Chapter 8 - Orang Asing Yang Tidak Begitu Asing

107K 2.9K 48
                                    

Keadaan masih sunyi senyap saat aku meninggalkan rumahku. Meski memunggungi pintu masuk kamar, bisa kupastikan ibu masih terlelap. Meninggalkan rumah sebelum ia terbangun adalah cara terbaik menghindari perdebatan atau perang dingin dengannya saat ini.

Sejujurnya, tidak banyak rencana yang kumiliki hari ini. Belum banyak kemajuan yang berarti pada skripsi yang sedang kususun.

Meski sudah memutuskan untuk fokus, nyatanya aku masih kesulitan menemukan waktu untuk mengumpulkan materi pendukung.

Dikarenakan aku datang terlalu awal ke bakery tempat aku bekerja, saat makan siang aku sudah diizinkan pulang karena sudah memenuhi jam maksimal bekerja pada hari ini.

Entah apa yang ada dalam pikiranku karena tiga puluh menit setelah meninggalkan bakery, aku menemukan diriku sudah berdiri di depan pintu bernomor 1109 ini.

Aku sendiri tidak tahu sejak kapan diriku dengan tanpa sadarnya bisa menganggap tempat ini adalah tempat terbaik dan ternyaman untuk menghabiskan waktu luangku.

Saat pintu itu terbuka, sepasang sepatu pantofel pria kembali menyambut kehadiranku. Ini di luar dugaanku. Ternyata ia sedang berada di sini sekarang. Rasanya tidak mungkin untuk mengendap-ngedap keluar sekarang karena ia pasti sudah mendengar suara detektor kunci yang ada.

Kuputuskan untuk mengumpulkan keberanianku dan melangkah masuk untuk mencari sosoknya. Terakhir kali tidak masalah baginya saat aku menghabiskan waktu di sini. Kuharap ia belum berubah pikiran mengenai hal itu.

Sosoknya tidak kutemukan di kamar mandi maupun ruang tengah seperti awal perkiraanku. Aku kembali menemukannya di atas tempat tidur masih terlelap.

Melihat dasi, sabuk celana, dan kaus kaki yang semalam kuletakkan secara asal masih berada di meja kecil di samping tidurnya, aku mulai khawatir yang kutakutkan benar adanya.

Dugaanku benar. Ia masih memakai pakaian yang sama dengan yang ia kenakan semalam. Posisi tidurnya bahkan hampir tidak berubah dengan kerutan yang memenuhi keningnya.

Kuberanikan diriku untuk menyentuh kening itu berharap kalau dugaanku salah. Saat berhasil meletakkan telapak tanganku di sana, matanya yang semula terpejam mulai mengerjap-ngerjap sampai akhirnya berakhir memandangku heran.

Suhu di keningnya panas dan kurasakan hal yang sama dari tangannya yang berusaha menyingkirkan tanganku dari keningnya.

"Tinggalin aku sendiri," gumamnya hampir tidak terdengar sebelum kembali menutup matanya.

Bahkan suaranya saja sudah cukup menunjukkan kalau ia tidak seprima biasanya.

Kembali kuletakkan tanganku pada keningnya kemudian berpindah pada bagian leher dan juga lengannya. Aku semakin yakin, kalau ia benar-benar sakit.

Ia bersiap tidak peduli dan berusaha memunggungiku yang duduk di sisi tempatnya tidur.

"Sudah makan?"

Tidak terdengar jawab darinya. Rasanya mustahil dengan keadaannya seperti sekarang ia sempat makan pagi ini.

"Bagaimana kalau kubantu untuk menghubungi seseorang?" Tanyaku sambil meraih ponsel miliknya.

Ia berbalik dan dengan segera meraih ponsel yang mulanya ada dalam genggamanku.

"Jangan ikut campur urusanku. Kamu bisa pergi dari sini sekarang,"

"Tapi..."

Belum sempat aku menyelesaikan apa yang ingin kusampaikan, ia sudah kembali berbalik memunggungiku.

Dapat kulihat tarikan dan hembusan nafasnya tidak beraturan dari pergerakan punggungnya. Hal itu yang membuatku untuk tetap tinggal dan mengawasinya dari kejauhan. Tanpa bisa dijelaskan, aku merasa cemas melihat keadaannya sekarang.

Tiga jam berlalu begitu saja dan sinar matahari terlihat mulai menguning mengintip dari balik tirai jendela. Terdengar suara selimut yang disibak oleh pemiliknya berganti dengan suara langkah kaki.

Seketika diriku yang tengah duduk di atas kursi pantry menegang. Bagaimana kalau ia tidak suka menemukan kalau aku masih di sini? Dan mengapa aku juga masih di sini?

Belum menemukan alasan yang tepat, sosoknya sudah kembali terlihat.

Posturnya jauh dari tegap. Ia terlihat berusaha sekuat tenaga untuk berjalan. Tangan kanannya memijat lembut keningnya dan yang satu lagi berada pada dinding berusaha menopang tubuhnya.

Menyadari keberadaanku, ia sempat berhenti dan membalas tatapanku. Namun tidak lama setelahnya, ia kembali berusaha melanjutkan langkahnya. Sepertinya ia ingin menuju kamar mandi.

Aku tidak bisa menghentikan diriku yang mendekatinya kemudian kembali berusaha membantunya.

Sentuhanku di lengannya yang disambut sengatan panas menyadarkanku kalau kondisinya jauh dari kata membaik.

Panas tubuhnya semakin tinggi. Bahkan hanya dengan bersebelahan dengannya sekarang, aku bisa merasakan hawa panas yang berasal dari tubuhnya.

Ia kembali berusaha menolak rangkulan tanganku. Namun beberapa detik kemudian, seolah kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung jatuh ke arahku.

Aku reflek terduduk di lantai saat menangkap tubuhnya. Sementara ia terbaring dengan kepala yang tersandar dalam pangkuanku.

Keadaannya benar-benar mengkhawatirkan. Aku harus melakukan sesuatu secepatnya.

**

"Nama pasien?"

Aku terdiam, tidak bisa menjawab pertanyaan suster yang berdiri di depanku dengan sebuah form yang sedang dilengkapinya.

"Bu... Nama Bapak yang tadi siapa?" ulangnya lagi.

"Saya tidak tahu," jawabku singkat.

"Ibu, siapanya Bapak yang barusan?" tanya lagi terlihat terkejut dengan jawabanku.

"Bukan siapa-siapanya."

**

Papan informasi pasien yang tertempel di tempatnya ia tidur berakhir kosong pada bagian nama. Setidaknya aku harus bersyukur, pihak rumah sakit bersedia memberikan penanganan setelah aku menandatangani form sebagai penanggung jawabnya.

Pada diagnosa awal, ia diduga terkena tipes disertai demam berdarah. Hasil test yang akan keluar beberapa jam lagi akan memperjelas kondisi yang ada.

Setelah mendapatkan penanganan, ia sudah tampak jauh lebih tenang. Suhu tubuhnya juga sudah turun meskipun belum normal sepenuhnya. 

Kami berada di ruang rawat kelas tiga dengan total enam tempat tidur yang diletakkan sejajar. Ruangan ini baru terisi setengah, menyisakan tiga tempat tidur kosong. Untungnya, meskipun berada di kelas tiga, pasien lain cukup tenang. Meski masih bisa terdengar suara orang yang berusaha mengobrol dengan setengah berbisik, setidaknya tak ada jeritan atau tangisan yang biasa kutemui saat aku mengantar ibu memeriksakan diri ke dokter. 

Sebuah kursi yang disediakan memungkinkanku untuk duduk di sampingnya. Tirai yang melingkari tempat kami berada setidaknya bisa memberikan sedikit ketenangan baginya.

Melihat kondisinya,  aku rasa tidak mungkin bagiku untuk meninggalkannya. Ia terlihat tidak berdaya. Ditambah lagi tidak ada orang lain yang ada di sini untuknya.

Sudah kuputuskan aku akan menunggunya sampai ia sadar. 

Ibu, kurasa malam ini aku tidak akan pulang ke rumah lagi.

Mengapa orang asing yang tengah terlelap disampingku ini terasa tidak begitu asing?

**

-Bersambung-

Terima kasih banyak! Masih tetep nggak nyangka banyak banget yang tertarik buat baca!

Kalau liat typo/salah sebut/cerita yang sinkron dicomment aja ya... Terima kasih :)

Sleep With Me Tonight [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang