tiga dalam satu - wiro sableng

6.5K 15 0
                                    

• WIRO SABLENG - SERIBU HAWA KEMATIAN • ARIO BLEDEG - PETIR DI MAHAMERU • KUNGFU SABLENG - PENDEKAR PISPOT NAGA

BASTIAN TITO

PENDEKAR KAPAK MAUT NAGA GENI 212 W W I I R R O O

S S A A B B L L E E N N G G

SERIBU HAWA KEMATIAN

PDF E-Book: kiageng80

WIRO SABLENG SERIBU HAWA KEMATIAN

KALUNG KEPALA SRIGALA 1

DINGINNYA udara menjelang pagi bukan olah-olah. Pendekar 212 katupkan rahang rapat-rapat, bergerak dalam kegelapan menuju timur. Di atas bahunya Sinto Gendeng duduk tak bergerak. Dua tangan dirangkapkan di depan dada, sepasang mata terpejam dan dari mulutnya keluar suara mendengkur. "Aku harus lari, mendukungnya dalam udara dingin. Dia enak-enakan ngorok!" Wiro mengomel sendiri dalam hati. Di satu tempat pemuda ini hentikan larinya. Memandang ke timur, langit masih gelap pertanda sang surya belum muncul. Tiba-tiba Wiro menangkap suara sambaran-sambaran angin di sekitarnya. Dia tidak melihat apa-apa tapi yakin sekali ada beberapa orang berkelebat dalam kegelapan. "Eyang, aku mendengar sesuatu..." Wiro berucap dengan suara perlahan sambil tepuk paha si nenek. Paha yang ditepuk tidak merasa apa-apa karena berada dalam keadaan lumpuh mati rasa akibat serangan Kelelawar Pemancung Roh tempo hari. "Eyang..." Karena tidak mendapat sahutan Wiro memanggil kembali. "Lekas bangun! Ada orang..." "Anak setan! Jangan mengejutkan tidurku! Apa mau kukencingi tengkukmu?!" "Ah, kukira kau masih tidur Nek. Ada beberapa orang di sekitar kita..." "Kalau masih namanya orang, lalu apa kau takut?!"

tanya si nenek. Dua matanya masih dipejamkan sedang sepasang tangan masih bersidekap di depan dadanya yang kurus tipis. "Mereka mungkin punya maksud jahat Nek. Agaknya mereka telah mengikuti kita sejak lama. Mereka mencari saat yang tepat untuk melakukan sesuatu..." "Kau cuma mendengar dan merasakan gerakan mereka. Aku malah sudah lihat tampang mereka!" kata Sinto Gendeng pula. Lalu masih dengan mata terpejam dia meneruskan. "Mereka berempat. Mengenakan jubah hitam. Kepala dan wajah masing-masing ditutupi kerudung hitam..." "Berarti mereka adalah sisa-sisa anggota komplotan Lima Laknat Malam Kliwon!" "Bukan," jawab si nenek. "Yang empat ini tidak mengenakan topeng barong. Ada gambar kepala srigala di dada pakaian masing-masing. Anak setan, aku mau meneruskan tidurku. Hati-hatilah. Mereka mungkin mau menggerogoti lehermu atau mengorek jantungmu!" "Nek! Bagaimana kau bisa tidur enak sementara aku terancam bahaya!" Pendekar 212 jadi jengkel. "Kau yang mereka incar. Bukan aku! Hik... hik... hik!" Si nenek tertawa cekikikan. Begitu tawanya lenyap berganti terdengar suara dengkurnya. Wiro Sableng mendongkol setengah mati. Dia percepat larinya. Dalam gelap empat bayangan berkelebat mengikuti. Kesal diikuti terus menerus tanpa dia punya kesempatan melihat jelas siapa adanya orang-orang itu, di satu tempat agak terbuka Wiro hentikan larinya dan membentak. "Empat penguntit! Siapa kalian! Lekas unjukkan diri! Jangan berani berlaku keji!" Tak ada jawaban. Tak ada yang bergerak. Di sebelah kiri, sekelompok ranting bergoyang oleh hembusan angin. Wiro memandang berkeliling. "Sialan! Kalian ternyata manusia-manusia pengecut! Tidak berani unjukkan diri!" Pendekar 212 memaki. Dia

memandang berkeliling sekali lagi. Tetap saja tidak melihat apa-apa. Dia putuskan untuk lanjutkan perjalanan kembali. Baru menggerakkan kaki tiba-tiba empat benda panjang berkelebat dan tahu-tahu empat tangan berbentuk cakar mengerikan siap mencengkeram lehernya dari jarak satu jengkal! Tenggorokan Pendekar 212 turun naik. Keringat dingin memercik di keningnya. Matanya mendelik tak berkedip memperhatikan empat tangan berbentuk cakar, mencuat keluar dari balik lengan jubah hitam. Ada empat orang yang mengurungnya saat itu. Dan seperti yang dikatakan Sinto Gendeng, orang-orang ini menutupi kepala dan mukanya dengan kerudung hitam. Pada dada pakaian mereka ada gambar kepala srigala berwarna putih perak bermata merah mencorong. "Siapa kalian! Apa mau kalian?!" Wiro ajukan pertanyaan. Tangannya kiri kanan sudah dialirkan tenaga dalam dan mencekal betis Sinto Gendeng yang ada di atas dukungannya. "Kami tidak mencari perkara. Asalkan mau menyerahkan kalung perak kepala srigala!" Salah seorang dari empat pengurung membuka suara. Murid Sinto Gendeng langsung menyeringai. "Eh, kau perempuan kiranya. Masih gadis atau sudah nenek-nenek seperti yang aku dukung ini?!" "Jangan bergurau! Waktu kami tidak lama! Kalau memang mau cari selamat serahkan saja kalung kepala srigala terbuat dari perak itu!" "Benda yang kau cari tidak ada padaku!" jawab Wiro. Dia berdusta. Karena seperti yang diceritakan dalam serial sebelumnya (Laknat Malam Kliwon) setelah diserbu oleh lima anggota Laknat Malam Kliwon Wiro memang menemukan sebuah kalung srigala terbuat dari perak putih yang talinya telah putus. Kalung itu saat itu disimpannya di balik pakaiannya. "Seorang pendekar tidak layak berdusta!" Orang berkerudung di sebelah kiri membentak.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2010 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

tiga dalam satu - wiro sablengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang