02.7 | Surat Sewarna Darah

2.9K 206 11
                                    

02.7
Surat Sewarna Darah



Wonosari, Gunungkidul.
Masih pertengahan Maret 2008


Mengapa banyak orang yang begitu mencintai masa lalu? Mengenangnya dan selalu berusaha untuk kembali ke sana? Padahal, bukankah saat ini adalah yang terbaik? Menikmati saat-saat yang nantinya akan kita kenang sebagai masa lalu.

*

Tak banyak yang terjadi setelah kejadian sore itu. Surya yang masuk ke kamar Janu sore itu tak berkata apa-apa. Seperti biasa ia menampakkan wajah innocent-nya sambil tersenyum-senyum nggak jelas. Janu dan Pram juga tak menyelesaikan begitu saja obrolan tentang Tama dan (sedikit tentang) Gana, membuat perasaan tak nyaman pada diri Surya menggulungnya meski ia mati-matian menutupinya dan, berhasil. Kalau bukan karena Anggit yang menghentikan obrolan mereka agar mereka segera mengerjakan tugas agar bisa segera bermain empire of age II, Janu dan Pram tak akan berhenti.

Hari itu setelah istirahat pertama, kelas mereka sudah ramai dengan anak yang kembali dari kantin dan istirahat. Ada pelajaran biologi yang guru mereka satu itu sangat eksentrik, berbeda dengan guru-guru lainnya dalam caranya mengajar. Tak ayal, Ibu Nita itu jadi guru favorit kelas mereka. Hari itu mereka dijanjikan akan ada pre-test sebelum pelajaran mengenai peredaran darah dimulai. Mungkin karena itu, anak-anak telah berada di dalam kelas meski masih ramai dan bermain satu sama lain.

Kikan masuk ke dalam kelas sambil terburu-buru. Ekspresi mukanya seperti takut ketahuan menyembunyikan sesuatu. Ia buru-buru duduk di kursinya yang kebetulan berada di belakang kursi Tama hari itu. Tama berbalik menghadap Kikan yang sedikit berjengit melihat Tama berbalik menatapnya.

"Darimana?" tanya Tama sambil nyengir.

"Oh, itu, dari perpus." Kata Kikan tak menatap mata Tama malah menunduk seperti mencari sesuatu. Kikan mengeluarkan buku pelajaran biologi pegangannya lalu duduk manis. Tama mengernyit geli lalu berbalik menghadap ke depan. Saat itu ia melihat Jay yang sedang menenteng beberapa buku yang Tama kenali sebagai novel, ah, ada satu lagi yang tak Tama kenali, buku bersampul kulit coklat muda, sepertinya buku catatan.

Jay melengos ketika tatapannya bertemu dengan Tama. Tangan kanannya yang bebas menggosok-gosok tengkuknya yang tak gatal. Ia buru-buru duduk di kursinya yang berada tepat di depan meja guru, berbeda satu baris dengan tempat duduk Tama. Tama memincingkan matanya, ia berusaha lama-lama menatap Jay karena biasanya Jay akan menatapnya sambil memberikan tatapan menantang. Tapi tidak. Jay malah sibuk membuka-buka buku biologinya. Ia berhenti di bab peredaran darah dan mulai sedikti membaca.

'Aneh.' Pikir Tama.

Tapi ketika guru biologi mereka yang eksentrik itu masuk ke dalam kelas dan menyapa para siswa, perhatian Tama teralihkan untuk beberapa waktu.

"Di pertemuan sebelumnya ibu berjanji kalau hari ini kita akan mengadakan pre-test sebelum kita masuk ke bab selanjutnya. Nah, apakah kalian sudah siap?" tanya guru mereka.

Para siswa mengerang manja meski begitu menyiapkan secarik kertas dan memasukkan segala buku ke dalam laci meja mereka.

Guru biologi mereka tersenyum, ah, lebih tepatnya menyeringai.

"Baiklah, ibu minta kalian menulis surat."

Kelas langsung ramai karena mereka bingung dengan perintah ibu guru mereka itu.

"Tenang-tenang. Isi surat yang harus kalian tulis itu adalah mengenai apa yang telah kalian pelajari semalam, mengenai peredaran darah. Tapi ada satu syarat, yang cewek harus kirim ke yang cowok, dan yang cowok harus kirim ke yang cewek."

JARAK [complete]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang