-Terjalin (4)-

26.9K 1.7K 126
                                    

Sekeras apapun aku berusaha mengingkari kesadaran tentang apa yang sudah kulakukan semalam bersama Igo. Pada akhirnya aku tidak mampu menghindar bagai pengecut dan lari dari pagi canggung yang seharusnya terjadi Sembilan tahun yang lalu.

Lagipula tindakan Igo yang dengan sangat lembut menelusuri garis punggung telanjangku dengan jemarinya amat sangat membantuku untuk siap-siap menghadapi pagi yang menyebalkan ini.

“Kenapa kau tidak menghilang saja saat aku masih tidur,” gumamku dengan suara serak.

“Itu tindakan cewek.”

“Aku akan sangat menghargaimu jika kau melakukan tindakan itu sekarang, akan kusuruh orang memesan piala besar untukmu.” Aku berusaha meyakinkannya tapi yang kudapat malah sentuhan jemarinya pada punggungku berubah jadi ciuman pemujaan dari bibirnya yang membuatku meringis menahan sensasi yang ditimbulkan.

  “Apa yang kudapatkan saat ini jauh melebihi piala, jadi tawaran itu kutolak dengan senang hati.” Igo menyahuti sambil mengalihkan ciumannya ke telingaku, membisikkan selamat pagi dengan suara rendahnya yang harus kuakui sangat seksi.

“Jadi apa yang kau inginkan dengan bertahan di sini?” balasku sambil membuka mata sedikit untuk memandang jam wekerku, ternyata baru jam empat subuh.

“Sebuah jawaban.” Mantap dia menentukan pilihan.

“Dan apa pertanyaannya?”

“Kenapa kau masih perawan hingga semalam?”

Aku mengumpat pelan sambil menutupi mata dengan lenganku. “Itu bukan urusanmu.”

Aku mendengar suara kulit yang bergesekan dengan selimut dan seprai, juga ranjangku yang bergetar oleh gerakan Igo. “Nia, tolong jawab aku?” desakannya membuatku merasa semakin kesal saja.
            “Ada hal-hal yang tidak perlu dipertanyakan Go,”
            “Tapi wanita seperti kau, masih perawan hingga usia menjelang kepala tiga … Ya Tuhan Niaaa … aku tidak melepaskanmu untuk jadi perawan tua selamanya. Kalau semalam kita tidak melakukannya … sampai kapan kau akan …” getaran dalam suara Igo mengindikasikan emosinya yang dalam dan penuh rasa bersalah. Membuatku muak pada diri sendiri karena merasa bagai jalang yang menjebak seorang lelaki dengan jalan naik ke ranjang.

“Go, ini cuma masalah kecil.”

Tak ada jawaban tapi kemudian tangan yang menutupi mataku ditarik hingga menjauh, dan aku tak punya pilihan selain membuka mata dan menghadapi mantan suamiku secara langsung.

Igo sangat tampan, bahkan saat dia marah hingga membuat mata birunya berkilat-kilat oleh emosi.  Aku tahu itu sejak dulu, apa yang membuatku terbuai perasaan sendiri dan berharap bisa dicintai lelaki sepertinya.

“Aku merenggut yang seharusnya bukan untukku.”

“Apa itu salahku? Siapa yang mulai mengajak bermain api semalam, hah?”

Kelopak matanya mengatup sesaat, menyembunyikan matahari birunya dari tatapanku, namun saat kembali terbuka aku melihat kemarannya mereda bagai ada salju yang telah memadamkannya. “Ya! Yang semalam memang salahku. Tapi bukan itu yang kupermasalahkan … melainkan dirimu. Keperawananmu, Nia.”

“Sialan kau Igo, perawan itu bukan penyakit tahu! Kenapa kau jadi marah-marah begini, sih?”

“Nia!” bentaknya geram. “Jawab saja pertanyaanku, please?”

“Fine!” balasku ikut-ikutan membentak. “Setelah kita bercerai aku menjauh dari segala jenis keintiman antara lelaki dan perempuan. Aku tidak berpacaran, tidak memiliki kekasih … uhm kekasih tetap maksudku dan aku tidak berhubungan seks meski hanya cumbuan ringan?”

La MagiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang