Perang Batin

7.6K 41 7
                                    

Chapter Empat Belas

Ari’s POV

Kurebahkan tubuhku di atas tempat tidur. Kuharap dengan melakukan itu fikiranku bisa sedikit tenang dan membuat mataku segera terlelap. Namun, ternyata tidak semudah itu bisa terlepas bebas dari tindihan masalah yang mengepung otakku ini. Arrrgh.... Cinta ini membuatku gila!

“Belum tidur, Nak?” Mama tiba-tiba sudah muncul di depanku. Wajah teduh dan senyum manisnya itu sedikit banyaknya selalu mampu meredam semua rasa yang sedang bergejolak di hatiku.

Aku bangkit dari pembaringan, lalu duduk menekuri lantai di pinggir tempat tidur. Beliau mengambil tempat di sampingku, kemudian menggenggam tanganku dengan lembut. Sejenak kami berdua diam membisu.

Ini adalah kebiasaan Mama. Beliau tidak akan bisa tidur jika melihat anaknya masih bermuram durja dan berteman gelisah. Ia akan datang menemani anak-anaknya, meski hanya untuk menggenggam jemari anaknya atau mendaratkan satu kecupan di dahi.

Oh, Mama! Rasanya aku malu dengan ketegaranmu. Mama wonder women-ku. Begitu ucapku atau adikku esok harinya seraya mendaratkan satu kecupan manis di pipinya yang mulai menua, beliau hanya tersenyum dan segera menyuruh kami menghabiskan sarapan yang sudah disediakannya.

“Kalau kamu belum mau cerita sekarang, lebih baik tidurlah. Ini sudah larut malam. Besok kamu ada kuliah, kan?” Mama menyentak lamunku. Aku mendongakkan kepala menatap wanita tercintaku itu. Menyelami ketulusan cinta yang terpendar di dua bola matanya yang coklat.

“Ma, apakah jatuh cinta itu selalu berakhir dengan rasa sakit?” Tanyaku pelan, bahkan sangat pelan sekali. Sesaat aku bisa menangkap rasa heran tergambar di wajah cantik Mama atas pertanyaan anehku ini.

Gimana beliau tidak heran, aku sendiri tidak percaya kata-kata seperti ini akhirnya terucap juga olehku. Hmm... setelah ini, mungkin aku harus segera mengambil notebook dan mencatat hari bersejarah ini. Tolong, ingatkan aku ya.

“Apakah kamu sedang jatuh cinta?” Mama balik bertanya. Penuh rasa ingin tahu.

“Entahlah, Ma, apakah rasa yang Ari miliki ini cinta atau nggak, tapi yang jelas Ari selalu merasa cemburu jika melihat gadis itu berdekatan dengan laki-laki lain. Ari tidak tahu apa yang harus Ari lakukan untuk mengatasi hal ini.” Akhirnya aku membagi beban fikiranku dengan Mama seraya menatap kembali ubin putih dibawah kakiku.

“Hehehe... Anak Mama, ni, positif jatuh cinta! Anak Mama ternyata sudah besar ya.” Mama menepuk-nepuk pundakku dengan lembut. Tawanya yang renyah membuatku sedikit malu.

Maklumlah, selama ini aku tidak pernah curhat ke Mama masalah seperti ini, karena selama ini aku menutup hati dan diriku untuk berkenalan dengan yang namanya C-I-N-T-A.

Atas nama cinta, keluargaku sengsara. Atas nama cinta pula, Mama mengikhlaskan semuanya. Atas nama cinta, Mama tidak pernah berniat mencari Ayah baru untuk kami, anak-anaknya. Mengingat semua itu, kusadari atau tidak, ternyata membuat hatiku jadi kebal terhadap virus cinta. Selama ini imun hatiku sudah cukup kuat untuk bertahan dari serangan-serangan virus merah jambu itu, tapi kenapa sekarang hatiku begitu rapuh? Kemana perginya semua kekebalanku itu?

“Ya, mungkin Ari memang sedang jatuh cinta, tapi sebenarnya Ari takut, Ma...” Ujarku lirih.

“Takut apa, Sayangku?” Mama mengernyitkan alisnya.

“Ari akan tersakiti seperti Mama.” Aku tak berani melihat matanya ketika mengatakan hal ini.

Aku takut kata-kataku itu akan menyakiti hatinya. Tapi, yang beliau lakukan malah sebaliknya, beliau malah memeluk pundakku dan berkata lembut di telingaku.

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang