Bab 23

128K 1.6K 154
                                    

Haaiiiii....surpriseeee....berhubung idenya lancar jadi postingnya maju satu hari. siapa tau besok bisa ngepost lanjutannya lagi :P

Seperti biasa mohon bantuan supportnya (votes and comments), doa, semoga bisa ditulis sampai ending (kebiasaan suka gantungin cerita)

Btw, cerbung ini kemungkinan masih akan sangat panjang ceritanya. kalo udah bosen bilang-bilang ya...                                                     

                                                                Bab  23

Tok tok tok

Suara ketukan pintu sebanyak tiga kali terdengar ketika Marvin sedang memakai dasi biru tua sebagai padanan kemeja biru langit yang dipakainya. Diliriknya Hazel yang sedang duduk di tepi tempat tidur sambil mengoleskan lotion ke betisnya yang putih pucat.

“Sebentaaar!!” teriak Hazel sambil menuntaskan olesan lotion di kulitnya dengan cepat.

“Ayo sarapan bareng, Kak.” Vio kemudian tersenyum kepada Marvin. “Mas. Sarapan,”

“Iya. Udah hampir selesai.”

Ternyata Vio yang datang mengetuk. Dia sudah rapi mengenakan seragam putih abu-abu dan bandana pink di kepalanya.

“Iya. Ini juga udah selesai, kok.” Hazel yang sudah mengambil handbag dan diselipkan di lengan kanan menggamit lengan Vio.

“Lho? Mas Marvinnya…”

“Ntar dia nyusul,” jawab Hazel sambil menyerahkan kotak sepatu barunya kepada Vio. “Nih. Bantu Kakak bawa ini ke bawah.”

“Wiih. Sepatu baru niyee…” Vio menerima angsuran kotak sepatu dari tangan kakaknya dengan antusias dan membukanya saat mereka bersama-sama menuruni tangga. “Hadiah ya? Dari Mas Marvin?”

“Bukan. Itu dari Maya. Sepupunya Marvin,”  jelas Hazel dengan singkat.

Hazel menelan ludah seusai mengucapkan nama Marvin. Teringat percakapan mereka semalam. Tatapan Marvin, permintaan maafnya, sentuhan Marvin di pipinya. Marvin pikir Marvin bisa dengan mudah mendapatkan maaf darinya. Tidak.

Karena hati Hazel dan maafnya sudah tertutup rapat untuk Marvin.

                                                                                ***

Marvin sudah duduk di belakang kemudi dengan mesin mobil yang sudah dihidupkan, menunggu Hazel keluar dari dalam rumah dan berjalan cepat menuju mobil. Ditunggunya sampai Hazel selesai memasang seatbelt. Hanya dengan lirikan mata cepat. Selebihnya, Marvin lebih banyak menatap ke depan, berusaha fokus menyetir sementara pikirannya melakukan rewind percakapan mereka semalam.

                                                                                ***

“Bisa kita bicara?”

                                                                                ***

Sebetulnya, Marvin mencoba menahan diri untuk tidak mengajak Hazel bicara. Paling tidak sampai tiga hari. Tapi, hanya beberapa jam saja diam-diaman dengan Hazel membuat batinnya tidak tenang. Kasusnya akan berbeda jika mereka tidak harus berada dalam satu rumah, satu kamar, satu ranjang pula. Masih ditambahkan pula, mereka sedang berada di rumah Hazel, rumah mertuanya, di sebuah teritori yang mengharuskannya bersikap sebagai suami yang baik, perhatian, dan penyayang. Bagaimana dia bisa melakukan keharusan itu jika sikap Hazel terus-menerus memusuhinya?

Hazel's Wedding Story (First Sight) SUDAH DIBUKUKANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang