun merasa
ragu-ragu. Apakah usaha susiok-couwnya untuk mengadakan pertempuran di Thaysan itu
akan berhasil baik.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 272
Sementara itu, Gwat Kong pergi dari tempat itu dengan hati gelisah. Ia memikirkan Tin Eng.
Kemanakah perginya gadis itu? Mudah-mudahan ia pergi menyusulku ke Hong-san, pikirnya.
Dengan harapan ini di dalam dada, Gwat Kong mempercepat larinya menuju ke Hong-san
menyusul Cui Giok dan kalau benar dugaannya, mencari Tin Eng pula.
****
Marilah kita mengikuti pengalaman Tin Eng. Sebenarnya bagaimanakah gadis itu bisa pergi
dari rumahnya dan kemana ia pergi?
Semenjak menolong Gwat Kong melarikan diri dan memberi seekor kuda kepada pemuda itu,
Tin Eng selalu termenung memikirkan nasib pemuda itu. Kini ia tidak ragu-ragu lagi, bahwa
ia sebenarnya menyinta pemuda itu. Ia merasa bangga sekali melihat kelihaian Gwat Kong
dan merasa bahagia mendapat kenyataan betapa besar kasih sayang pemuda itu kepadanya.
Akan tetapi, ayahnya makin marah kepadanya dan telah memakinya dengan hebat ketika
mendengar bahwa Tin Eng lah yang menolong Gwat Kong sehingga bisa melarikan diri dari
kepungan.
“Kau benar-benar menodai nama keluarga orang tuamu. Kau telah merendahkan diri dan
menolong seorang bangsat rendah semacam Gwat Kong!” kata ayahnya.
“Ayah!” Tin Eng membantah dengan berani. “Apakah kesalahan Gwat Kong maka ayah
menamainya bangsat rendah dan hendak menangkapnya? Ketika aku lari dulu, bukan
kesalahan Gwat Kong dan ia sama sekali tidak tahu menahu tentang pergiku dari rumah.
Kedatangannya kali ini pun tidak bermaksud buruk, dan hanya hendak menolongku karena ia
mendengar bahwa aku ditawan Ang Sun Tek dan kawan-kawannya. Dosa apakah yang ia
lakukan maka ayah membencinya?”
Liok Ong Gun tak dapat menjawab, karena memang sesungguhnya pemuda itu tidak
mempunyai kesalahan sesuatu, kecuali bahwa pemuda itu telah mendatangkan kekacauan dan
terlalu berani.
“Kau memang anak liar. Orang tua mengatur perjodohan baik-baik, kau tidak mau,
membantah, bahkan melarikan diri. Hmm, dosa apakah yang aku dan ibumu lakukan sehingga
mempunyai anak tunggal macam kau!”
“Ayah, kalau memang ayah dan ibu menghendaki aku hidup beruntung, mengapa memaksaku
kawin dengan Gan-ciangkun? Aku tidak suka kepadanya, aku .... aku benci kepadanya. Kalau
ayah memaksa aku kawin dengan dia, berarti bahwa ayah memaksa aku memasuki jurang
kesengsaraan!”
“Bodoh! Dasar anak puthauw!” Sambil membanting daun pintu keras-keras, pembesar itu
keluar dari kamarnya.
Semenjak itu, telah beberapa hari lamanya sikap pembesar itu berubah terhadap Tin Eng,
sehingga gadis ini merasa heran. Ayah tidak lagi membujuk-bujuk atau memarahinya, tidak
lagi memaksanya kawin dengan Gan-ciangkun, bahkan tidak lagi membicarakan urusan
kawin. Akan tetapi, kini ayahnya minta penjelasan tentang pertemuannya dengan kedua
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 273
saudara she Pang, bahkan akhirnya minta jawaban tentang letak tempat rahasia penyimpanan
harta pusaka itu.
“Ayah, memang betul bahwa kedua orang she Pang dari kota raja itu menaruh kepercayaan
kepadaku tentang hal itu. Akan tetapi aku sudah bersumpah takkan membuka rahasia ini
kepada lain orang. Bagaimana aku dapat menceritakannya kepadamu?”
“Tin Eng, dengarlah baik-baik, nak. Harta pusaka itu sebetulnya menjadi hak milik Pangeran
Ong Kiat Bo. Dan rombongan perwira yang dipimpin oleh Ang Sun Tek juga atas perintah
Pangeran Ong untuk mencari tempat harta pusaka itu. Petanya telah tercuri oleh kedua
saudara Pang yang menjadi anak kemenakan Pangeran Ong dan yang akhirnya dipercayakan
kepadamu. Pangeran Ong telah tahu akan hal ini, tahu bahwa kaulah yang menyimpan rahasia
itu dan tahu pulah bahwa kau adalah anakku. Coba saja kau pikir. Kalau kau berkeras tidak
mau memberi tahukan rahasia itu, tentu orang tuamu yang mendapat marah dari Pangeran
Ong dan hal ini bukan urusan kecil. Kau bisa menyebabkan ayahmu dipecat atau dihukum.
Sebaliknya, kalau kau mengaku, tentu Pangeran Ong akan berterima kasih dan soal kenaikan
pangkat bagi ayahmu menjadi soal mudah. Apakah kau tidak mau menolong ayahmu dan
bahkan akan mencelakakan kita sekeluarga hanya karena memegang teguh rahasia terhadap
dua orang maling kecil itu?”
“Kedua saudara Pang bukan maling, ayah!”
“Hmm, kau memang bodoh. Sudah berapa lama kau mengenal mereka? Mereka adalah
kemenakan Pangeran Ong dan mereka telah mencuri peta itu dari tangan pamannya.”
Tin Eng minta waktu sehari untuk memikirkan hal ini. Ia menjadi serba salah. Membuka
rahasia salah, berkeras juga tidak baik. Ia pikir bahwa Kui Hwa dan Gwat Kong telah
mengetahui rahasia tempat itu, bahkan sekarang mungkin telah mendapatkan harta terpendam
itu. Apa salahnya memberitahukan begitu saja tanpa syarat. Ia merasa ragu.
“Ayah,” katanya pada keesokan harinya, ketika ayahnya datang menagih janji. “Aku mau
membuka rahasia tempat penyimpanan harta pusaka di Hong-san itu, akan tetapi dengan
syarat bahwa ayah harus berjanji tidak akan menjodohkan aku dengan Gan-ciangkun!”
Tentu saja ayahnya tertegun mendengar hal ini.
“Tin Eng, mengapa kau begitu benci kepada Gan-ciangkun?”
Tin Eng tidak dapat menceritakan bahwa kebenciannya terhadap Gan Bu Gi memuncak oleh
karena orang she Gan itu telah melakukan sesuatu yang amat keji terhadap Kui Hwa. Ia tahu
bahwa Kui Hwa adalah anak murid Hoa-san-pai dan kalau ia beritahukan hal ini, ayahnya
yang membenci anak murid Hoasan tentu akan menjadi makin marah. Bahkan takkan
mempercayainya. Maka ia berkata,
“Aku tidak tahu mengapa, ayah. Akan tetapi menurut pendapatku, dia bukanlah seorang
pemuda yang baik!”
“Syaratmu itu aneh,” kata ayahnya. “Aku sudah menerima pinangan Bong Bi Sianjin dengan
perantaraan susiok-couw.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 274
“Ayah dapat membatalkan itu!”
Ayahnya menghela napas dan menggelengkan kepala. Baiklah aku akan merundingkan hal
perjodohan itu dengan susiok-couw. Sekarang katakanlah kepadaku di mana sebetulnya peta
itu.”
“Peta itu telah kubakar, ayah,” kata Tin Eng sejujurnya. “Akan tetapi, aku masih ingat di luar
kepala.
Demikianlah, Tin Eng lalu menggambarkan sebuah peta di atas kertas yang segera diberikan
kepada ayahnya.
Pada malam harinya, tanpa disengaja Tin Eng mendengarkan percakapan antara ayahnya
dengan Seng Le Hosiang yang datang di gedung itu dan apa yang ia dengar membuat ia
merasa kaget sekali, karena hwesio itu berkata cukup keras sehingga ia dapat mendengar dari
balik pintu,
“Jangan kau khawatir, memang demikianlah adat seorang gadis muda yang sedang jatuh
cinta. Menurut dugaanku, anakmu itu tergila-gila kepada Gwat Kong. Kalau kita binasakan
pemuda itu dan berhasil mendapatkan harta pusaka, soal perjodohan anakmu dengan Gan Bu
Gi mudah saja. Tanpa adanya Gwat Kong, tentu hati anakmu akan berubah.”
Lebih kaget lagi ketika ia mendengar ayahnya berkata, “Memang anak itu keras kepala,
susiok-couw. Teecu sudah mers cocok untuk menjodohkannya dengan Gan-ciangkun karena
pemuda itu menurut pandangan teecu cukup baik dan besar pengharapannya di kemudian
hari.”
Ucapan-ucapan kedua orang ini cukup membuat Tin Eng berlaku nekad dan malam hari itu
juga, ia melarikan diri dari rumahnya. Ia pergi menunggang seekor kuda terbaik dan karena
usahanya ini mendapat bantuan dari seorang pelayannya, maka dengan mudah saja ia dapat
melarikan diri dari rumah tanpa diketahui oleh ayahnya. Baru pada keesokan harinya gedung
Liok-taijin geger ketika mereka mendapatkan kamar gadis itu kosong.
Tin Eng membalapkan kuda dan tujuannya hanya satu, yakni menyusul Gwat Kong ke Hongsan.
Ketika tiba di sungai Huang-ho, ia lalu menyewa sebuah perahu dan berlayar ke timur,
menuju Hong-san.
Ketika perahunya tiba di sebuah hutan tak jauh dari bukit Hong-san, tiba-tiba ia mendengar
sorakan ramai di pantai sebelah kiri. Ia melihat pertempuran hebat sedang berlangsung di
tempat itu. Anak perahu ketakutan melihat ini dan hendak melanjutkan pelayaran. Akan
tetapi, Tin Eng membentaknya dan menyuruh ia mendayung perahu ke pinggir. Sebagai
seorang ahli silat, ia tertarik melihat sesuatu pertempuran.
Ketika perahu itu sudah tiba di pinggir pantai, alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa
yang bertempur itu adalah Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok yang lihai itupun sampai terdesak
hebat.
Tanpa membuang waktu lagi, Tin Eng melemparkan beberapa tail perak kepada anak perahu
dan berkata, “Pergilah kau dengan perahumu dari sini!” Sedangkan ia sendiri lalu mencabut
pedangnya dan melompat ke darat.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 275
Dengan keras Tin Eng berseru, “Enci Kui Hwa jangan khawatir. Aku datang membantu!”
Beberapa orang anggauta bajak sungai yang melihat kedatangan Tin Eng, segera menyerbu
akan tetapi dengan beberapa kali putaran pedangnya saja. Tin Eng telah merobohkan tiga
orang pengeroyok sehingga yang lain segera mundur ketakutan. Tin Eng lalu menyerbu dan
membantu Kui Hwa dan kedua suhengnya. Pertempuran makin ramai dan hebat setelah pihak
murid-murid Hoa-san-pai mendapat bantuan Tin Eng.
****
Sebelum kita melanjutkan melihat pertempuran yang amat seru ini, baik kita mundur dahulu
dan mencari tahu bagaimana Kui Hwa dan kedua orang suhengnya she Pui itu dapat berada di
tempat itu dan dikeroyok oleh sekawanan bajak sungai yang dipimpin tiga orang lihai itu.
Sebagaimana dituturkan di bagian depan, setelah menyuruh kedua suhengnya untuk
mengikuti rombongan Ang Sun Tek yang menawan Tin Eng, Kui Hwa lalu melanjutkan
perjalanannya ke Hong-san untuk mewakili Tin Eng mencari tempat harta pusaka itu
tersimpan. Ia dapat sampai di bukit Hong-san tanpa banyak rintangan di jalan. Pemandangan
alam di sekitar Hong-san memang indah. Dari lereng bukit itu nampak lembah Huang-ho
yang kehijau-hijauan. Kemudian sungai itu sendiri nampak bagaikan seekor naga besar
sedang minum di laut.
Ketika ia tiba di puncak bukit, ia segera mencari gua Kilin di antara batu-batuan karang.
Banyak gua terdapat di situ. Akan tetapi menurut peta petunjuk tempat harta pusaka itu
tersimpan adalah sebuah gua yang bentuknya persegi empat seperti muka kilin.
Akhirnya ia dapat juga menemukan gua itu. Akan tetapi Kui Hwa adalah seorang gadis yang
hati-hati dan cermat. Ia tidak segera masuk ke dalam gua, bahkan bersembunyi di balik
gerombolan pohon dan mengintai.
Bab 30 ...
USAHANYA ini ternyata berguna sekali, oleh karena tiba-tiba ia melihat bayangan tinggi
besar keluar dari gua itu. Ketika bayangan itu berhenti di depan gua, Kui Hwa terkejut sekali
karena bayangan itu adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar seperti seorang
raksasa dalam dongeng. Tidak saja tubuhnya yang besar, akan tetapi pakaiannya juga aneh
sekali. Berbeda dengan pakaian orang Han. Kulit mukanya kehitam-hitaman. Celananya
panjang hitam dan bajunya hijau dengan leher baju hitam pula.
Ia memakai kain kepala yang aneh bentuknya dan biarpun di bawah hidungnya tidak ada
kumis, akan tetapi dari bawah kedua telinga ke bawah penuh dengan jenggot hitam yang
lebat. Orang itu memakai ikat pinggang yang luar biasa, yakni rantai baja yang besar dan
berat dilibatkan ke pinggangnya dan ujungnya tergantung ke bawah.
Pada saat itu, orang berkulit hitam ini sedang memanggul sebuah paha kijang yang telah
dipanggang. Dan setelah ia ia tiba di depan gua, ia memandang ke kanan kiri, kemudian ia
duduk di atas batu dan menggerogoti paha kijang itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 276
Kui Hwa berlaku hati-hati sekali, tidak bergerak dari tempat sembunyinya dan hanya
memandang penuh keheranan, juga ia merasa khawatir. Apakah harta pusaka itu telah
ditemukan dan diambil oleh raksasa ini, pikirnya. Ia tidak takut kepada raksasa yang tingginya
hampir dua kali tubuhnya sendiri itu. Akan tetapi lebih baik jangan mencari perkara dan
perkelahian dalam tempat yang aneh ini.
Tiba-tiba dari jauh terdengar suara memanggil dan tak lama kemudian muncullah seorang
gundul kate yang segalanya merupakan kebalikan dari raksasa itu. Kalau raksasa itu kulitnya
hitam, orang ini kulitnya keputih-putihan dan matanya biru. Kepalanya gundul sama sekali
dan tubuhnya pendek kecil. Akan tetapi larinya cepat sehingga Kui Hwa menjadi kaget karena
maklum bahwa ginkang dari orang kate ini masih lebih tinggi dari pada kepandaiannya
sendiri.
“Badasingh!” si kate itu berkata kepada raksasa yang masih enak-enak makan paha kijang
sambil duduk di atas batu. “Kita sudah terlalu lama di sini. Mengapa kita tidak berusaha
mengambil peti-peti itu?”
“Koay lojin,” kata orang aneh yang bernama Badasingh itu dengan bahasa Han yang kaku.
“Tak mungkin diambil sekarang. Tempatnya terlalu dalam dan jauh. Kita harus menanti
sampai ada orang lain yang mengambilnya untuk kita, kemudian kita merampasnya dari
mereka. Bukankah itu lebih mudah lagi? Ha ha ha!”
“Siapa yang mengetahui tempat ini selain kita?”
“Bodoh! Banyak yang tahu, bahkan aku mendengar bahwa dari kota raja akan datang
serombongan orang untuk mengambil harta itu. Kita sendiri takkan mungkin mengambilnya.
Jalan turun tidak ada.”
Si kate itu memandang dengan mata marah dan agaknya tidak percaya kepada si raksasa itu.
“Badasingh! Jangan kau mencoba menipuku! Ini usaha kita berdua maka kau tidak boleh
membohong kepadaku!”
Tiba-tiba Badasingh mengeram bagaikan suara seekor gajah, dan dengan marah sekali ia
membanting paha itu ke atas batu yang di dudukinya sehingga paha itu berikut tulangtulangnya
hancur lebur.
“Koay lojin! Tidak ada manusia yang bisa hidup setelah memaki aku sebagai pembohong!” Ia
bangun berdiri dan menyerang si kate itu dengan hebat! Si kate ternyata juga lihai sekali
karena sekali lompat ke samping ia dapat menghindarkan diri dari serangan itu.
“Badasingh! Aku tidak mau berkelahi dengan kau tanpa alasan. Pendeknya, kalau kita bisa
mengambilnya, kita ambil sekarang. Kalau tidak bisa, mari kita pergi dari sini. Aku sudah
bosan tinggal di tempat asing ini.”
“Kau mau pergi? Pergilah! Siapa melarangmu?” kata si raksasa.
Koay lojin (kakek aneh) itu tertawa bergelak dan dengan jari telunjuknya yang pendek ia
menuding kepada Badasingh,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 277
“Ha ha ha! Jangan coba berlaku licik. Badasingh! Kalau kau tidak mau pergi, itu berarti kau
hendak mengambil sendiri harta itu! Kau benar-benar curang.”
“Sudah kukatakan bahwa aku menanti orang yang dapat mengambilnya. Kemudian aku akan
merampasnya. Kau boleh pergi kalau kau kehendaki. Akan tetapi aku akan menanti di sini!”
“Kau bohong!” Koay lojin dalam marah lupa akan pantangan ini.
Bagaikan harimau terluka Badasingh melompat dan menerkam Koay lojin.
“Kalau aku bohong kau harus mampus!” teriaknya marah.
Kini keduanya tidak main-main lagi, mereka bertempur hebat. Tenaga Badasingh benar-benar
hebat dan batu karang yang terkena sambaran tangannya diwaktu ia menyerang, menjadi
hancur berkeping-keping. Akan tetapi, si kate itu benar-benar lincah dan gesit sekali sehingga
pertempuran itu benar-benar hebat.
Kui Hwa memandang dengan hati berdebar. Ia merasa kagum sekali menyaksikan kelihaian
dua orang aneh ini dan ia mengaku bahwa dia sendiri takkan dapat menang melawan seorang
di antara mereka. Tiba-tiba si kate mengeluarkan senjata, yakni sebatang cambuk lemas yang
berduri. Cambuk itu tadinya digulung dan disimpan di dalam saku bajunya. Akan tetapi
setelah dilepaskan, cambuknya yang berduri itu panjangnya lebih dari empat kaki.
“Bagus, kau memang betul-betul ingin mampus!” seru Badasingh yang segera membuka ikat
pinggangnya, yang terbuat dari pada rantai baja yang besar itu. Rantai ini lebih panjang lagi,
kira-kira ada tujuh kaki panjangnya. Pertempuran hebat dimulai dan Kui Hwa makin bengong
dan kagum melihatnya. Kalau cambuk berduri itu bergerak-gerak dengan gesit dan lihai
seakan-akan ular hidup, adalah rantai baja itu luar biasa dahsyatnya. Angin sambarannya saja
membuat daun-daun pohon bergerak-gerak bagaikan tertiup angin dan tanah di sekitar tempat
pertempuran itu mengebulkan debu ke atas.
Ternyata bahwa si kate itu kalah tenaga dan kalah hebat senjatanya, tubuhnya bergulingan.
Badasingh memburuh dengan cepat dan sekali kakinya menendang terdengar jerit ngeri dan
tubuh Koay-lojin terlempar jauh dan .... masuk ke dalam jurang yang tak terlihat dari atas
dasarnya, saking dalam dan gelapnya.
Kui Hwa bergidik dan merasa bulu tengkuknya berdiri. Dengan adanya raksasa hebat ini
menjaga Gua Kilin, tak mungkin baginya untuk mencari harta pusaka itu. Untuk maju
menyerang, sama dengan bunuh diri, oleh karena maklum bahwa ia takkan dapat menangkan
raksasa hitam ini. Oleh karena itu, Kui Hwa lalu turun lagi dengan diam-diam dari bukit
Hong-san.
Ia hendak menanti sampai datangnya kawan-kawannya, terutama sekali datangnya kedua
suhengnya, Pui Kiat dan Pui Hok. Sungguhpun raksasa itu merupakan lawan yang amat
tangguh, namun bertiga dengan suheng-suhengnya, ia tidak merasa takut.
Oleh karena itu, Kui Hwa lalu tinggal di dusun kecil di lembah sungai Huang-ho yang berada
di kaki bukit Hong-san untuk menanti datangnya kedua suhengnya. Ia menanti beberapa hari
lamanya, akan tetapi kedua suhengnya belum juga datang. Sehingga saking kesalnya ia
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 278
menghibur diri, menyewa perahu kecil, dan mendayung di sungai Huang-ho sambil menonton
para nelayan mencari ikan.
Ketika ia sedang duduk termenung di dalam perahunya, tiba-tiba ia melihat seorang nelayan
tua yang menyebar jala ikan sambil mencucurkan air mata. Berkali-kali nelayan itu
menggunakan ujung lengan bajunya untuk menyusut air matanya yang turun mengalir di
sepanjang kedua pipinya, bahkan kadang-kadang kalau jalanya tidak menghsilkan ikan, ia
menjatuhkan diri di dalam perahu dan menangis tersedu-sedu.
Melihat hal ini tergeraklah hati Kui Hwa. Ia mendayung perahunya mendekat. Setelah
perahunya menempel perahu nelayan itu, ia bertanya,
“Lopek, kau kenapakah? Apakah yang membuatmu demikian berduka sehingga kau bekerja
sambil menangis?”
Nelayan itu menengok dan ketika melihat Kui Hwa yang gagah dan cantik, ia menangis
makin sedih.
Kui Hwa mengikatkan tali perahunya pada ujung perahu nelayan itu, lalu berpindah perahu.
“Lopek, kesukaran apakah yang kau derita? Ceritakan kepadaku, barangkali aku dapat
menolongmu. Aku tidak kaya akan tetapi percayalah, pedangku ini sudah banyak menolong
orang yang tertindas!”
Mendengar ucapan ini, kakek itu lalu mengeringkan air matanya dan berkata dengan suara
ragu-ragu, “Siocia, benar-benarkah kau pandai bertempur menggunakan pedang?”
Kui Hwa tersenyum. “Pandai sih tidak. Akan tetapi sudah banyak penjahat mengakui
kelihaianku sehingga mereka memberi julukan Dewi Tangan Maut kepadaku!”
Mendengar ini, kakek itu segera memberi hormat dan berkata dengan girang, “Ah, tidak
tahunya nona adalah seorang pendekar pedang. Agaknya Thian yang menurunkan lihiap ke
sini untuk menolongku!”
“Sudahlah, lopek, jangan banyak sungkan. Ceritakanlah semua penderitaanmu kepadaku!”
Kakek itu menghela napas berkali-kali, kemudian ia menuturkan keadaannya. “Aku
mempunyai seorang anak perempuan yang sudah remaja puteri, dan sungguhpun aku sendiri
yang menyatakan, akan tetapi anakku itu termasuk golongan gadis cantik. Di dalam hutan
Ban-siong-lim terdapat serombongan bajak laut yang kejam. Sungguh pun mereka itu jarang
sekali mau mengganggu kampung kami yang miskin. Akan tetapi, pada suatu hari kepala
bajak laut yakni kepalanya yang termuda karena mereka itu mempunyai tiga orang pemimpin,
mengadakan perjalanan untuk melihat-lihat di kampung kami. Sungguh tak beruntung sekali,
anak perempuanku berada di luar rumah dan terlihat olehnya. Kepala bajak itu merasa suka
dan tanpa banyak cakap lagi ia membawa pergi anakku!”
“Bangsat kurang ajar!” Kui Hwa memaki gemas.
“Ibu anak itu telah lama meninggal dunia dan aku hanya hidup berdua dengan anakku itu,
maka dapat lihiap bayangkan betapa hancurnya hatiku. Dengan melupakan bahaya, aku lalu
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 279
mengejar sampai ke hutan Ban-siong-lim itu untuk minta kembali anak perempuanku. Akan
tetapi, kepala bajak itu minta uang tebusan sebanyak tiga ratus tail. Darimana aku dapat
mengumpulkan uang sebanyak itu? Maka, aku berusaha untuk menjala terus menerus siang
malam untuk menebus anakku. Akan tetapi agaknya Thian sedang memberi hukuman
kepadaku, lihiap. Buktinya, jalaku jarang sekali menghasilkan sesuatu!” Kakek itu lalu
menangis lagi.
“Lopek!” kata Kui Hwa sambil memegang pundak nelayan itu. “Sudahlah, jangan kau
menangis. Antarkan aku ke tempat bajak sungai itu dan akulah yang akan mengambil kembali
anak perempuanmu!”
Kakek itu memandang dan nampaknya terkejut dan cemas. “Akan tetapi .... mereka itu lihai
sekali, lihiap.”
“Apakah kau tidak percaya kepadaku?”
Kakek itu tidak berkata sesuatu, lalu mendayung perahunya ke pinggir. “Mari kita berangkat
sekarang juga, lihiap,” katanya.
Demikianlah Kui Hwa bersama nelayan tua itu pergi ke hutan Ban-siong-lim yang berada di
tepi sungai. Kedatangan mereka disambut oleh tiga orang kepala bajak yang bertubuh tegaptegap.
Tentu saja tiga orang bajak itu memandang kepada Kui Hwa dengan mata terbelalak
saking kagum. Belum pernah mereka melihat seorang gadis secantik itu.
Sebelum tiba di tempat itu, Kui Hwa telah bertanya kepada nelayan itu tentang keadaan ketiga
orang kepala bajak ini. Ketiganya adalah bajak-bajak sungai Huang-ho yang amat terkenal
dan disebut Huang-ho Sam-kui (Tiga setan dari Huang-ho). Yang tertua bertubuh pendek
tegap berkepala botak bernama Louw Tek, yang kedua Louw Siang dan yang ketiga masih
muda dan tampan juga bernama Louw Liu. Ketiga orang bajak sungai itu bukanlah bajakbajak
biasa, karena mereka benar-benar memiliki ilmu silat yang tinggi. Mereka itu adalah
murid-murid Butongsan yang menyeleweng.
Ketika berhadapan dengan tiga orang kepala bajak itu, tanpa memperdulikan anggautaanggauta
bajak yang jumlahnya belasan itu dan yang mengurung tempat itu sambil tertawatawa,
Kui Hwa bertanya,
“Kalian bertigakah yang disebut Huang-ho Sam-kui?”
Louw Tek melangkah maju dan berkata, “Benar nona manis. Apakah kehendakmu mencari
kami bertiga?”
“Tak lain aku datang untuk mengambil kembali anak perempuan dari nelayan tua ini. Sambil
berkata demikian, Kui Hwa mencabut pedangnya. “Tinggal kalian pilih saja. Kembalikan
anak perempuan itu atau kalian akan berkenalan dengan Dewi tangan maut!”
Huang-ho Sam-kui itu saling pandang, kemudian meledaklah suara ketawa mereka, diikuti
oleh suara ketawa dari sekalian anak buahnya. Untuk daerah ini, nama Dewi Tangan Maut
memang tidak dikenal.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 280
“Sungguh lucu kakek nelayan ini. Agaknya ia merasa kasihan kepada kita, sehingga
mengantarkan seorang anak perempuan yang lebih cantik lagi. Lui-te (adik Lui), jangan kau
iri hati. Kau sudah mendapat bunga harum dari dusun itu dan yang kini adalah bagianku,”
kata Louw Tek kepada adiknya yang hanya tersenyum-senyum memandang kepada Kui Hwa
dengan amat kurang ajar.
Bukan main marahnya Kui Hwa mendengar ucapan yang amat menghinanya itu.
“Kalian memang sudah bosan hidup!” serunya dan ia menerjang dengan pedangnya. Pada saat
itu ketiga kepala bajak itu melompat ke belakang dan melihat lompatan mereka itu bukan
main terkejut hati Kui Hwa. Dari cara mereka melompat ke belakang amat cepat dan
lincahnya itu, tahulah Kui Hwa bahwa ketiga orang lawannya ini adalah orang-orang yang
memiliki ilmu silat tinggi. Sungguh mengherankan, di daerah ini benar-benar banyak terdapat
orang pandai. Baru saja ia bertemu dengan raksasa hitam dan si kate yang berilmu tinggi dan
sekarang ia menghadapi tiga orang kepala bajak yang berkepandaian tinggi pula.
Akan tetapi ia tidak takut dan menyerang dengan pedangnya. Melihat gerakan pedang gadis
itu lihai dan cepat, kepala bajak yang tertua, yakni Louw Tek, segera mengangkat dayungnya
menangkis sambil berkata kepada kedua adiknya.
“Jangan kalian membantu, biar aku sendiri mencoba kepandaian calon nyonyaku!”
Maka bertempurlah Kui Hwa melawan Louw Tek yang benar-benar tangguh. Sebetulnya
dalam hal kepandaian silat, Kui Hwa tak usah kalah oleh Louw Tek, hanya saja dalam hal
tenaga ia masih kalah. Apalagi orang she Louw itu mempunyai senjata istimewa, yakni
sebatang dayung yang panjang dan berat sehingga ia merupakan lawan yang benar-benar
berbahaya.
Pada saat pertempuran berjalan seru, dari tengah sungai tampak sebuah perahu di dayung ke
pinggir dan dua orang pemuda melompat ke darat sambil mencabut pedangnya.
“Sumoi, jangan takut, kami datang membantumu!” Orang-orang ini bukan lain adalah Pui
Kiat dan Pui Hok. Besarlah hati Kui Hwa melihat kedatangan kedua suhengnya ini dan
pertempuran makin hebat, karena kini Louw Siang dan Louw Lui maju menyambut kedua
saudara Pui itu dan pertempuran terjadilah dengan sengitnya. Para anggauta bajak sungai
melihat ketangguhan ketiga orang murid Hoa-san-pai itu, menjadi tidak sabar dan mereka
mulai maju mengeroyok.
Kepandaian Kui Hwa dan kedua suhengnya sesungguhnya berimbang dengan kepandaian
Huang-ho Sam-kui, maka setelah anak buah bajak sungai yang rata-rata memiliki ilmu silat
yang lumayan itu maju membantu, tentu saja ketiga murid Hoasan itu mulai terdesak hebat
dan terkurung rapat. Namun mereka melakukan perlawanan sengit dan mati-matian sehingga
pertempuran berjalan lama dan di antara anggauta-anggauta bajak ada beberapa orang yang
sudah menjadi korban pedang Kui Hwa dan kedua suhengnya.
Betapapun juga, para bajak itu masih mengurung terus, sehingga keadaan tiga orang muda itu
makin berbahaya. Sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri, karena selain kurungan
amat rapat, juga ketiga Huang-ho Sam-kui itu mainkan dayung mereka dengan amat cepatnya
sehingga Kui Hwa dan kedua saudara Pui harus menggerakkan seluruh kepandaian dan
perhatian.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 281
Pada saat yang amat genting itulah muncul Tin Eng. Dengan amat ganas Tin Eng menyerbu
dari luar kepungan dan dengan ilmu pedangnya Sin-eng Kiam-hoat yang lihai. Dalam
beberapa gebrakan saja ia telah berhasil merobohkan beberapa orang bajak. Hal ini
menimbulkan panik dan kekacauan pada pihak pengeroyok dan memperbesar semangat
perlawanan Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Dibantu oleh Tin Eng, mereka lalu menerjang
ketiga orang Huang-ho Sam-kui sehingga mereka ini terpaksa mundur.
Kui Hwa maklum bahwa biarpun Tin Eng datang membantu, namun apabila pertempuran
dilanjutkan, pihaknya tentu akan kehabisan tenaga, maka ia lalu mendekati Tin Eng dan
berbisik,
“Kita tangkap kepala bajak termuda.”
Tin Eng tidak mengerti apakah kehendak kawannya itu dengan usul ini. Akan tetapi oleh
karena ia tidak tahu asal usulnya pertempuran, ia hanya menganggukkan kepala dan menurut.
Demikianlah selagi Pui Kiat dan adiknya menghadapi Louw Tek dan Louw Siang, Kui Hwa
berdua Tin Eng mendesak Louw Lui dengan hebat sekali. Sepasang pedang dari kedua orang
dara itu membabat dan mengurungnya dengan gerakan luar biasa sehingga betapapun
kosennya Louw Lui, ia menjadi bingung dan pening juga melihat sinar kedua pedang itu
berkelebatan bagaikan dua ekor naga sakti mengurung tubuhnya.
Sebelum ia sempat minta bantuan pada kawan-kawannya, tiba-tiba ujung pedang Tin Eng
telah melukai lengannya sehingga terpaksa ia melepaskan dayungnya dan Kui Hwa mengirim
totokan ke arah lambungnya dan robohlah Louw Lui sambil mengaduh-aduh. Kui Hwa
memburu dan menambah dengan totokan pada jalan darah thia-hu-hiat sehingga tubuh Louw
Lui menjadi lemas tak berdaya sama sekali.
Louw Tek dan Louw Siang marah sekali dan sambil memutar dayungnya, kedua kepala bajak
ini menyerbu Kui Hwa dan Tin Eng. Akan tetapi, sambil tekankan ujung pedang pada dada
Louw Lui, Kui Hwa membentak,
“Mundur kalian dan tahan pertempuran ini. Kalau tidak pedangku akan menembus dadanya.”
Louw Tek dan Louw Siang terkejut dan melangkah mundur, lalu memberi perintah kepada
anak buahnya untuk berhenti menyerang.
“Huang-ho Sam-kui!” kata Kui Hwa dengan gagah. “Kami sebetulnya tidak hendak mencari
permusuhan dengan kalian. Kalau kau memang sayang kepada nyawa saudaramu ini, lekas
keluarkan anak perempuan nelayan tua itu untuk ditukar dengan saudaramu ini!”
Karena maklum bahwa nyawa Louw Lui berada di ujung pedang Kui Hwa, terpaksa Louw
Tek dan Louw Siang memberi tanda kepada anggauta-anggautanya untuk mundur. Kemudian
Louw Tek menjura kepada Kui Hwa dan berkata,
“Lihiap, maafkanlah kami yang tadi tidak melihat orang-orang gagah. Kehidupan di tempat
asing ini membuat kami berwatak kasar. Tentang anak perempuan nelayan itu, sesungguhnya
ia menjadi isteri tercinta dari adik kami Louw Lui dan menurut pendapat kami yang bodoh,
agaknya tidak kecewa ia menjadi isteri adik kami. Iapun mencintai suaminya ini.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 282
“Bohong!” tiba-tiba nelayan tua itu berteriak dengan marah. “Anakku dibawa dengan paksa,
siapa bilang tentang cinta? Hayo kembalikan anakku!”
Louw Tek terenyum dan memberi tanda kepada seorang anggauta bajak untuk menjemput
“nyonya muda.”
Tak lama kemudian datanglah seorang wanita muda yang cukup manis diiringkan oleh bajak
tadi.
“Bwee Kim ...!” Nelayan tua itu memanggil dan wanita muda itu cepat berpaling dan berseru,
“Ayah ....!” Ia berlari menghampiri ayahnya dengan kedua tangan terpentang. Akan tetapi
ketika ia lewat di dekat Kui Hwa dan melihat Louw Lui ditodong dadanya dengan pedang dan
lengan Louw Lui terluka mengeluarkan darah, tiba-tiba ia berhenti dan menubruk Louw Lui
sambil menangis.
Hal ini sama sekali tak pernah diduga oleh nelayan tua itu, bahkan Kui Hwa sendiri menjadi
pucat karena terkejut. Sementara itu, Louw Tek dan Louw Siang tersenyum saja melihat
adiknya memeluk isterinya.
“Ah, kalau begitu, aku telah salah duga!” kata Kui Hwa yang lalu menyimpan kembali
pedangnya dan menghampiri kakek nelayan itu.
“Lopek, biarpun mantumu seorang kepala bajak, akan tetapi anakmu telah menjadi isterinya
dan kau lihat sendiri anakmu tidak menyesal menjadi isterinya. Oleh karena itu, kau tak perlu
lagi ribut-ribut!”
Kakek nelayan itu berdiri sambil menundukkan mukanya yang pucat, matanya sayu dan
nampak sedih sekali.
“Aku ditinggal seorang diri .... aku sudah tua ..... siapa yang akan merawatku kalau aku sakit
...?” Setelah berkata demikian, ia menjatuhkan diri berlutut di atas tanah sambil menangis.
Kui Hwa berpaling memandang Louw Tek. “Orang dahulu berkata bahwa mau kepada anak
perempuannya harus mau menerima orang tuanya pula. Oleh karena itu, kuharap sam-wi tayong
suka pula menerima kakek ini agar supaya dia selalu dekat dengan anak perempuannya.
Ketiga kepala bajak menerima baik usul ini dan demikianlah, pertempuran yang hebat itu
berakhir dengan perdamaian yang menyenangkan kedua pihak.
Kui Hwa lalu mengajak kedua suhengnya dan Tin Eng pergi dari situ dan menuju ke bukit
Hong-san. Di tengah jalan mereka saling menuturkan pengalamannya masing-masing.
Setelah menuturkan pengalamannya, Tin Eng bertanya kepada Kui Hwa,
Apakah kau tidak bertemu dengan Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat Kong?”
Kui Hwa menggelengkan kepala, akan tetapi kedua saudara Pui segera menuturkan pertemuan
mereka dengan pemuda itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 283
“Dia tentu sudah berada di tempat ini!” kata Tin Eng penuh harapan, akan tetapi sungguh
heran mengapa ia tidak bertemu dengan kalian?”
Ketika Kui Hwa menceritakan tentang raksasa hitam itu, semua kawannya mendengarkan
dengan terheran-heran.
“Orang itu benar-benar hebat dan mengerikan. Aku sendiri tidak berani untuk mendekati gua
itu karena kepandaiannya amat tinggi dan aku takkan dapat menang. Maka aku sengaja
menanti di sini dan kebetulan sekali ini hari tidak saja ji-wi suheng yang datang, akan tetapi
juga adik Tin Eng. Dengan tenaga kita berempat ku rasa kita tak perlu takut menghadapi
raksasa yang menjaga gua itu!”
Oleh karena pertempuran tadi amat melelahkan Kui Hwa, juga kedua saudara Pui dan Tin Eng
yang baru datang masih merasa lelah, maka mereka mengambil keputusan untuk menyerbu ke
atas puncak Hong-san pada keesokan harinya.
****
Semenjak berpisah dengan Gwat Kong, Cui Giok melakukan perjalanan seorang diri untuk
memenuhi permintaan Gwat Kong yakni menuju ke Hong-san menyusul murid-murid Hoasan-
pai yang sedang mencari gua Kilin tempat penyimpanan harta pusaka. Ia tidak mengambil
jalan air seperti yang lain. Akan tetapi ia melakukan perjalanan darat melalui sepanjang pantai
sungai Huang-ho sebelah kiri.
Pada suatau hari, ketika ia sedang berlari cepat di sepanjang lembah sungai Huang-ho, melalui
bukit-bukit kecil yang ditutup oleh rumput hijau yang indah, tiba-tiba ia melihat seorang anak
laki-laki tanggung berusia kurang lebih sebelas tahun sedang bersilat seorang diri di dekat
pantai. Cui Giok amat tertarik melihat gerakan kaki tangan anak itu amat lincah dan
tangkasnya. Sedangkan wajah anak kecil itu amat tampan dan sepasang matanya bersinar.
Sebelum Cui Giok menghampiri, tiba-tiba ia melihat bayangan seorang hwesio berkelebat
keluar dari belakang pohon. Hwesio ini masih mudah dan wajahnya menyeramkan sekali,
sepasang matanya mengandung nafsu jahat.
“Ha ha ha! Bagus!” kata hwesio itu sambil melompat ke depan anak itu. “Kau tentulah murid
si tua bangka dari Kunlun. Anak baik, bukankah kau murid Kun-lun-pai? Gerakanmu jelas
menyatakan bahwa kau anak murid Kun-lun-pai.”
Anak itu berhenti berlatih silat dan memandang dengan matanya yang tajam.
“Losuhu, siapakah? Teecu memang benar anak murid Kun-lun-pai. Nama teecu Kwie Cu Ek
dan suhu adalah Lo Han Cinjin dari Kun-lun-pai.
Hwesio itu tertawa bergelak dan memandang ke kanan kiri.
“Dimana adanya Lo Han Cinjin?” Dari suaranya ternyata bahwa ia merasa takut.
“Suhu sedang memetik daun obat di bukit itu dan teecu diharuskan menanti di sini berlatih
silat.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 284
“Bagus! Kalau begitu, kau harus ikut padaku!”
“Tidak bisa losuhu. Tanpa perintah suhu, teecu tidak berani meninggalkan tempat ini,” jawab
anak yang bernama Kwi Cu Ek itu dengan tegas.
“Apa? Kau berani membantah kehendakku? Hayo ikut!” Sambil berkata demikian si gundul
itu mengulurkan tangannya hendak menangkap pundak anak itu. Akan tetapi dengan gesit
anak itu mengelak dan melompat ke belakang. Cui Giok diam-diam merasa kagum dan
senang melihat anak yang lincah itu. Akan tetapi hwesio tadi menjadi marah dan terus
menyerang untuk menangkap anak itu.
Tiba-tiba anak itu berseru keras dan tahu-tahu sebatang pedang kecil telah ia cabut dari
punggungnya dan dengan pedang di tangan, ia menghadapi hwesio itu. Sepasang matanya
menyinarkan keberanian luar biasa sehingga hwesio itu menjadi tercengang juga.
“Eh, eh tua bangka itu sudah melatih pedang padamu?” kata hwesio itu yang terus menubruk.
Anak itu menggerakkan pedangnya dan terkejutlah hwesio tadi ketika melihat betapa gerakan
pedang anak itu tak boleh dipandang ringan.”
“Kau sudah dapat mainkan Sin-tiauw-kiam-sut? Hebat!” katanya dan ia lalu meloloskan
sabuknya yang terbuat dari pada sutera hijau. Sekali ia menggerakkan tangannya, sabuk itu
meluncur ke arah leher anak itu, yang segera menangkisnya dengan pedang. Akan tetapi
ujung sabuk melibat pedangnya dan sekali betot terlepaslah pedang itu dari pegangan.
Anak itu terkejut dan hendak melarikan diri. Akan tetapi dengan sekali lompatan saja, hwesio
itu telah mengejarnya dan dapat memegang pundaknya dengan cengkeraman tangan erat
sehingga anak itu meringis kesakitan.
Pada saat itu Cui Giok muncul dan membentak,
“Bangsat gundul, sungguh tak tahu malu!”
Hwesio itu terkejut dan melepaskan cengkeramannya. Ketika melihat seorang gadis cantik
jelita berdiri di depannya dengan pedang di tangan kanan dan kiri, ia terkejut sekali.
“Ha ha ha!” katanya sambil memandang kagum. “Kalau anak setan itu tidak mau ikut, lebih
baik kau saja ikut kepadaku!”
Sambil berkata demikian, ia menggerakkan sabuknya yang lihai itu untuk merampas kedua
pedang di tangan Cui Giok. Dara perkasa ini sengaja tidak mengelak sehingga ujung sabuk itu
membelit pedang di tangan kirinya. Tiba-tiba Cui Giok membetot pedangnya untuk membikin
putus sabuk itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa sabuk itu amat kuat dan
tenaga pemegangnya juga luar biasa besarnya. Tak disangkanya sama sekali bahwa hwesio itu
demikian lihai dan besar tenaga lweekangnya. Maka dengan cepat ia lalu menggerakkan
pedang di tangan kanannya untuk membabat putus sabuk yang melibat pedang kirinya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 285
Hwesio itu ternyata lihai dan cepat gerakannya karena sebelum pedang Cui Giok membabat
sabuknya ia telah melepaskan kembali libatan sabuk dan kini sabuknya bergerak-gerak
bagaikan ular menyerang ke arah jalan darah Cui Giok, merupakan totokan-totokan yang
berbahaya.
Akan tetapi ia mengeluh di dalam hati ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu bukan
merupakan lawan yang empuk baginya. Sepasang pedang ditangan nona itu, yang memainkan
ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar luar biasa sekali sehingga beberapa kali
hwesio itu harus melompat jauh dengan kaget karena hampir saja ia menjadi korban ujung
pedang.
Juga Cui Giok merasa amat penasaran. Hwesio itu hanya memegang sehelai senjata sabuk,
akan tetapi amat sukar baginya untuk mengalahkannya. Maka ia makin marah dan
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mendesak sehingga hwesio itu terpaksa harus
mengakui keunggulan Cui Giok. Ia hanya dapat mengandalkan ginkangnya untuk melompat
ke kanan kiri menghindarkan diri dari bahaya maut yang tersebar dari sepasang pedang di
tangan nona itu.
Setelah bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, hwesio itu tak tahan lagi. Tiba-tiba terdengar
suara halus memuji,
“Im-yang Siang-kiam-hoat benar-benar hebat!”
Mendengar suara ini, hwesio tadi menjadi pucat dan ketika pedang Cui Giok agaknya tertahan
karena gadis ini pun mendengar seruan itu. Hwesio itu lalu melompat jauh dengan gerakan
Naga hitam menembus langit. Ia berlompatan beberapa kali dan tubuhnya lenyap di balik
pohon-pohon yang banyak tumbuh di atas bukit.
Cui Giok berpaling dan memandang kepada orang yang berseru memuji tadi. Ia melihat
seorang kakek berjenggot panjang keputih-putihan yang membawa sebuah keranjang obat dan
guci arak tergantung di pinggangnya. Melihat sikap kakek ini, ia dapat menduga bahwa ia
berhadapan dengan seorang sakti, maka ia cepat menyimpan pedangnya dan menjura dengan
penuh hormat. Sementara itu, anak kecil tadi menghampiri kakek itu dan berkata,
Bab 31 ...
“SUHU, ilmu pedang cici ini benar-benar hebat sekali!”
“Nona,” terdengar kakek tua itu berkata dengan suaranya yang halus dan sabar. “Apakah kau
anak murid dari Sie Cui Lui?”
“Sie Cui Lui adalah kakekku, locianpwe. Teecu bernama Sie Cui Giok. Tidak tahu, siapakah
locianpwe yang terhormat dan siapa pula adanya hwesio jahat tadi? Mengapa ia hendak
menangkap adik kecil ini?”
Kakek ini menghela napas. “Biarpun amat memalukan untuk mengaku. Akan tetapi terus
terang saja, hwesio itu adalah muridku sendiri. Lima tahun yang lalu, ia masih menjadi
muridku yang baik, akan tetapi ia menyeleweng dan melakukan perbuatan zinah yang jahat,
sehingga aku terpaksa mengusirnya dan tidak mengakui sebagai murid. Semenjak itu, ia
merasa sakit hati dan karena tidak berani membalas dendam kepadaku, agaknya ia hendak
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 286
menyakiti hatiku dengan menculik muridku yang kecil ini. Nona, ketahuilah aku adalah Lo
Han Cinjin dari Kun-lun-san. Kakekmu Sie Cui Lui itu telah dikenal baik padaku.” Kemudian
ia berpaling kepada muridnya dan berkata,
“Cu Ek, hayo kau menghaturkan terima kasih kepada nona ini yang telah membantu dan
menolongmu.”
Kui Cu Ek lalu menghampiri Cui Giok dan menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi Cui Giok
segera mengangkatnya bangun dan berkata sambil tertawa,
“Adik yang baik, ilmu pedangmu benar-benar mengagumkan sekali!”
“Belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian cici yang gagah,” kata anak kecil itu dengan
suaranya yang nyaring.
Lo Han Cinjin berkata lagi, “Dengan sepasang pedang dapat mendesak dan mengalahkan
muridku yang tersesat tadi telah menunjukkan bahwa kepandaianmu sudah cukup tinggi.
Sebenarnya kau hendak kemanakah?”
Dengan singkat Cui Giok menuturkan bahwa ia sedang menuju Hong-san untuk mencari guha
Kilin di mana tersimpan harta pusaka itu.
Kakek itu menarik napas panjang.
“Sayang .... sayang .... agaknya manusia takkan terlepas dari pengaruh harta ...” Ia lalu
merogoh keranjang obatnya dan mengeluarkan sebatang ranting yang penuh daun berwarna
merah.
“Nona, kau telah bertemu dengan aku. Itu berarti ada jodoh. Aku tadi secara kebetulan sekali
mendapatkan daun Ang-giok (daun bermata merah) ini. Karena tidak perlu bagiku, terimalah
daun ini. Jangan kau anggap remeh daun ini karena segala luka di dalam tubuh dapat sembuh
dengan mudah apabila orang yang terluka itu makan sehelai daun ini. Dan karena kau
melakukan perantauan, terimalah lima butir pel ini. Kalau kau berada jauh dari rumah orang
dan kehabisan ransum, sebutir pel ini kalau kau telan akan melindungi pencernaanmu dan kau
dapat bertahan tidak makan sampai sepekan lamanya tanpa merasa lapar.”
Dengan girang Cui Giok menerima obat mujijat itu yang disimpannya di dalam buntalan
pakaian yang diikatkan pada punggungnya, lalu menghaturkan terima kasih. Akan tetapi,
tanpa berkata sesuatu lagi kakek yang aneh lalu menggandeng tangan muridnya dan pergi dari
situ.
Di kemudian hari, anak kecil yang bernama Kui Cu Ek itu, akan menjadi seorang pendekar
gagah perkasa yang menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu pedang Sin-tiauw-kiamsut.
Dia inilah yang akan mengharumkan nama Kun-lun-pai di kemudian hari.
Sementara itu, Cui Giok melanjutkan perjalanannya menuju ke Hong-san. Setelah dekat bukit
itu, ia menyelidiki dengan penuh perhatian, akan tetapi tidak bertemu dengan orang-orang
yang dicarinya, yakni anak murid Hoa-san-pai yang bernama Tan Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui
Hok itu. Maka, ia langsung mendaki bukit Hong-san untuk mencari di puncak bukit itu. Sama
sekali ia tidak tahu bahwa pada hari itu juga, pagi tadi, tiga orang murid Hoa-san-pai yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 287
dicarinya itu telah naik pula ke Hong-san. Bahkan tidak disangkanya sama sekali bahwa di
tempat itu ia akan bertemu dengan Tin Eng, gadis puteri Liok-taijin yang telah seribu kali
membuat ia cemburu itu, karena agaknya Gwat Kong amat memperhatikan gadis itu.
****
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Tin Eng, Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok naik
ke Hong-san pada pagi hari itu dengan maksud mencari harta pusaka dan kalau perlu
membinasakan penjaga guha Kilin, yakni raksasa hitam yang menurut Kui Hwa bernama
Badasingh.
Benar saja sebagaimana telah dituturkan oleh Kui Hwa, ketika mereka tiba di puncak itu, di
depan guha Kilin, kelihatan Badasingh, orang tinggi besar yang seperti raksasa itu duduk di
atas batu sambil memukul-mukulkan rantai bajanya ke atas batu karang, menerbitkan suara
keras dan batu karang itu pecah berkeping-keping bagaikan batu merah dipukul oleh besi.
Wajah raksasa hitam itu nampak muram.
“Mari kita hampiri dia!” ajak Kui Hwa dan dengan hati berdebar keempat orang muda itu
berjalan menghampiri raksasa yang mengerikan ini.
Badasingh menengok cepat dan ketika melihat dua orang gadis cantik dan dua orang pemuda
mendatangi, ia segera bangun berdiri. Bukan main tingginya orang ini. Kalau berdiri di dekat
Pui Kiat dan Pui Hok yang sudah cukup tinggi itu barangkali hanya akan setinggi pundaknya.
“Kalian siapakah? Dan mau apa datang ke tempat ini?”
Badasingh bertanya dengan suaranya yang besar dan kaku, sedangkan sepasang matanya yang
hitam bersinar tajam itu ditujukan kepada Kui Hwa dan Tin Eng. Kedua orang gadis ini
merasa bulu tengkuk mereka meremang karena pandang mata itu sungguh-sungguh kurang
ajar, bagaikan pandang mata seorang rakus memandang semangkok masakan yang enak dan
masih mengebul hangat.
“Kami datang hendak menyelidiki guha ini dan mencari tempat penyimpanan harta
terpendam,” kata Kui Hwa terus terang karena tahu bahwa raksasa ini telah mengetahui
tentang harta itu. Ia hendak melihat bagaimana sikap raksasa itu setelah mendengar bahwa
mereka datang untuk keperluan yang sama.
Untuk sesaat, wajahnya yang hitam itu bergerak-gerak marah mendengar ucapan ini. Akan
tetapi kemudian ia tertawa bergelak-gelak sehingga suara ketawanya menggema di empat
penjuru.
“Kalian, orang-orang kecil lemah ini? Ha ha ha! Kalian mau melihat guha Kilin? Boleh,
boleh! Nah, mari lihatlah, kuantarkan!”
Pui Kiat dan Pui Hok melangkah maju ke arah guha diikuti oleh Kui Hwa dan Tin Eng.
Ketika mereka masuk ke dalam guha itu, mereka berseru penuh kengerian karena di dalam
guha itu ternyata merupakan sebuah sumur besar atau jurang yang tak berdasar saking
dalamnya. Yang nampak hanya kehitaman di bawah jurang itu tak dapat diukur berapa
dalamnya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 288
Melihat adanya beberapa kelelawar beterbangan di permukaan jurang, keluar masuk ke dalam
sumur itu, maka dapat diduga bahwa tempat itu tentu amat dalam. Untuk menuruni jurang itu
amat sukar, karena pinggirnya terdiri dari batu cadas yang amat licin dan tajam. Jalan masuk
ke dalam guha itu semuanya penuh oleh jurang itu, hanya sebagian kecil saja di sebelah kanan
terdapat batu karang yang dapat dijadikan tempat untuk berdiri atau duduk. Akan tetapi
lebarnya hanya kira-kira satu kaki saja. Oleh karena itu, memasuki guha Kilin ini pada waktu
gelap sungguh merupakan jalan maut yang mengerikan karena begitu masuk, orang akan
terguling ke dalam jurang.
“Ha ha ha! Kalian mau masuk ke dalam? Masuklah!” Sambil berkata demikian, membuat
gerakan tangan dan menyerang ke arah Pui Kiat dan Pui Hok.
Bukan main kagetnya Tin Eng dan Kui Hwa melihat ini dan untung sekali kedua gadis itu
berdiri di belakang si raksasa sehingga mereka dapat bergerak cepat. Bagaikan sudah diatur
lebih dahulu, Tin Eng menggerakkan tangan memukul ke lambung raksasa itu, sedangkan Kui
Hwa menangkap kedua tangan kedua suhengnya dan menariknya ke belakang.
Raksasa itu dengan amat mudahnya dapat mengelak dari pukulan Tin Eng dan ketika keempat
orang muda itu melompat ke belakang dengan muka pucat dan marah, ia tertawa bergelak dan
melangkah maju mengejar mereka dengan sikap mengancam dan menakutkan.
“Ha ha ha! Kalian orang-orang lemah ini tak mungkin dapat mengambil harta itu untukku.
Karena itu, kalian hrs mati di sini akan tetapi hanya kamu berdua yang harus mati!” Ia
menunjuk kepada Pui Kiat dan Pui Hok.
“Dua orang bidadari manis ini harus mengawani aku di sini. Aku kesepian sekali dan amat
haus. Kalian berdua, gadis-gadis manis, kalian akan dapat menghibur hatiku. Kalian menjadi
pengganti anggur yang segar! Ha ha ha!”
“Siluman jahanam!” bentak Tin Eng dengan marah sekali. Hampir berbareng keempat orang
muda itu mencabut pedang masing-masing dan menyerang dengan berbareng.
Akan tetapi keempatnya terpaksa harus meloncat mundur lagi karena sambil berseru keras,
Badasingh memutar rantainya yang berat dan panjang itu sehingga merupakan segulungan
sinar hitam menyambar di sekeliling tubuhnya. Empat orang muda itu tidak berani beradu
senjata karena takut kalau pedang mereka akan rusak, maka mereka ini hanya mengandalkan
kelincahan mereka untuk memasuki lowongan antara sambaran rantai baja. Namun
kepandaian Badasingh benar-benar luar biasa, terutama sekali tenaganya yang hebat.
Ia melayani empat orang lawannya sambil mengeluarkan seruan-seruan liar bagaikan suara
seekor beruang mengamuk. Kedua matanya terbelalak lebar, mulutnya menyeringai dan
tangan kirinya yang tidak memegang senjata itu tidak tinggal diam, akan tetapi melakukan
serangan-serangan mencengkeram dengan jari-jari tangannya yang panjang berbulu dan
kukunya yang panjang dan tebal.
Badasingh benar-benar hebat. Biarpun yang mengeroyoknya adalah empat orang muda yang
kepandaiannya telah cukup tinggi, namun ia tidak menjadi sibuk bahkan dapat mendesak
dengan senjata rantai bajanya. Berkali-kali empat orang muda itu terpaksa harus melompat
tinggi dan menjauhkan diri dari sambaran rantai yang besar dan berat itu, dan sukarlah bagi
mereka untuk mendekati atau menyerang si raksasa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 289
Sebaliknya, Badasingh juga merasa penasaran. Jarang ada orang yang kuat menghadapinya
sampai puluhan jurus, maka tiba-tiba ia berseru keras dan dengan langkah lebar ia mendesak
terus kepada Kui Hwa dan Tin Eng sehingga kedua nona itu menangkis pedang mereka
terpental dan terlepas dari pegangan.
Sebelum hilang rasa kaget mereka, lengan kiri Badasingh telah terulur maju dan Kui Hwa
kena ditangkap pundaknya. Saking kaget dan takutnya, Kui Hwa sampai menjadi lemas dan
dengan gerakan luar biasa sekali, jari tangan Badasingh menotok dan menekan jalan darah
gadis itu pada pundaknya sehingga tubuh Kui Hwa seakan-akan menjadi lumpuh.
Badasingh melepaskan Kui Hwa dan kini ia mengulurkan tangan hendak menangkap Tin Eng.
Gadis ini tak mau menyerah begitu saja dan mengirim pukulan ke arah lengan yang terulur
hendak menangkapnya. Akan tetapi jari tangan Badasingh yang panjang-panjang itu bergerak
ke bawah dan tertangkaplah lengan Tin Eng.
“Ha ha ha! Kalian berdua nona manis harus menjadi penghiburku dan mengawani aku di
tempat ini. Ha ha ha!” Juga Tin Eng dibikin tak berdaya oleh totokannya yang lihai.
Pui Kiat dan Pui Hok terkejut sekali dan mereka berlaku nekad. Dengan marah mereka maju
menyerang lagi, akan tetapi agaknya mereka itu hanya hendak mencari kematiannya sendiri
karena sebentar saja rantai baja yang hebat itu telah bergerak-gerak mengancam mereka.
Pada saat terjadinya pertempuran dan tertangkapnya Tin Eng dan Kui Hwa, datanglah Cui
Giok. Dara perkasa ini dari jauh sudah mendengar gerakan-gerakan aneh dari mulut
Badasingh dan mendengar pula suara senjata beradu, maka ia mempercepat larinya bagaikan
terbang menuju ke arah suara itu.
Ketika ia tiba di situ, ia terkejut sekali melihat betapa dua nona muda telah tertangkap dan
kini duduk di atas tanah dalam keadaan tertotok dan tidak berdaya sama sekali. Sedangkan
dua orang pemuda sedang mengeroyok seorang raksasa hitam yang dahsyat dan mengerikan.
Sekali pandang saja, tahulah Cui Giok bahwa dua orang itu tentulah Pui Kiat dan Pui Hok.
Akan tetapi ia merasa heran juga melihat adanya dua orang gadis di situ. Yang manakah
gerangan yang bernama Kui Hwa? Akan tetapi ia tidak mau pusingkan semua itu karena ia
melihat betapa kedua orang muda itu telah terdesak hebat dan keselamatan mereka terancam
bahaya maut. Ia segera mencabut sepasang pedangnya dan melompat dengan gerakan Walet
Hitam Keluar Dari Sarangnya, dan membentak,
“Siluman hitam, lihat pedang!”
Begitu tubuhnya tiba di depan Badasingh, ia lalu menyerang dengan kedua pedangnya ke arah
kedua pundak raksasa itu. Badasingh melihat dua sinar cemerlang menyambar ke arah
pundaknya menjadi terkejut sekali dan cepat berjumpalitan ke belakang sambil memandang.
Alangkah girangnya melihat seorang gadis yang cantik jelita berdiri di depannya.
“Ha ha ha! Datang seorang lagi! Ha ha ha, bagus! Yang ini lebih hebat lagi, ha ha! Sekarang
ada tiga! Cukuplah untukku!”
Sementara itu, Cui Giok bertanya kepada Pui Kiat dan Pui Hok,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 290
“Apakah jiwi yang bernama Pui Kiat dan Pui Hok?”
“Benar, nona,” jawab Pui Kiat sambil memandang heran. “Nona siapakah?”
“Aku datang mewakili Gwat Kong!” kata Cui Giok dan tubuhnya melayang ke arah Kui Hwa
dan Tin Eng. Dua kali tepukan saja ia sudah membikin dua orang gadis itu pulih kembali jalan
darahnya. Kui Hwa memandang kagum sedangkan Tin Eng memandang dengan heran.
Siapakah gadis ini yang menyebut nama Gwat Kong begitu saja?
Akan tetapi mereka tidak mempunyai kesempatan untuk banyak bicara. Karena pada saat itu,
Badasingh yang merasa marah melihat Cui Giok membebaskan dua orang korbannya, telah
datang untuk menangkap Cui Giok.
“Kalian berempat minggirlah, biarlah aku menghadapi siluman ini!”
Sambil berkata demikian, Cui Giok menyambut kedatangan Badasingh dengan sepasang
pedangnya digerakan membuat penyerangan yang hebat dan berbahaya. Badasingh hanya
menyeret rantainya karena tadinya ia hendak menawan hidup-hidup gadis cantik jelita ini.
Akan tetapi ketika sepasang pedang itu menyerang dengan gerakan berlawanan yang aneh
sekali, ia mengelak dan tetap saja ujung pedang di tangan Cui Giok berhasil menyerempet
pundaknya.
Badasingh memekik keras dan mengeluarkan suara aneh, agaknya ia memaki-maki dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh Cui Giok dan kawan-kawannya dan melihat darah
mengalir membasahi baju di bagian pundaknya. Badasingh menjadi marah sekali. Sambil
mengeluarkan seruan-seruan keras, ia memutar-mutar rantai bajanya dan menyerang Cui Giok
dengan hebatnya bagaikan serangan air hujan dari atas.
Kalau Badasingh mengira akan dapat mengalahkan gadis yang baru datang ini dengan
serangan-serangannya yang mengandalkan tenaga besar dan kecepatan, ia kecele. Dara
perkasa ini kepandaiannya jauh lebih tinggi daripada keempat orang muda tadi dan gerakan
sepasang pedangnya masih melebihi kecepatan rantai bajanya.
Cui Giok yang memiliki ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan berotak cerdik itu
maklum bahwa kalau ia merasa gentar dan bertempur sambil menjauhkan diri maka tak
mungkin akan dapat menang. Karena senjata lawannya yang panjang dan berat itu lebih
menguntungkan pihak lawan. Oleh karena itu, ia mengandalkan ginkangnya dan sikap kedua
pedangnya yang berdasarkan Im dan Yang yakni tenaga lemas dan kasar. Ia mendesak maju
dan mengajak bertempur dari jarak dekat.
Tentu saja cara bertempur menghadapi seorang raksasa mengerikan seperti Badasingh dari
jarak dekat membutuhkan ketabahan besar. Karena demikian berat dan cepatnya gerakan
rantai itu sehingga angin pukulannya terdengar bersiutan memenuhi telinga dan angin itu
membuat pakaian Cui Giok berkibar-kibar bagaikan tertiup angin badai.
Namun Cui Giok berlaku tabah dan ketika kedua pedangnya digerakkan dengan cepat dan
sinar pedangnya bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai sehingga
tubuhnya lenyap sama sekali terbungkus oleh gulungan sinar itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 291
Kalau Badasingh menjadi terkejut setengah mati melihat cara bertempur gadis yang lihai ini,
adalah Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok berdiri dengan bengong dan penuh
kekaguman. Bagi Tin Eng dan dan kedua saudara Pui, mereka sudah menyaksikan kelihaian
Kang-lam Ciu-hiap Gwat Kong dan merasa amat kagum. Akan tetapi agaknya gadis yang
baru datang yang mengaku mewakili Gwat Kong ini, agaknya tidak kalah lihainya daripada
Gwat Kong sendiri. Adapun Kui Hwa juga merasa kagum karena selama hidupnya belum
pernah ia menyaksikan permainan pedang sehebat itu.
Tadinya keempat orang muda ini hendak membantu bahkan Kui Hwa dan Tin Eng sudah
mengambil pedang mereka yang tadi terpental dan terlepas dari tangan. Akan tetapi mereka
masih ragu-ragu karena larangan Cui Giok. Kini mereka tidak merasa ragu-ragu lagi akan
kelihaian nona penolong itu dan mereka menonton dengan penuh harapan dan kekaguman.
Lambat akan tetapi pasti, Cui Giok mendesak lawannya dan kini seruan-seruan yang keluar
dari mulut Badasingh adalah seruan-seruan kaget bercampur marah. Ia hanya dapat memutar
rantai melindungi dirinya sambil mundur, akan tetapi masih saja ujung pedang Cui Giok
berhasil melukai lengan kiri dan kulit lehernya.
Cui Giok makin bersemangat. Ia benci kepada raksasa hitam ini karena tadi melihat dengan
jelas betapa raksasa hitam ini bermaksud keji terhadap dua orang gadis itu, dan hal ini
memang amat dibenci oleh Cui Giok. Dengan dada penuh nafsu membunuh, ia terus
mendesak dan menindih senjata lawan tanpa memberi kesempatan sama sekali kepada raksasa
itu untuk balas menyerang atau melarikan diri.
Badasingh bingung sekali. Ia mundur terus dan kini ia telah mendekati guha Kilin di dalam
mana terdapat jurang yang mengerikan dan gelap itu. Tiba-tiba Badasingh yang sudah tak
tahan lagi menghadapi desakan sepasang pedang di tangan Cui Giok, melompat mundur ke
dalam guha. Cui Giok masih sempat mengirim tusukan yang mengenai pahanya sehingga
Badasingh menjerit kesakitan lalu melompat ke dalam mulut guha Kilin.
Cui Giok masih merasa penasaran dan cepat melompat pula ke dalam guha yang gelap.
“Awas, jangan masuk ........!!!” Kui Hwa dan Tin Eng menjerit hampir berbareng. Akan tetapi
Cui Giok yang tidak tahu akan adanya bahaya di dalam guha, sudah melompat ke dalam dan
terdengarlah jerit gadis itu mengerikan sekali ketika tubuhnya melayang ke bawah jurang
yang amat gelap.
Ternyata bahwa Badasingh telah menggunakan akal memancing lawannya. Ia tahu bahwa di
dalam guha itu hanya terdapat sebuah tempat di sebelah kanan, maka ketika ia melompat ke
dalam guha yang gelap, ia melompat ke sebelah kanan, di atas batu karang yang lebarnya
hanya satu kaki itu. Akan tetapi Cui Giok yang tidak tahu akan hal ini, langsung melompat
dan ..... terjerumus ke dalam sumur atau jurang itu.
Setelah gema jeritan Cui Giok itu lenyap, terdengar gema suara ketawa Badasingh yang
bergelak-gelak dari dalam guha. Kui Hwa dan Tin Eng tadinya menutupi kedua matanya
dengan tangan karena merasa ngeri, kini mereka menjadi marah sekali. Tin Eng dengan
pedang ditangan melangkah maju dan memaki,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 292
“Siluman jahanam! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Ia hendak nekad dan menyerang
raksasa itu, akan tetapi Kui Hwa, Pui Kiat dan Pui Hok memegang tangannya dan menariknya
pergi dari situ.
“Adik Tin Eng, tak perlu membuang nyawa dengan sia-sia. Kita berempat bukanlah lawan
siluman itu.”
“Tidak, tidak! Aku harus membalas kematian penolong kita itu!” kata Tin Eng sambil
menangis. Akan tetapi Kui Hwa yang juga mengucurkan airmata itu memeluk dan
menariknya dengan paksa.
Demikianlah keempat orang itu dengan hati sedih sekali turun dari gunung. Mereka tidak tahu
bahwa sebenarnya Badasingh telah terluka berat juga di pahanya sehingga kalau mereka
nekad menyerbu, belum tentu raksasa itu akan dapat mempertahankan dirinya.
Sampai merah kedua mata Tin Eng dan Kui Hwa menangisi nasib Cui Giok, gadis penolong
yang belum mereka ketahui siapa namanya itu. Mereka tidak berdaya dan tak dapat berbuat
lain kecuali menanti datangnya Gwat Kong. Mereka tidak tahu dimana adanya Gwat Kong,
karena nona yang katanya mewakili Gwat Kong itu tak sempat memberi penjelasan sesuatu
kepada mereka.
“Lebih baik kita menanti saja di sini sampai datangnya Kang-lam Ciu-hiap,” kata Pui Kiat.
“Ku rasa betapapun juga dia tentu akan datang di sini!”
Karena tidak mendapat jalan lain, kawan-kawannya menyatakan setuju dan untuk menghibur
hati mereka yang ruwet, mereka menuju ke kota Thay-liok-kwan tak jauh dari situ. Kota ini
letaknya di tepi pantai sungai dan menjadi pusat keramaian yang cukup menarik. Di tepi-tepi
sungai terdapat perahu-perahu besar yang dipergunakan untuk orang berpelesir di sepanjang
tepi sungai, bahkan ada beberapa perahu besar yang dipergunakan sebagai restoran dimana
orang dapat naik perahu sambil memesan makanan.
Ketika empat orang muda itu sedang berjalan-jalan di dekat sungai sambil melihat-lihat
perahu yang dicat indah, tiba-tiba terdengar seruan orang,
“Omitohud, alangkah cantik-cantiknya!”
Mereka segera menengok ke belakang dan melihat seorang hwesio muda yang kepalanya
gundul sedang memandang kepada Tin Eng dan Kui Hwa dengan mata yang kurang ajar dan
mulut menyeringai. Tin Eng dan Kui Hwa hendak marah, akan tetapi Pui Kiat mengedipkan
mata mencegah mereka mencari keributan di tempat itu. Dengan hati sebal mereka lalu naik
ke perahu restoran mengambil tempat duduk dan memesan makanan.
Akan tetapi, baru saja makanan yang mereka pesan itu dikeluarkan, tiba-tiba perahu itu
menjadi miring dan para pelayan berteriak-teriak bingung. Ketika keempat orang muda itu
memandang keluar, ternyata hwesio kurang ajar itu dan sungguh mengherankan karena
biarpun tubuhnya tidak berapa besar dan ia berjalan dengan perlahan namun perahu itu miring
dan bergoyang-goyang seakan-akan ada seekor gajah yang berjalan di situ.
Diam-diam keempat orang muda itu terkejut sekali. Terang sekali bahwa hwesio itu
mendemonstrasikan ilmu Jian-kin-cui (tenaga seribu kati) untuk membuat tubuhnya menjadi
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 293
berat. Akan tetapi, empat orang muda itu maklum bahwa kalau tidak mempunyai ilmu tinggi,
tak mungkin dapat membuat perahu besar menjadi miring dan bergoyang-goyang.
Sambil tertawa-tawa hwesio itu sengaja memilih meja di dekat empat orang muda itu dan
duduk dengan mulut menyeringai dan lagak sombong lalu pesan makanan dan arak kepada
pelayan. Tentu saja keempat orang muda itu merasa sebal dan mendongkol sekali.
Akan tetapi oleh karena hwesio itu tidak melakukan sesuatu, mereka tidak mempunyai alasan
untuk menyatakan kedongkolan hati. Apalagi mereka maklum bahwa hwesio itu
berkepandaian tinggi, maka lebih baik tidak mencari permusuhan dengan hwesio yang aneh
ini.
Hwesio ini bukan lain ialah Tong Kak Hwesio, murid dari Lo Han Cinjin tokoh Kun-lun-pai
itu, dan hwesio inilah yang pernah bertempur dan dikalahkan oleh Cui Giok. Ia pernah
menjadi murid tersayang dari Lo Han Cinjin dan mempelajari ilmu silat Kun-lun-pai yang
tinggi. Akan tetapi karena pada suatu hari ia mengganggu gadis kampung, ia mendapat marah
besar dari suhunya dan kemudian diusir dan tidak diakui lagi menjadi murid kakek sakti itu.
Di dalam perantauannya, Tong Kak Hwesio bertemu dengan Liok-taijinpm dan menjadi
sahabat baik dari Ang-sun-tek. Karena tahu bahwa hwesio ini selain mata keranjang juga mata
duitan serta memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka Ang-sun-tek lalu mempergunakan
tenaganya dan ketika ia sedang berusaha mencari tahu tentang rahasia peta harta terpendam di
Hong-san itu, dari Tin Eng dengan perantara Liok-taijin.
Ia lalu minta pertolongan Tong Kak Hwesio untuk berangkat terlebih dahulu ke Hong-san dan
menyelidiki keadaan murid-murid Hoa-san-paiyang telah berangkat ke tempat itu. Ang-suntek
khawatir kalau-kalau murid-murid Hoasan itu mendahului mendapatkan harta itu.
Demikianlah, pada hari itu Tong Kak Hwesio bertemu dengan bekas suhunya bersama murid
kecil suhunya itu yang hendak diganggunya sehingga ia bertempur dengan Cui Giok. Setelah
ia dikalahkan, ia berlari cepat menuju ke Hong-san. Ia mencari-cari di sekeliling tempat itu.
Akan tetapi ia tidak melihat murid-murid Hoa-san-pai, oleh karena pada waktu itu, Kui Hwa
dan kawan-kawannya sedang bertempur melawan Badasingh di puncak Hong-san. Setelah
Cui Giok terjerumus ke dalam jurang dan keempat orang muda itu turun gunung, barulah
Tong Kak Hwesio melihat mereka sehingga ia menjadi girang sekali.
Tong Kak Hwesio memang mata keranjang dan mempunyai watak yang amat sombong dan
mengagulkan kepandaiannya sendiri. Maka begitu melihat empat orang muda itu ia lalu
mendekati mereka dengan terang-terangan. Kui Hwa dan kawan-kawannya tidak mau
meladeninya, hanya makan dengan diam-diam saja dan cepat-cepat.
Setelah selesai mereka tanpa banyak cakap lalu meninggalkan perahu itu dan turun ke darat.
Agaknya Tong Kak Hwesio maklum bahwa mereka merasa mendongkol kepadanya maka ia
hanya makan minum sambil tertawa-tawa. Ia tidak mau turun tangan, oleh karena Ang-suntek
hanya pesan agar supaya mengikuti dan menyelidiki keadaan mereka dan jangan
mengganggu mereka sebelum melihat bahwa mereka telah mendapatkan harta pusaka itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 294
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui itu berjalan-jalan dengan hati rusuh dan bingung.
Gwat Kong yang ditunggu-tunggu belum juga datang. Dalam kesempatan ini, Kui Hwa
bertanya tentang Gwat Kong kepada Tin Eng yang segera menceritakan riwayat Gwat Kong.
“Enci Kui Hwa, harap kau jangan kaget mendengar siapa adanya Gwat Kong itu. Karena ia
telah bercakap-cakap dengan aku tentang dirimu dan berbeda dengan kebiasaan umum,
pemuda itu sama sekali tidak mengandung hati dendam kepadamu.”
Kui Hwa terkejut sekali dan memandang kepada kawannya dengan alis berkerut.
“Apa maksudmu, adik Tin Eng?”
“Enci Hwa, bukankah kau puteri tunggal dari mendiang Tan-wangwe yang tinggal di Lamhwat?”
Kui Hwa mengangguk dengan heran. “Bagaimana kau bisa tahu tentang mendiang ayahku?”
“Gwat Kong yang menceritakannya kepadaku. Kau kenal atau pernah mendengar pembesar di
Lam-hwat itu yang bernama Bun-tihu? Tentu kau tahu pula akan permusuhan yang terjadi
antara ayahmu dengan Bun-tihu?”
Kui Hwa menghela napas panjang. “Aku tidak tahu jelas. Memang aku tahu bahwa mendiang
ayahku pernah melakukan sesuatu dosa terhadap Bun-tihu, karena sebelum meninggal dunia,
ayah seringkali menyebut-nyebut nama Bun-tihu. Akan tetapi entah dosa apa yang
diperbuatnya. Hanya setelah ayah menutup mata, beberapa kali ada orang datang menyerang
rumah ayah dan mereka itu semua terpaksa ku lawan dan aku usir. Memang aku selalu masih
memikirkan mengapa ayah dimusuhi orang-orang kang-ouw, sedangkan ibu juga tidak
memberi keterangan sesuatu. Ada hubungan apakah hal ini dengan diri Gwat Kong?”
Tin Eng mengangguk-angguk. “Kalau begitu, kau sama sekali belum tahu tentang peristiwa
itu, cici. Karena kita sudah menjadi kawan baik, maka tiada salahnya kalau aku
menuturkannya kepadamu. Akan tetapi harap kau jangan salah duga, karena aku sependapat
dengan Gwat Kong, yaitu bahwa perbuatan-perbuatan orang tua tiada sangkut pautnya dengan
keturunannya.”
Kui Hwa mendengarkan dengan wajah berubah agak pucat. “Ceritakanlah, adikku.”
“Menurut penuturan yang kudengar, ayahmu dahulu adalah seorang hartawan besar dan pada
suatu hari, ayahmu berurusan dengan para petani karena berebut tanah. Yang menjadi tihu
ketika itu adalah Bun-tihu dan di dalam pemeriksaan pengadilan akhirnya Bun-tihu
menangkan para petani itu. Ayahmu di denda dan tanah yang diperebutkan itu harus diberikan
kepada para petani.
Hal ini agaknya membuat ayahmu marah sekali. Tak lama kemudian serombongan pencuri
mengganggu Lam-hwat dan mereka ini bahkan berani mencuri cap kebesaran dari pembesar
tinggi. Seorang di antaranya tertangkap. Dalam pengakuannya ia menyatakan bahwa
pemimpin rombongan pencuri itu adalah .... Bun-tihu itulah. Sebagai buktinya, di dalam
kamar Bun-tihu itu, ketika dilakukan penggeledahan, ditemukan cap kebesaran yang tercuri
itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 295
Kui Hwa mendengarkan dengan mata terbelalak.
“Dan kau bilang bahwa semua itu adalah tipu muslihat mendiang ayahku?” tanyanya dengan
bibir gemetar.
“Sabar, cici! Aku sih tidak bisa berkata apa-apa, karena ketika hal itu terjadi, aku mungkin
masih orok dan berada di pangkuan ibuku. Sekarang baik kulanjutkan cerita ini. Bun-tihu
ditangkap dan harta bendanya dirampas. Karena merasa malu atas peristiwa ini, Bun-tihu lalu
membunuh diri dalam tahanan!”
“Kasihan!” kata Kui Hwa. “Ia mati dalam penasaran kalau memang betul ia tidak melakukan
kejahatan itu.”
“Semua penduduk Lam-hwat menyintai Bun-tihu dan tahu bahwa selama menjadi pembesar,
Bun-tihu terkenal adil. Maka biarpun ada pengakuan maling itu, hampir semua orang tidak
dapat percaya akan hal itu,” kata Tin Eng.
“Setelah Bun-tihu membunuh diri, maka isterinya yang sudah jatuh miskin, lalu pergi
bersama seorang puteranya, mengembara dan hidup sengsara sampai tiba masanya ia
meninggalkan dalam keadaan amat menderita.”
“Aduh, benar-benar kasihan nasibnya. Kalau memang ayah yang melakukan fitnah, amat
besar dosa yang diperbuat oleh mendiang ayah!” kata Kui Hwa dengan terharu.
“Nah, demikianlah ceritanya. Dan tentu kau dapat menduga, bahwa putera Bun-tihu itu bukan
lain ialah Bun Gwat Kong sendiri yang semenjak kecil hidup terlunta-lunta sebagai anak
yatim piatu. Kemudian ia menjadi pelayan dari ayah. Kami menganggap ia seorang pelayan
biasa dan aku ... aku bahkan memperlakukan secara sewenang-wenang. Siapa tahu bahwa dia
adalah pendekar perkasa yang berilmu tinggi!”
Menutur sampai di sini, tiba-tiba Tin Eng menjadi terharu karena teringat akan kasih sayang
pelayan itu kepadanya. Ia menggunakan sapu tangannya untuk mencegah runtuhnya dua butir
air mata.
Kui Hwa menarik napas panjang berulang-ulang.
“Dan dia tidak menaruh hati dendam kepadaku?” tanyanya. Guha
Bab 32 ...
TIN Eng menggelengkan kepala. “Dia sudah bicara dengan aku tentang hal ini. Memang
tadinya mendendam kepada ayahmu, bahkan sudah mencari ke Lam-hwat untuk membalas
dendam. Akan tetapi ia mendengar bahwa ayahmu telah meninggal dunia maka ia
menghabiskan urusan itu sampai di situ saja dan biarpun ia ingin bertemu dengan kau untuk
menguji kepandaian, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa sakit hati kepadamu.”
“Biarlah, biar dia mendendam kepadaku. Biar kalau dia datang nanti, kami bertempur untuk
menentukan kemenangan. Aku tidak menyesal mati di ujung pedangnya kalau memang ayah
bersalah!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 296
Tin Eng memegang tangan Kui Hwa. “Cici, jangan kau berkata demikian. Apakah kau hendak
memperbesar dosa yang telah dilakukan oleh mendiang ayahmu? Gwat Kong tidak
mendendam kepadamu. Apakah kau bahkan hendak memusuhinya, setelah ayahmu
mencelakakan ayahnya?”
Kui Hwa berdiri dengan muka pucat. “Tin Eng ...!! Benar-benarkah ayah melakukan fitnahan
keji itu?”
Tin Eng menghela napas. “Apa yang harus kukatakan? Itu memang kenyataan, cici Hwa.
Hampir semua penduduk Lam-hwat mengetahui hal itu. Ayahmu telah menyewa penjahatpenjahat
untuk memfitnah Bun-tihu. Akan tetapi, sudahlah. Tidak baik membicarakan
kesalahan orang yang telah meninggal. Apalagi kalau orang itu, ayahmu sendiri.”
Kui Hwa berdiri bagaikan patung, dadanya turun naik dan kedua matanya basah,
“Ayah ..... kau yang berdosa .... aku, anakmu yang terhukum ...,” bisiknya perlahan.
Tin Eng memeluknya dan kedua orang gadis itu sama-sama mengeluarkan air mata. Tin Eng
maklum bahwa yang dimaksudkan oleh Kui Hwa adalah peristiwa yang menimpa dirinya
karena perbuatan Gan Bu Gi. Sungguhpun ia belum tahu dengan jelas apakah yang terjadi
antara kedua orang itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan orang dan keadaan menjadi amat ribut.
“Penculik .....!!! Tangkap ... tangkap ..!!”
Orang-orang berlari-lari membawa senjata dan ketika Kui Hwa dan Tin Eng menengok dan
berlari ke tempat itu, diikuti oleh Pui Kiat dan Pui Hok yang juga telah mendengar suara
ribut-ribut itu. Mereka berempat melihat bayangan hitam yang amat tinggi besar berlari
memanggul seorang wanita muda yang menjerit-jerit
“Badasingh ...!!” seru Kui Hwa dan kawan-kawannya.
Ternyata bahwa yang menculik wanita muda itu benar-benar adalah raksasa hitam di puncak
Hong-san itu. Sedangkan keempat pendekar muda itu sendiri tak berdaya menghadapi
Badasingh, apalagi penduduk kota itu. Mereka hanya dapat berteriak-teriak, akan tetapi
gerakan Badasingh yang amat cepat itu hampir tak terlihat oleh mata mereka. Mereka hanya
melihat bayangan hitam berkelebat cepat dan mendengar jerit tangis wanita yang terculik itu.
“Celaka! Si bedebah itu telah berani turun gunung untuk menculik wanita!” kata Pui Kiat.
“Apa yang kita harus lakukan?” tanya Pui Hok dengan muka pucat.
“Kejar dia dan tolong wanita itu!” Tin Eng dan Kui Hwa berkata berbareng sambil mencabut
senjata masing-masing.
Akan tetapi, Pui Kiat menggelengkan kepala. “Dia bukan lawan kita, akan sia-sia saja. Wanita
itu tidak akan tertolong, bahkan kita sama dengan mengantar nyawa!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 297
“Habis apakah kita harus diam berpeluk tangan saja melihat kejahatan ini?” kata Tin Eng
dengan penasaran.
Tiba-tiba Kui Hwa teringat akan sesuatu dan berkata, “Ah, mengapa aku begitu bodoh?
Menanti kedatangan Kang-lam Ciu-hiap belum tentu kapan? Dan kalau didiamkan saja,
kasihan nasib wanita itu. Mengapa kita tidak minta pertolongan Huang-ho Sam-kui? Mereka
cukup gagah dan dengan tenaga kita ditambah lagi dengan mereka bertiga, mustahil kita
takkan dapat binasakan siluman itu, menolong wanita tadi!”
Kawan-kawannya teringat pula akan hal ini. Mengapa tidak Huang-ho Sam-kui? Sungguhpun
kepala-kepala bajak, akan tetapi telah mereka kenal baik setelah mereka bertempur. Dan
agaknya kalau mereka datang minta pertolongan mereka takkan menolak.
Diam-diam dengan cepat mereka berempat lalu berlari menuju ke hutan yang dijadikan sarang
para bajak itu.
Kedatangan mereka disambut oleh para bajak dengan penuh kecurigaan. Mereka itu masih
teringat kepada empat orang muda yang dahulu pernah mengamuk. Akan tetapi dengan cepat
Kui Hwa berkata,
“Kami ingin bertemu dengan pemimpin-pemimpinmu. Di manakah adanya Huang-ho Samkui?
Beritahukan bahwa kami datang untuk sesuatu yang amat penting.
Para bajak itu memberi laporan dan tak lama kemudian muncullah tiga orang kepala bajak itu.
Huang-ho Sam-kui yang gagah, dan tidak ketinggalan mereka membawa senjata dayung
mereka yang lihai.
Melihat kedatangan empat orang muda ini, mereka bertiga menjura dan Louw Tek yang tertua
berkata,
“Saudara-saudara yang gagah mengunjungi tempat kami, ada maksud apakah?”
“Sam-wi Tay-ong,” kata Kui Hwa dengan cepat. “Kami datang untuk minta pertolongan dari
sam-wi yang gagah perkasa. Baru saja terjadi hal yang membutuhkan pertolongan kita, dan
karena kami berempat merasa tidak kuat menghadapi lawan yang amat tangguh, maka sengaja
datang mohon bantuan.”
Dengan singkat ia lalu menceritakan tentang penculikan wanita yang dilakukan oleh
Badasingh itu. Mendengar ini, ketiga bajak sungai itu saling pandang dengan muka berobah.
“Jadi siluman barat itu kini berada di puncak Hong-san?”
“Sam-wi sudah mengenal siluman itu?”
“Siapa yang tidak mengenal Badasingh, siluman hitam dari barat yang amat jahat dan lihai
itu? Beberapa tahun yang lalu, pernah ia membuat geger di daerah ini dan tak seorangpun
dapat melawannya karena ia memang amat lihai.
“Kalau begitu tentu Sam-wi suka membantu kami untuk menggempur dan
membinasakannya,” kata Kui Hwa.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 298
Louw Tek mengangguk-angguk. “Memang semenjak mendengar namanya, kami bertiga ingin
sekali bertemu dengan siluman itu dan membunuhnya. Akan tetapi telah bertahun-tahun ia
tidak muncul, agaknya kembali ke barat. Sekarang setelah ia muncul kembali, sudah tentu
kami akan berusaha membunuh atau mengusirnya. Apalagi mendapat bantuan saudarasaudara
berempat yang gagah.”
“Kalau begitu mari kita berangkat!” seru Tin Eng. “Kasihan wanita itu!”
Untuk mempercepat perjalanan, Huang-ho Sam-kui mengajak empat orang muda itu untuk
menggunakan sebuah perahu besar. Dengan lajunya perahu itu meluncur menuju ke Hongsan.
Setelah tiba di kaki bukit itu, mereka mendarat dan segera berlari-lari ke atas bukit.
Mereka tidak melihat raksasa hitam itu di depan guha Kilin dan selagi mereka menduga-duga,
tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita dari sebuah guha di dekat guha Kilin. Cepat-cepat
mereka lalu berlari memburu ke tempat itu.
Dengan penerangan cahaya matahari yang menyinari guha itu, mereka dapat melihat betapa
wanita yang terculik tadi meringkuk di sudut guha dalam keadaan ketakutan bagaikan seekor
kelinci yang tersasar memasuki lobang harimau. Sedangkan si raksasa hitam sambil tertawatawa
girang duduk memandang wanita itu dan tangan kanannya memegang seguci arak yang
tadi dirampoknya dari kota bersama dengan wanita muda itu.
“Badasingh, siluman jahat! Keluarlah untuk menerima binasa!” Kui Hwa berseru keras sambil
mengacung-ngacungkan pedangnya.
Melihat kedatangan orang-orang yang mengganggu kesenangannya itu, Badasingh
mengeluarkan gerengan marah dan keluarlah ia sambil menyeret rantai bajanya.
“Tin Eng, kaulah yang bertugas menolong wanita itu apabila siluman itu telah bertempur
dengan kami dan bawa wanita itu keluar guha dan suruh dia turun gunung lebih dulu,” Kui
Hwa berbisik.
Badasingh benar-benar marah ketika melihat bahwa di antara tujuh orang yang datang itu,
yang empat adalah orang-orang yang dulu pernah dikalahkannya. Ia tertawa bergelak dan
berkata kepada Kui Hwa,
“Apakah kau datang hendak menemani aku? Bagus, bagus!”
“Bangsat rendah!” Kui Hwa memaki marah dan segera memberi tanda kepada kawannya
yang menyerang maju berbareng.
“Kalian mencari mampus!” Badasingh membentak keras dan menggerakkan rantai bajanya
bagaikan kitiran.
Kui Hwa, Pui Kiat, Pui Hok dan ketiga Huang-ho Sam-kui lalu menyambutnya, sedangkan
Tin Eng segera melompat masuk ke dalam guha untuk menolong wanita itu. Melihat hal ini,
Badasingh berseru keras dan hendak mengejar. Akan tetapi keenam orang lawannya
menggerakkan senjata dan menghalanginya mengejar Tin Eng.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 299
Bukan main marahnya Badasingh dan segera mainkan rantainya makin cepat dan keras pula
sehingga enam orang pengeroyoknya terpaksa berlaku amat hati-hati. Huang-ho Sam-kui
dengan berbareng memukulkan dayungnya yang besar. Akan tetapi dengan mudah saja tiga
dayung itu ditangkis oleh rantai baja sehingga terdengar suara keras dan bunga-bunga api
beterbangan ke atas.
Dayung dari Huang-ho Sam-kui itu bukanlah dayung biasa terbuat daripada kayu, akan tetapi
adalah dayung istimewa yang terbuat dari baja tulen. Karena memang bukan dayung yang
dibuat untuk keperluan mendayung perahu, akan tetapi khusus untuk senjata mereka.
Pertempuran berjalan amat serunya dan biarpun dikeroyok enam orang yang kepandaiannya
tidak rendah, namun Badasingh dapat mempertahankan diri dengan baik. Bahkan ia dapat
membalas dengan serangan-serangan yang sekali saja mengenai tubuh lawan tentu akan
mendatangkan bahaya maut.
Sementara itu, Tin Eng sudah berhasil menolong wanita itu keluar guha. Akan tetapi oleh
karena ia amat lemah sehingga tidak dapat turun gunung seorang diri, pula amat ketakutan
setelah mengalami peristiwa hebat yang menimpa dirinya, terpaksalah Tin Eng mengantarnya
turun dari puncak dan melepaskan di lereng, menyuruh perempuan itu pulang seorang diri.
Kemudian Tin Eng berlari naik lagi ke puncak untuk membantu kawan-kawannya.
Dengan datangnya Tin Eng maka kini Badasingh dikeroyok tujuh. Akan tetapi raksasa hitam
ini makin marah melihat betapa korbannya ditolong Tin Eng. Maka sambil putar-putarkan
rantai bajanya, ia berseru kepada Tin Eng,
“Kau melepaskannya? Baik, sekarang kaulah penggantinya!”
Setelah berkata demikian, dengan amat cepat dan nekad ia menyerbu ke depan tiba-tiba
menyambar ke bawah dan tangan kirinya telah mencengkram beberapa potong batu karang
campur debu yang segera dilontarkan ke arah pengeroyoknya. Kui Hwa dan kawan-kawannya
terkejut sekali dan cepat mengelak sambil memutar senjata untuk menangkis sambitan itu.
Akan tetapi dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dan tidak tersangka-sangka, Badasingh
menggulingkan dirinya di atas tanah ke arah Tin Eng dan sebelum gadis itu dapat mengelak,
ia telah dapat memegang kaki kiri Tin Eng dan menariknya ke bawah sehingga gadis itu
terguling di atas tanah.
“Ha ha ha! Kau menjadi penggantinya!” seru Badasingh dengan liar sambil mengulurkan
tangan hendak memeluk tubuh dara itu.
Bukan main terkejutnya Tin Eng mengalami bahaya ini dan Louw Tek yang berdiri terdekat
dengan raksasa itu lalu mengayunkan dayungnya menghantam punggung Badasingh.
“Bukkk!!”
Alangkah terkejutnya hati Louw Tek ketika pukulannya itu seakan-akan mengenai karet saja
dan dayungnya terpental kembali. Ternyata raksasa hitam itu amat lihai dan dapat
mengerahkan tenaga dalam untuk menerima pukulan ini.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 300
Sungguhpun pukulan itu tidak mencelakakannya, akan tetapi tenaga Louw Tek cukup keras
untuk membikin punggungnya terasa sakit, maka pegangannya pada kaki Tin Eng mengendur
dan ia menggereng marah. Kesempatan ini dipergunakan oleh Tin Eng untuk membetot
kakinya sehingga terlepas dan ia lalu melompat cepat ke belakang. Keringat dingin menitik
turun dari jidat Tin Eng karena ia merasa terkejut, takut dan ngeri menghadapi lawan yang
luar biasa tangguh dan kejamnya ini.
Kembali tujuh orang itu mengepung Badasingh. Raksasa hitam ini merasa kewalahan juga
menghadapi tujuh orang pengeroyoknya yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi, maka ia
lalu melompat ke belakang dan berlari. Pengeroyoknya mengejar dengan marah, akan tetapi
raksasa itu lalu melompat masuk ke dalam guha Kilin yang gelap.
“Sam-wi Tay-ong, jangan memasuki guha itu!” Kui Hwa memperingatkan Huang-ho Samkui,
karena ia takut kalau-kalau ketiga orang ini akan mengalami nasib seperti Cui Giok.
Tin Eng yang masih merasa gemas dan marah karena tadi hampir saja menderita malu dan
celaka, segera mengeluarkan piauwnya dan ketika tangannya bergerak tiga batang piauw
menyambar ke dalam guha yang gelap. Akan tetapi, hanya terdengar suara ketawa mengejek
dari dalam guha dan tiba-tiba dari dalam guha itu melayang keluar batu-batu karang kecil,
yang disambitkan dengan menggunakan tenaga luar biasa besarnya. Batu-batu itu menyambar
ketujuh orang itu dengan kecepatan luar biasa sehingga mereka menjadi terkejut dan buruburu
melompat jauh.
“Tidak ada gunanya!” kata Kui Hwa. “Kedudukannya di dalam guha yang gelap itu amat
menguntungkannya. Kita hanya dapat menyerang dengan ngawur karena tidak melihat di
mana ia berada. Akan tetapi ia dapat melihat kita dengan mudah dan dapat menyerang lebih
baik!”
Baru saja ia habis bicara, kembali melayang keluar banyak batu-batu karang bagaikan hujan
lebat sehingga terpaksa ketujuh orang itu melarikan diri dari situ dan bersembunyi di balik
batu-batu karang yang besar dan banyak terdapat di tempat itu.
“Bagaimana sekarang?” tanya Tin Eng dengan hati bingung dan cemas. Ia teringat akan nasib
dara pendekar yang kini terjerumus ke dalam jurang. Bagaimanakah nasib pendekar wanita
yang dulu menolong mereka itu? Sudah empat hari gadis itu terjerumus ke dalam jurang dan
tidak diketahui bagaimana nasibnya, entah hidup entah mati. Tak terasa pula kembali airmata
Tin Eng keluar ketika ia teringat akan nasib gadis yang menolongnya itu.
“Perempuan yang terculik sudah tertolong,” kata Louw Tek. “Untuk apa lagi kita berada lebih
lama di tempat berbahaya ini? Badasingh benar-benar tangguh dan setelah kini ia
bersembunyi di dalam guha, lebih baik kita pulang saja. Tanpa ada sebab yang penting kurasa
tiada gunanya kita bermusuhan dengan seorang liar dan lihai seperti dia!”
Setelah berkata demikian, Louw Tek mengajak kedua adiknya pergi dari tempat itu. Kui Hwa
dan kawan-kawannya hanya dapat menghaturkan terima kasih atas bantuan mereka. Tentu
saja Kui Hwa tak dapat menceritakan tentang alasan mereka memusuhi Badasingh, karena
dengan demikian berarti bahwa ia harus membuka rahasia tentang harta pusaka itu.
Berbahayalah menceritakan berita tentang adanya harta pusaka kepada orang-orang seperti
Huang-ho Sam-kui yang menjadi kepala bajak dan hal ini hanya akan menambah jumlahnya
musuh atau saingan saja.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 301
Dengan hati amat berat, keempat orang muda itupun turun dari Hong-san. Harapan mereka
satu-satunya tinggal Gwat Kong dan mereka hanya bisa menanti kedatangan pendekar muda
itu.
Ketika mereka turun dari Hong-san, tiba-tiba mereka melihat bayangan orang berkelebat, dan
bukan main cemas hati mereka melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah hwesio muda
yang selalu mengikuti mereka.
“Benar-benar bangsat gundul tak tahu malu!” Tin Eng memaki gemas.
“Tentu semenjak tadi dia mengintai kita,” kata Kui Hwa.
“Melihat kita mengeroyok Badasingh tanpa keluar membantu, Hmmm, benar-benar hwesio
itu bukan seorang baik-baik dan kita harus berhati-hati menghadapi dia. Siapa tahu dia
mempunyai maksud buruk terhadap kita,” kata Pui Kiat.
“Akan tetapi, tanpa sebab tak perlu kita bentrok dengan dia. Kepandaiannya tinggi. Di perahu
dulu, ia telah mendemonstrasikan ilmunya Jeng-kin-cui, sekarang ia mendemonstrasikan
ginkangnya,” kata Pui Hok.
Memang hebat benar ilmu lari cepat hwesio itu. Empat orang muda itu hanya melihat
bayangannya berkelebat dan sebentar saja lenyaplah hwesio itu. Kalau bukan empat orang itu
yang melihatnya, orang lain bahkan takkan tahu siap adanya bayangan yang berkelebat
bagaikan setan itu.
Terpaksa keempat orang muda itu menanti lagi, menanti datangnya Gwat Kong karena
mereka tidak berdaya dan tidak tahu harus berbuat apa. Hwesio itu kadang-kadang kelihatan
mendekati mereka tanpa mengeluarkan sepatah kata, hanya memandang ke arah Kui Hwa dan
Tin Eng dengan pandang kurang ajar dan mulut menyeringai. Akan tetapi oleh karena dia
tidak melakukan atau mengucapkan sesuatu, kedua orang dara itu pura-pura tidak melihatnya
dan tidak mau meladeninya.
Diam-diam Tin Eng merasa heran, mengapa rombongan perwira kerajaan yang hendak
mencari harta pusaka itupun belum nampak muncul di tempat itu. Hatinya makin gelisah.
Mengapa Gwat Kong belum juga datang? Ia tidak tahu bahwa Gwat Kong harus pergi dahulu
ke Hoasan dan kemudian sebagaimana dituturkan di bagian depan pemuda itu pulangnya
mampir lagi ke Kiang-sui sehingga ia bertempur dengan Seng Le Hosiang.
****
Marilah kita menengok dulu keadaan Cui Giok, gadis yang malang itu. Apakah dia telah
mati? Apakah ia tewas karena terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam dan tidak
kelihatan dasarnya itu?
Syukur sekali tidak demikian. Ketika dara perkasa itu melompat ke dalam guha Kilin untuk
mengejar Badasingh, ia merasa kedua kakinya menginjak tempat kosong dan tak dapat
dicegahnya lagi. Tubuhnya melayang turun ke tempat kosong yang amat gelap. Cui Giok
mengerahkan ginkangnya dan juga segera menggunakan ilmu Pik-hu-hiat, menutup hawa dan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 302
melindungi jalan darahnya serta mengerahkan lweekangnya agar tubuhnya tidak terluka kalau
tertumbuk batu karang.
Akan tetapi aneh sekali, ketika tubuhnya terbentur pada dinding sumur itu, ia merasa betapa
dinding itu lembek dan empuk lagi basah, sedangkan tubuhnya terus melayang turun lama
sekali. Makin lama makin cepat dan beberapa kali tubuhnya terbentur dinding, melayanglayang
ke kanan kiri di tempat kosong. Kepalanya menjadi pening, pengerahan tenaganya
makin mengurang dan akhirnya lenyap ketika tak dapat ditahannya lagi. Ia menjadi pingsan di
waktu tubuhnya masih melayang-layang turun ke bawah. Kedua pedangnya juga terlepas dari
genggaman dan melayang turun pula di tempat yang gelap itu.
Kalau ada orang yang melihat tubuh Cui Giok melayang jatuh sampai sekian lamanya di
tempat yang demikian dalamnya, tentu ia takkan ragu-ragu lagi menyatakan bahwa gadis itu
pasti akan tewas. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, karena ketika tubuh Cui Giok dengan
kerasnya terbanting ke dasar jurang atau sumur itu, tubuhnya tidak remuk dan gepeng,
melainkan melesak ke bawah karena tanah di mana ia jatuh itu merupakan tanah lembek
berlumpur.
Hanya sebuah kenyataan yang membuktikan bahwa Tuhan belum menghendaki tewasnya
gadis itu, yakni bahwa kebetulan sekali jatuhnya dalam keadaan setengah berdiri sehingga
yang masuk ke bawah lumpur hanya kaki dan tubuh bagian bawah. Kalau kepalanya yang
masuk lebih dulu ke dalam lumpur, biarpun bantingan itu tidak menewaskannya, tentu gadis
itu akan mati juga karena tak dapat bernapas.
Ada setengah hari gadis itu diam tak bergerak, tak sadarkan diri bagaikan sudah mati. Akan
tetapi ia membuka matanya. Ia melihat bahwa ruang itu cukup terang, sungguhpun hanya
suram-suram saja. Ia melihat bahwa dirinya terbenam separuh di dalam lumpur, maka dengan
susah payah karena seluruh tubuhnya terasa sakit, ia merangkak keluar dari lumpur itu.
Ternyata bahwa ruang itu amat luas dan di kanan kiri terdapat tanah keras yang berdinding
batu karang yang mengeluarkan cahaya terang.
Cui Giok merangkak dan duduk di atas tanah keras. Tubuhnya yang terasa sakit-sakit itu
menandakan bahwa ia mendapat luka-luka di dalam tubuh karena bantingan dari tempat tinggi
itu. Maka dengan tangan gemetar, ia lalu mencari bungkusan dan sepasang pedangnya di
tempat tak jauh dari situ, untungnya tidak jatuh di dalam lumpur pula.
Jari-jari tangannya menggigil ketika ia membuka bungkusan pakaiannya. Ia teringat akan
obat-obat yang diberikan kepadanya oleh Lo Han Cinjin. Tangkai daun merah itu masih ada,
bahkan tidak layu, satu hal yang benar-benar luar biasa. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu
memetik sehelai daun dan makan daun itu yang rasanya asam sekali.
Benar-benar manjur daun itu, karena tak lama kemudian ia merasa tubunya segar dan rasa
sakit-sakit itu lenyap. Mulailah Cui Giok memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ketika ia
memandang ke atas, ia melihat betapa sinar terang masuk bagaikan benang-benang emas,
akan tetapi sinar itu tertutup oleh awan putih yang bergerak-gerak. Itulah embun atau halimun
yang memenuhi sumur itu.
Anehnya dari atas mengalir masuk angin sejuk yang membuat dasar sumur itu mempunyai
hawa udara yang bersih dan segar. Dasar itu merupakan guha yang amat luas, semacam bilik
terkurung batu-batu karang yang bersinar-sinar.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 303
Cui Giok mulai memeriksa ke sekeliling ruangan itu dan mencari jalan keluar. Akan tetapi
hatinya bagaikan disayat pisau ketika ia mendapat kenyataan betapa tempat ini merupakan
kurungan baginya untuk selama hidupnya. Tidak ada terowongan atau jalan keluar sama
sekali dan memanjat ke atas merupakan sebuah ketidak mungkinan yang tak dapat dibantah
lagi. Batu-batu karang itu selain tajam, juga amat licin, maka tak dapat dipanjat. Sedangkan
dinding pada tempat ia jatuh, terdiri dari tanah lembek yang lebih sukar lagi untuk digunakan
sebagai jalan keluar.
Ia memandang lagi ke atas ke arah sinar-sinar itu lalu berteriak memanggil sambil
mengerahkan seluruh khikangnya. Akan tetapi, ketika suaranya kembali lagi ke bawah
meninggalkan gema suara yang amat menyeramkan dan aneh.
Cui Giok menjadi putus asa dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri di atas tanah yang berpasir
lalu menangis.
“Ibu ..... ibu, bagaimana jadinya dengan anakmu ini ....?” ia menangis sambil menjambakjambak
rambutnya. “Apakah aku harus tinggal di tempat ini sampai mati?”
Sampai lama Cui Giok menangis sambil berlutut di atas tanah. Akan tetapi siapakah yang
akan dapat mendengar semua ratapannya? Sampai kering air matanya ditumpahkan. Sampai
parau suaranya karena banyak meratap tangis. Akhirnya timbullah semangat kegagahannya.
Ia duduk dan menetapkan hatinya. Sudah jelas bahwa ia harus mati di tempat ini, karena
siapakah yang dapat menolongnya? Pada saat bahaya maut berada di depan mata terbayanglah
semua peristiwa yang pernah dialami selama hidupnya.
Ia teringat betapa ayahnya meninggal dunia sewaktu ia masih kecil dan kemudian bersama
ibunya ia tinggal di kota Cang-bun di propinsi Ciang-si, tinggal bersama kakeknya, Sie Cui
Lui. Teringat pula ia betapa semenjak kecilnya ia dilatih ilmu silat oleh kakeknya sehingga ia
dapat mewarisi ilmu silat Im-yang-kiam-hoat.
Pada saat itu Cui Giok membayangkan semua ini, terbayanglah wajah ibunya yang amat
buruk nasibnya. Ayahnya meninggal dunia ketika ibunya masih amat muda dan selanjutnya
ibunya hidup dalam kesunyian. Terbayanglah wajah ibunya yang cantik dan halus, dan aneh
sekali, bayangan wajah ibunya itu terdesak oleh bayangan wajah lain, yakni bayangan ....
Gwat Kong. Makin sedihlah hati Cui Giok teringat kepada Gwat Kong, maka kembali ia
menangis tersedu-sedu.
“Gwat Kong ... aku cinta padamu .... aku cinta padamu ...., aku takkan dapat bertemu lagi
dengan kau, Gwat Kong .....!!”
Hebat sekali penderitaan batin Cui Giok di dalam dasar sumur itu. Namun imannya masih
cukup kuat sehingga ia tidak membunuh diri dengan pedangnya. Memang ada keinginan ini
memasuki otaknya. Daripada menderita dan bersedih terlebih lama lagi di tempat ini, lebih
baik sekarang juga mati agar terbebas dari penderitaan, demikianlah bisikan di dalam otaknya.
Akan tetapi Cui Giok dapat menekan perasaannya, dan sebagai seorang gadis yang telah
digembleng kegagahan semenjak kecil oleh kakeknya yang sakti, ia mempunyai keteguhan
iman dan tidak mudah menyerah kalah terhadap kesengsaraan yang bagaimanapun juga
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 304
hebatnya. Ia lalu melepaskan pakaiannya yang penuh lumpur, lalu mengganti pakaian dengan
pakaian bersih yang diambil dari buntalan pakaiannya.
Sementara itu, di dunia luar matahari mulai condong ke barat dan senja hari tiba. Di dalam
sumur itu cahaya yang sedikit menerangi tempat itu mulai menyuram dan kemudian hilang
sama sekali sehingga tempat itu menjadi gelap segelap-gelapnya.
Belum pernah selama hidupnya Cui Giok berada di dalam tempat yang segelap itu. Kegelapan
ini membuat membuat ia bingung dan kepalanya menjadi pening sekali. Akhirnya ia tidak
kuat menahan lagi dan dengan sepasang pedang di tangan ia lalu bersilat di dalam gelap.
Bagaikan orang gila Cui Giok mainkan ilmu pedang Im-yang-kiam-hoat, membacok,
menusuk, dan memutar kedua pedangnya sehingga angin gerakan pedangnya menimbulkan
bunyi yang aneh.
Tiba-tiba tanpa disengaja ujung pedangnya membacok dinding batu karang yang siang tadi
mengeluarkan cahaya. “Prak!” dan silaulah mata Cui Giok ketika tiba-tiba pertemuan antara
ujung pedang dan batu karang itu menimbulkan cahaya api yang besar seakan-akan bintang
dari langit, tiba-tiba jatuh masuk ke dalam sumur itu.
Cui Giok terkejut dan menghentikan permainannya. Akan tetapi ia menjadi girang karena
ternyata bahwa batu karang itu adalah semacam batu api yang mudah mengeluarkan api
apabila terpukul oleh logam keras. Ia dapat membuat api. Api amat perlu baginya, terutama
untuk penerangan di tempat yang amat gelap itu.
Sambil meraba-raba, Cui Giok membuka buntalannya dan mengeluarkan sebuah bajunya
yang terbuat daripada bulu. Baju itu amat disayanginya, karena selain mahal, baju ini adalah
pemberian ibunya dan hanya satu-satunya, dipakai kalau sedang hawa amat dingin.
Akan tetapi pada saat dan keadaan seperti itu, Cui Giok tidak kenal lagi akan sayang kepada
pakaiannya. Ketika ia menggerakkan kedua tangannya, maka “bret!” dirobeklah pinggir baju
itu yang berbulu. Lalu ia memukulkan ujung pedangnya pada dinding batu karang lagi dengan
keras sambil mendekatkan robekan baju bulu.
Sampai dua kali api memancar, akan tetapi belum cukup besar untuk membakar robekan baju.
Pada pukulan yang ketiga kalinya dan yang dilakukan dengan tenaga besar, maka baju bulu
itu terbakarlah. Cui Giok menjadi girang sekali melihat betapa keadaan di situ menjadi amat
terang.
Ia menengok ke kanan kiri dan melihat betapa dinding batu karang itu bersinar-sinar terkena
cahaya api yang membakar robekan baju. Dengan terkejut dan amat tertarik ia melihat sinar
yang paling terang di ujung kanan, sinar yang beraneka warna dan amat indahnya.
Akan tetapi sebentar saja robekan baju itu terbakar habis dan jari tangannya terasa panas.
Maka ia cepat membuang robekan baju yang tinggal sedikit itu dan sebentar saja padamlah
api tadi dan keadaan menjadi gelap lagi, bahkan lebih gelap daripada tadi sebelum ada api
menyala. Lenyaplah segala sinar berikut sinar yang indah di ujung kanan itu.
Cui Giok hendak menggunakan seluruh bajunya untuk membuat penerangan, akan tetapi tibatiba
ia teringat bahwa apabila bajunya itu habis terbakar, ia takkan dapat membuat api lagi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 305
Baju-baju yang lain hanya terbuat daripada kain biasa dan akan sukarlah terbakar oleh
percikan api dari batu karang itu.
Ia berpikir sebentar, kemudian merobek lagi bajunya di bagian kiri, agak panjang. Sebelum
membuat api lagi, ia menggunakan tenaganya untuk memilin robekan itu menjadi semacam
sumbu panjang. Dengan cara demikian, maka robekan baju itu akan lebih awet dan tahan
lama menyala.
Kemudian ia membuat api lagi dan benar saja, kini robekan baju yang berupa sumbu itu
terbakar dengan baik dan lebih tahan lama, sungguhpun nyalanya tidak begitu besar. Dengan
cerdiknya, Cui Giok lalu membasahi sumbu bagian bawah dengan tanah yang basah agar api
tidak menyala cepat.
Bab 33 ...
SUMBU ini menyala agak lama dan selama itu Cui Giok masih terheran-heran melihat sinar
indah di ujung kanan itu. Ia mendekati dan mencongkel tanah dengan pedangnya. Makin
indahlah sinarnya dan tiba-tiba ujung pedangnya menyentuh benda keras yang ternyata adalah
batu-batu sebesar telur ayam yang mengeluarkan cahaya luar biasa. Ia tertegun dan maklum
bahwa inilah yang dimaksudkan Gwat Kong dahulu itu. Inilah harta pusaka yang tak ternilai
harganya.
Batu-batu permata yang masih aseli dan besar-besar. Banyak sekali jumlahnya. Untuk sesaat
Cui Giok merasa girang sekali, akan tetapi perasaan itu segera terganti dengan kepahitan
ketika ia teringat bahwa ia tak mungkin dapat keluar dari situ.
Setelah api dari sumbunya padam, Cui Giok tidak membuat api lagi dan menanti datangnya
siang sambil merebahkan tubuhnya di atas pasir dekat pendaman harta itu. Karena ia merasa
amat lelah, maka tak lama kemudian ia tertidur.
Pada keesokan harinya ketika sinar-sinar matahari telah memasuki sumur dan mendatangkan
cahaya suram, ia lalu mengeduk batu-batu permata itu. Dengan girang dan heran ia melihat
bahwa tempat terpendamnya batu permata itu terdiri dari tanah pasir yang mudah digali dan
merupakan terowongan.
Setelah batu-batu itu digali habis dan merupakan tumpukan batu-batu permata yang banyak
sekali, ia menggali terus. Terowongan itu menembus tempat kosong. Dengan hati berdebar ia
lalu merangkak memasuki terowongan itu dan alangkah herannya ketika ia mendapatkan
dirinya berada di tempat terbuka yang terang.
Ia keluar dari terowongan itu dan ketika ia memandang ke depan dan ke bawah, ia merasa
pening dan ngeri. Ternyata bahwa tembusan ini membawanya ke lereng gunung yang curam
sehingga tanah di bagian bawah merupakan pemandangan yang luar biasa.
Pohon di bagian bawah itu kelihatan seperti rumput saja. Untuk turun dari lereng ini tidak
mungkin sama sekali, karena lereng itu dari batu-batu karang yang licin dan tajam, juga terjal
sekali. Akan tetapi hatinya agak terhibur karena di dekat lereng itu terdapat banyak tumbuhan,
di antaranya bahkan ada pohon-pohon yang berbuah. Hatinya agak terhibur dan penemuan ini
merupakan penyambungan umurnya, karena ia tidak akan kelaparan lagi.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 306
Memikirkan tentang kelaparan, ia tiba-tiba teringat akan pel pemberian Lo Han Cinjin dan ia
lalu masuk kembali ke dalam guha itu untuk makan sebuah pel. Benar saja, rasa laparnya
lenyap dan perutnya terasa hangat dan enak.
Kini Cui Giok tidak begitu sedih lagi. Ia mulai bekerja, yakni memperlebar lubang yang
menembus ke lereng bukit itu. Cahaya penerangan masuk dari lubang itu membuat dasar
sumur itu makin terang dan hawa masuk makin banyak. Tentang penerangan di waktu siang
dan hawa udara, ia tidak usah khawatir lagi. Juga tentang makanan, ia tak perlu takut
kekurangan. Hanya kegelapan malam masih membuat ia bingung.
Akan tetapi ia mendapat akal juga. Ia melihat burung-burung beterbangan di lereng itu,
bahkan ada yang hinggap di pohon-pohon sekitar lereng itu. Dengan mudah ia dapat
menangkap burung itu mempergunakan kepandaiannya menyambit dengan batu. Gajih
burung itu dapat dipergunakan sebagai bahan bakar yang akan mengawetkan sumbuh
buatannya, sehingga ia bisa membuat penerangan di waktu malam.
Demikianlah, dengan ketabahan yang luar biasa sekali, Cui Giok hidup di tempat yang aneh
itu sampai berhari-hari, tiada hentinya berusaha mendapatkan jalan keluar, akan tetapi selalu
tak berhasil.
****
Kita tinggalkan dulu dara perkasa yang harus dikasihani ini dan marilah kita melihat keadaan
Kui Hwa, Tin Eng, Pui Kiat dan Pui Hok. Empat orang muda yang kegelisahaannya mungkin
tak kalah besar dari pada kegelisahan yang diterima Cui Giok.
Mereka ini menanti kedatangan Gwat Kong dengan hati tidak keruan. Apalagi kalau teringat
akan nasib nona pendekar yang telah menolong mereka.
Akan tetapi, dua hari kemudian, kegelisahaan mereka itu lenyap ketika tiba-tiba Gwat Kong
muncul di situ. Pada waktu itu, mereka sedang berjalan di pinggir sungai. Tiba-tiba terdengar
suara orang memanggil dengan suara girang,
“Tin Eng ........!”
Gadis itu menengok dan ....... alangkah girangnya melihat bahwa yang memanggil itu bukan
lain ialah Gwat Kong.
“Gwat Kong ....” serunya dan kalau saja di situ tidak ada Kui Hwa dan kedua orang
suhengnya, tentu ia telah berlari menghampiri pemuda itu.
“Bun-taihiap!” Kui Hwa juga berseru dengan bibir terkatup erat dan mata memandang tidak
enak, karena bukankah pemuda ini adalah putera dari Bun-tihu yang difitnah oleh ayahnya?
Gwat Kong datang berlari-lari dan karena Tin Eng bukan berada seorang diri, maka pemuda
ini lalu menjura kepada mereka yang dibalas sebagai mestinya.
“Mengapa kalian masih berkumpul di sini? Bagaimana tentang ......tempat itu?” Ia menengok
ke arah puncak Hong-san yang nampak dari situ.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 307
“Sssttt ......” kata Tin Eng. Tidak leluasa bicara di sini. Mari kita pergi ke perahu itu!” Ia
menunjuk ke sebuah perahu restoran yang besar dan kebetulan kosong.
Mereka berlima lalu berjalan menuju ke perahu itu. Wajah Tin Eng kemerah-merahan dan
matanya berseri-seri tanda bahwa pertemuan ini benar-benar amat menggembirakan hatinya.
Kui Hwa ketahui hal ini dan diam-diam ia membenarkan pilihan hati Tin Eng yang amat
tampan dan gagah itu. Akan tetapi, Dewi Tangan Maut ini masih saja merasa tidak enak hati.
Perahu besar itu kosong dan Tin Eng lalu memesan kepada pelayan untuk menyediakan
makanan dan minuman. Mereka duduk mengelilingi dua meja yang dijejerkan. Tin Eng duduk
di sebelah kanan Gwat Kong, sedangkan Kui Hwa mengambil tempat duduk di depan pemuda
yang baru datang itu.
“Bagaimana keadaan di sini?” tanya Gwat Kong begitu mereka duduk. “Mengapa kalian
masih berada di sini?”
“Gwat Kong,” kata Tin Eng yang tak dapat merobah sebutannya terhadap pemuda itu, biarpun
di sini ada orang lain, “Sebelum kami menuturkan lebih jauh, lebih dulu perkenalkanlah
dengan kawanku ini!” Ia menunjuk kepada Kui Hwa, “Dia ini adalah enci Tan Kui Hwa Dewi
Tangan Maut!”
Berobahlah wajah Gwat Kong mendengar nama orang yang sudah lama diharapkannya untuk
bertemu ini. Ia segera bangkit berdiri mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada
Kui Hwa.
”Ah, sudah lama aku mendengar nama lihiap yang menggemparkan dunia kang-ouw.
Sungguh kebetulan bahwa saat ini aku dapat bertemu muka.”
Kui Hwa juga sudah berdiri dan dengan senyum dingin ia berkata,
“Tentu saja taihiap mengharapkan pertemuan untuk dapat melampiaskan dendam dan sakit
hati taihiap, bukan?”
“Enci Kui Hwa! Jangan berkata begitu!” kata Tin Eng yang bangkit berdiri.
Gwat Kong tersenyum lalu duduk kembali.
“Tan-lihiap, kalau urusan lama di bongkar dan permusuhan lama dibangkit-bangkit, maka
kiranya dari pihakmulah datangnya, bukan dari pihakku. Aku sudah menganggap habis
persoalan lama itu dan sudah kupendam.”
Kui Hwa memandang kepada wajah yang tampan itu dengan sinar mata kurang percaya dan
terharu, lalu menjadi kagum dan bertitiklah dua butir air mata dari kedua matanya. Ia
menundukkan matanya dan berkata perlahan,
“Bun-taihiap, ternyata kau bijaksana sekali, seperti mendiang ayahmu, tidak seperti aku yang
jahat seperti mendiang ayahku. Aku hanya bisa mohon ampun atas dosa-dosa ayahku terhadap
ayahmu ....”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 308
“Ah, Tan-lihiap, mengapa berkata begitu? Urusan orang tua kita bukanlah urusan kita. Kalau
ayahmu masih hidup, itu lain lagi barangkali. Akan tetapi antara kau dan aku tidak ada
sesuatu, bahkan ada pertalian persahabatan seperti buktinya sekarang kita bertemu di antara
kawan-kawan di tempat ini. Duduklah dan jangan sungkan-sungkan, kita di antara kawan
sendiri.”
“Sumoi, kata-kata Bun-taihiap benar. Alangkah baiknya kalau permusuhan lama dirobah
menjadi persahabatan!”
Kui Hwa duduk kembali, menyusut air matanya lalu tersenyum dan berkata, “Maaf, aku telah
berlaku seperti anak kecil.”
Pada saat itu, kembali perahu itu miring dan bergoyang dan masuklah Tong Kak Hwesio
sambil tersenyum-senyum. Ia mengerling ke arah lima orang muda yang duduk bercakapcakap.
Kemudian tanpa banyak cakap, ia lalu mengambil tempat duduk di meja dekat mereka,
di sebelah belakang kursi yang diduduki oleh Gwat Kong. Di situ ia duduk memesan makanan
lalu bersedakap sambil tersenyum menyeringai dan kedua matanya memandang kepada Kui
Hwa dan Tin Eng berganti-ganti, seakan-akan anak kecil memandang dua barang permainan
yang indah menarik.
Gwat Kong mengerutkan alis matanya dan memandang kawan-kawannya. Akan tetapi kawankawannya
tidak memberikan reaksi apa-apa atas kehadiran hwesio itu. Maka Gwat Kong lalu
menggunakan ibu jari tangannya digerakkan ke arah di mana hwesio itu duduk sambil
bertanya kepada kawan-kawannya,
“Apakah kalian kenal dia?”
Kui Hwa yang duduk di depannya menjawab,
“Tidak, dan sudah lama dia selalu mendekati kami. Akan tetapi karena dia tidak berkata atau
melakukan sesuatu, maka kami mendiamkannya saja.”
“Kalau begitu, biarlah jangan perhatikan dia dan anggap saja dia seperti patung penjaga
keselamatan kita!” kata Gwat Kong dengan suara mengejek.
Hwesio itu masih duduk diam, akan tetapi tidak menyeringai lagi dan mukanya menjadi
merah, sedangkan matanya memancarkan cahaya merah. Tiba-tiba Gwat Kong merasa betapa
tempat duduknya terdorong dari belakang. Ia tahu bahwa ini adalah perbuatan hwesio itu.
Tempat duduknya menempel pada kaki meja yang berada di depan hwesio itu. Dan agaknya
hwesio itu menggunakan kekuatan lweekangnya yang disalurkan pada kaki untuk mendorong
meja di depannya sehingga kaki meja itu mendorong bangku yang diduduki Gwat Kong.
Tenaga dorongan itu besar sekali dan kalau didiamkan saja tentu Gwat Kong akan terdorong
ke depan dan meja di depannya akan terguling menimpa kawan-kawannya. Akan tetapi
dengan tenang dan masih tersenyum, Gwat Kong mengerahkan lweekangnya sehingga
bangku yang didudukinya itu sampai berbunyi bagaikan ditindih oleh benda yang amat berat.
Tong Kak Hwesio terkejut sekali ketika tiba-tiba meja yang didorong dengan kakinya itu
berhenti bergerak, bahkan tenaganya mental kembali. Ia merasa penasaran dan memperkuat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 309
tenaganya. Akan tetapi makin keras ia mendorong, makin besar pula tenaganya mental
kembali. Dan tiba-tiba “krek!” meja di depannya patah membuat meja itu terdorong hendak
menimpanya.
“Meja bobrok!” katanya sambil menekan meja itu sehingga pecah. Kemudian tanpa berkata
sesuatu, ia meninggalkan ruangan itu.
Kui Hwa, Tin Eng dan kedua saudara Pui menjadi heran sekali melihat kejadian ini, akan
tetapi Gwat Kong hanya tersenyum saja.
“Nah, sekarang ceritakanlah semua pengalamanmu!” kata Gwat Kong kepada Tin Eng. Ia
merasa heran dan khawatir ketika tiba-tiba melihat wajah Tin Eng menjadi muram.
“Telah terjadi malapetaka hebat sekali,” kata gadis itu. “Gwat Kong, benarkah kau menyuruh
seorang gadis cantik untuk mewakilimu datang membantu kami?”
“Benar!” kata Gwat Kong tanpa ragu-ragu lagi. “Dia adalah nona Sie Cui Giok ahli pedang
Im-yang Siang-kiam-hoat. Di mana dia sekarang?”
“Dia ... dia ...” dan tiba-tiba Tin Eng menangis.
Bukan main kagetnya hati Gwat Kong melihat hal ini.
“Tin Eng! Apa yang telah terjadi dengan Cui Giok?”
Kalau Tin Eng tidak sedang terharu memikirkan nasib Cui Giok, tentu ia akan cemburu juga
mendengar betapa pemuda itu menyebut nama Cui Giok begitu saja dan melihat betapa
pemuda itu menjadi pucat karena mengkhawatirkan keselamatan gadis itu. Akan tetapi ia
sendiri sedang amat terharu dan dengan suara terputus, kadang-kadang dibantu oleh Kui Hwa,
Tin Eng lalu menceritakan semua pengalamannya.
Mendengar betapa Cui Giok terjerumus ke dalam jurang pada seminggu yang lalu oleh
seorang raksasa liar bernama Badasingh, Gwat Kong menjadi terkejut sekali.
“Celaka!” serunya dengan pucat. “Dia datang ke sini karena aku minta padanya. Kalau ia
tewas, berarti aku yang mendatangkan kematiannya. Tin Eng, aku harus pergi ke sana
sekarang juga untuk mencekik leher siluman raksasa itu.”
Sambil berkata demikian, Gwat Kong bangkit berdiri dari bangkunya, akan tetapi Pui Kiat
dan Pui Hok lalu menyambarnya.
“Tenang dulu, Bun-taihiap. Memang kita harus berusaha membunuh raksasa jahat itu. Tidak
saja untuk membalaskan dendam Sie-lihiap, akan tetapi juga untuk menghindarkan rakyat dari
bencana. Badasingh ini benar-benar jahat.”
Kemudian mereka menceritakan betapa raksasa hitam itu telah menculik wanita dan kalau
saja tidak datang mereka dan Huang-ho Sam-kui, entah bagaimana jadinya dengan nasib
wanita itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 310
“Bahkan sumoi dan Liok-lihiap inipun hampir saja celaka ditangannya, kalau saja tidak
datang Sie-lihiap yang bernasib malang itu.” Maka kembali mereka menceritakan pengalaman
mereka ketika Cui Giok datang membantu.
“Guha Kilin adalah guha yang amat berbahaya, Bun-taihiap. Di dalamnya terdapat sumur
yang tak terukur dalamnya. Dan di situlah Sie-lihiap terjerumus karena tertipu oleh
Badasingh. Kalau tidak bisa memancing keluar raksasa itu, sukar untuk mengalahkannya.
Apabila ia telah berada di dalam guha Kilin, tak mungkin menyerangnya.”
Mereka lalu menceritakan betapa sia-sia mereka yang dibantu oleh Huang-ho Sam-kui
mengeroyok setelah raksasa itu bersembunyi di guha Kilin.
Sementara itu, makanan yang dipesan dihidangkan oleh pelayan, akan tetapi sukar sekali bagi
Gwat Kong untuk menelan nasi melalui kerongkongannya. Hatinya penuh kesedihan karena
mengingat akan nasib Cui Giok. Terbayanglah semua pengalamannya ketika ia masih
bersama-sama dengan gadis pendekar itu.
Teringatlah ia akan kata-kata nelayan tua yang menceritakan betapa Cui Giok merawat dan
menjaganya sampai tiga malam tidak tidur dan hampir tidak makan ketika ia jatuh sakit.
Teringat akan hal ini semua, sambil menghela napas Gwat Kong menunda sumpitnya dan
duduk termenung dengan wajah muram.
“Aku harus bunuh jahanam Badasingh itu. Aku harus membunuhnya sekarang juga!” Sambil
berkata demikian, Gwat Kong lalu bangkit berdiri dari tempat duduknya dan melompat ke
darat.
“Gwat Kong ....!” Tin Eng berseru memanggil dengan isak tertahan.
Mendengar suara ini, Gwat Kong menahan kakinya, berpaling dan berkata,
“Tin Eng, marilah kau ikut ke puncak Hong-san. Kita bersama membalas sakit hati yang
hebat ini!”
Keduanya lalu berlari cepat dan tiga orang anak murid Hoa-san-pai itu setelah membayar
makanan juga lalu berlari menyusul.
Lima orang muda itu tidak tahu bahwa pada saat itu, mereka telah didahului oleh Tong Kak
Hwesio yang berlari-lari seorang diri naik ke puncak Hong-san, kemudian oleh tiga Huang-ho
Sam-kui yang juga berlari naik ke puncak sambil membawa senjata dayung mereka.
Mengapa Tong Kak Hwesio berlari-lari cepat menuju ke puncak Hong-san? Dan mengapa
pula Huang-ho Sam-kui berlari-lari naik ke Hong-san sambil membawa dayung mereka dan
dengan muka kelihatan marah?
Sebetulnya ketika Gwat Kong bercakap-cakap dengan kawan-kawannya di perahu tadi, Tong
Kak Hwesio tidak pergi jauh dan masih memasang telinga mendengarkan di luar pintu. Ia
mendengar tentang harta pusaka dan tentang Badasingh yang menjaga guha itu, maka
timbullah hati ingin mencari sendiri harta pusaka itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 311
Di dalam kesombongannya ia tidak memandang sebelah mata kepada Badasingh yang
dianggapnya seorang kasar yang liar dan bertenaga besarnya. Maka ia ingin mendahului
rombongan Gwat Kong itu, mendahului naik ke Hong-san dan kalau mungkin mendapatkan
harta pusaka.
Sementara itu, Huang-ho Sam-kui, tiga kepala bajak dari sungai Huang-ho itu, juga
mempunyai alasan yang kuat untuk naik ke Hong-san dengan marah-marah karena malam
tadi Badasingh yang merasa sakit hati kepada mereka atas penyerangan mereka bersama Kui
Hwa dan kawan-kawannya, diam-diam mendatangi sarang mereka dan berhasil menculik
isteri Louw Lui dan di bawa lari ke puncak Hong-san.
Tong Kak Hwesio, bekas murid Kun-lun-pai itu, ketika tiba di depan guha Kilin, segera
berteriak dengan sombongnya,
“Badasingh, siluman keparat! Keluarlah kau untuk berlutut di depan tokoh Kun-lun-pai, baru
pinceng mau memberi ampun!”
Badasingh sedang berada di guha sebelah guha Kilin. Ketika mendengar suara tantangan ini
segera keluar menyeret rantai bajanya. Melihat seorang hwesio muda berdiri dengan hanya
bersenjata sehelai sabuk sutera, ia menjadi marah sekali.
“Bangsat gundul, kuremukan kepalamu yang licin!” serunya dan ia segera menyerbu.
Sementara itu, ketika menyaksikan kehebatan raksasa itu, diam-diam Tong Kak Hwesio
menjadi terkejut sekali dan lenyaplah sebagian besar kesombongannya. Akan tetapi, ia
terpaksa menyambut serangan raksasa itu dengan sabuknya. Biarpun senjatanya hanya sabuk
lemas, akan tetapi berkat lweekangnya yang tinggi, sabuk itu bisa digerakkan menjadi
sebatang senjata yang kaku. Juga ia tidak takut untuk menangkis senjata lawannya yang berat
karena sabuk sutera itu takkan rusak terkena rantai.
Akan tetapi, ia segera merasa terkejut sekali karena serangan lawannya benar-benar hebat
sekali. Ternyata raksasa ini bukanlah sebagaimana yang ia sangka, bukan hanya seorang yang
mengandalkan tenaga besar akan tetapi memiliki ilmu silat tinggi yang aneh gerakannya. Oleh
karena itu, ia mengeluh di dalam hati dan terpaksa mengerahkan seluruh kepandaiannya dan
mainkan ilmu silat Kun-lun-pai yang hebat. Namun, betapapun juga ia masih terdesak hebat
sebelum melakukan perlawanan dua puluh jurus, bahkan terpaksa ia main mundur.
Akan tetapi Badasingh agaknya tidak mau memberi ampun kepadanya dan mengurungnya
dengan rantai baja itu sehingga Tong Kak Hwesio menjadi kewalahan sekali. Ketika rantai
baja itu bergerak bagaikan seekor naga menyambar ke arah lehernya, Tong Kak Hwesio
mengebutkan sabuknya menangkis dan ketika kedua senjata bertemu, hwesio itu lalu
melepaskan sabuknya yang segera melibat rantai itu.
Mereka saling betot, tidak ada yang mau mengalah dan dalam keadaan yang amat berbahaya
itu Tong Kak Hwesio mengirim pukulan dengan tangan kiri sambil melangkahkan kakinya
maju. Tangan kirinya dengan gerak tipu Pai-in-chut-sui (Dorong awan keluar puncak)
menghantam sekerasnya ke arah dada lawannya. Akan tetapi, Badasingh sama sekali tidak
mau berkelit, bahkan lalu memukul pula dengan tangan kirinya dari atas ke arah kepala Tong
Kak Hwesio.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 312
“Blukkk! ..... “Krakk!” Dua suara terdengar dan tanpa dapat menjerit lagi, Tong Kak Hwesio
yang kepalanya pecah terpukul oleh Badasingh itu roboh tak bernyawa lagi. Adapun
pukulannya yang mengenai dada Badasingh hanya membuat raksasa itu meringis kesakitan
saja, akan tetapi tidak terluka. Ternyata raksasa ini memiliki kekebalan yang luar biasa sekali.
Badasingh tertawa bergelak-gelak dan bagaikan orang gila ia lalu mengangkat rantai bajanya
dan berkali-kali memukul tubuh hwesio ini sehingga remuk semua tulangnya. Kemudian
sambil tertawa-tawa ia menendang tubuh itu sehingga melayang dan masuk ke dalam jurang
di dekat guha.
Pada saat itu, datanglah Huang-ho Sam-kui di tempat itu. Mereka tidak melihat lagi apa yang
menyebabkan iblis itu tertawa-tawa, hanya melihat Badasingh berdiri bertolak pinggang
sambil tertawa bergelak-gelak.
“Badasingh, manusia iblis. Kembalikan isteriku!” teriak Louw Lui dengan marah.
Badasingh menundukkan kepala dan memandang kepada tiga kepala bajak itu. Kemudian ia
tertawa dan berkata keras,
“Eh, eh, ..... datang lagi tiga orang yang sudah bosan hidup? Ha ha ha! Hari ini aku benarbenar
berpesta pora! Anjing-anjing serigala dibawah jurang yang akan kenyang makan
bangkai manusia.” Setelah berkata demikian, ia lalu mengayun rantai bajanya dan menyerang
dengan hebatnya.
Huang-ho Sam-kui lalu menggerakkan senjata mereka dan sebentar saja Badasingh dikeroyok
tiga oleh Huang-ho Sam-kui yang marah dan menyerang dengan nafsu membunuh itu.
Biarpun dahulu Huang-ho Sam-kui mengeroyok Badasingh bukan hanya mengandalkan
tenaga sendiri, akan tetapi dalam keroyokan campuran itu mereka tidak dapat bergerak
dengan leluasa. Kini karena hanya bertiga, mereka dapat menjalankan pengepungan lebih rapi
lagi, disesuaikan dengan kepandaian mereka. Mereka mengambil kedudukan segi tiga
berdasarkan ilmu silat Sha-kak-kun-hoat (ilmu silat segi tiga) dan menyerang dengan teratur
sekali. Tiap kali Badasingh mendesak seorang pengeroyok, dua orang lain lalu menyerbu dari
kanan kiri. Dengan demikian perhatian raksasa itu terpecah menjadi tiga bagian.
Pertempuran kali ini benar-benar hebat sekali. Badasingh mengamuk bagaikan harimau
terluka. Rantai bajanya berputar-putar merupakan pencabut nyawa yang mengerikan. Tiap
kali ujung rantainya menyambar lawan yang dapat mengelak, maka ujung rantai itu
menyambar batu karang yang pecah berantakan atau kalau mengenai tanah, maka
mengebullah debu tebal ke atas.
Ketiga Huang-ho Sam-kui itu jarang berani mengadu senjata. Karena biarpun dayung mereka
cukup kuat, akan tetapi tiap kali terbentur oleh rantai baja, selalu telapak tangan mereka
tergetar dan panas sehingga banyak bahayanya senjata mereka itu akan terlepas dari
pegangan.
Pada saat mereka bertempur dengan seru mati-matian, Gwat Kong dan rombongannya tiba di
tempat itu. Mereka berhenti dan menonton pertempuran itu dan Gwat Kong berkata perlahan,
“Hmm, tiga orang itu takkan dapat menang!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 313
“Mereka adalah Huang-ho Sam-kui yang pernah kuceritakan padamu,” kata Tin Eng.
Sedangkan kawan-kawan yang lain masih berlari-lari di belakang karena mereka kalah cepat
larinya sedangkan Tin Eng karena digandeng tangannya oleh Gwat Kong ketika lari tadi,
dapat lari lebih cepat dari biasanya.
“Gwat Kong, lihatlah, guha yang di kiri itu adalah guha Kilin. Di situlah Cui Giok terjerumus.
Maka hati-hatilah kau. Jangan sampai Badasingh bersembunyi ke dalam guha itu, karena
kalau ia sudah masuk ke situ, sukarlah untuk menyerangnya.”
Gwat Kong mengangguk. “Kau tunggulah saja di sini bersama kawan-kawan lain dan jangan
membantuku. Juga Huang-ho Sam-kui itu lebih baik kau panggil saja apabila aku sudah
berhadapan dengan raksasa itu.”
Setelah berkata demikian, Gwat Kong mencabut pedang dan sulingnya. Tiba-tiba Tin Eng
memegang tangannya dan ketika ia menengok, gadis itu sambil memandang mesra berkata,
“Gwat Kong, hati-hatilah kau!”
Pemuda itu tersenyum dan mengangguk, kemudian sekali ia berkelebat, tubuhnya telah
melompat dan berdiri di depan guha Kilin.
”Badasingh, akulah lawanmu dan aku pulalah yang akan menamatkan riwayatmu yang penuh
dosa!” katanya nyaring.
Sementara itu, Tin Eng berseru kepada tiga orang pengeroyok itu,
“Sam-wi Tay-ong! Tinggalkanlah siluman itu, biar dihadapi sendiri oleh Kang-lam Ciu-hiap!”
Karena mereka memang sudah merasa kewalahan dan payah menghadapi Badasingh yang
benar-benar kosen, ketiga kepala bajak itu lalu melompat mundur dan berdiri di pinggiran
menonton. Hendak mereka lihat siapa orangnya yang akan berani menghadapi Badasingh
seorang diri saja.
Sementara itu, ketika melihat seorang pemuda dengan pedang di tangan kanan dan suling di
tangan kiri berdiri di depan guha Kilin, Badasingh menjadi marah sekali.
“Bangsat kecil! Kau akan kubunuh lebih dahulu!” Sambil berkata demikian ia menggerakkan
rantai bajanya untuk menghantam kepala Gwat Kong dengan maksud mendesak pemuda itu
mundur ke dalam guha agar terjeblos pula ke bawah jurang. Akan tetapi, seperti taktik Cui
Giok dulu, pemuda ini tidak mengundurkan diri, bahkan mengelak ke kiri sambil menggeser
kaki ke depan lalu menyerang dengan pedangnya.
Badasingh terkejut sekali karena tahu-tahu pedang itu telah menyambar di depan dadanya,
maka ia lalu melompat ke samping dan memutar rantainya sehingga senjata yang bergerak
bagaikan ular itu menyambar tubuh Gwat Kong dari belakang. Namun kini Badasingh benarbenar
menghadapi seorang lawan yang lebih tinggi ilmu kepandaiannya. Disambar oleh rantai
dari belakang arah kakinya itu, Gwat Kong tidak menjadi gugup. Dengan ringan sekali, ia
melompat ke atas dan terus menyerang lagi. Kini menggunakan sulingnya menotok pundak
kiri lawannya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 314
Badasingh melihat datangnya totokan itu hanya dilakukan dengan sebatang suling bambu
yang bolong dan tipis. Di dalam hati mentertawakan lawannya dan sambil mengerahkan
tenaga dalamnya ke arah pundak, ia hendak menyambut suling itu dengan kekebalannya agar
supaya suling itu menjadi patah atau pecah. Akan tetapi ia kecele kalau memandang rendah
suling itu.
Ketika ujung suling itu menotok pundaknya, Badasingh mengeluarkan seruan kaget, karena ia
merasa betapa suling itu mendatangkan rasa sakit pada pundaknya sehingga menembus ke
hulu hatinya. Ia cepat melangkah mundur dan tangan yang memegang rantai baja itu meraba
pundaknya yang sakit sekali.
Sebaliknya, Gwat Kong juga terkejut dan diam-diam memuji karena biarpun sulingnya telah
menotok jalan darah dengan jitu akan tetapi hanya dapat mendatangkan rasa sakit saja dan
tidak mempengaruhi tubuh tinggi besar itu.
Namun Badasingh telah mendapat pelajaran keras dan ia tidak berani memandang rendah lagi.
Ilmu silat pemuda ini benar-benar lihai sekali, bahkan lebih lihai dari pada ilmu pedang gadis
cantik yang telah terjerumus ke dalam jurang. Maka ia berseru keras sambil putar rantai
bajanya untuk mengurung dan membikin jerih lawannya.
Badasingh mendesak Gwat Kong sedemikian rupa dengan maksud agar supaya pemuda itu
merobah kedudukannya sehingga ia dapat berputar dan melompat ke dalam guha. Oleh karena
kalau ia sudah bisa masuk ke dalam guha Kilin, ia dapat memancing pemuda itu
mengikutinya dan menjebaknya ke dalam sumur atau jurang yang dalam itu. Atau setidaknya,
kalau usahanya menjebak tidak berhasil, ia dapat bersembunyi di situ tanpa dapat diganggu
atau diserang oleh lawannya yang amat lihai ini.
Akan tetapi Gwat Kong telah dapat maklum akan maksud ini karena ia telah diberi tahu
tentang rahasia guha itu oleh Tin Eng. Maka sambil mainkan Sin-eng Kiam-hoat dan Sinhong
Tung-hoat di kedua tangannya, ia memutar pedang dan sulingnya sedemikian rupa
sehingga Badasingh tak berdaya sama sekali. Tubuh pemuda ini bagaikan segulung asap
bergulung-gulung dan menyelinap di antara sambaran rantai bajanya, mengirim seranganserangan
maut ke arah bagian tubuh yang berbahaya.
Pertempuran sudah berjalan ratusan jurus dan Badasingh yang luar biasa kuatnya itu biarpun
sejak tadi didesak hebat, namun masih belum menyerah dan melakukan perlawanan matimatian.
Sudah beberapa kali suling Gwat Kong menotok jalan darahnya dan ujung pedang
Sin-eng-kiam melukainya, akan tetapi tubuhnya benar-benar kebal dan kuat sekali sehingga
luka-lukanya itu merupakan luka di luar saja yang tidak berbahaya. Pakaiannya telah penuh
dengan darahnya sendiri dan kini ia bertempur sambil menggereng-gereng bagaikan seekor
binatang buas.
Setelah kehabisan daya dan maklum bahwa kalau dilanjutkan ia akan kalah. Badasingh lalu
mengambil keputusan nekad untuk mengajak pemuda ini mati bersama. Ia menyerang dengan
sambaran rantainya sedemikian rupa dan ketika Gwat Kong mengelak, ia lalu menubruk
sambil pentangkan kedua tangannya.
Gwat Kong terkejut sekali dan cepat menjatuhkan diri ke kiri sambil menggunakan
pedangnya masuk ke dalam lambung lawannya. Akan tetapi Badasingh masih dapat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 315
miringkan tubuh dan dengan nekad tangannya mencengkeram. Pundak kanan Gwat Kong
kena dicengkeram oleh jari-jari tangannya yang berkuku panjang dan raksasa yang telah
mendapatkan luka parah itu hendak menyeretnya untuk bersama-sama masuk ke dalam
sumur. Gwat Kong berlaku tenang dan cepat mengirim tusukan dengan sulingnya ke arah
sambungan tulang pundak lawan.
“Pletak!” remuklah tulang itu dan cengkeraman tangan Badasingh terlepas. Tubuh raksasa itu
terhuyung-huyung ke kiri dan roboh di atas tanah tanpa dapat berkutik pula.
Huang-ho Sam-kui dan lain-lain orang menonton pertempuran dahsyat itu sambil menahan
napas. Louw Lui telah mencari isterinya dan mendapatkan isterinya yang malang itu rebah
pingsan di dalam guha, maka Louw Lui lalu memondongnya dan turun gunung terlebih dulu.
Kini Louw Tek dan Louw Siang serta Tin Eng dan kawan-kawannya berlari menghampiri
Gwat Kong. Ternyata Badasingh telah tewas tak bernyawa pula.
Bab 34 ...
TANPA sungkan-sungkan lagi, Tin Eng memegang tangan Gwat Kong.
“Gwat Kong, kau terluka?” tanyanya sambil memeriksa pundak pemuda itu. Baju Gwat Kong
di bagian pundak itu robek dan kulit pundaknya matang biru akan tetapi tidak terluka parah.
“Jahanam ini benar-benar kuat,” kata Gwat Kong menghela napas. “Akan tetapi aku puas,
sakit hati Cui Giok telah terbalas!”
Louw Tek dan Louw Siang menyatakan kekagumannya terhadap Gwat Kong yang dipujipujinya.
Kemudian untuk menyatakan kegemasan mereka terhadap Badasingh, dengan
dayung mereka sehingga hancur dan mayatnya mereka lemparkan ke dalam jurang di dekat
guha, di mana tadi Badasingh melemparkan tubuh Tong Kak Hwesio. Setelah itu, kedua
kepala bajak itu lalu pamitan dan meninggalkan tempat itu untuk menyusul adik mereka.
“Kita harus bekerja cepat,” kata Gwat Kong kepada Tin Eng. “Rombongan perwira dari
kerajaan tentu akan menyusul kemari dan kalau sampai mereka melihat kita, tentu kita akan
menghadapi pertempuran lagi. Pihak mereka itu bukan lawan ringan, karena di antara mereka
terdapat Liok-te Pat-mo yang lihai.”
Sambil berkata demikian, Gwat Kong terkenang kepada Cui Giok karena tadinya gadis itu
bermaksud mencari Liok-te Pat-mo untuk mengadu kepandaian. Kini gadis itu takkan tercapai
pengharapannya, pikirnya sambil menghela napas sedih.
Mereka lalu mengadakan perundingan dan Tin Eng yang hafal akan isi peta yang dibakarnya,
lalu memberi keterangan.
“Menurut peta itu,” katanya sambil membuat coretan-coretan di atas tanah. “Memang
ditunjukkan bahwa harta terletak di dalam guha Kilin. Akan tetapi ada petunjuk yang
menyatakan bahwa jalan masuk untuk mengambil harta itu adalah dari atas, melalui batu
karang kembar di sebelah kanan guha Kilin. Melihat keadaan guha ini yang isinya hanya
sumur amat dalam, maka tentu jalannya bukan dari situ. Sekarang kita harus mencari batu
karang kembar itu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 316
Ketika mereka mengambil jalan memutar ke sebelah kanan guha itu, benar saja di situ
terdapat sepasang batu karang yang sama bentuk dan ukurannya, maka mereka lalu memanjat
batu karang itu terus ke atas. Gwat Kong dan Tin Eng berjalan di depan, yang lain di
belakang.
Oleh karena petunjuk peta itu menyatakan bahwa tempat harta terletak tepat di guha Kilin,
maka dari atas itu mereka lalu merayap naik ke atas guha Kilin. Aneh sekali, tepat di atas
guha itu terdapat alang-alang yang hijau dan tinggi, seakan-akan merupakan jambul atau
rambut Kilin dan guha itu merupakan mulutnya. Gwat Kong menyingkap rumput alang itu
dan di situlah terdapat sebuah batu licin yang bentuknya bulat.
Ia mencoba mengangkat batu itu, akan tetapi amat beratnya sehingga setelah kawankawannya
membantu, barulah batu itu dapat digeser. Dan ternyata bahwa di bawah batu
terdapat sebuah lubang yang lebarnya kira-kira dua kaki persegi. Karena lubang itu tidak
seberapa dalam, Gwat Kong lalu turun ke bawah dan kakinya menginjak batu karang pula
sedangkan dalamnya lubang itu sampai sebatas lehernya. Ia memandang ke bawah dan
disekelilingnya. Akan tetapi di situ hanya batu karang semua dan tidak terlihat tanda-tanda
lain yang menarik perhatian.
“Tidak ada apa-apa di sini!” kata Gwat Kong.
“Kalau begitu, mari kita pergi saja dari sini,” kata Tin Eng.
“Hatiku tidak enak sekali untuk berada di tempat aneh ini lebih lama lagi. Tempat ini seakanakan
terkutuk dan sudah banyak orang tewas di sini. Apalagi kalau rombongan perwira
kerajaan datang, tentu akan terjadi hal-hal yang mengerikan.”
“Jangan khawatir, Tin Eng!” kata Gwat Kong tersenyum menghibur. “Kita sudah sampai di
sini, masa harus pulang dengan tangan kosong? Bagaimana nanti kau akan menjawab kepada
kedua saudara Phang yang menyerahkan kepercayaan kepadamu? Soal para perwira, jangan
takut, ada aku di sini dan saudara-saudara yang gagah inipun tentu akan membantu.”
Gwat Kong merasa penasaran lalu menggenjot-genjot tubuhnya dan ia berseru heran, “Ah,
lantai yang kuinjak ini dapat bergoyang!” Ia meraba-raba ke kanan kiri. “Tentu ada
rahasianya di sini!”
Pemuda itu menggunakan jari-jari tangannya meraba-raba di sekitar dinding batu karang,
sedangkan kawan-kawannya yang di atas yang tak dapat melihat apa-apa kecuali kepalanya,
memandang sambil menahan napas.
Tiba-tiba jari tangan Gwat Kong meraba sesuatu yang keras dan ternyata benda itu adalah
sebuah gelang besi yang dipasang di dinding itu.
“Ada gelang besi di sini!” katanya gembira. Karena gelang besi itu letaknya agak di bawah
lutut, terpaksa ia merendahkan tubuh dan menekuk lututnya agar tangannya dapat mencapai
gelang itu. Ia memegang erat-erat dan menarik keras. Benda itu tidak bergerak. Ia
mengumpulkan tenaga dan menarik lagi dan .... benda itu dapat bergerak sedikit.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 317
“Aku hampir dapat membuka gelang ini!” katanya dari bawah sambil menahan napas lalu
menarik lagi sekuat tenaga.
Terdengar suara keras dan tiba-tiba batu karang yang diinjaknya itu nyeplos ke kanan
sehingga tubuhnya yang kini tidak menginjak sesuatu lagi, lalu nyeplos ke bawah. Gelang
besar itu terlepas dan Gwat Kong melayang ke bawah. Ia melihat bahwa tubuhnya melayang
terus melalui mulut guha Kilin dan dalam kengeriannya ia berteriak,
“Tin Eng .....!” Akan tetapi tubuhnya terus melayang turun dengan kecepatan hebat yang tak
dapat ditahannya lagi.
“Gwat Kong ....! Gwat Kong .....!” Tin Eng berteriak-teriak, menjerit-jerit memanggil nama
pemuda itu bagaikan seorang gila dan dengan nekad ia lalu melompat ke dalam lubang itu.
Akan tetapi tiba-tiba sepasang tangan menangkapnya dan ia meronta-ronta dalam pelukan Kui
Hwa.
“Biarkan aku menyusulnya. Lepaskan aku, .... lepaskan!” Ia meronta-ronta bahkan memukul
Kui Hwa, akan tetapi kedua saudara Pui membantu Kui Hwa dan memegang kedua tangan
Tin Eng yang menjadi kalap bagaikan orang gila itu.
“Gwat Kong ...! Gwat Kong .... kau dimana??” Suara Tin Eng makin lemah, tangisnya
tersedu-sedu menyayat hati Kui Hwa dan kedua saudara Pui. Kemudian Tin Eng roboh
pingsan tak sadarkan diri lagi.
“Celaka ......!” kata Pui Kiat yang menjenguk ke dalam lubang. Lubang itu sekarang tak
berdasar lagi dan ternyata menembus ke dalam sumur di guha Kilin itu.
Kui Hwa hanya menangis tersedu-sedu sambil memeluki tubuh Tin Eng. Juga Pui Hok tak
dapat menahan air matanya lagi yang mengalir turun. Mereka lalu mengangkat tubuh Tin Eng,
dibawa turun ke depan mulut guha Kilin yang kini merupakan mulut iblis maut yang haus
akan nyawa manusia.
Pada saat itu, serombongan orang berlari naik ke tempat itu. Ketika Kui Hwa dan kedua
suhengnya menengok, ternyata bahwa mereka itu adalah rombongan perwira yang dikepalai
oleh Liok-taijin sendiri. Selain Liok Ong Gun, nampak juga Gan Bu Gi, Liok-te Pat-mo, Seng
Le Hosiang, Bong Bi Sianjin dan perwira-perwira lain yang jumlahnya semua dua puluh
orang.
Mereka memburu ke arah guha itu dan ketika melihat Tin Eng rebah dipangkuan seorang
gadis dalam keadaan tak bergerak seperti mayat. Liok Ong Gun cepat memburu sambil
bertanya gugup,
“Dia kenapakah ......? Anakku Tin Eng ..... kenapakah dia .....?”
Juga lain orang datang mengepung dan memandang dengan heran. Gan Bu Gi dan Bong Bi
Sianjin yang mengenal kepada murid-murid Hoa-san-pai itu, memandang dengan amat
terheran-heran.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 318
“Taijin, jangan khawatir. Anakmu hanya pingsan saja,” kata Kui Hwa dengan tenang sambil
mengerling ke arah Gan Bu Gi dengan pandang mata yang membuat pemuda itu cepat
membuang muka dengan wajah tiba-tiba menjadi merah.
“Nona siapa dan mengapa anakku berada di sini dalam keadaan pingsan?”
“Dia mencari tempat harta pusaka. Kami membantunya juga Kang-lam Ciu-hiap Bun Gwat
Kong.”
“Bangsat itu berada di sini? Mana dia?” tanya Liok Ong Gun.
“Orang yang taijin maki sebagai bangsat itu kini telah tewas dalam membela anakmu. Baru
saja Bun-taihiap memasuki lubang di atas itu, dan ia menyeplos ke bawah, di dalam sumur
maut itu. Tidak ada harta pusaka di sini, yang ada iblis maut telah makan banyak nyawa.”
Setelah berkata demikian, dengan singkat Kui Hwa menuturkan tentang tewasnya Cui Giok,
juga diceritakannya serba singkat tentang Badasingh. Semua orang mendengarkan dengan
penuh keheranan dan kengerian.
“Inilah anakmu, kami tidak ada keperluan lagi di sini!” kata Kui Hwa yang lalu berdiri dan
memberi isyarat kepada kedua suhengnya untuk meninggalkan tempat itu.
“Taijin, mereka ini adalah murid-murid Hoa-san-pai. Kita Harus bunuh mereka!” kata Gan Bu
Gi tiba-tiba ketika melihat tiga orang itu hendak pergi.
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba Kui Hwa berhenti dan memutar tubuh, memandang kepada
pemuda itu dengan mata tajam,
“Orang she Gan, manusia berhati binatang. Kalau kau menghendaki kematianku, cabutlah
pedangmu. Mari kita sama lihat, siapa yang akan mampus di ujung pedang!”
Akan tetapi Liok Ong Gun melangkah ditengah-tengah dan berkata kepada Gan Bu Gi. “Ganciangkun,
betapapun juga, kalau tidak ada nona ini, entah bagaimana nasib anakku.”
Ia menoleh kepada Kui Hwa dan berkata dengan muka menunjukkan betapa kesal dan rusuh
hati serta betapa bosannya menghadapi permusuhan antara kedua cabang persilatan itu.
“Nona, harap kau suka pergi bersama kedua kawanmu. Hatiku sudah cukup menderita.”
Kui Hwa dan kedua suhengnya lalu pergi dari situ. Akan tetapi tiba-tiba Seng Le Hosiang
berkata kepada mereka,
“Hei, anak-anak murid Hoasan. Beritahukan kepada guru-gurumu terutama si sombong Sin
Seng Cu agar mereka jangan lupa untuk pergi ke puncak Thaysan pada permulaan musim
Chun!”
Kui Hwa dan kedua suhengnya belum sempat mendengar cerita Gwat Kong bahwa pemuda
itu telah menemui Pek Tho Sianjin di Hoasan, maka Kui Hwa lalu menjawab,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 319
“Baik, jangan khawatir! Akan kami sampaikan pesan itu!” Mereka bertiga lalu turun gunung
dengan hati mendongkol.
Setelah Tin Eng siuman dari pingsannya dan melihat ayahnya dan para perwira, ia menangis
terisak-isak dengan amat sedihnya.
“Sudahlah, Tin Eng. Jangan menangis. Katakan saja di mana Gwat Kong terjerumus karena
mungkin di situlah tempat harta itu,” kata ayahnya.
Mendengar betapa ayahnya hanya meributkan soal harta terpendam saja dan sama sekali tidak
memperdulikan nasib Gwat Kong, makin hebatlah tangis Tin Eng.
Seng Le Hosiang dapat mengerti perasaan gadis ini, maka ia lalu berkata, “Tidak saja harta
itu, akan tetapi mungkin kita dapat menolong atau setidaknya menemukan jenazahnya.”
Mendengar ucapan ini, terbangunlah semangat Tin Eng. Ia lalu mendekati guha Kilin dan
menuding ke arah sumur, “Disitulah ..... disitulah Cui Giok dan Gwat Kong terjerumus!” Jari
tangannya menggigil dan suaranya gemetar.
“Biar aku memeriksa ke bawah!” kata Ang Sun Tek. Mereka segera mengeluarkan tambang
yang kuat dan amat panjang. Memang rombongan ini sudah mempersiapkan segalanya.
Tambang itu lalu dilepas ke bawah dan diganduli batu. Panjangnya tambang itu tidak kurang
dari seratus kaki. Akan tetapi setelah habis diulur ke bawah, ternyata batu yang
mengandulinya masih dapat digerakkan ke kanan kiri yang berarti bahwa tambang itu masih
belum mencapai dasar sumur.
“Bukan main dalamnya!” kata Ang Sun Tek membelalakkan matanya dengan penuh
kengerian. Sedangkan Tin Eng mendekap mukanya sambil menangis lagi. Tak dapat
diragukan lagi nasib Gwat Kong. Orang yang terjatuh ke dalam tempat sedemikian dalamnya
tentu akan putus nyawanya.
Dibantu oleh kawan-kawannya yang memegang tambang itu di luar sumur, Ang Sun Tek lalu
turun ke bawah melalui tambang. Bagi seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi,
pekerjaan ini amat berbahaya karena tambang itu panjang sekali dan sekali saja pegangan
tangan terlepas sudah jelaslah nasibnya.
Akan tetapi, Ang Sun Tek adalah seorang yang memiliki tenaga daam yang cukup besar.
Maka dengan cepat bagaikan seekor kera, ia meluncur melalui tambang itu ke bawah. Ketika
ia memandang ke bawah, yang nampak hanyalah halimun gelap keputih-putihan dan makin
dalam hawa udara makin dingin sehingga Ang Sun Tek menggigil kedinginan. Akhirnya ia
tiba di ujung tambang karena kakinya menginjak batu kekar pada akhir tambang itu. Benar
saja, batu itu masih tergantung di udara.
Karena keadaan gelap sama sekali dan bukan main dinginnya, Ang Sun Tek tidak mau
berdiam lebih lama lagi di tempat itu, lalu memanjat kembali ke atas dengan cepat. Ia merasa
tak enak dan ngeri sekali. Ketika tiba di atas dan dihujani pertanyaan oleh kawan-kawannya,
ia menarik napas panjang,
“Bukan main dalamnya, dalam, dingin, gelap. Tambang ini masih kurang panjang, kukira
belum setengahnya. Tak mungkin di tempat seperti itu terdapat harta pusaka. Siapa orangnya
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 320
yang menyimpan harta di tempat itu? Seperti lubang neraka. Aku merasa pasti bahwa di
dasarnya tentu air karena halimun bergulung dari bawah dan hawanya amat dingin.”
Tin Eng menahan isaknya dan ia masih saja menangis ketika rombongan ayahnya itu kembali
turun dari gunung. Ia naik kuda dengan lemah tak bergaya sama sekali, lemas lahir batin dan
merasa seakan-akan semangatnya tertinggal bersama Gwat Kong di dalam sumur itu.
****
Pada saat Gwat Kong dan kawan-kawan berada di atas guha Kilin, juga pada saat mereka
masih bercakap-cakap di depan guha, maka suara mereka itu terbawa oleh angin yang
memasuki sumur dan dapat terdengar oleh Cui Giok yang berada di dalam jurang. Memang
sungguh aneh suara dari luar dapat terbawa masuk dan dapat terdengar sampai ke dasar sumur
itu, sungguhpun tidak sangat jelas, bagaikan suara orang dari jauh saja. Sebaliknya suara dari
dalam, sama sekali tak dapat keluar, terbawa kembali oleh angin yang masuk dari atas.
Ketika Gwat Kong berseru di atas guha karena mendapatkan lubang dan gelang besi yang
ditariknya, maka Cui Giok yang mendengar di bawah, di dekat tanah berlumpur di mana ia
terjatuh dahulu, dapat mengenal suaranya. Suara lain orang tak dapat dikenalnya, akan tetapi
suara Gwat Kong biarpun hanya terdengar sayup sampai saja, dapat dia kenal baik.
“Gwat Kong .....!” teriaknya keras ke atas dengan girang sekali.
“Gwat Kong .....!” suaranya kembali merupakan gema yang besar dan menyeramkan.
Percuma saja Cui Giok memekik-mekik dan memanggil-manggil nama Gwat Kong berkalikali,
karena suaranya tak dapat menembus halimun itu bahkan terbawa kembali oleh angin
yang meniup ke bawah.
Ia masih mendengar suara-suara di atas, kemudian terdengar suara keras dan ia mendengar
pula teriakan wanita yang menjerit-jerit memanggil nama Gwat Kong. Ia makin girang karena
tak salah lagi bahwa Gwat Kong telah tiba dan berada di atas. Suara wanita yang memanggilmanggil
Gwat Kong itu adalah Tin Eng yang menjerit-jerit melihat pemuda itu jatuh ke dalam
lubang.
Karena jurang itu benar-benar amat dalam, maka tubuh yang terjerumus ke dalam
membutuhkan waktu lama sebelum mencapai dasarnya.
Seperti juga dulu ketika Cui Giok terjerumus ke bawah, Gwat Kong juga mengerahkan
ginkang dan tenaga dalam untuk melindungi dari benturan hebat pada dinding sumur atau
bantingan pada dasar sumur itu. Akan tetapi, lehernya bagaikan tercekik oleh hawa dingin dan
kelajuan tubuhnya yang meluncur ke bawah membuat ia tak dapat bernapas, maka ia tak
sadarkan diri lagi sebelum tubuhnya mencapai dasar jurang.
Karena suara-suara di atas kini telah lenyap, dan keadaan menjadi sunyi lagi, maka Cui Giok
duduk termenung dan hati yang lebih sunyi. Akan tetapi tiba-tiba ia melompat bangun dengan
mata terbelalak memandang ke atas. Ia melihat sebuah benda panjang turun dari tengahtengah
halimun yang menyusap pandang dari bawah itu. Benda itu terus jatuh ke bawah dan
tepat sekali menimpa tanah berlumpur seperti dulu ketika ia jatuh.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 321
Alangkah kagetnya ketika melihat bahwa benda itu adalah tubuh seorang manusia. Ia
memburu ke depan dan memandang wajah orang yang penuh dengan lumpur karena jatuhnya
dalam kedudukan miring itu.
“Gwat Kong ......!” Untuk beberapa lama Cui Giok berdiri bagaikan patung. Ia takut kalaukalau
ini hanya sebuah mimpi dan mimpi ini akan lenyap kalau ia menggerakkan tubuhnya.
“Gwat Kong .....!” ia berbisik dan tak terasa lagi air mata menitik turun berbaris sepanjang
pipinya. “Be..... benarkah .....???”
Karena air matanya keluar, maka matanya terasa perih sehingga terpaksa ia berkedip.
Alangkah girangnya ketika ia melihat bahwa ini bukan mimpi. Tubuh pemuda itu masih
berada di situ, sungguhpun telah berkali-kali ia berkejap mata. Ia gosok-gosok kedua matanya
dan ketika dibukanya kembali tubuh itu masih berada di tempat itu.
“Gwat Kong .......!” jeritnya penuh perasaan girang, terharu, sedih, lega, campur aduk menjadi
satu. Ia menubruk ke tempat berlumpur itu, mengangkat tubuh Gwat Kong, dibawa keluar
dari lumpur, lalu diletakkan di atas pasir dekat alat penerangan yang dibuatnya secara
sederhana sekali, yakni sumbu terbuat dari robekan pakaian dengan minyak dari lemak
burung dan tempat minyaknya dari batu karang yang dilubangi merupakan mangkok yang
kasar.
“Gwat Kong ....... kau datang ...... menyusulku!” Ia membersihkan muka pemuda itu,
memeluknya, mendekap kepala itu pada dadanya, mencium pipinya dan semua ini dilakukan
sambil menangis, tertawa, menangis lagi.
“Gwat Kong ..... Ya Tuhan, terima kasih ..... Gwat Kong, kekasihku .....!” Tiada hentinya bibir
dara itu berbisik-bisik.
Dapat dibayangkan betapa perasaan gadis itu ketika tiba-tiba melihat pemuda yang
dicintainya berada di situ seakan-akan dilemparkan ke bawah oleh tangan ajaib. Sengaja
dilempar ke bawah agar pemuda itu dapat menemaninya. Tadinya ia merasa bahwa untuk
selama hidupnya ia takkan dapat bertemu dengan manusia lagi, apalagi dengan Gwat Kong.
Oleh karena itu, melihat Gwat Kong, ia merasa seakan-akan seorang yang telah mati dan
jiwanya merana dan terasing di neraka, tiba-tiba bertemu dengan seorang yang selalu
dijadikan kenangan.
Seperti Cui Giok dahulu, pemuda itupun pingsan sampai berapa lama. Cui Giok telah
memetik setangkai daun merah dan karena Gwat Kong masih pingsan, maka ia menjadi amat
bingung dan gelisah. Ia takut kalau-kalau pemuda itu menderita luka berat di bagian dalam
tubuhnya dan lebih-lebih lagi takutnya kalau pemuda itu akan mati.
Pikiran ini membuat ia bergidik. Bagaimana ia harus masukkan daun obat ini kedalam perut
Gwat Kong? Untuk mencampuri dengan air, sukar sekali karena tahu bahwa daun ini kalau
diperas seperti berminyak dan tak dapat campur air.
Dalam kekhawatirannya, Cui Giok mendapat akal. Dalam keadaan seperti itu, ia tidak perlu
merasa malu-malu atau sungkan lagi. Apalagi pemuda itu adalah Gwat Kong, pemuda yang
telah dikasihinya, yang telah menawan hati dan jiwanya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 322
Cui Giok berlutut lagi dan mengangkat kepala Gwat Kong yang lalu dipangkunya. Ia
masukkan daun merah itu ke dalam mulutnya sendiri dan lalu mengunyah daun itu sampai
hancur dan lembut. Kemudian ia merangkul leher Gwat Kong dengan lengan kirinya,
diangkatnya seperti seorang ibu menggendong anaknya. Sedangkan jari-jari tangan kanannya
membuka mulut Gwat Kong lalu ......... ia menundukkan mukanya dan masukkan kunyahan
daun merah itu dari mulutnya ke mulut Gwat Kong.
Ia melakukan hal ini dengan hati tulus dan bersih, tanpa dipengaruhi nafsu birahi sedikitpun,
bagaikan seorang ibu menyusui anaknya, bagaikan seekor burung betina meloloh anaknya,
dengan hanya satu tujuan di dalam pikirannya dan satu kehendak di dalam hati yakni ingin
melihat Gwat Kong terhindar dari pada bahaya maut, maka berhasillah ia memasukkan daun
obat itu ke dalam tubuh Gwat Kong.
Sampai lama Gwat Kong tak sadarkan diri dan selama itu Cui Giok tak pernah
meninggalkannya. Bahkan kepala pemuda itu tak pernah dilepaskan dari pelukannya.
“Gwat Kong ........!” bisiknya berkali-kali memanggil-manggil nama pemuda itu perlahanlahan
di dekat telinganya. Lenyaplah segala keputus harapan, segala kedukaan. Kehadiran
pemuda itu didekatnya membuat tempat yang tadinya seperti neraka berobah menjadi sorga.
Kini ketabahannya timbul kembali. Kegembiraannya hidup lagi. Ia tidak takut mati di situ.
Rela diasingkan selama hidupnya, asal berdua dengan Gwat Kong, pemuda yang dicintainya.
Dengan Gwat Kong disampingnya, jangankan baru penderitaan seperti ini, biarpun harus
memasuki api neraka yang berkobar-kobar mengerikan, ia takkan ragu-ragu, mundur.
“Gwat Kong .......!” kembali ia memanggil mesra sambil mengusap rambut dan jidat pemuda
itu penuh kasih sayang.
Akhirnya Gwat Kong siuman kembali. Ia bergerak dalam pelukan Cui Giok dan hal ini
membuat dara itu tiba-tiba merasa malu. Dengan perlahan dan hati-hati menurunkan kepala
pemuda itu, diletakkan di atas pasir dengan amat perlahan, seakan-akan takut kalau-kalau
gerakannya ini akan menyakitkan Gwat Kong.
Gwat Kong membuka matanya perlahan-lahan. Untuk sesaat lamanya tidak bergerak. Ia
masih bingung dan tidak tahu di mana ia berada. Tubuhnya terasa sakit, akan tetapi sebagai
seorang ahli silat, otomatis ia menahan napas dan mengalirkan jalan darahnya untuk
merasakan apakah ia menderita luka dalam, dan menjadi lega bahwa ia tidak terluka.
Kemudian, dengan mata masih setengah tertutup, ia memusatkan pikirannya dan mengingat.
Tiba-tiba teringatlah ia akan kecelakaan yang telah terjadi itu, dan teringat bahwa ia telah
jatuh ke dalam sumur. Hal ini amat mengejutkan hatinya, dan ketika ia membuka matanya,
cepat ia melompat berdiri. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat seorang gadis bangun
berdiri pula di depannya. Karena matanya masih belum biasa dengan penerangan yang hanya
suram-suram itu, ia tidak melihat wajah gadis itu dengan jelas. Akan tetapi, setelah mengenal
gadis itu, ia menjadi makin terheran-heran.
“Cui Giok .......! Kaukah ini ........???” Ia maju selangkah dan memegang lengan gadis itu.
“Bukankah kau sudah ... sudah mati ....??” Tiba-tiba ia teringat pula akan sesuatu dan
wajahnya berobah menjadi pucat. “Ah, Cui Giok .....aku tahu ....... akupun sudah mati ......!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 323
Apakah ini yang disebut neraka .......?” Ia memandang ke sekelilingnya dengan mata
mengandung kengerian.
Cui Giok merapatkan tubuhnya dan memeluk pundak pemuda itu. “Benar, Gwat Kong!
Dalam pandangan manusia-manusia di luar tempat ini, kau dan aku memang sudah mati!”
“Akan tetapi kita masih hidup. Sungguh aneh ... kita masih hidup!” Gwat Kong berseru
gembira dan seperti orang yang masih belum mau percaya, ia meraba-raba kepala dan lengan
Cui Giok. “Benar. Kau masih hidup dan aku juga.”
Ia memandang ke sekelilingnya lagi, lalu memandang ke atas, dari mana ia terjatuh. “Benarbenar
menakjubkan. Kita berdua jatuh dari tempat yang tak terukur tingginya. Akan tetapi kita
masih hidup. Bahkan aku tidak mendapat luka.”
“Kita terjatuh ditempat itu, Gwat Kong. Tempat itu lunak dan berlumpur. Karena itulah kita
tidak terbanting hancur.” Cui Giok menunjuk ke arah tempat berlumpur di bawah lubang
sumur itu. Gwat Kong lalu mendekat dan memeriksa tempat itu dengan penuh keheranan.
Kemudian ia teringat bahwa Cui Giok sudah seminggu berada di tempat ini, maka dengan
muka berubah pucat, ia menengok dan memandang ke arah gadis itu.
“Cui Giok ... alangkah anehnya! Mengapa kau berada di tempat ini sampai begitu lama!
Bagaimana kau bisa hidup? Dan mengapa pula kau tidak berusaha untuk keluar dari sini?”
“Aku sudah berusaha, akan tetapi sia-sia Gwat Kong. Tidak ada jalan keluar dari tempat ini.
Kita telah terkubur hidup-hidup. Kita telah terasing dari dunia ramai untuk selama-lamanya!”
Wajah Gwat Kong makin memucat. “Tak mungkin!” serunya. “Pasti ada jalan keluar! Harus
ada jalan keluar!”
Bagaikan orang gila, ia lalu berlari-lari mengitari tempat itu, memeriksa batu dinding, bahkan
lalu keluar dari lubang yang digali oleh Cui Giok. Sambil menghela napas, Cui Giok tidak
berkata sesuatu, hanya mengikuti di belakang pemuda itu sambil membawa penerangan.
“Kita harus keluar dari sini! Harus, kataku!” Gwat Kong membentak-bentak sambil
memeriksa seluruh tempat itu.
“Carilah, Gwat Kong. Dan periksalah! Agar kau merasa puas. Akan tetapi sesungguhnya aku
sendiri telah mencari jalan keluar tiada hentinya, tanpa hasil sedikitpun.”
Gwat Kong masih penasaran. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia memeriksa dinding batu,
mencoba untuk menggunakan kepandaiannya memanjat ke atas, mengetuk-ngetuk batu
mencari terowongan. Sampai sehari penuh ia berusaha dan juga pada keesokan harinya
berusaha lagi sampai lupa makan lupa tidur, akan tetapi hasilnya nihil.
Cui Giok selalu menghiburnya. “Mengasolah, Gwat Kong. Kau terlampau lelah. Aku tahu,
tubuhmu masih sakit-sakit karena jatuh itu. Pikiranmu tidak tenang. Kau tidurlah dan
makanlah daging burung ini. Di sini hanya ada daging burung dan buah di luar lereng itu.
Akan tetapi cukup baik untuk mengenyangkan perut.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 324
“Aku, tidak! Aku tidak mau tidur, tidak mau mengaso, tidak ingin makan! Aku harus mencari
jalan keluar. Kau dan aku harus keluar dari neraka ini!” Gwat Kong membandel dan terus
mencari-cari kemungkinan keluar dari tempat itu.
“Kalau begitu, kau telanlah pel ini. Kau dapat bertahan sampai sepekan, kalau kau menelan
pel ini!” Ia memberi sebutir pel pemberian dari Lo Han Sianjin dulu itu. Gwat Kong
menerimanya dan menelannya. Kemudian tanpa mengaso sedikitpun ia mencari lagi. Kini
menggunakan pedangnya untuk berusaha membuat tangga pada batu karang yang tegak lurus
ke atas itu. Batu karang itu amat keras, akan tetapi pedang Sin-eng-kiam memang tajam
sekali.
“Lihat, Cui Giok! Bantulah aku! Dengan pedang, kita dapat membuat lobang pada batu
karang ini sehingga kita dapat membuat tangga ke atas. Asalkan ada tempat untuk berpegang
dan menaruhkan kaki, mengapa kita tidak dapat mendaki ke atas?”
Cui Giok menggelengkan kepalanya. “Takkan ada gunanya, Gwat Kong. Aku pernah
memikirkan hal itu. Apakah ketika jatuh kau tidak terbentur pada pinggiran sumur?”
Gwat Kong menggelengkan kepalanya.
“Aku terbentur pada pinggir sumur berkali-kali,” kata Cui Giok. “Dan pinggir sumur bagian
atas terdiri dari tanah lembek. Memang kita dapat membuat tangga ke atas pada batu-batu
karang yang keras ini, akan tetapi bagaimana kalau sudah sampai di bagian tanah lembek?”
Namun Gwat Kong tidak putus asa dan tetap hendak mencoba! Terpaksa Cui Giok membantu
untuk jangan mengecewakan hati pemuda yang tak mudah tunduk kepada nasib itu. Sampai
sepuluh hari mereka bekerja membuat tangga, terus ke atas. Dan pada hari kesebelas, tepat
sebagaimana dikatakan oleh Cui Giok, batu padat yang keras itu berubah menjadi tanah lihat
yang amat lembek. Tentu saja tak mungkin memanjat naik melalui tanah selembek itu dan
berair pula. Tanah itu akan melesak kalau diinjak dan licinnya bukan main!
Gwat Kong turun lagi ke bawah dan duduk menutup kedua tangannya pada muka dengan hati
sedih sekali. Air matanya tak dapat tertahan pula mengalir keluar melalui celah-celah jari
tangannya.
“Kita tak dapat keluar .... ah, Cui Giok, begini kejamnya nasib mempermainkan kita ...?
Benar-benarkah kita harus mati di tempat ini .......?”
Cui Giok berlutut di sebelahnya dan tanpa malu-malu lagi memeluk lehernya. Hatinya penuh
keharuan. Akan tetapi ia tidak teringat akan kesedihannya sendiri. Ia kasihan melihat Gwat
Kong yang berduka dan berusaha menghiburnya.
“Gwat Kong, mengapa bersedih?”
Gwat Kong menurunkan kedua tangannya dari depan muka. “Cui Giok, alangkah anehnya
pertanyaanmu ini! Kita terkurung di tempat celaka ini untuk selamanya! Tidak ingatkah kau?
Kita takkan bisa keluar, harus tinggal di sini selama hidup kita sampai mati! Apakah hal ini
tidak menyedihkan hatimu?”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 325
Benar-benar Gwat Kong merasa heran ketika melihat dara itu menggelengkan kepala dan
bibirnya bahkan tersenyum. Mula-mula memang aku bersedih, yakni sebelum kau datang!
Akan tetapi sekarang ..... apakah yang kusedihkan? Ada kau di sini! Dan aku .... aku tidak bisa
merasa berduka selama kau di sampingku, Gwat Kong, biar dimana pun kita berada.
Ditengah-tengah api nerakapun asal bersama kau, takkan merasa berduka, bahkan
berbahagia!”
Bukan main terharunya hati Gwat Kong mendengar pengakuan ini. Ia telah tahu bahwa gadis
ini mencintainya, menyinta dengan penuh kasih sayang. Akan tetapi tak pernah mengira
bahwa cinta kasih gadis ini terhadapnya demikian besarnya, demikian suci murninya! Tak
terasa pula ia mengulurkan kedua tangan memeluk gadis itu yang segera menangis di atas
dadanya, sedangkan Gwat Kong sendiri tak dapat menahan sedu sedan yang naik dari
dadanya.
“Cui Giok, kita serahkan nasib kita kepada Thian Yang Maha Agung,” bisiknya perlahan.
****
Berkat hiburan-hiburan dan sikap jenaka dan gembira dari Cui Giok, terhibur jugalah hati
Gwat Kong. Bahkan timbul pula kegembiraannya. Ia menyerahkan nasib sebulatnya kepada
Yang Maha Kuasa dan karena sudah tidak ada jalan keluar lagi, ia hanya mengharapkan
pertolongan yang datang dari luar sumur. Ini bukan hanya pengharapan kosong belaka, oleh
karena ia telah kenal banyak orang gagah di dunia kang-ouw.
Apabila mereka mendengar tentang nasibnya, mustahil kalau mereka tidak datang
menolongnya atau berusaha menolongnya? Ia tak tahu bahwa tak lama semenjak ia
terjerumus ke dalam jurang itu, namanya dan juga nama Cui Giok telah terhapus dari daftar
orang-orang hidup! Semua orang yang mendengar tentang nasibnya itu telah menganggap dia
tewas di bukit itu.
Bab 35 ...
MEREKA berdua tidak kekurangan makan dan kini Gwat Kong dapat menikmati rasa buah
yang berwarna kuning di lereng itu. Buah yang berbau harum dan lezat dan belum pernah ia
makan selama hidupnya. Juga daging burung itu merupakan makanan yang lezat. Mereka
tidak kekurangan air karena di lereng itu terdapat pancuran air yang jernih dan sering kali
mereka menikmati pemandangan yang amat indahnya di luar lobang yang menembus ke
lereng bukit.
Pemandangan yang amat indah dan juga amat mengerikan. Apabila mereka berdiri di depan
lobang itu, memandang ke bawah, mereka merasa seakan-akan mereka berdiri di tengah
angkasa raya, di atas sebuah bintang yang tidak ada tangganya untuk turun kepermukaan
bumi.
Telah setengah bulan Gwat Kong tinggal di tempat itu. Sikap Cui Giok yang amat
menyintainya menggerakkan hatinya. Kalau tadinya ia masih selalu terkenang kepada Tin
Eng, gadis yang lebih dahulu menawan hatinya itu, sekarang ia berusaha melempar kenangan
ini jauh-jauh!
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 326
Ia tahu bahwa mengenangkan Tin Eng adalah satu perbuatan yang amat bodoh dan hanya
akan mendatangkan kesedihan dan gangguan batin belaka. Ia telah terasing, untuk selama
hidupnya tidak ada kemungkinan sedikitpun untuk bertemu kembali dengan Tin Eng atau
dengan siapa yang di dunia ramai. Maka mengenangkan Tin Eng bukanlah pikiran yang sehat.
Bagi Tin Eng, ia sudah mati dan mungkin gadis itupun telah melupakannya, menganggapnya
mati, dan barang kali kawin dengan lain pemuda. Siapa tahu, mungkin Tin Eng akhirnya mau
juga kawin dengan Gan Bu Gi! Ia sama sekali tidak mau memikirkan hal ini.
Dunianya hanyalah dasar sumur dan lereng itu, dunianya terpisah dari dunia ramai, dan kawan
hidup satu-satunya hanya Cui Giok seorang! Seorang kawan hidup yang amat baik budi, gadis
perkasa dan cantik jelita! Kalau dibuat perbandingan, tentu saja hatinya masih condong
kepada Tin Eng dari pada Cui Giok. Karena sebelum ia bertemu dan berkenalan dengan Cui
Giok, terlebih dahulu hatinya telah tertambat kepada Tin Eng.
Cinta pertama tak mudah dilupakan. Akan tetapi diam-diam ia harus mengakui bahwa selain
gagah perkasa, Cui Giok tidak kalah cantiknya dari Tin Eng, dan dalam hal cinta kasih, Cui
Giok nampaknya bahkan lebih besar cintanya dari pada cinta Tin Eng yang belum pernah
dinyatakan itu.
Pada hari ketujuh belas, ketika Gwat Kong dan Cui Giok keluar dari guha itu dan duduk di
lereng bukit menikmati hawa gunung yang sejuk, melihat sepasang burung yang besar terbang
di dekat lereng. Kemudian burung itu hinggap pada cabang pohon di lereng itu, saling
membelai dengan leher dan saling membersihkan bulu kawannya dengan patuk mereka.
Burung itu adalah burung rajawali yang besar dan bagus bulunya.
“Lihat Gwat Kong!” kata Cui Giok sambil menunjuk kepada burung-burung itu. “Alangkah
senangnya hidup mereka, begitu rukun dan saling menyinta!”
Gwat Kong memandang ke arah burung itu kemudian ia menoleh dan menatap wajah Cui
Giok. Pada waktu itu, senja telah mendatang dan angin yang bertiup perlahan membuat
rambut Cui Giok awut-awutan dan sebagian rambutnya yang halus dan panjang itu melambailambai
di depan jidatnya.
“Alangkah cantikmu, Cui Giok ....” Gwat Kong tak terasa berbisik perlahan.
Cui Giok menengok dan pura-pura tidak mendengar bisikan itu. “Apa katamu, Gwat Kong?”
Merahlah wajah pemuda itu. “Alangkah .... indah rambutmu ...”
Kata Cui Giok tersenyum, “Jangan kau mengatakan sesuatu yang berlawanan dengan hatimu.
Rambutku awut-awutan, tak pernah disisir, tak pernah diminyaki sampai berhari-hari.
Bagaimana kau katakan bagus?”
“Akan kubuatkan sisir untukmu, Cui Giok. Sisir dari kayu pohon itu. Kukira aku akan dapat
membuatnya.”
Tiba-tiba Cui Giok bangkit berdiri, tercium bau daging terbakar hangus. “Celaka! Aku sampai
lupa kepada daging panggang itu!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 327
Ia berlari masuk sambil tertawa-tawa, diikuti oleh pandang mata Gwat Kong yang ikut
gembira. Alangkah cantik menarik dara ini, pikirnya. Heran sekali, dahulu belum pernah ada
perasaan demikian. Akan tetapi semenjak ia masuk ke tempat ini, entah mengapa, darahnya
seakan-akan mendidih tiap kali ia mengagumi kecantikan Cui Giok! Belum pernah ia tergoda
oleh kecantikan Cui Giok! Belum pernah ia tergoda oleh kecantikan wanita. Bahkan Tin Eng
sendiri belum pernah datangkan gelora yang demikian menggelombang hebat di sanubarinya.
“Gwat Kong .....!” terdengar panggilan Cui Giok dari dalam dengan nada mesra. “Daging
sudah matang ...! Mari kita makan!”
Gwat Kong tersenyum. Ia merasa seakan-akan ia berada di rumah sendiri, seakan-akan ia
telah membangun sebuah rumah tangga seperti yang sering ia impikan. Ia dahulu sering
bermimpi mempunyai rumah tangga dengan Tin Eng sebagai isterinya. Dan kini, sungguh
aneh ia merasa seakan-akan ia telah berumah tangga dan hidupnya bahagia.
Sambil tersenyum-senyum ia berbangkit berdiri dan masuk ke dalam lubang yang kini
diperlebar merupakan pintu itu. Bahkan Cui Giok telah membuat tirai pada pintu ini dari
selimutnya. Sebelum masuk pintu istimewa ini, Gwat Kong masih sempat melihat sepasang
burung rajawali itu terbang melayang ke atas, mengembangkan sayap mereka yang lebar dan
besar.
Gwat Kong dan Cui Giok menghadapi makan malam yang terdiri dari daging panggang dan
buah dimasak. Baik Gwat Kong maupun Cui Giok tidak tahu bahwa makanan-makanan ini
mengandung zat yang amat baik dan yang menguatkan tubuh mereka. Memang Tuhan Yang
Maha Adil. Buah-buahan yang berada di lereng itu dan daging burung ayam gunung yang
mereka dapatkan, mengandung zat-zat yang amat dibutuhkan oleh tubuh mereka sehingga
biarpun mereka tak pernah dapat makan nasi dan gandum, mereka tetap sehat, bahkan merasa
kuat.
Akan tetapi, mereka juga tidak tahu bahwa makanan itu mengandung zat yang memanaskan
darah, yang membuat darah di tubuh mereka mengalir cepat dan yang mendatangkan
pengaruh merangsang pada hati mereka. Kalau tadi Gwat Kong mengherankan perasaannya
terhadap Cui Giok, maka jawabannya sebetulnya terletak pada makanan yang sedang
dihadapinya dan dimakan bersama Cui Giok itulah! Daging burung itu mempunyai khasiat
yang aneh dan membuat sepasang mata Gwat Kong memancarkan cahaya berseri dan yang
membuat sepasang pipi Cui Giok menjadi makin kemerah-merahan.
Seperti keluarga di dalam sebuah rumah tangga biasa. Sehabis makan Cui Giok mencuci
tempat-tempat makanan yang terbuat dari pada batu itu pada pancuran di luar guha.
Kemudian keduanya duduk pula di lereng, dan pada malam hari itu bulan memancarkan
cahayanya sepenuh dan sebulatnya, mendatangkan pemandangan yang luar biasa indahnya
dan berbareng mendatangkan suasana yang romantis.
Seperti biasa, pada saat seperti itu, kakek tua yang baik hati, yang bersemayam di atas bulan
yang biasa disebut orang tua yang menjadi penghubung perjodohan menurunkan kesaktiannya
melalui cahaya bulan yang keemasan, menyebarkan sihirnya kepada hati-hati orang muda.
Kedua orang muda itu duduk di atas rumput bersandarkan batu karang. Mereka menikmati
keindahan alam itu dengan hati ikhmat, lupa bahwa mereka berada di tempat yang terasing,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 328
lupa akan kesengsaraan mereka. Bahkan hati mereka penuh dengan kegembiraan yang luar
biasa dan yang mereka sendiri tidak tahu apa yang menjadi sebabnya.
“Aduh ......! Alangkah cantiknya bulan!” kata Cui Giok sambil memandang ke atas.
Akan tetapi tidak terdengar jawaban dari Gwat Kong, bahwa pemuda itu tidak bergerak
sedikitpun juga. Biasanya setiap ucapan yang keluar dari mulut Cui Giok selalu mendapat
sambungan dari pemuda itu. Hal ini terasa aneh bagi Cui Giok yang segera menengok
kepadanya.
“Cui Giok .....” terdengar Gwat Kong berbisik dengan suara gemetar. “Jangan gerakan
mukamu ..... jangan menengok ....!”
“Eh eh, kau mengapa, Gwat Kong?” tanya Cui Giok terheran-heran. Akan tetapi ia mentaati
permintaan ini, tetap memandang bulan, sungguhpun matanya mengerling ke arah Gwat
Kong.
“Alangkah cantiknya kau ........! Dengan mendapat sinar bulan sepenuhnya, mukamu bagaikan
menyinarkan cahaya emas! Alangkah indah dan cantikmu, Cui Giok! Bulan sendiri akan malu
terhadapmu .....” Sambil berkata demikian, Gwat Kong mengulur tangannya hendak memeluk
gadis itu.
Cui Giok tiba-tiba tertawa dan mengelak. Sepasang pipinya menjadi makin merah, sampai ke
telinga-telinganya.
“Ah ... kau gila ...!” katanya dan ia lalu melompat dan berlari ke dalam guha.
Gwat Kong juga berdiri dan mengejarnya. Cui Giok hendak berlari terus, akan tetapi kemana?
Kalau saja mereka berada di dunia luar tentu ia akan berlari terus mempermainkan Gwat
Kong. Akan tetapi tempat terkurung oleh dinding batu karang, maka sebentar saja Gwat Kong
telah dapat menangkap tangannya.
“Cui Giok .... kau .... cantik sekali. Aku cinta kepadamu.”
Tiba-tiba Cui Giok berdiri menghadapinya.
“Kau cinta kepadaku? Benarkah? Seperti cintaku kepadamu?? Katakan sekali lagi, Gwat
Kong!”
“Aku cinta padamu, Cui Giok. Demi Thian Yang Maha Suci, demi bulan yang murni, aku
cinta padamu!”
“Kau tidak ingat kepada Tin Eng?”
Bagaikan terserang seekor ular berbisa, Gwat Kong melangkah mundur. Akan tetapi ia
berkata lagi, “Jangan sebut-sebut nama lain di tempat ini, Cui Giok! Dunia kita bukan dunia
orang lain. Di dunia kita hanya ada kau dan aku, orang lain tak masuk hitungan! Agaknya
Thian memang sengaja menjodohkan kita maka kita berada di tempat ini, terpisah dari dunia
ramai. Cui Giok, kita hanya menanti mati di tempat ini. Sebelum kita mati, maukah kau
menjadi isteriku? Kita hidup berdua di tempat ini, akan mati bersama pula di tempat ini ....
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 329
dan kita akan menghadap kepada Giam-lo-ong (Malaikat pencabut nyawa) sebagai suami
isteri! Cui Giok, kekasihku, maukah kau menjadi isteriku?”
Terdengar gadis itu menarik napas panjang. “Tidak ada yang lebih kuingini selain menjadi
isterimu, Gwat Kong. Tak perlu kujelaskan lagi, kau tahu bahwa aku mencintaimu. Akan
tetapi tanpa saksi, tanpa upacara ... ah, bagaimana kita bisa melakukan upacara pernikahan?”
suaranya mengandung isak.
Gwat Kong memegang tangannya dan menariknya keluar dari pintu guha itu.
“Bulan purnama akan menjadi saksi, kekasihku! Dan Thian yang akan memberkahi kita, yang
akan menjodohkan kita, karena Thian pula yang menjadi perantara perjodohan kita .....”
Demikianlah, kedua orang muda itu berjalan keluar guha, dan mereka berlutut dengan penuh
khidmat, mengucapkan sumpah sebagai suami isteri, disaksikan oleh bulan purnama yang
tersenyum-senyum, disaksikan pula oleh angin yang bersilir perlahan menciptakan janji indah
pada daun-daun pohon. Upacara pernikahan yang amat sederhana, tanpa saksi manusia,
sumpah yang diucapkan dengan bibir gemetar dibarengi mengalirnya air mata keharuan
karena merasa betapa mereka hanya berdua saja di dunia ini. Upacara yang paling sederhana,
akan tetapi yang tidak kurang sucinya!
Sepasang orang muda yang senasib sependeritaan, yang sehidup semati terkurung di tempat
terasing, yang sudah yakin bahwa takkan dapat keluar dari situ sampai hayat meninggalkan
badan. Sepasang hati yang menderita sehebat-hebatnya ini akhirnya bertemu, mencari hiburan
satu kepada yang lain saling meminta, saling mengisi.
Dapatkah kedua orang ini disalahkan? Mereka masih muda, darah mereka sedang
menggelora, ditambah pula oleh khasiat makanan-makanan yang luar biasa. Mereka sama
muda, sama elok, sehingga mudah sekali Dewi Asmara memainkan peranan menguasai hati
mereka.
Bagi Cui Giok hal ini sudah sewajarnya, karena semenjak dahulu ia memang mencintai Gwat
Kong, menyinta dengan sepenuh hatinya dengan sesuci jiwanya. Bagi Gwat Kong,
sungguhpun tadinya hatinya sudah tertambat kepada Tin Eng, namun ia juga tertarik kepada
Cui Giok. Ia kagum kepada gadis itu. Ia merasa bersimpati dan ini sudah cukup untuk
membuka hatinya dan untuk menyambut cinta kasih Cui Giok.
Oleh karena itu, sungguhpun dengan amat sederhana, tanpa hio tanpa meja sembahyang,
tanpa wali dan tanpa saksi, upacara pernikahan mereka sudah syah dan sewajarnya. Upacara
pernikahan yang tercipta dari sepasang hati yang saling menyinta, bukan karena nafsu semata,
bukan karena dorongan birahi yang digerakkan oleh iblis. Adakah yang lebih syah dari pada
ini?
****
Setelah menjadi suami isteri, Gwat Kong dan Cui Giok hidup dengan penuh kebahagiaan.
Mereka lupa akan keadaan mereka, lupa bahwa mereka hidup terasing. Dunia ini tak sunyi
bagi mereka. Setiap lambaian bunga, daun dan rumput merupakan gerakan gembira, seakanakan
tarian indah dalam pandangan mata mereka. Setiap suara yang ditimbulkan oleh daunKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 330
daun tertiup angin, kicau burung, api membakar kayu kering, mendatangkan irama lagu yang
amat merdu dan menyedapkan telinga, menyegarkan hati dan perasaan.
Mereka saling menyinta, saling mengasihi, saling menghormat dan saling menjaga. Hidup
mereka hanya mempunyai satu tujuan, bagi Gwat Kong untuk menyenangkan hati Cui Giok
dan bagi Cui Giok untuk membahagiakan suaminya. Apakah yang lebih indah, yang lebih
suci dari perasaan ini?
Mereka mendapatkan lagi kegembiraan mereka, kegembiraan untuk hidup, untuk merawat
diri. Kalau tadinya mereka bersikap masa bodoh, acuh tak acuh terhadap kesehatan tubuh,
kini mereka mulai memperhatikan keadaan diri masing-masing. Bahkan mereka mulai lagi
berlatih silat di tempat itu dan karena tiada pekerjaan lain maka mereka makin maju ilmu
silatnya, dapat menciptakan gerakan pedang yang luar biasa.
Waktu berlalu cepat dan tak terasa sehingga berbulan-bulan telah lewat tanpa terasa lagi.
Mereka telah berdiam di tempat itu sampai enam bulan atau setengah tahun. Waktu yang amat
lama bagi mereka yang bersusah hati, akan tetapi amat cepat bagi yang hidup gembira ria.
Akan tetapi, seperti juga kata pribahasa bahwa tiada gading yang tak retak, yang berarti
bahwa tiada keindahan tanpa cacad, demikianpun tidak ada kebahagiaan yang tak bernoda
oleh kekhawatiran atau kesusahan. Telah sebulan lebih Gwat Kong dan Cui Giok menderita
kecemasan dan kegelisahan. Perasaan ini mereka derita semenjak saat Cui Giok menyatakan
kepada suami bahwa ia telah mengandung!
Ketika mendengar hal itu, untuk sekejap wajah Gwat Kong berseri-seri, sepasang matanya
bercahaya gembira dan ia memeluk isterinya penuh kasih sayang. Akan tetapi, tiba-tiba
pelukannya mengendur dan ia melangkah maju mundur sambil menatap wajah isterinya
dengan muka pucat dan mata terbelalak seakan-akan ia melihat setan di tengah hari!
“Kau, kenapakah?” tanya isterinya cemas.
“Cui Giok .... Ya Tuhan ..... Cui Giok .....” Dan Gwat Kong lalu menjatuhkan diri di atas
tanah dan menangis tersedu-sedu.
Isterinya terkejut sekali dan segera memeluknya. “Suamiku, kau kenapa? Sakitkah tubuhmu?”
Gwat Kong menekan perasaannya dan setelah gelora hatinya menjadi tenang kembali, ia
menggeleng-gelengkan kepalanya. Mukanya nampak sedih sekali.
“Cui Giok, mengapa Thian menghukum kita sampai sedemikian hebat?”
“Mengapa Gwat Kong. Kenapa kau berkata demikian? Bukankah Thian telah memberi berkah
kepada kita? Kita akan mendapatkan seorang putera? Bukankah hal ini yang baik bagi kita?”
Akan tetapi, tiba-tiba Cui Giok bagaikan disadarkan ketika pandang matanya bertemu dengan
pandang mata suaminya. Wajahnya memucat dan tak terasa pula tangan kirinya meraba ke
arah perutnya, lalu ia menangis terisak-isak! Gwat Kong segera memeluk dan menyandarkan
kepala isterinya pada dadanya. Kalau tadi dia yang bersedih dan gelisah, kini ia dapat
menghibur kesusahan hati isterinya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 331
“Sudahlah, Cui Giok!” katanya sambil mengusap-usap rambut isterinya yang bagus. “Marilah
kita pikirkan baik-baik dan mencari jalan yang sebaik-baiknya. Memang amat
menggelisahkan keadaan kita ini. Anak kita akan terlahir di sini dan bagaimanakah kita harus
perbuat? Di tempat ini .... ah, tak kuat aku memikirkan dan membayangkan hal itu.
Bagaimana kau akan melahirkan ? Dan anak kita ... anak kita itu .... bagaimana kita akan
dapat mendidiknya baik-baik? Dan kelak ....!
Sudah berbulan-bulan Gwat Kong menyebut tempat mereka itu sebagai surga dan baru
sekarang terlompat kata-kata “neraka” sebagai sebutan tempat ini! Ah, manusia! Memang
aneh sekali! Apa yang kemaren mendatangkan tawa gembira, ini hari dapat menimbulkan
tangis sedih. Kemaren dianggap sorga, kini dianggap neraka.
Cui Giok tak dapat menjawab, hanya tangisnya makin keras sehingga tubuhnya tergoyanggoyang
dalam pelukan suaminya. Gwat Kong perlu mendapatkan hawa segar, maka dengan
perlahan ia menuntun isterinya keluar dari guha itu, diajak duduk di atas rumput di lereng.
Sampai lama mereka hanya duduk bersanding, saling berpegangan tangan. Kesunyian yang
berbicara. Kesunyian yang membisikan seribu satu macam kata-kata yang semuanya hanya
mendatangkan gelisah dan duka. Bisikan angin pada pohon-pohon yang biasanya merupakan
nyanyian gembira, kini terdengar bagaikan suara tangis memilukan. Kicau-kicau burung yang
tadinya terdengar seperti memuji-muji mereka, kini terdengar seakan-akan mereka itu
mengumpat caci, mengejek dan memperolok-olokan mereka!
Tiba-tiba sepasang burung rajawali yang sering mereka lihat dan yang mereka anggap sebagai
simbol dari keadaan mereka berdua itu, nampak berterbangan di angkasa raya, berputarputaran,
kemudian turun dan hinggap di cabang pohon besar. Melihat betapa lebar dan kuat
sayap mereka yang dapat membawa mereka ke mana saja mereka kehendaki, menimbulkan
cemburu dan iri hati dalam dada Gwat Kong yang masih direbahkan kepala Cui Giok pada
pangkuannya, menangis perlahan-lahan.
Ah, kalau saja aku mempunyai sayap seperti rajawali itu, pikir Gwat Kong. Tiba-tiba ia
memandang pundak Cui Giok diangkatnya kepala isterinya itu, dipandang mukanya yang
basah air mata, kemudian ia menciumi pipi isterinya bagaikan gila!
Cui Giok terheran-heran melihat suaminya tersenyum-senyum gembira dan tiba-tiba merasa
khawatir kalau-kalau suaminya ini telah menjadi gila saking sedihnya.
“Cui Giok ...... mengapa kita begitu bodoh? Mengapa tidak terpikirkan olehku akan hal itu?
Ah. Memang patut sekali aku terhukum di sini sampai setengah tahun karena kebodohanku
ini.
“Apa .... apa maksudmu?”
Gwat Kong menunjuk ke arah sepasang rajawali yang masih bertengger pada cabang itu,
matanya bersinar-sinar girang.
“Kau lihat sepasang rajawali itu! Mereka dapat membawa kita keluar dari tempat ini, mereka
dapat membawa kita kembali ke dunia ramai.”
Cui Giok masih bingung dan tidak mengerti maksud kata-kata suaminya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 332
“Kita bisa menangkap mereka dan memaksa mereka terbang keluar dari sini membawa kita!
Kita dapat mengikat kaki mereka dengan kain dan kalau kita bergantung kepada ikatan itu,
bukankah mereka akan dapat mengantar kita turun?”
“Akan tetapi hal itu amat berbahaya!” seru Cui Giok. “Bagaimana kalau mereka tidak kuat?
Bagaimana kalau kita jatuh ke bawah selagi mereka terbang tinggi?” Cui Giok merasa ngeri.
“Lebih baik begitu!” kata Gwat Kong dengan muka muram. “Lebih baik kita berdua, kita mati
bersama, membawa anak kita pula bersama-sama, dari pada kelak kita harus
meninggalkannya seorang diri di tempat ini!”
Ucapan ini membangunkan semangat Cui Giok. “Baiklah, memang jalan ini yang terbaik.
Mari tangkap mereka!” katanya sambil berdiri.
”Nanti dulu, isteriku. Kalau sampai kita gagal menangkapnya, mereka bisa ketakutan dan
tidak mau datang lagi. Kita harus menanti sampai malam. Biasanya mereka tidur di pohon itu.
Kalau mereka sudah tidur, kita menyergap!”
Demikianlah, sore hari itu, sepasang suami isteri ini telah bersembunyi di balik gerombolan
pohon, menanti datangnya sepasang rajawali itu. Menjelang senja terdengar suara mereka di
angkasa dan tak lama kemudian mereka terbang dan hinggap di cabang pohon besar di mana
kedua suami isteri itu bersembunyi. Gwat Kong dan Cui Giok telah membawa tambang yang
amat kuat, yang mereka buat dari semua pakaian mereka, dipintal dan diperkuat dengan kulit
dan akar pohon di lereng itu.
Sore tadi mereka telah mempelajari dan merundingkan cara menangkap dua ekor burung
besar itu, yakni dengan menyergap, membelitkan tambang pada leher dan kaki binatang itu.
Setelah kedua burung akhirnya tertidur, menyembunyikan kepala mereka di dalam pelukan
sayap, Gwat Kong lalu memberi isyarat dengan tangannya.
Dengan gerakan yang amat cepat, kedua suami isteri itu naik ke pohon. Pekerjaan ini mereka
lakukan dengan mudah, karena pada malam hari itupun bulan bersinar penuh dan terang.
Betapapun mereka berlaku hati-hati, namun kedua burung itu mendengar suara mereka dan
dengan kaget burung-burung itu mengeluarkan kepala dari sayap.
Akan tetapi pada saat itu, bagaikan dua ekor ular, tambang di tangan Gwat Kong dan Cui
Giok meluncur dan membelit kaki kedua burung itu. Ketika kedua burung itu dengan kaget
memukulkan sayap dan mengulur leher, tambang-tambang itu cepat pula membelit leher
mereka dan kedua suami isteri itu lalu melompat ke bawah sambil menarik tambang dengan
kuatnya.
Kedua burung itu meronta-ronta dan alangkah besar tenaga mereka. Kalau saja Gwat Kong
dan Cui Giok tidak memiliki tenaga lweekang yang tinggi, tentu mereka takkan dapat
menahan pemberontakan kedua burung itu. Mereka menggelepar-gelepar dan memukulmukul
dengan sayap. Akan tetapi Gwat Kong dan Cui Giok menggerak-gerakan tambang,
sehingga tambang yang panjang itu akhirnya membelit-belit tubuh burung dan tanpa berdaya
lagi kedua burung rajawali itu di seret ke dalam guha.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 333
“Bagaimana dengan harta pusaka itu?” tanya Cui Giok kepada Gwat Kong setelah mereka
berkemas untuk berangkat pada keesokan harinya.
“Kita bawa saja secukupnya saja. Benda itu sudah banyak menimbulkan mala petaka.”
Demikianlah, mereka hanya membawa masing-masing belasan butir batu permata yang
terbesar. Karena kalau terlalu banyak takut kalau-kalau burung-burung itu takkan kuat
terbang. Sedangkan tidak membawa apa-apapun mereka masih ragu-ragu apakah burung itu
akan kuat membawah tubuh mereka.
Mereka lalu membawa burung itu keluar dari guha. Matahari telah mulai tampak di ufuk
timur, kemerah-merahan dan sinarnya masih belum kuat benar. Mereka mengikatkan kedua
ujung tambang pada kedua kaki burung.
Kedua suami isteri itu saling pandang mesra.
“Cui Giok ......”
“Ya, .....”
“Kalau ... kalau usaha kita ini gagal .....”
“Ya, .....”
“Kalau burung-burung ini tidak kuat dan jatuh bersama kita, hancur lebur menumbuk karang
.....”
“Teruskan suamiku .....” Cui Giok berkata sambil berusaha agar supaya suaranya terdengar
tenang, Akan tetapi tetap saja suaranya menggetar tanda bahwa perasaannya tegang sekali.
“Kalau kita tewas dalam usaha keluar dari neraka ini, kau .... kau tunggulah padaku .... kita ...
kita pergi bersama, ya ....?”
Cui Giok menggigit bibirnya dan menahan keluarnya air mata. Namun tetap saja bulu
matanya menjadi basah dan dua titik air mata masih melompat keluar. Sukar baginya untuk
mengeluarkan kata-kata karena hatinya amat terharu. Mereka harus memegang tambang
menjaga kalau burung itu meronta dan terlepas, maka mereka hanya dapat saling pandang.
Cui Giok menganggukkan kepalanya dan menyusut air matanya dengan menundukkan muka
pada lengan bajunya, karena kedua tangannya digunakan untuk memegang tambang itu.
“Mari kita berangkat, Cui Giok!”
Mereka lalu berbareng melepaskan tambang yang membelit sayap dan leher burung.
Kedua burung itu menggerak-gerakan sepasang sayapnya. Agaknya terasa kaku sayap-sayap
mereka karena terbelenggu semalam suntuk. Mereka mengeluarkan teriakan keras seakanakan
merasa girang terlepas dari belenggu itu. Kemudian mengembangkan sayap dan ......
melompatlah mereka dari pinggir jurang yang luar biasa tingginya itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 334
“Cui Giok, selamat berpisah, isteriku .... kekasihku ...!” Gwat Kong masih sempat berteriak
ketika merasa tubuhnya dibawa terbang.
“Selamat sampai bertemu pula, suamiku ... aku cinta padamu!” Cui Giok juga berseru keras,
karena burung yang membawanya melompat itu berpisah dengan burung yang membawa
Gwat Kong.
Kedua burung itu agaknya merasa bingung ketika merasa betapa kaki mereka digantungi
tubuh manusia yang amat berat itu. Mereka hendak terbawa oleh berat beban itu turun akan
tetapi mereka mengerahkan tenaga pada sayap mereka sehingga masih dapat juga mereka
bertahan. Akan tetapi mereka bingung dan ketakutan, memekik-mekik dan terbang tidak
karuan jurusannya! Sayap mereka berbunyi ketika dengan kuatnya sayap itu memukul udara,
menjaga tubuh mereka terbawa turun oleh beratnya tubuh yang bergantung kepada kakinya.
Gwat Kong melihat betapa burung yang membawa isterinya itu terbang ke lain jurusan, yakni
ke arah utara. Sedangkan burung yang menerbangkannya menuju ke timur. Makin lama
burung itu terbang makin rendah karena sesungguhnya beban itu terlampau berat baginya.
Hal inilah yang diharapkan oleh Gwat Kong dan yang memang telah diperhitungkannya. Ia
tidak memperhatikan sekelilingnya, karena perhatiannya ditujukan kepada burung yang
membawa isterinya. Oleh karena tubuh isterinya lebih ringan, maka burung yang
menerbangkan isterinya itu lebih cepat gerakannya dan sebentar saja burung itu lenyap di
utara.
Tak karuanlah rasa hati Gwat Kong melihat hal itu. Ia terpisah dari Cui Giok, akan tetapi ia
masih memperhatikan ke jurusan itu, karena kalau ia dapat selamat mendarat di atas bumi, ia
akan menyusul dan mencari isterinya itu.
Ketika memandang ke bawah maka bukan main besar hatinya. Pohon-pohon yang tadinya
dari atas lereng itu nampak seperti rumput, kini telah nampak nyata. Makin lama makin besar
dan gerakan sayap rajawali itu makin lemah. Tubuhnya makin rendah meluncur ke bawah.
Burung ini agaknya maklum bahwa ia tidak kuat melanjutkan penerbangannya dan kini
menukik ke bawah dengan mengulur lehernya rendah-rendah, yang tujuannya ialah kelompok
pohon-pohon di bawah itu, agaknya sebuah hutan.
Dengan hati berdebar karena tegang, Gwat Kong bersiap sedia. Ia hanya dapat berdoa,
mudah-mudahan burung itu cukup mempunyai kekuatan untuk mendarat aman. Ternyata
doanya terkabul, burung itu kini berada di atas pohon-pohon yang tadinya nampak kecil.
Ternyata mereka berada di atas sebuah hutan yang amat liar, penuh dengan pohon-pohon
besar. Setelah burung itu terbang dekat di atas puncak pohon sehingga daun-daun pohon
bergerak-gerak terkena tiupan sayapnya. Gwat Kong lalu melepaskan tambang yang
dipegangnya dan melompat ke arah pohon itu. Bagaikan batu dilontarkan, tubuhnya masuk ke
dalam daun-daun pohon dan dengan sigap ia dapat menangkap sebatang cabang dan
bergantung di situ. Kemudian ia turun dengan perlahan.
Setelah ia menginjak bumi, tak tahan lagi Gwat Kong lalu berlutut dan menciumi tanah dan
rumput. Alangkah bahagianya dapat berada dipermukaan bumi lagi, dapat berdiri di atas tanah
yang tercinta, seakan-akan kembali kepangkuan ibu yang amat mengasihinya, yang
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 335
mendatangkan rasa aman sentosa. Ia merasa seakan-akan baru bangkit kembali dari lobang
kubur.
Setelah dapat menenangkan hatinya, ia memandang ke arah burung yang kini bertengger di
cabang pohon dengan kedua kaki gemetar karena lelah.
“Terima kasih burung yang mulia!” kata Gwat Kong kepada burung itu.
Kemudian ia teringat kepada Cui Giok. Tanpa membuang waktu lagi ia segera berlari cepat
menuju ke utara. Sambil berlari cepat, ia berdoa memohon kepada Thian agar supaya isterinya
itu dilindungi dan juga mendarat dengan selamat seperti dia. Ia teringat akan ucapan mereka
yang terakhir ketika akan berpisah tadi.
“Cui Giok, kalau kau tewas, akupun akan menyusulmu!” demikian ia berbisik sambil berlari
terus. Ia keluar dari hutan itu dan ternyata bahwa ia telah mendarat di atas sebuah bukit. Ia
terus berlari-lari ke arah utara. Akan tetapi betapapun ia mencari-cari ke atas dan ke bawah, ia
tidak melihat burung rajawali yang membawa isterinya. Hatinya mulai gelisah, dan larinya
dipercepat
Ia sudah turun dari bukit itu dan kini mendaki bukit lain yang berada di sebelah utara bukit
tadi. Kemanakah ia harus mencari? Di manakah burung yang membawa isterinya itu
mendarat? Hatinya berdebar cemas.
Tanpa memikirkan apa-apa lagi, Gwat Kong mencari terus. Terus mencari sambil berlari-lari,
ke sana ke mari. Bahkan kadang-kadang ia menjerit-jerit dan memanggil nama isterinya.
“Cui Giok ....! Cui Giok .......!”
Akan tetapi tidak ada yang menyahut, hanya burung-burung kecil di pohon-pohon
berterbangan karena kaget.
Ia tiba di sebuah dusun. Orang-orang dusun itu heran melihat seorang pemuda yang
pakaiannya compang camping berlari-lari cepat bagaikan kijang.
“Adakah kalian melihat seekor burung rajawali terbang di atas kampung ini?” tanya seorang
pemuda itu berkali-kali kepada siapa saja yang dijumpainya di jalan.
Orang-orang dusun itu menggeleng kepala. Tidak saja mereka tak melihat burung rajawali
bahkan mereka lalu menganggap Gwat Kong seorang yang miring otaknya. Gwat Kong tidak
memperdulikan pandangan orang-orang kepadanya, lalu berlari lagi cepat-cepat ke utara, tak
memperdulikan sesuatu. Ia harus dapat mencari isterinya yang tercinta.
“Cui Giok .........! Cui Giok .............!” suara panggilannya ini terdengar sampai jauh malam
sehingga orang-orang kampung yang mendengar ini merasa heran dan menggelengkan kepala,
kasihan kepada orang muda yang mereka sangka gila itu. Memang Gwat Kong seperti telah
menjadi gila. Ia berlari-lari terus ke sana ke mari, mencari-cari Cui Giok sambil memanggilmanggil,
kemudian melanjutkan larinya ke utara.
****
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 336
Kita tinggalkan dulu Gwat Kong yang mencari isterinya bagaikan gila itu dan marilah kita
menengok Tin Eng yang sudah lama kita tinggalkan. Semenjak di bawa turun dari Hong-san
oleh ayahnya dan menganggap bahwa Gwat Kong yang terjerumus ke dalam jurang itu sudah
tewas, Tin Eng seakan-akan berubah menjadi seorang gadis lain. Kalau dahulu wataknya
gembira dan jenaka, kini ia berubah pendiam, tak mau banyak bicara dan wajahnya yang
cantik itu selalu muram.
Setibanya di rumah, ia menyembunyikan diri di dalam kamarnya. Jarang sekali mau keluar
dan ia lebih suka membaca kitab kuno atau menyulam, atau ..... termenung. Baru sekarang
setelah Gwat Kong tewas, ia merasa betapa besar ia menyinta pemuda itu, dan alangkah
menyesalnya bahwa ia tidak menyatakan perasaan hatinya kepada pemuda itu dulu-dulu
sebelum Gwat Kong tewas. Ia maklum betapa besarnya cinta kasih Gwat Kong kepadanya,
sehingga pemuda itu rela menjadi pelayan yang rendah sampai bertahun-tahun, hanya untuk
dapat dekat dengan dia.
“Gwat Kong .....!” seringkali ia menyebut nama ini sambil menghela napas dan hatinya terasa
makin patah.
Betapapun besar gemas dan marahnya hati Liok Ong Gun karena kebandelan Tin Eng yang
sudah berkali-kali membantah kehendak ayahnya dan sudah dua kali melarikan diri dari
rumah sehingga setidaknya mendatangkan rasa malu kepadanya, namun sebagai seorang ayah
yang hanya mempunyai anak tunggal, Liok-taijin merasa gelisah dan kasihan juga melihat
keadaan anaknya itu. Terutama sekali nyonya Liok dengan segala daya upaya ia mencoba
untuk menghibur hati anaknya.
“Tin Eng, mengapa kau selalu nampak susah hati sehingga membikin orang tuamu ikut
merasa bingung dan susah?” kata Liok-taijin pada suatu hari ketika ia bersama isterinya
mengunjungi kamar anaknya. “Gwat Kong sudah tewas dalam kecelakaan, untuk apa kau
berkabung untuk seorang yang tidak ada hubungannya dengan kita?”
“Aku cinta kepadanya, ayah,” jawab Tin Eng sambil menundukkan mukanya.
Kalau dulu Tin Eng berani mengucapkan pengakuan seperti ini, tentu Liok-taijin akan
menjadi marah sekali. Akan tetapi pemuda itu telah mati, maka ia hanya memandang dengan
penasaran dan berkata,
“Sungguh kau memalukan hatiku, Tin Eng! Kau menyinta seorang pemuda bekas pelayan,
seorang yatim piatu yang tidak diketahui siapa orang tuanya, seorang pemuda keturunan
rendah?”
“Ayah,” kata Tin Eng sambil mengangkat mukanya, memandang ayahnya dengan berani,
“aku tidak mengukur kemuliaan hati seseorang dari pangkat dan kedudukannya. Gwat Kong
seorang pemuda berhati mulia. Dapatkah ayah menyangkal bahwa selama ia bekerja di sini, ia
melakukan sesuatu yang tidak baik? Bukankah ia selalu jujur, sopan-santun dan setia?”
“Betul, ... betul ....... akan tetapi ........”
“Akan tetapi ayah masih menganggap dia seorang rendah! Ayah tahu, bahwa Bun Gwat Kong
itu sebenarnya adalah putera tunggal dari mendiang Bun-tihu yang terkenal adil dan jujur di
kota Lam-hwat!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 337
Benar-benar tercengang Liok-taijin mendengar ini. Ia sudah mendengar dan tahu akan nama
Bun-tihu. “Mengapa, kau tidak menceritakan hal ini dahulu! Akan tetapi .... ah apa gunanya
kita mempercakapkan keadaan Gwat Kong? Dia sudah meninggal dunia, tak perlu dipikirkan
lagi. Kau harus dapat menginsafi keadaan dan melihat kenyataan. Kau harus siap pula
menghadapi pernikahan dengan Gan-ciangkun.”
“Ayah ......!”
“Tin Eng,” kata ibunya. “Ayah dan ibumu sudah tua, kau sudah cukup dewasa. Bahkan sudah
lebih dari cukup usiamu untuk menikah. Aku dan ayahmu ingin sekali melihat kau berumah
tangga dan hidup bahagia. Kau hanya sekali ini dapat berlaku bakti dan menyenangkan hati
orang tuamu, nak.” Suara nyonya Liok tergetar karena keharuan hatinya sehingga Tin Eng
ikut pula terharu. Ia memeluk ibunya dan menangis.
“Ibu, aku tidak ingin menikah biar dengan siapapun juga.”
“Tin Eng, benar-benarkah kau hendak menjadi seorang anak tunggal yang puthauw (tidak
berbakti), yang menghancurkan kebahagiaan ayah-ibumu sendiri?” kata Liok Ong Gun.
Mendengar ucapan ini, Tin Eng hanya bisa menangis, kemudian ia memaksakan diri berkata,
“Betapapun juga, ayah. Berilah waktu kepadaku, berilah waktu setahun lagi!”
“Setahun? Terlalu lama, anakku. Kau harus tahu bahwa yang menjadi perantara adalah
susiok-couw! Pernikahan dilangsungkan setelah selesai diadakan pibu antara Go-bi-pai dan
Hoa-san-pai!”
Tin Eng terkejut. Hampir ia lupa akan hal itu. Telah menjadi cita-citanya dan cita-cita Gwat
Kong untuk berusaha mendamaikan antara dua cabang persilatan ini. Kini cita-cita ini harus ia
lanjutkan, biarpun kepandaiannya tidak mencukupi. Ia dapat bekerja sama dengan Kui Hwa
yang tentu akan datang di tempat itu juga.
“Ayah, bilakah diadakan pibu itu?”
“Apakah kau sudah lupa? Pada permulaan musim Chun, jadi kira-kira sepekan lagi.”
“Apakah ayah juga ikut ke sana?”
“Tentu saja, kita harus kalahkan orang-orang yang sombong.”
“Ayah, aku ikut!”
“Eh??” Liok Ong Gun ragu-ragu karena ia telah melihat betapa puterinya ini bersahabat
dengan orang-orang Hoa-san-pai. “Untuk apa kau ikut?”
“Ayah, aku ingin menonton adanya pibu itu. Ayah harus perbolehkan aku ikut kali ini. Kalau
tidak, aku akan rewel lagi dan takkan menurut kehendakmu.”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 338
Terpaksa pembesar itu meluluskan permintaan Tin Eng. Diam-diam pihak Go-bi-pai telah
bersekutu dengan banyak orang. Tidak saja mendapat bantuan dari Kim-san-pai, yakni Gan
Bu Gi dan suhunya, juga suhengnya akan tetapi pihak Go-bi-pai dengan perantaraan dan
pengaruh Liok-taijin telah dapat bantuan dari perwira-perwira kota raja termasuk Liok-taijin
pun! Bahkan Liok-taijin telah menyanggupi permintaan susiok-couwnya untuk bertemu di
puncak Thay-san dan membawa sepasukan perwira Sayap Garuda.
Beberapa hari kemudian, berangkatlah pasukan Liok-taijin dan Tin Eng ikut dalam
rombongan yang berkuda itu. Mereka menuju ke utara dan melakukan perjalanan dengan
cepat.
Pihak Go-bi-pai dan pihak Hoa-san-pai tidak mengira bahwa tokoh-tokoh besar mereka, yakni
ketua Go-bi-pai sendiri, Thay Yang Losu dan ketua Hoa-san-pai, Pek Tho Sianjin akan datang
sendiri ke tempat itu bukan untuk mengadu kepandaian, melainkan untuk mendamaikan
murid-muridnya. Hanya Sin Seng Cu seorang yang mengetahui akan hal ini, karena ketika
Gwat Kong datang menghadap Pek Tho Sianjin, ia hadir pula di puncak Hoa-san-pai.
Demikianlah, setelah kedua rombongan yang bermusuhan itu berkumpul di puncak Thay-san
dan keadaan menjadi tegang oleh karena anak murid kedua pihak sudah merasa “panas”.
Tiba-tiba berkelebat tiga bayangan dan tahu-tahu tiga orang kakek telah berada di tengahtengah
mereka. Mereka bertiga ini bukan lain ialah Thay Yang Losu ketua Go-bi-pai, Pek Tho
Sianjin ketua Hoa-san-pai dan Bok Kwi Sianjin ahli Sin-hong-tung-hoat yang bertindak
sebagai pendamai.
Bab 36 ...
MELIHAT ketua mereka, tentu saja kedua pihak terkejut dan semua orang lalu berlutut.
“Murid Go-bi-pai semua yang hadir di sini!” terdengar Thay Yang Losu berkata dengan
suaranya yang sabar, akan tetapi berpengaruh. “Pinceng sudah maklum akan maksud kalian
mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan dari Hoa-san-pai. Semua ini adalah gara-gara
murid Seng Le Hosiang yang biarpun sudah tua akan tetapi masih saja tidak dapat
mengendalikan nafsu hatinya! Dengan perbuatan ini, mengadakan permusuhan dan pibu
dengan golongan lain tanpa memberitahu kepada pinceng, kalian telah melakukan
pelanggaran besar. Mulai sekarang, segala permusuhan pihak manapun juga harus dibikin
habis! Segala peristiwa yang terjadi, yang timbul karena urusan pribadi antara anak murid Gobi-
pai dan anak murid Hoa-san-pai, harus diselesaikan dengan cara damai, atau kalau tidak
mungkin, akan diadili oleh ketua Go-bi-pai dan Hoa-san-pai sendiri. Siapa di antara kalian
yang berani melanggar, pinceng akan turun tangan melakukan hukuman dan pelanggarannya
takkan diaku sebagai anak murid Go-bi-pai lagi. Pinceng selesai bicara, supaya menjadi
perhatian!”
Kini Pek Tho Sianjin yang maju dan berkata dengan suaranya yang tinggi. “Juga kepada
semua anak murid kami dari Hoa-san-pai hendaknya diperhatikan baik-baik apa yang pinceng
akan ucapkan ini. Sesungguhnya kalian semua hanya terbawa-bawa oleh nafsu dan kekerasan
hati Sin Seng Cu, kakek yang sudah berobah menjadi anak kecil ini. Maka, sebagaimana yang
kalian dengar diucapkan oleh Thay Yang Losu, mulai saat ini segala permusuhan dihabiskan
dan dibubarkan. Pinto mengharap kepada kedua pihak, apabila melihat perbuatan-perbuatan
yang melanggar perikemanusiaan atau melanggar watak seorang gagah, baik pelanggar itu
anak murid Go-bi-pai, janganlah hendaknya turun tangan sendiri sehingga menimbulkan
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 339
permusuhan, akan tetapi laporkanlah kepada kami yang wajib menghukum anak murid yang
murtad dan menyeleweng! Untungnya ada Bok Kwi Sianjin yang memberitahukan kepada
pinto dan kepada Thay Yang Losu. Kalau tidak, bukankah hari ini akan terjadi banjir darah di
tempat suci ini?”
Semua anak murid Go-bi-pai dan Hoa-san-pai tentu saja tidak berani membantah atau
membuka mulut mendengar ucapan-ucapan ketua mereka. Bahkan yang mereka tadinya sudah
panas hati dan gatal tangan, kini bungkam dan menundukkan muka tak berani berkutik!
Hanya mereka yang hanya terbawa-bawa dan pada lubuk hatinya tidak menyetujui
permusuhan ini, menjadi lega dan girang.
Bok Kwi Sianjin lalu berkata sambil tertawa bergelak.
“Bagus, bagus! Memang Go-bi-pai dan Hoa-san-pai adalah dua cabang persilatan yang besar
dan anak-anak muridnya terkenal gagah perkasa dan menjunjung tinggi pribadi dan kebajikan.
Mereka ini masih dapat dimaafkan dengan adanya permusuhan ini karena masing-masing
tidak dapat menahan nafsu hati! Akan tetapi yang paling menyebalkan adalah orang-orang
yang ikut membonceng dalam pertikaian ini, pihak-pihak ketiga yang memancing ikan di air
keruh yang mempergunakan kerusuhan ini untuk mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.
Orang-orang macam itu, kalau ada di sini sungguh-sungguh patut disesalkan!”
Bong Bi Sianjin yang berada di situ menjadi marah sekali karena ia merasa disindir hebat.
Mukanya sudah menjadi merah dan ia telah bergerak hendak menyerang Bok Kwi Sianjin.
Akan tetapi Seng Le Hosiang selain maklum akan kelihaian Bok Kwi Sianjin juga Bong Bi
Sianjin adalah sahabat dan pembantunya. Maka kalau orang tua ini sampai bergerak turun
tangan menimbulkan kekacauan, tentu dia sendiri juga akan terbawa-bawa dan mendapat
hukuman dari supeknya, yakni Thay Yang Losu.
Demikianlah maka segala pertempuran dapat dicegah dan masing-masing lalu turun kembali
dari bukit itu untuk kembali ke tempat masing-masing. Pada kesempatan itu, Tin Eng yang
melihat Kui Hwa hadir pula di situ bersama Pui Kiat dan Pui Hok, lalu menghampiri gadis itu
dan mereka berpelukan dengan girang.
“Enci Kui Hwa, biarpun permusuhan ini telah dapat didamaikan dengan baik, akan tetapi
masih ada satu hal yang amat mengganggu hati dan pikiranku. Ketahuilah bahwa ayah
memaksaku untuk menikah dengan Gan Bu Gi!”
Kui Hwa menjadi pucat mendengar hal ini.
“Jangan takut adikku. Biar aku yang bicara dengan ayahmu!” Setelah berkata demikian,
dengan langkah lebar, Kui Hwa lalu menghampiri Liok-taijin. Tin Eng hanya melihat betapa
Kui Hwa bicara dengan muka merah kepada ayahnya dan melihat ayahnya nampak terkejut
sekali dan pucat.
Kui Hwa menghampiri Tin Eng dan memeluknya. “Adikku, jangan kau khawatir. Kalau
terjadi kau dipaksa menikah dengan Gan Bu Gi, aku yang akan datang menggagalkan
pernikahan itu. Akan kubongkar rahasia pemuda keparat itu. Akan tetapi mudah-mudahan
ayahmu dapat melihat kenyataan yang telah kuceritakan kepadanya.” Setelah itu, Kui Hwa
bersama kawan-kawannya, anak murid-murid Hoa-san-pai yang lain, lalu meninggalkan
tempat itu.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 340
Demikianlah rombongan Liok-taijin kembali ke Kiang-sui. Bong Bi Sianjin pergi bersama
Seng Le Hosiang dan Gan Bu Gi yang termasuk anggota rombongan Liok-taijin, melarikan
kudanya sejajar dengan Tin Eng. Tin Eng melihat betapa ayahnya melarikan kudanya dengan
cepat mendahului rombongannya. Agaknya amat tergesa-gesa untuk sampai di rumah. Wajah
orang tua ini nampak suram sehingga Tin Eng dapat menduga bahwa tentu ada apa-apa yang
dipikirkan oleh ayahnya, maka heranlah ia apa gerangan yang telah diucapkan oleh Kui Hwa
kepada ayahnya.
Ketika Tin Eng hendak mempercepat jalan kudanya menyusul ayahnya, tiba-tiba Gan Bu Gi
yang melarikan kuda di sisinya itu berkata,
“Tin Eng, nona ..... perlahan dulu, aku hendak bicara denganmu.”
Terpaksa gadis itu menahan kudanya.
“Ada apakah?” tanyanya kaku.
“Nona,” kata Gan Bu Gi sambil menghentikan kudanya sehingga Tin Eng terpaksa
menghentikan kudanya pula. “Permusuhan telah habis, keadaan sudah damai, sungguh
menyenangkan hatiku. Kita telah melakukan perjalanan bersama, maka kesempatan ini jangan
kita sia-siakan. Marilah kita mengambil jalan memutar untuk melihat-lihat pemandangan dan
bercakap-cakap.
“Apa maksudmu? Aku tidak ingin bersama kau? Aku hendak menyusul ayahku.”
“Nona Tin Eng, mengapa kau begitu kasar dan galak terhadap aku? Bukankah kita sudah
bertunangan dan sebentar lagi akan menikah?”
“Cih! Siapa sudi menikah dengan kau?”
“Ha, kau ternyata masih menyinta seorang yang sudah mampus!” Gan Bu Gi menyindir.
“Tutup mulutmu! Kau tidak berhak menyebut-nyebut nama Gwat Kong!”
Tin Eng memandang marah. “Memang, aku menyinta Gwat Kong! Tak perduli ia sudah mati
atau belum. Aku menyinta dia. Dia seribu kali lebih berharga dari pada kau!”
“Ha ha ha! Beberapa bulan lagi, kalau kau sudah menjadi isteriku, kau akan lupa sama sekali
kepada Gwat Kong! Ha ha!”
Akan tetapi Tin Eng tidak menjawab, hanya segera melarikan kudanya dengan cepat
menyusul ayahnya dan rombongan itu. Sambil tertawa-tawa Gan Bu Gi juga melarikan
kudanya menyusul rombongan.
****
Tin Eng dan Gan Bu Gi sama sekali tak pernah mimpi bahwa percakapan mereka tadi dilihat
dan didengarkan orang. Seorang pemuda dengan pakaian compang-camping dan wajah kusut
mengintai dari balik pohon besar. Orang ini bukan lain adalah Gwat Kong.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 341
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Gwat Kong setelah dapat “mendarat” dengan
selamat dari penerbangannya dengan burung rajawali, segera mencari isterinya, Cui Giok. Ia
terus menuju ke utara dan dalam usahanya mencari Cui Giok ini, tiba-tiba di dalam hutan itu
ia melihat rombongan Liok-taijin yang baru pulang dari Thay-san. Ia segera menyembunyikan
diri dan ketika ia melihat Tin Eng berada dalam rombongan itu, wajahnya menjadi pucat dan
dadanya berdebar-debar.
Alangkah kurusnya Tin Eng, pikirnya dengan hati tidak karuan rasa. Terharu, girang, sedih,
semua perasaan tercampur aduk di dalam hatinya, akan tetapi yang terbesar adalah perasaan
cinta kasih dan kasihan. Melihat dara pujaannya itu, timbul kembali cinta kasihnya yang
sudah terpendam. Melihat mata yang jeli itu, bibir yang masih merah biarpun mukanya
sedang marah dan kurus.
Ia mengaku bahwa sesungguhnya rasa cinta kasihnya terhadap Tin Eng tak pernah padam!
Cinta kasihnya dahulu terpendam karena ketika berada di dalam guha itu merasa putus
harapan untuk dapat bertemu kembali. Hal ini menggelisahkan hatinya. Akan tetapi ketika
melihat Tin Eng naik kuda disampingnya Gan Bu Gi, ia menghibur diri sendiri dengan dugaan
bahwa Tin Eng tentu telah menjadi nyonya Gan Bu Gi.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tanpa disengaja, kebetulan sekali, ia mendengar
percakapan antara Tin Eng dan Gan Bu Gi. Celaka, pikirnya, Tin Eng masih menyintainya,
mati atau hidup. Ia amat terharu, dan ingin sekali ia melompat keluar untuk menampar mulut
Gan Bu Gi yang berani mempermainkan gadis yang dicintainya itu. Akan tetapi ia teringat
kepada isterinya. Ia sudah menjadi suami lain orang dan Cui Giok demikian mulia, demikian
berbudi, setia dan merupakan seorang isteri setia.
Ketika Tin Eng dan Gan Bu Gi sudah lama pergi, Gwat Kong masih saja berdiri diam
bagaikan patung. Ia merasa menyesal dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana ia masih dapat
mempunyai perasaan cinta kepada Tin Eng, sedangkan ia telah menjadi suami Cui Giok.
Bahkan hampir menjadi ayah? Ingin ia pukul kepalanya sendiri.
“Aku harus mendapatkan kembali Cui Giok!” bisiknya. “Aku harus bertemu dengan dia dan
melupakan Tin Eng, tidak boleh bertemu kembali dengan Tin Eng, biar dia menganggap aku
sudah tewas. Ah, hanya Cui Giok yang dapat menghibur dan menghilangkan pikiran gila di
dalam otakku ini!”
Maka larilah ia kembali mencari isterinya yang hilang.
Pada suatu hari ia tiba di kaki bukit Kam-hong-san, di mana terdapat sebuah dusun yang
ramai. Karena perutnya amat lapar, maka Gwat Kong lalu masuk ke dalam warung itu. Di situ
hanya terdapat dua orang tamu yang menghadapi mangkok mi dan arak. Pelayan yang melihat
seorang laki-laki berpakaian compang-camping dan kotor, memandang dengan curiga, lalu
menegur,
“Kau ada keperluan apakah?”
Gwat Kong yang sedang kesal hatinya, maka jawabnya marah,
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 342
“Bukankah kau menjual nasi dan mi di sini? Tentu saja keperluanku masuk ke sini untuk beli
nasi dan makan! Kalau tidak untuk itu, tidak sudi aku memasuki warungmu!”
Mendengar jawaban ketus dari seorang yang disangkanya pengemis ini, pelayan itu menjadi
marah. “Kau mau makan? Apakah kau punya uang?”
Baru teringat oleh Gwat Kong bahwa ia tidak mempunyai uang sepeserpun. Akan tetapi ia
teringat akan batu-batu permata yang disimpan di dalam saku bajunya. Karena mendongkol
sekali, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu permata.
“Lihat, apakah ini tidak cukup untuk membeli nasi berikut warung dan kepalamu sekalipun?
Hayo sediakan nasi dan jangan banyak cerewet!”
Pelayan itu adalah seorang kampung yang tidak tahu akan nilai batu permata, maka melihat
batu itu ia tersenyum menghina. “Untuk apakah batu sungai itu? Aku ingin melihat uang,
bukan batu!”
Marahlah Gwat Kong. Ia bangun berdiri dan hendak menampar mulut pelayan itu. Akan tetapi
tiba-tiba dua orang yang tadi duduk di situ lalu menghampiri dan berkata kepada pelayan itu,
“Jangan kurang ajar! Hayo, lekas keluarkan nasi dan arak untuk saudara ini!”
Pelayan itu memandang heran, lalu pergi melakukan perintah itu sambil bersungut-sungut.
Sementara itu, kedua orang itu lalu mengundang Gwat Kong untuk duduk di meja mereka.
Gwat Kong memperhatikan dua orang itu. Ternyata mereka adalah orang-orang yang
mengerti ilmu silat, karena dari gerak gerik mereka dan dari golok yang tergantung di
pinggang. Gwat Kong sendiri menyembunyikan pedangnya di balik bajunya. Dua orang itu
bertubuh tinggi besar, yang seorang bermuka pucat dan seorang bermuka merah.
“Saudara siapakah dan hendak pergi ke mana?” tanya si muka merah dengan senyum ramah.
“Aku seorang pengembara yang sudah lupa akan nama sendiri,” jawab Gwat Kong acuh tak
acuh dan ketika pelayan itu datang membawakan arak, dengan sekali tegak saja lenyaplah
arak secawan penuh ke dalam perut Gwat Kong. Sudah lama sekali ia tidak minum arak dan
kini setelah mulutnya merasa hangat dan harumnya arak, ia lalu menenggak sampai tiga
cawan arak sekali gus. Bahkan lalu minta tambah kepada pelayan yang memandang dengan
bengong!
Mendapat jawaban yang tidak perdulikan itu, kedua orang tadi tidak menjadi marah bahkan si
muka pucat lalu berkata,
“Saudara, batu permata yang kau keluarkan tadi sungguh indah. Bolehkah kami melihatnya
sebentar?”
Diam-diam Gwat Kong merasa geli hatinya. Ia menyangka bahwa kedua orang ini tentulah
bukan orang baik-baik dan mungkin hendak merampas batunya. Akan tetapi ia tidak takut,
bahkan hendak mencoba mereka, kalau mereka berani betul-betul hendak merampas batunya.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 343
Ia akan memberi hajaran kepada mereka. Ia lalu keluarkan sebutir batu permata dan
memberikan itu kepada mereka dengan sikap yang masih tidak mengacuhkan sama sekali.
“Luar biasa!” kata si muka merah sambil melirik dan bertukar pandang dengan si muka pucat.
“Sama benar dengan batu milik kami!”
Si muka merah lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sebutir batu yang serupa benar
bentuk dan warnanya dengan batu yang dikeluarkan Gwat Kong.
Ketika itu Gwat Kong sedang menenggak araknya. Melihat batu yang dikeluarkan oleh si
muka merah itu, tiba-tiba ia membanting cawan itu dan araknya ke atas lantai dan bangun
berdiri memandang kedua orang itu dengan mata terbelalak dan terengah-engah. Hanya ada
dua orang di atas dunia ini yang mempunyai permata seperti itu. Dua orang itu adalah
isterinya dan dia sendiri. Bagaimana orang ini bisa mendapatkan batu permata itu?
“Hayo, kau bilang dari siapa kau mendapatkan batu permata ini!” Sambil berkata demikian,
sekali ia mengulur tangan menyambar, kedua batu permata itu telah berada di tangannya!
“Eh, eh ... kau gila!” kata si muka pucat ketika melihat batu permata itu terampas oleh Gwat
Kong. Sambil berkata demikian, ia memukul dengan tangan kanan ke arah dada Gwat Kong
dan tangan kirinya menyambar ke arah batu-batu permata yang dipegang Gwat Kong. Akan
tetapi, sebelum serangannya ini mengenai sasaran, tubuhnya telah terlempar sampai setombak
lebih dan menimpa meja ketika Gwat Kong dengan sembarangan saja mengebutkan
tangannya.
Si muka merah menjadi marah sekali. Ia mencabut goloknya dan membentak,
“Bangsat rendah, tak tahunya kau adalah seorang perampok!” Lalu ia maju menusuk dengan
goloknya.
Akan tetapi Gwat Kong sudah tak sabar lagi. Sekali saja ia melayangkan tangannya, senjata
golok itu telah terampas dan kemudian ditekuk sehingga patah menjadi dua. Bukan main
terkejutnya si muka merah itu yang memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi, tahutahu
belakang lehernya sudah terjepit oleh jari-jari tangan Gwat Kong sehingga ia merasa
seakan-akan lehernya itu terjepit oleh jepitan baja yang kuat sekali dan yang membuatnya
sukar untuk bernapas. Kawannya yang roboh tadi masih juga pingsan dengan muka makin
pucat.
Mendengar ribut-ribut itu, pelayan tadi datang diikuti orang-orang yang ingin melihat apa
yang telah terjadi. Ketika melihat si muka pucat menggeletak dan si muka merah dijepit
lehernya, pelayan yang tidak mengenal gelagat itu memburu dengan tangan terkepal dan
memaki,
“Sudah kuduga, kau bukan orang baik-baik ......!” Akan tetapi kata-katanya ini tiba-tiba
terhenti dan tubuhnya melayang ke arah dinding membentur dinding dan ia jatuh ketanah
bagaikan lapuk!
Gwat Kong melihat banyak orang datang, lalu mengempit tubuh si muka merah dan sekali ia
berkelebat, ia telah berada jauh sekali dari tempat itu, lenyap dari pandangan mata orangKang-
lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 344
orang yang berdiri bagaikan patung menyaksikan kehebatan orang muda yang pakaiannya
compang camping ini!”
Jauh dari dusun itu, di dalam sebuah hutan di kaki bukit Kam-hong-san, si muka merah itu
berlutut di depan Gwat Kong minta-minta agar supaya diampuni jangan dibunuh!
“Hayo lekas katakan, dari mana kau mendapatkan batu permata ini?”
“Ampun, hohan (orang gagah)! Siauwte mendapatkannya dari dalam kepala seorang kawan
yang mati.”
“Apa katamu? Jangan membohong, aku akan hancurkan kepalamu!”
“Benar, hohan.”
“Ceritakan yang jelas!”
“Tiga hari yang lalu, siauwte bersama dua orang kawan, seorang yang berada di warung tadi
dan yang seorang pula sudah mati, pergi ke puncak Kam-hong-san. Dipuncak terdapat sebuah
kuil kuno yang sudah rusak. Kami masuk dan ...... di situ kami melihat seorang wanita muda
yang nampaknya sedang sakit, akan tetapi ia cantik sekali. Kawan kami yang sekarang telah
mati itu hendak mengganggunya karena tertarik oleh kecantikannya. Akan tetapi wanita yang
kelihatan lemah tak berdaya itu lalu menyambitkan sebuah benda yang mengenai kepala
kawan kami itu. Kawan kami roboh dan binasa disaat itu juga. Aku dan kawanku yang tadi
lalu mengangkat mayatnya dan lari dari situ. Aku tertarik melihat cahaya yang bersinar dari
luka di kepalanya dan ketika kuambil benda itu ......”
Tiba-tiba Gwat Kong mencekik lehernya.
“Cepat ceritakan di mana adanya wanita itu!” teriaknya bagaikan orang kalap.
“Di ..... kuil itu ..... di atas bukit ini ......”
Gwat Kong segera menotok pundak si muka merah yang roboh dengan tubuh lumpuh. “Kau
takkan dapat bergerak selama dua puluh empat jam. Kalau kau ternyata membohong, aku
akan datang lagi untuk mengambil nyawamu!” Setelah berkata demikian bagaikan terbang
cepatnya, Gwat Kong lalu mendaki bukit Kam-hong-san.
Benar saja, di puncak bukit yang sunyi itu ia melihat sebuah kuil bobrok.
“Cui Giok ....! Ia memanggil lalu berlari cepat menghampiri kuil.
“Gwat Kong ......!” Terdengar jawaban lemah. Bukan main girangnya hati Gwat Kong. Hanya
seorang saja di dunia ini yang dapat memanggil namanya dengan nada semanis dan semerdu
itu, Cui Gioklah orangnya. Dengan airmata bercucuran, Gwat Kong mempercepat larinya,
memasuki kuil dan ...... ia melihat isterinya berbaring di atas lantai dengan wajah pucat!
“Cui Giok, isteriku .....!” Ia menubruk dan memeluk isterinya yang membalas dengan pelukan
mesra dan tangis terisak-isak.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 345
“Gwat Kong ...... suamiku yang baik ...... akhirnya kau datang juga ....... akhirnya kita bertemu
juga .....!”
Gwat Kong tak dapat menjawab, hanya merangkul kepala isterinya dan didekap pada dadanya
dengan erat. Sampai lama mereka merangkul itu dengan hati yang hanya Thian saja yang tahu
betapa bahagianya. Sudah tiga bulan mereka berpisah semenjak diterbangkan oleh burung
rajawali itu.
Memang Cui Giok dibawa terbang jauh sekali oleh burung rajawali yang membawanya dan
akhirnya burung itu tak kuat lagi dan jatuh mati di bukit itu. Cui Giok yang ikut jatuh
menderita pada kakinya. Dengan amat lemah dan susah payah, nyonya muda yang sedang
mengandung ini dapat menuju ke kuil itu dan tinggal di situ sampai tiga bulan lamanya. Ia
memaksa diri untuk bergerak mencari makan pada saat ia sudah tak dapat menahan laparnya
lagi. Akan tetapi akhirnya ia tidak tahan dan jatuh sakit di lantai kuil!
Ketika ketiga orang penjahat itu datang mengganggu ia tidak kuasa mempertahankan diri,
maka terpaksa ia menyerang mereka dengan batu permata yang dibawanya dari guha neraka
itu.
Dengan amat gelisah, Gwat Kong merawat isterinya. Biarpun tidak banyak, Gwat Kong
pernah mempelajari ilmu pengobatan dari Bok Kwi Sianjin, maka lambat laun sembuhlah
penyakit isterinya, sungguhpun tubuhnya masih amat lemah. Gwat Kong mengajak isterinya
berpindah tempat ke sebuah kampung kecil di lereng bukit Kam-hong-san. Berbulan-bulan
mereka tinggal di situ dan datanglah saatnya Cui Giok melahirkan seorang anak perempuan
yang mungil dan sehat.
Akan tetapi kesehatan Cui Giok yang memang sudah amat terganggu itu, makin menjadi
buruk setelah ia melahirkan anaknya. Mukanya selalu pucat dan tubuhnya lemah.
Sungguhpun ia selalu tersenyum dan matanya bersinar-sinar gembira melihat anaknya.
“Gwat Kong ....!” katanya pada suatu malam, beberapa hari setelah ia melahirkan. “Kasihan
kau, suamiku ....”
“Eh, aneh sekali kau ini, Cui Giok,” jawab Gwat sambil mengelus-elus rambut isterinya yang
kusut. “Mengapa kau berkasihan kepadaku? Kaulah yang harus dikasihani.”
Cui Giok tersenyum pahit. “Kau, memang seorang suami yang baik! Kau telah mengorbankan
cita-cita dan kebahagiaanmu untukku. Ah, Gwat Kong sungguh aku orang yang paling
berbahagia di muka buni ini!”
“Aku ........ apa maksudmu, isteriku?”
“Gwat Kong, aku tahu kau masih menyinta Tin Eng, bukan?”
Bukan main terkejutnya hati Gwat Kong mendengar ini dan melompat berdiri. “Cui Giok.....!
Apa maksudmu berkata demikian?”
Cui Giok tersenyum dan memegang tangan suaminya. “Tidak apa-apa, jangan kaget. Aku
tahu bahwa kau telah menyinta dia sebelum bertemu dengan aku. Malahan tadi kau mengigau
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 346
dalam tidurmu, menyebut-nyebut namanya, seperti juga yang seringkali kau lakukan ketika
kita berada di guha neraka itu.”
“Cui Giok .......!” Akan tetapi ia melihat isterinya tersenyum tenang.
“Aku tidak cemburu, suamiku. Juga tidak iri hati. Dengarlah, aku minta kau suka bawa Tin
Eng ke sini, aku ..... aku perlu bicara kepadanya, perlu meninggalkan pesanan ......”
“Meninggalkan pesanan ....? Apa maksudmu?” Wajah Gwat Kong menjadi pucat.
“Suamiku, aku tak perlu menyembunyikan lebih lama lagi. Aku mendapat luka di dada yang
amat parah. Ketika aku jatuh dengan burung itu ... ah, kasihan kau, suamiku .... jangan kaget
....., aku .... aku sering muntah darah .....”
“Cui Giok ...........!” Gwat Kong memeluk sambil mengalirkan air mata dari kedua matanya.
“Tenanglah, suamiku. Hadapilah kehendak Thian dengan gagah. Sekarang setelah kau
mengetahui keadaanku, lekaslah kau pergi ke Kiang-sui bawa Tin Eng ke sini. Kecuali ......
kecuali kalau ia sudah menikah dengan lain orang .......“
“Ia belum menikah .......” jawab Gwat Kong tak sadar. “Akan tetapi ..... aku tidak mau
meninggalkan kau dalam keadaan begini!”
“Suamiku, juga kau tidak mau kalau kutekankan bahwa ini merupakan permintaanku .....?
Permintaan terakhir?”
“Cui Giok .........!“ Mereka saling rangkul dan terdengarlah isak dari tenggorokan Gwat Kong.
****
Setelah tiba di rumah, Liok-taijin memanggil Tin Eng. Setelah anaknya datang menghadap, ia
lalu berkata, “Tin Eng, betul seperti dugaanmu dulu. Gan Bu Gi bukanlah manusia baik-baik.
Ia seorang penjahat besar. Nona Tan Kui Hwa telah menceritakan kepadaku betapa jahatnya
dia. Pertunanganan dengan dia kuputuskan hari ini juga!”
“Ayah!” Tin Eng memeluk ayahnya. “Terima kasih, ayah .....”
Dengan perantaraan pembantunya dan penasehatnya, yakni Lauw Liu Tek, Liok-taijin
memberitahukan hal ini kepada Gan Bu Gi, bahkan ia mengusir dan memberhentikan
pekerjaan pemuda itu.
Bukan main marahnya Gan Bu Gi, akan tetapi karena alasan yang dipergunakan oleh Lioktaijin
adalah bahwa hal ini ada hubungannya dengan nona Tan Kui Hwa, pemuda ini tak dapat
berkata sesuatu. Bahkan ia merasa malu untuk menghadap kepada calon mertuanya itu. Ia
pergi tanpa meninggalkan sepatah pun kata.
Akan tetapi, lima hari kemudian pada siang hari datanglah Seng Le Hosiang. Kedatangan
hwesio ini amat aneh, karena ia tidak terus masuk ke gedung itu, melainkan datang dari atas
genteng! Dari atas genteng, ia memaki-maki Liok Ong Gun.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 347
“Liok Ong Gun, manusia tak berbudi! Kau membikin malu susiok-couwmu! Lekas
menghadap kesini untuk menerima hukumanmu sebagai murid Go-bi-pai yang
menyeleweng!”
Bukan main takut dan terkejutnya Liok Ong Gun. Bersama beberapa orang pembantunya dan
perwira sayap garuda, ia naik ke atas genteng, juga Tin Eng ikut melompat naik.
“Kau menyalahi janji, bahkan membatalkan pertunanganan anakmu dengan Gan-ciangkun.
Kau mengusirnya dan memberhentikan jabatannya. Apa maksudmu? Apakah sengaja hendak
membikin pinceng mendapat malu besar?”
Liok Ong Gun terkejut sekali ketika melihat susiok-couwnya itu memegang tongkat
kekuasaan sebagai tokoh Go-bi-pai yang berhak menghukum murid-murid yang murtad.
Cepat ia berlutut dan memberi penjelasan. Menceritakan bahwa Gan Bu Gi telah berlaku keji
terhadap Tan Kui Hwa, murid Hoa-san-pai itu.
“Ah, kau lebih percaya omongan seorang murid Hoa-san-pai dari pada pinceng? Bagus!
Pendeknya, pernikahan itu harus dilanjutkan, ... harus dilangsungkan! Kalau tidak, terpaksa
pinceng akan menghukummu dengan pukulan tongkat ini, demikian juga seluruh
keluargamu!”
Seorang perwira sayap garuda yang belum lama bekerja pada Liok-taijin, amat tidak senang
dengan sikap hwesio ini, maka ia melangkah maju dan berkata, “Losuhu sebagai seorang suci,
losuhu tidak seharusnya bersikap seperti ini!”
Seng Le Hosiang memandang dengan marah. Sekali ia ulurkan tangannya dan mendorong,
tubuh perwira itu terlempar tinggi dan jatuh ke atas genteng. “Pergilah kau, anjing!” maki
Seng Le Hosiang dengan marah, lalu katanya kepada Liok Ong Gun,
“Dengarlah, Liok Ong Gun! Biarpun kau seorang pembesar, namun kau tetap murid Go-bi-pai
dan pinceng berhak menghukummu!” Setelah berkata demikian, hwesio itu berkelebat dan
lenyap dari situ!
Bukan main bingungnya hati Liok Ong Gun menghadapi peristiwa ini. Untuk membantah ia
tidak berani dan untuk menerima Gan Bu Gi sebagai mantu iapun tidak suka.
“Ayah, kita tidak berdaya menghadapi Seng Le Hosiang yang kejam itu. Baik, ayah terima
saja permintaannya dan pernikahan dilangsungkan pada hari itu.”
“Apa? Kau rela melakukan pengorbanan ini?”
Tin Eng tersenyum. “Tentu saja tidak, ayah. Akan tetapi aku mempunyai akal. Dahulu, enci
Kui Hwa sudah berjanji bahwa apabila aku terpaksa kawin dengan pemuda itu, enci Kui Hwa
akan datang dan membuka rahasia Gan Bu Gi di depan umum! Dengan demikian, maka
pernikahan tentu akan bubar dan tidak jadi. Hari kelimabelas masih dua pekan lagi, maka
sekarang aku hendak menulis surat kepada enci Kui Hwa.”
Maka kedua ayah dan anak itu lalu mengadakan perundingan dan sehelai surat lalu ditulis.
Seorang pesuruh yang tangkas diutus mengantarkan surat itu kepada Tan Kui Hwa di Kanglam.
Pesuruh itu kembali membawa jawaban Tan Kui Hwa yang menyanggupi permintaan
tolong Tin Eng, maka keluarga Liok menarik napas lega.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 348
Pesta kawin dilakukan dengan amat meriah dan tamu-tamu dari seluruh penjuruh memerlukan
datang, juga banyak orang-orang dari kalangan kang-ouw datang menghadiri pesta itu.
Penduduk Kiang-sui tentu saja tidak membuang kesempatan ini dan datang menyaksikan dari
luar pekarangan gedung.
Ketika pengantin laki yang nampak gagah dan tampan sudah tiba dan baru saja sepasang
pengantin hendak melakukan upacara sembahyang, tiba-tiba Kui Hwa yang semenjak tadi
sudah berada di situ berdiri dan berseru keras.
“Cuwi sekalian, dengarlah keteranganku. Perkawinan ini tak dapat dilanjutkan! Pengantin
laki-laki sebenarnya telah mempunyai isteri!”
Tentu saja semua orang menjadi gempar mendengar suara ini dan semua mata ditujukan
kepada Kui Hwa yang berdiri dengan gagahnya.
“Kau mau tahu siapa isteri pengantin laki-laki. Akulah orangnya! Aku telah menjadi isterinya
karena kekejian, bukan karena upacara perkawinan yang syah. Ketika cabang persilatan Hoasan-
pai masih dimusuhi oleh Kim-san-pai, aku pernah tertawan oleh pemuda busuk ini. Dan
dalam keadaan tak berdaya, ditambah bujukan-bujukan yang menyatakan hendak
mengawiniku, pemuda berhati binatang ini telah melakukan kekejian terhadapku. Akan tetapi
semua itu hanya merupakan tipuan belaka, dan setelah ia melakukan perbuatan terkutuk, ia
tidak mengawiniku, bahkan menghina dan meninggalkanku! Adik Tin Eng kawin padanya
karena paksaan. Karena pemuda busuk itu dapat membujuk Seng Le Hosiang, sehingga tokoh
Go-bi-pai yang tua tapi bodoh itu memaksa Liok-taijin sebagai murid Go-bi-pai untuk
mengawinkan puterinya kepada pemuda she Gan yang jahanam ini!”
Mendengar ini, Seng Le Hosiang melompat maju dan hendak menyerang Kui Hwa dengan
bentakan, “Perempuan busuk pergi kau dari sini!”
Akan tetapi pada saat itu, bayangan yang amat cepat berkelebat keluar dari kelompok
penonton dan bayangan ini menangkis pukulan Seng Le Hosiang yang ditujukan kepada Kui
Hwa. Orang ini adalah Gwat Kong yang mempergunakan kesempatan itu untuk menolong
Kui Hwa.
“Gwat Kong .....!” Seruan ini terdengar dari beberapa buah mulut, dan yang paling keras
terdengar dari Tin Eng yang memandang dengan mata terbelalak heran, seakan-akan tidak
percaya kepada sepasang matanya sendiri.
Akan tetapi Seng Le Hosiang yang marah sekali telah menyerang kembali. Kini bahkan
mempergunakan tongkatnya yang selalu dibawa, namun Gwat Kong berlaku waspada dan
telah mencabut pedang Sin-eng-kiam dan sulingnya. Keadaan menjadi kacau balau dan saat
itu digunakan oleh Kui Hwa untuk menyerang Gan Bu Gi.
Gadis ini selama berbulan-bulan telah melatih diri dan siap untuk melakukan pembalasan.
Kepandaiannya telah banyak maju. Pertempuran hebat terjadi. Di antara para penonton yang
menjadi panik, tak seorangpun maju membantu, hanya menonton sambil mundur dari tempat
agak jauh.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 349
Hampir berbareng dengan robohnya tubuh Kui Hwa dan Gan Bu Gi, tubuh Seng Le Hosiang
terhuyung-huyung dengan muka pucat, karena dadanya telah kena totokan sulit Gwat Kong
yang mendatangkan luka parah di bagian dalam. Kui Hwa tertusuk dadanya oleh pedang Gan
Bu Gi, akan tetapi sebaliknya, Gan Bu Gi lehernya hampir putus terbabat oleh pedang Kui
Hwa.
Dalam keadaan yang makin panik dan ribut itu, Gwat Kong cepat melompat ke arah Tin Eng
dan berkata, “Tin Eng, hayo kau ikut denganku!” Tangannya menangkap lengan Tin Eng dan
sekali melompat ia telah berada di luar gedung. Bukan main ributnya keadaan pesta itu dan
beberapa orang perwira yang mengejar Gwat Kong terpaksa kembali dengan tangan kosong,
oleh karena kepandaian mereka masih jauh untuk dapat menyusul Gwat Kong!
****
Ketika Gwat Kong dan Tin Eng tiba di rumah Gwat Kong di lereng gunung Kam-hong-san
itu, keadaan Cui Giok makin payah. Tin Eng sudah mendengar penuturan Gwat Kong dalam
perjalanan menuju ke tempat itu dan dengan suka hati Tin Eng memenuhi undangan Cui Giok
itu. Ia amat terharu melihat keadaan nyonya muda itu dan menubruknya sambil menangis.
“Ah, girang sekali hatiku kau datang, adikku yang manis!” kata Cui Giok yang bangkit dari
tidurnya. Anaknya yang masih kecil dipondong oleh pengasuh dari kampung itu.
“Enci Cui Giok, aku telah mendengar semua pengalamanmu bersama Gwat Kong di guha
neraka itu. Kau ..... sungguh patut dikasihani enci .....”
Cui Giok tersenyum, “Kau baik sekali, Tin Eng. Dengarlah, kau juga suamiku. Aku tahu
bahwa kalian masih saling cinta dan aku akan rela melihat kalian terangkap menjadi suami
isteri .....”
“Enci Cui Giok ........!” Tin Eng berseru dengan muka merah, akan tetapi air matanya
mengucur.
“Tentu kau sudah mendengar dari Gwat Kong bahwa keadaanku amat payah. Kematian akan
datang menjemputku tak lama lagi. Tin Eng dan kau juga Gwat Kong, aku hanya akan
menitip Lan-lan kepada kalian. Jagalah baik-baik anak itu. Juga batu-batu permata yang kami
ambil dari guha itu boleh kau berikan kepada kedua orang she Pang atau tidak! Itu bukan
urusanku, dan ....” Sampai di sini ia terisak menangis. “Dan .... sampaikan hormat dan
permintaan ampunku kepada ibu ..... ibuku yang tercinta ..... yang telah lama kutinggalkan!”
“Enci Cui Giok .....!” Tin Eng merangkul dan mencium kening dengan hati amat berat dan
terharu. “Jangan berkata demikian, enci. Kau seorang wanita yang berhati mulia, karenanya
kau akan panjang usia. Kau akan sembuh kembali dan percayalah, aku rela melihat Gwat
Kong menjadi suamimu. Kau ..... kau seribu kali lebih baik dari pada aku .....”
Sementara itu, Gwat Kong hanya dapat duduk dengan kepala tunduk. Hatinya terasa hancur
dan saking terharunya, ia tidak dapat berkata sesuatu.
Pada saat itu, dari luar terdengar teriakan orang, “Hai, Kang-lam Ciu-hiap! Keluarlah kau!
Sekarang tiba saatnya untuk menetapkan siapa yang lebih lihai antara Barat, Timur, Selatan
dan Utara!”
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 350
Gwat Kong terkejut. Itulah suara Ang Sun Tek, ahli Pat-kwa To-hoat yang dulu dicari-cari
oleh Cui Giok. Cepat ia melompat keluar dan benar saja, di situ telah berdiri delapan orang
yang dikepalai oleh Ang Sun Tek.
“Bun Gwat Kong!” kata Ang Sun Tek sambil tersenyum mengejek. “Kau telah berjanji untuk
mengadu kepandaian, akan tetapi kami tunggu-tunggu tak juga kau datang. Ketika kami
mendengar tentang kematianmu, kami penasaran sekali. Akan tetapi, tiba-tiba kau muncul
lagi dan membawa lari puteri Liok-taijin. Kami sengaja tidak menghalangimu dan diam-diam
mengikuti jejakmu sampai di tempat ini. Nah, sekarang cobalah kau melepaskan diri dari Patkwa-
tin! Apakah ahli Im-yang Kiam-hoat itu masih ada? Suruh dia keluar sekalian!”
“Dia sudah menjadi isteriku dan kini sedang menderita sakit. Jangan kau mengganggu kami,
Ang Sun Tek!”
Akan tetapi pada saat itu, terdengar seruan gembira, “Ah, telah lama aku menanti datangnya
saat ini.”
Dan tahu-tahu Cui Giok telah berdiri di belakang suaminya dengan sepasang pedangnya di
kedua tangannya.
“Liok-te Pat-mo, lekas kalian perlihatkan Pat-kwa-tin itu kepada kami!”
“Cui Giok, kau .......” kata Gwat Kong.
“Biarlah, suamiku. Saat ini merupakan kegembiraan terakhir bagiku!” Cui Giok yang gagah
perkasa itu memotong kata-kata suaminya.
Sementara itu, Ang Sun Tek dan kawan-kawannya sudah mencabut golok masing-masing,
lalu mereka mengurung Gwat Kong dan Cui Giok, merupakan bentuk segi delapan dengan
kedudukan yang kuat sekali.
“Bersiaplah, kami menyerang!” tiba-tiba Ang Sun Tek berseru. Gwat Kong cepat mencabut
keluar Sin-eng-kiam dan sulingnya, sedangkan Cui Giok mainkan sepasang pedangnya
dengan cepat. Sungguh amat mengherankan dan mengagumkan nyonya muda itu. Dalam
keadaan lemah dan sakit tiba-tiba seperti mendapat tenaga dan semangat baru. Gerakannya
bahkan lebih cepat dari biasanya.
Kedua suami isteri ini ketika berada di guha neraka telah melatih diri dengan rajinnya
sehingga kepandaian mereka sudah meningkat banyak. Tadinya Gwat Kong amat cemas
memikirkan isterinya. Akan tetapi ketika melihat betapa gagah Cui Giok menggerakkan
sepasang pedangnya, timbul kegembiraannya. Dan iapun lalu mainkan Sin-eng Kiam-hoat
dan Sin-hong-tung-hoat dengan pedang dan sulingnya.
Pertempuran berjalan dengan amat seru dan hebatnya sehingga sepuluh orang itu seakan-akan
lenyap dalam gulungan banyak sinar senjata yang indah sekali, kelihatannya. Betapapun lihai
Pat-kwa-tin itu, namun akhirnya Ang Sun Tek dan kawan-kawannya harus mengakui
keunggulan ilmu pedang Im-yang Siang-kiam-hoat dan ilmu tongkat Sin-hong Tung-hoat itu.
Setelah bertempur kira-kira lima puluh jurus, tiga orang anggota Pat-kwa-tin roboh. Seorang
tertotok oleh suling Gwat Kong. Orang kedua terbacok lengan kanannya oleh pedang Gwat
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 351
Kong pula dan orang ketiga roboh karena kena disambar pahanya oleh pedang di tangan Cui
Giok.”
Ang Sun Tek marah dan penasaran sekali melihat tiga orang kawannya dirobohkan. Sambil
berseru nyaring, ia lalu mendesak Cui Giok karena ia tahu bahwa nyonya muda ini sedang
menderita sakit. Goloknya menyambar ke arah leher Cui Giok dan ketika Cui Giok
menangkis dengan pedang kirinya, kakinya menendang dengan hebatnya ke arah perut
nyonya muda itu.
Hal ini mengejutkan Cui Giok, maka tangkisan pedang kirinya menjadi lemah ketika ia
menggerakkan pedang di tangan kanannya untuk membacok kaki yang menyambar perutnya
itu. Dua hal terjadi dengan hampir berbareng yang mengakibatkan Ang Sun Tek menjerit dan
roboh dengan paha terbacok putus dan Cui Giok terhuyung-huyung dengan pundak kiri
berlumuran darah karena bacokan golok, karena tangkisannya kurang kuat.
Tin Eng yang menonton di depan pintu karena ketika hendak membantu dilarang oleh Gwat
Kong dan Cui Giok, segera berlari maju dan memeluk nyonya muda itu. Sedangkan Gwat
Kong dengan suara mengguntur membentak empat orang anggauta Pat-kwa-tin,
“Tahan! Setelah Ang Sun Tek roboh, apakah kalian masih mau mencari mampus? Sudahlah,
isteriku terluka dan empat orang kawanmu juga terluka. Ang Sun Tek mendapat luka parah
karena salahnya sendiri. Pergilah kalian dari sini dan jangan mengganggu kami lagi!” Empat
orang itu maklum bahwa mereka takkan dapat mengalahkan orang muda yang lihai itu, maka
lalu menggotong tubuh kawan-kawannya dan pergi dari tempat itu.
Cui Giok dibaringkan di dekat pembaringan anaknya, dijaga oleh Tin Eng dan Gwat Kong.
Keadaannya makin payah.
“Cui Giok, mengapa kau memaksa diri keluar membantuku ....?” Gwat Kong menyatakan
penyesalannya.
Cui Giok tersenyum, “Apakah artinya luka sedikit di pundak ini? Lukaku di dalam dada sudah
tak dapat diobati lagi, dan ..... aku girang dapat membuktikan bahwa Im-yang Kiam-hoat tak
kalah hebatnya oleh Pat-kwa To-hoat!”
Dengan penuh perhatian, Tin Eng merawat Cui Giok. Akan tetapi nyonya muda ini ketika
jatuh dengan burung rajawali yang membawanya dulu, telah menderita luka di dalam tubuh
yang hebat. Darah tubuhnya telah terganggu oleh luka ini dan hanya berkat latihan bertahuntahun
maka ia masih tahan hidup selama ini.
Tiga hari kemudian, pada suatu pagi yang cerah, ia nampak gembira sekali dan menyuruh Tin
Eng membawa Lan-lan, anak kecil itu untuk diletakkan di sebelahnya. Ia menciumi anak itu
dengan penuh kasih sayang, lalu berkata kepada Tin Eng,
“Tin Eng, jadilah seorang isteri yang setia untuk Gwat Kong dan ibu yang bijaksana untuk
Lan-lan ......”
Tin Eng hanya dapat menahan runtuhnya air mata dan menganggukkan kepalanya. Gwat
Kong tidak kuat melihat keadaan ini dan keluar dari kamar, duduk di ruang depan sambil
melamun.
Kang-lam Tjiu-Hiap > karya Kho Ping Hoo > buyankaba.com 352
Tiba-tiba terdengar jerit Tin Eng dan ketika Gwat Kong memburu masuk, ternyata Cui Giok
sudah menarik napas terakhir sambil memeluk anaknya. Jerit tangis terdengar memenuhi
rumah kecil di lereng itu dan tetangga-tetangga datang melayat.
Setelah jenazah Cui Giok dirawat dan dikubur, maka Gwat Kong dan Tin Eng yang
menggendong anak kecil itu, pergi dari Kam-hong-san, menuju hidup baru yang penuh
dengan kebahagiaan namun penuh pula dengan kenangan mengharukan.
Beberapa bulan kemudian, Pang Gun dan Pang Sin Lan di kotaraja didatangi Tin Eng yang
membawa batu-batu permata itu. Akan tetapi kedua putera pangeran itu menolak dan
memberikan benda-benda itu kepada Tin Eng, karena mereka telah kawin dengan orang-orang
hartawan di kota raja dan tidak membutuhkan benda-benda berharga itu. Maka pergilah Tin
Eng kembali ke tempat suami dan anak tirinya dan hiduplah ia penuh kebahagiaan sampai di
hari tua.
TAMAT

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 23, 2010 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Pendekar MabukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang