Chapter 1, Part 2 - Geu Yeoja

1.8K 74 7
                                    

Hosh… hosh…

Aku sudah teramat sangat lelah, tetapi aku seperti tidak bisa mengendalikan tubuhku. Pedang yang kugenggam sudah merah berlumuran darah. Hujan panah pun tak mampu menghentikanku. Aku terus maju seorang diri. Ya, seorang diri. Hei, kemana anak buahku? Apa mereka mati? Atau kabur? Lalu kenapa aku tetap maju berperang? Mau bunuh diri? Cari mati?

Sejak tadi entah mengapa mataku terus terfokus pada satu titik, di mana berdiri seorang wanita bermahkota dan bergaun emas. Mungkinkah dia seorang ratu? Apa mungkin aku hendak membunuhnya? Tetapi, bukan kebencian yang kurasa, melainkan kerinduan, dan rasa penyesalan.

Beberapa langkah lagi, aku bisa menjangkaunya. Ada perasaan ingin memeluknya, juga mengucapkan sebuah kata – tidak, bukan kata, tapi nama. “Deok Man-ah” kata itulah yang terus terngiang di benakku.

Ketika aku sudah hampir dekat dengannya, seorang pria menghalangi dan menusuk perutku dengan pedangnya.

“Deok Man-ah… Deok Man-ah…”

Tubuhku merosot ke tanah, tanganku masih terangkat dan bibirku masih melafaskan nama itu. Kemudian aku merasakan tubuhku terasa bergetar, mungkin pertanda ajal akan tiba. Semakin lama semakin kencang getarannya, seperti ada seseorang yang menggoyang-goyang tubuhku. Kemudian sayup-sayup aku mendengar sebuah suara yang familiar…

***

“Kim Daepyo-nim, ayo bangun. Kita sudah hampir terlambat. Daepyo-nim!”

Perlahan aku membuka mata. Sinar matahari begitu silau, membuat mataku kembali terpejam dan tanganku menarik kain yang menyelimuti tubuhku hingga ke kepala.

Ya, Daepyo-nim!” orang yang terus-terusan memanggil itu menarik selimutku dengan kasar.

YA! Kau mengganggu saja! Pergi!!!” bentakku sambil melempar bantal ke arah pria berkacamata bulat itu.

Aigoo, kita sudah hampir telat, Boss. Satu jam lagi kan ada rapat!”

Pria itu menarik tanganku hingga tubuhku jatuh ke lantai yang dingin. Tak hanya sampai di situ, ia terus menyeretku ke kamar mandi. Aku meronta-ronta, tetapi karena aku masih setengah sadar dan baru bangun tidur, aku tidak bisa melawannya. Ia menyiram air dingin ke kepalaku.

“Aaarrrgh! Dingin sekali! Sudahlah, aku bisa mandi sendiri!” kali ini aku benar-benar sadar setelah diguyur air es itu.

Sial! Ini gara-gara mimpi aneh yang menyerang tidurku beberapa malam belakangan ini. Mimpi itu tampak begitu nyata. Aku bahkan bisa merasakan nyerinya tertusuk panah dan pedang itu. Darahku serasa benar-benar keluar dari mulutku, hingga bantalku basah, tetapi saat aku sadar, ternyata bantalku yang basah itu bukan darah, tetapi air liurku, hehehe…

 “Akh…”

Aku terduduk di sisi ranjang sambil memegangi dada kiriku yang terasa nyeri dengan tangan kanan, sementara tangan kiriku gemetaran membuka laci dan mencari obatku. Cepat-cepat aku membuka tutupnya dan menelan sebutir.

Tarik napas… hembuskan… tarik napas… hembuskan…

***

Rapat bulanan yang membosankan baru saja selesai. Aku tidak sepenuhnya memperhatikan jalannya rapat karena benakku terus memutar adegan dalam mimpi yang menghantuiku akhir-akhir ini. Tidak mungkin mimpi itu hanya sekedar pengantar tidur.

Apa mungkin itu adalah refleksi dari kehidupanku di masa sebelumnya? Mungkin dulunya aku prajurit yang malang di zaman kerajaan, lalu karena belas kasih Tuhan, aku bisa bereinkarnasi menjadi putra chaebol Korea yang kaya raya. Ataukah mimpi itu sebuah pertanda? Bahwa aku akan mati mengenaskan tak lama lagi? Aku mengelus dada kiriku saat terdengar ketukan di pintu ruanganku.

“Masuk.”

Seorang gadis melongokkan kepalanya, kemudian menunjukkan sebuah kotak makanan sambil tersenyum manis.

“Oh, kau. Mau apa kemari?”

“Ini kan jam makan siang. Jangan terlalu serius bekerja, Kim Daepyo-nim,” katanya sambil meletakkan rantang itu di atas meja kerjaku.

“Aku masih sibuk, kau makan sendiri saja. Aku bisa menyuruh sekretaris Jang membelikan makanan,” kataku dingin sambil membolak balik dokumen.

Gadis itu merebut dokumen-dokumenku dan menyingkirkannya ke sudut meja. Aku menatapnya lelah.

“Han Ga In…”

Ga In mendengus dan memonyongkan bibir mungilnya. “Padahal aku sudah capek-capek memasaknya…”

“Kau? Memasak? Memangnya bisa dimakan?” cibirku.

Ga In membuka kotak makanannya dan memperlihatkan isinya. Selain nasi, ada kimchi, tempura, dan beberapa potong daging sapi panggang.

“Ah, ini pasti dari restoran, atau buatan bibi Choi.”

“Aku membuatnya sendiri kok, dengan bantuan bibi, sih.”

Aku mengulurkan tangan padanya, “Sumpitnya.”

Ga In menyerahkan sepasang sumpit dengan wajah yang sumringah, lalu duduk di hadapanku, memandangku menyuapkan tempura ke dalam mulut.

“Hmmm… jinjja masissda… aku semakin yakin kalau bibi Choi yang membuatnya.”

Ya! Oppa!” Ga In merajuk.

Entah mengapa aku suka mengerjainya, membuat bibir itu maju beberapa senti, melihatnya merajuk manja. Kami sudah bersahabat sejak kecil karena orang tua kami juga bersahabat. Sebagai putri chaebol, ia sama sekali tidak anggun. Daripada bermain boneka seperti anak perempuan lainnya, ia lebih senang memanjat pohon bersamaku. Berkali-kali kami dimarahi, tetapi ia tidak jera juga. Mungkin karena tidak punya saudara perempuan (kakak dan adiknya laki-laki), ia jadi tomboy, apalagi bertemannya denganku yang terkenal bandel ini.

“Sepulang kerja, mau menemaniku ke acara ulang tahun temanku?” tanyanya sambil membereskan rantang.

“Tidak bisa. Aku ada janji dengan dokterku.”

“Dadamu sakit lagi?” tanyanya cemas.

“Tidak juga, hanya cek rutin, daripada mati mendadak.”

“Mau kutemani?”

“Tidak usah, aku dengan sekretaris Jang saja.”

Ga In mengangguk-angguk, “Kalau begitu aku pulang dulu. Jangan lupa kabari aku tentang hasilnya nanti malam. Bye…”

Aku membalas lambaian tangannya hingga ia menghilang di balik pintu.

***

Ting…

Pintu lift rumah sakit terbuka. Sepasang dokter muda – yang satu pria berkacamata, yang satunya wanita berambut ikal berantakan -  keluar dari dalam lift. Setelah aku masuk dan menekan tombol lantai, dokter wanita itu berbalik dan menatapku tajam. Tiba-tiba jantungku berdebar lebih kencang dari biasanya, namun tidak ada nyeri yang terasa.

Perlahan pintu lift tertutup. Aku masih tertegun. Wajah itu, mata itu, bibir itu, tampaknya begitu familiar. Aku seperti pernah bertemu dengannya, tapi tidak ingat kapan dan di mana. Dan debaran ini… apa jantung ini memang sudah rusak? Aku memang benar-benar membutuhkan check-up rupanya.

TBC

mini kamus :

Depyeo-Nim : CEO; ~Nim digunakan untuk memanggil dengan sopan.

Chaebol : konglomerat yg kaya raya

jinjja masissda : enak sekali / benar-benar enak

multimedia sebelah kanan adl MV yg jadi inspirasi cerita ini. Pembuatnya saya lupa namanya  soalnya sy donloadnya udah beberapa tahun silam sih dan sekarang di youtube sudah bertebaran, jadi sudah ngga bisa terdeteksi lagi siapa pembuat aslinya. Adegan Chapter 1 diambil dari MV tersebut...

[QSD FF] Destiny's Game✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang