part 3

12.5K 602 42
                                    

Hingga tengah malam Addie tak sanggup memejamkan mata. Sejak menyadari dirinya jatuh cinta pada Ray, kehadiran lelaki itu selalu menimbulkan efek yang begitu mendalam baginya. Ya Tuhan, bila rasa cinta itu begitu menyakitkan, dia tak akan menyesal kalau tak harus mengalaminya. Addie sudah lelah menangis, lelah merasa sakit hati, dan yang terpenting, dia telah lelah untuk terus-menerus berputus asa. Kondisi seperti ini harus berubah. Tetapi tekadnya terlalu lemah untuk berubah. Dia membutuhkan lokomotif berkekuatan penuh untuk menarik gerbong keputus-asaan yang memenjarakan hatinya.

Pagi hari tetap menjadi saat paling berat bagi Addie. Terutama setelah begadang semalaman tanpa rencana, di tengah minggu yang sibuk seperti sekarang. Saat alarm di atas nakas di samping tempat tidurnya berbunyi, Addie menggeram malas. Refleks dia menjangkau benda yang menjerit-jerit pilu itu dan menghentikan penderitaannya dengan mematikannya. Sepuluh menit lagi, batin Addie tanpa membuka mata. Dan sepuluh menit yang dijanjikan itu terjadi tepat empat puluh lima menit kemudian. Addie meloncat dan menjerit frustasi melihat angka pada jam meja yang seolah mengejeknya dengan menunjukkan tanda bahwa dia harus sampai di tempat kerjanya dalam waktu lima belas menit!

Tanpa sempat mandi, hanya mencuci muka dan gosok gigi, Addie mengambil langkah praktis dengan mengikat rambutnya menjadi gelung mungil di tengkuk. Dengan putus asa dia mencari-cari stocking yang menghilang entah kemana dan akhirnya harus puas dengan menemukan stocking lama yang beberapa benangnya terlepas. Tak ada yang akan memperhatikan! Batinnya meyakinkan diri sambil meraih pakaian kerjanya. Dan Addie membelalak ngeri menyaksikan lingkaran hitam di sekeliling matanya tanda kekurangan tidur.

“Aku harus menutupnya dengan make up sialan!” serunya kian putus asa.

Dan Addie akhirnya tetap terlambat sepuluh menit dari seharusnya. Tepat waktu  untuk menghadapi kemarahan supervisor yang bertanggung jawab pada posisinya. Ya Tuhan, betapa kacaunya hari ini!

Bahkan saat Margie kembali meneleponnya pada saat menjelang istirahat makan siang, Addie masih belum menemukan keceriaannya.

“Apalagi, Margie?” tanyanya dengan keengganan yang tak sanggup dia tutupi.

“Addie sayang, kenapa kau terdengar tidak bersemangat?” seru Margie dari seberang sana, ceria seperti biasa.

“Aku tak punya alasan untuk bersemangat mendengar suaramu, Margie. Ada apa? Cepat katakan karena aku harus segera makan siang.”

“Ow ow… si kecil Addie sedang marah. Maafkan aku sayang karena terlalu mengkhawatirkanmu semalam sehingga aku menghubungi Ray. Apakah dia menimbulkan kesulitan bagimu?”

“Aku tidak marah lagi, Margie. Aku akan kehabisan energi bila harus selalu marah pada segala hal yang menyangkut kamu dan Ray!” kata Addie dengan lelah.

“Gadis yang manis,” kata Margie dan Addie bisa membayangkan tawa penuh kepuasan Margie yang terpampang di wajah cantiknya. “Aku hanya akan mengabarimu tentang berita gembira. Tadi pagi Ray sudah menghubungiku dan menyatakan persetujuannya tentang pesta itu. Bukankah itu luar biasa, Addie?”

“Hm… begitulah…”

“Addie, jangan skeptis begitu. Pesta ini sangat penting untukku.”

“Oh ya? Kenapa hal itu tak mengherankan bagiku? Kamu memang gadis tua yang ambisius!”

Margie tertawa terbahak-bahak. “Baiklah. Kalau kau sudah mengejekku secara langsung begitu, berarti mood mu sudah lebih membaik,” katanya. “Dan aku juga sudah bilang pada Ray bahwa nanti kau bisa pulang bersama Ray dan Fiona. Rencananya Ray akan memakai pesawat pribadinya.”

“Margie!”

Teriakan kemarahannya tak mendapatkan tempat yang semestinya karena seperti sudah menduga, Margie buru-buru mematikan sambungan telepon dan membiarkan Addie tenggelam dalam rasa frustasi. Berada di satu tempat bersama Ray dan kekasihny? Betapa teganya Margie!

The Adorable GentlemanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang