1
PEMANDANGAN Di Lereng Selatan Gunung Merbabu indah sekali pagi itu. Di atas langit
biru bersih disaput awan berarak yang dihembus angin perlahan-lahan dari timur ke barat. Di kaki
gunung sebelah timur menghampar sawah luas yang tampak menguning tanda waktu panen yang
menggembirakan para petani tidak lama lagi. Di sebelah barat tampak daerah bebukitan yang subur,
menghijau tertutup daun-daun pohon jati yang telah berusia puluhan tahun. Membelah hutan jati, di
sebelah tengah melintang sebuah sungai kecil yang dari jauh airnya kelihatan memutih seperti perak
tertimpa cahaya matahari yang sedang naik.
Jauh di sebelah selatan menjulang gunung Merapi laksana raksasa penjaga negeri, penuh
gagah dan perkasa. Gunung Merbabu sendiri berdiri tegak dalam kesunyian, seolah dibungkus oleh
satu ketenangan misterius karena selama ini hampir tak ada orang atau penduduk sekitar tempat itu
yang pernah naik. Jangankan sampai ke puncaknya, sepertiga lereng gunungpun kabarnya belum
pernah didaki orang atau penduduk setempat. Konon pernah ada berita bahwa di atas gunung
Merbabu itu terdapat sebuah pertapaan dimana tinggal seorang sakti pimpinan sebuah perguruan silat
yang mempunyai beberapa anak murid. Sampai dimana kebenaran berita itu tidak pernah dibuktikan
orang karena siapa pula yang mau menyelidik.
Angin gunung berhembus sejuk. Daun-daun pepohonan bergemerisik halus. Kicau burung
terdengar dikejauhan. Lalu lenyap. Sunyi beberapa ketika. Sesaat kemudian kesunyian itu dipecahkan
oleh suara siulan yang akan terasa aneh bagi siapa saja yang mendengarnya. Aneh karena suara siulan
itu keras sekali seperti bukan suara siulan manusia. Lalu lagu maupun irama yang disiulkan itu sama
sekali tidak sedap didengar karena kacau balau naik turun tinggi rendah tidak menentu. Siapa
gerangan orang yang bersiul ini?
Ternyata dia seorang pemuda berpakaian putih lusuh. Kepalanya yang berambut hitam
gondrong diikat dengan sehelai sapu tangan putih. Di pinggangnya menonjol sesuatu tanda di bawah
pakaiannya pemuda ini membekal sebilah senjata, entah golok, entah keris ataupun pisau besar. Di
tangan kanannya dia memegang sepotong ranting kayu yang dipergunakannya untuk menguak semak
belukar atau rerantingan yang menghalangi langkahnya. Ketika angin bertiup lagi dan baju di bagian
dada si pemuda tersingkap terlihatlah tiga deretan angka yang dirajah pada dadanya. Angka 212. Tak
pelak lagi pemuda yang bersiul tanpa juntrungan ini adalah Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212
Wiro Sableng, murid si nenek sakti dari puncak gunung gede. Dan benda yang menonjol di pinggang
pakaiannya itu sudah dapat dipastikan adalah Kapak Maut Naga Geni 212, senjata mustika yang sulit
dicari tandingannya dalam dunia persilatan.
Mendadak Pendekar 212 hentikan siulannya. Gerakan kedua kakinya ikut berhenti. Mulutnya