Chapter 7 - Masalah

103K 2.8K 38
                                    

Tiga puluh menit menuju tengah malam dan aku baru berhasil sampai di depan pintu bernomor 1109. Butuh setidaknya setengah jam untuk menyakinkan Ditto untuk membiarkanku "pulang" sendiri. Nyatanya aku memang tidak pulang. Masih ada pekerjaan lain yang harus kulakukan. Ya, pekerjaan. Terima kasih kepadanya yang telah mengingatkanku kemarin.

Kutempelkan kartu yang berfungsi sebagai kunci itu dan sebuah suara bip terdengar disertai lampu sensor yang berubah menjadi hijau. Ruangan yang terang benderang menyambut kedatanganku. Bisa dipastikan ia sudah berada di sini. Meski masih penuh keraguan, aku melangkah masuk ke dalam ruangan.

Awalnya kukira ia seperti biasanya pasti sedang sibuk dengan laptopnya namun sofa yang kosong membuktikan kalau dugaanku salah. Aku menemukannya terkapar begitu saja di atas tempat tidur masih lengkap dengan pakaian kerjanya. Tas kerjanya juga terletak tidak jauh dari tempat ia terlelap.

Tidak biasanya ia seperti ini. Aku ingat jelas kebiasaannya yang langsung menuju kamar mandi dan mengganti pakaian setiap kali ia pulang. Kudekati dirinya dengan langkah perlahan. Takut kalau kehadiranku membangunkannya.

Ia terlihat cukup terlelap meski masih ada dasi yang menggantung di lehernya. Haruskah kubangunkan dia? Tanpa kusangka, ia kembali bergerak dalam tidurnya. Tangannya berusaha melonggarkan dasi yang tengah dikenakannya. Usahanya tidak terlalu berhasil karena ia kembali terlelap.

Dengan perlahan kulonggarkan ikatan dasi sebelum berhasil kutarik lepas dari lehernya. Beberapa kancing bagian atasnya juga kubuka untuk membuatnya bernafas lebih lega.

Sabuk dan kaus kaki yang dikenakannya juga kulepaskan karena aku yakin pasti tidak nyaman tidur dengan semua itu.  Kudengar ia mengigau pelan seperti memanggil nama seseorang dalam tidurnya.  Kerutan di keningnya seolah menjelaskan kalau ia tengah mengalami mimpi buruk dalam tidurnya.

Kuusap lembut keningnya berulang-ulang sampai kerutan-kerutan itu menghilang.

Sepertinya semua orang pasti mempunyai masalahnya sendiri. Aku dengan kehidupanku dan kemunculan Ditto. Ia dengan mimpi buruknya. Mimpi buruk seperti apa yang dimiliki pria yang nampaknya memiliki segalanya ini?

Yakin kalau ia sudah kembali tenang, aku menyelimutinya dan beranjak meninggalkannya.

**

Aku sampai di rumah pukul dua pagi dan ini adalah kepulangan pertamaku setelah dua hari yang lalu.

Di luar dugaanku, kutemukan ibu sedang terkantuk-kantuk duduk di ruang tengah. Mendengar suara pintu depan yang kututup, ia berangsur-angsur mulai bangun dari tidurnya.

"Kamu darimana saja Yu... Kemarin kamu tidur dimana?"

Memangnya apa pedulinya. Masih ada sedikit rasa kecewa yang kurasakan kepadanya mengingat kejadian beberapa hari yang lalu.

"Ayu capek, Bu..."

"Sejak kapan kamu jadi pemberontak seperti ini? Kamu tahukan Ibu tidak pernah suka kamu pulang malam dan sekarang kamu bahkan berani untuk tidak pulang sama sekali?" suaranya meninggi dan hal itu mau tidak mau menghentikan langkahku menuju kamarku.

Aku mematung menunggu kelanjutan dari perkataannya. Seharian ini aku sudah terlalu lelah dengan semua yang terjadi. Aku tidak punya sisa tenaga untuk membantahnya.

Akankah ia berhenti menceramahiku jika tahu semua ini terjadi karena ulah suami keduanya.

Aku membelakanginya, masih enggan untuk menatap. Hanya ada kesunyian yang menyelimuti ruangan tempat kami berada.

"Ibu mengerti kamu masih marah soal ayahmu.... Tapi sampai kapan, Yu?"

Ucapannya barusan berhasil mematahkan niatanku awalku untuk meminta maaf padanya.

Ibu memang sudah berubah. Cinta telah membuatnya buta. Mendengarnya menyebut si Brengsek itu sebagai ayahku membuat amarah dalam diriku kembali memuncak.

"Sampai ia pergi selamanya dari hidupku," jawabku sambil melanjutkan langkahku ke dalam kamar.

Dengan dinding pemisah yang ada di antara kami, isak tangisnya masih dapat terdengar dengan jelas. Nyatanya, aku juga tidak bisa menghentikan air mata yang juga mengalir dari kedua mataku. Kudekap mulutku berusaha menyembunyikan isakanku yang mulai tidak terkendali. Aku tidak mau ia sadar kalau aku juga menangisi keadaan kami seperti yang tengah ia lakukan.

Bu, tidak bisakah kita kembali ke dua tahun yang lalu.

**

 -bersambung-

Terima kasih banyak atas dukungannya. Bener-bener nggak nyangka banyak yang nikmatin cerita ini. Makasih... :)

Sleep With Me Tonight [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang