PART ONE

3.6K 28 8
                                    

Hujan deras disertai angin menerpa jendela kamar rumah sakit tempat ibuku dirawat.  Sudah berapa lama setiap jam 1 siang aku selalu kemari, dari kampus ke rumah sakit lalu part-time. Bunyi bip panjang menyadarkan lamunanku. Kupalingkan wajahku dari jendela rumah sakit untuk melihat keadaan ibuku yang terbaring koma. Musik klasik mengalun pelan dari player yang sengaja kubawa dari rumah. Tapi sepertinya lebih tepat jika untuk menemaniku. Kuperhatikan garis-garis naik turun menandai detak jantungnya. Kapan garis itu akan berubah lurus? Kapan kau akan terbebas darinya? Sampai kapan kau akan lupa? Seseorang berbisik di dalam kepalaku. Kugelengkan kepala, apa aku mulai gila karena menjaga ibu terus menerus? Rasanya ada seseorang yang menggeliat-geliat seolah ingin keluar dari dalam tubuhku. Seorang suster, yang kalau tidak salah kuingat namanya Emma, mengetuk pintu dan tersenyum. Ia mendekati tempat tidur dan bertanya,”Bagaimana keadaanmu? Wajahmu pucat, sayang, seharusnya kau lebih banyak beristirahat. Tidurlah sebentar.” Ia menyentuh wajahku dengan penuh perhatian.

   “Terima kasih,” jawabku dan memejamkan mata sementara Suster Emma memeriksa ibu. Aku bisa mendengar langkah kakinya mengitari ruangan dan tangannya yang meletakkan selimut tipis di pundakku. Aku mulai merilekskan jari-jari tangan ketika sesuatu dengan cepat mengambil alih, mula-mula tanganku lalu menjalar keseluruh tubuh. Ia mengangkat tanganku dan mencengkram tangan suster Emma. Melihat dengan mataku dan berbicara dengan mulutku. “Kapan?” tanyanya setengah berbisik. “Sampai kapan dia akan bertahan?

Suster Emma tampak bingung. “Ashley?” panggilnya. “Ada apa? Apa kau tidak enak badan? Mau kuambilkan teh?” tanyanya sementara tangannya hendak menyentuhku.

Plaak!! Dia, yang mengambil alih tubuhku, menepis tangan Suster Emma. “Tidak usah basa-basi,” katanya dengan kasar. Aku sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi, perasaan yang seolah melayang-layang itu kembali dan aku kehilangan kuasa atas tubuhku sepenuhnya. “Kau tahu apa yang kumaksud.”

   “Memang. Dengan kondisinya sekarang seharusnya dia bisa bertahan mungkin 5 atau 7 bulan lagi. Tapi sepertinya terlalu lama, untukmu atau Ashley? Dimana Ashley?”

Ia tersenyum dingin. “Untukku. Tenang saja, sekarang Ashley sedang tidur. Dia terlalu lelah untuk tetap bisa sadar. Sepertinya Anda tahu banyak tentang kami, suster.”

   “Tidak. Aku hanya pernah melihat kalian, itu saja. Jadi apa maumu, nona tanpa nama?”

   “Mudah,” katanya sambil menautkan jari-jari tangannya. “Kalau obat-obatan yang menyongsongnya dikurangi sedikit demi sedikit, sampai berapa lama dia bisa bertahan?

Emma tampak berpikir sejenak. “Kira-kira 3 bulan. Masih terlalu lama?”

   “Ya.

   “Apa kau sebegitu membenci ibumu sampai kau ingin membunuhnya?”

   “Dia bukan ibuku. Dia ibu Ashley,” jawabnya, senyumnya perlahan menghilang.

   “Kenapa harus aku? Kenapa bukan suster yang lain?” tanya Suster Emma.

Ia menghela nafas panjang. “Aku tidak suka orang bodoh. Apa kau ingin aku memberitahukan semua orang apa yang kau lakukan di belakang para dokter? Menerima uang dalam jumlah banyak untuk membunuh seseorang yang sudah sekarat atas permintaan keluarga tanpa surat ijin dokter. Anda pikir bisa selamanya melakukan hal itu tanpa diketahui orang lain? Benar-benar naif.

Emma menatap gadis yang duduk di hadapannya, Ashley yang pemalu, polos dan lugu sudah hilang, digantikan dengan gadis yang mempunyai sorot mata cerdas dan tenang tanpa ekspresi. Terlalu tenang, pikir Emma. “Dari mana kau tahu hal itu.”

Inside Me, who is it?Where stories live. Discover now