diarahkan kepadanya. Karena Arya tidak menghendaki bentrokan terjadi, maka iapun mematuhi isyarat itu.
Ketika rombongan kecil itu telah berhenti, majulah beberapa orang bersenjata mendekati mereka. Sementara itu Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara telah berada dekat di belakang Arya Salaka. Sedang Wanamerta pun kemudian menempatkan
dirinya di samping anak muda yang membawa tombak Kyai Bancak itu. Beberapa orang itu kemudian berdiri mengitari
Arya Salaka dan rombongannya, seolah-olah mereka hendak mengepung rapat-rapat.
Salah seorang yang agaknya menjadi pemimpinnya maju selangkah, lalu dengan bertolak pinggang ia berkata,
"Siapakah kalian? Kemana kalian akan pergi? Dan apakah maksud kalian?"
Sesaat kemudian Arya Salaka menjawab, "Ki Sanak, kami adalah orang-orang Banyubiru. Adakah Ki Sanak juga
orang Banyubiru?"
"Ya," jawabnya singkat.
"Kalau begitu kalian seharusnya mengenal kami," sambung Arya.
Orang itu mengangkat alisnya. Tetapi tiba-tiba dari dalam rombongan itu meloncat seseorang sambil berteriak, "Kalian
merasa diri kalian orang-orang Banyubiru?"
"Ya," jawab Arya.
"Aku orang Banyubiru sejak lahir," katanya lantang penuh kebanggaan.
"Aku percaya, Ira. Kau memang lahir di Banyubiru, dibesarkan di Banyubiru, dan dewasa di Banyubiru," sahut
Wanamerta, "Dan agaknya kau sekarang sedang mencoba untuk membalas budi kepada tanah yang telah memberikan
kepadanya makan, di saat lapar dan memberimu air di saat kau haus."
Orang itu terkejut. Memang matanya agak kurang jelas di dalam gelap, sehingga ia terlambat mengenal Wanamerta.
Ketika ia mendengar suara itu, serta suara itu menyebut namanya dengan tepat, barulah ia berusaha mengenalnya baik-
baik.
Tiba-tiba terpekik dan berlari memeluk kaki orang tua itu.
"Bukankah Tuan... Kiai Wanamerta?"
"Akulah," jawab Wanamerta.
"Maafkan aku Kiai. Aku kurang mengenal Kiai di malam yang gelap ini," kata orang itu.
"He, Ira..." bentak pemimpin rombongan itu, "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Orang ini adalah Kiai Wanamerta," jawab Ira, "Ia adalah tetua tanah perdikan ini."
"Tidak!" bentak pemimpin itu.
"Tak ada yang pantas disujudi di tanah ini selain Ki Ageng Lembu Sora."
"Tetapi Kiai Wanamerta adalah emban kepala perdikan ini sejak aku lahir, sejak pemerintahan tanah perdikan ini
dipegang oleh Ki Ageng Sora Dipayana."
"Jangan menggurui aku," bentak pemimpin itu, yang ternyata orang Pamingit.
"Akupun kenal Kiai Wanamerta. Agaknya benar itulah orangnya. Semula memang aku agak kurang mengenalnya
kembali setelah ia menjadi bertambah tua. Tetapi Wanamerta adalah orang yang tak berarti bagi Banyubiru."
Orang Banyubiru yang bernama Ira itu agaknya kurang senang mendengar kata-kata pemimpinnya itu. Maka iapun
berkata, "Jangan berkata begitu. Supaya aku tetap menghormatmu."
"Apa...?" jawab orang Pamingit itu sambil membelalakkan matanya.
NAGASASRA SABUK INTEN 3
Mulai dari awal