Ancaman

7.3K 40 7
                                    

Rana’s POV

Pesta kebun yang membosankan itu telah berakhir.
Kepalaku semakin terasa berat. Kegiatan dari pagi sampai malam ini telah menguras habis semua energiku. Saat ini aku cuma ingin tidur yang nyenyak, tanpa ingin memikirkan apa-apa dan siapa-siapa.

Dengan sedikit terhuyung, kubaringkan tubuhku ke atas kasur empuk sambil terus memeluk erat boneka Winnie The Pooh kesayanganku. Lima detik kemudian, aku sudah terbuai dalam alam mimpi.

Ravi’s POV

Mood-ku hilang untuk melanjutkan pesta kecil ini, meskipun Memey dan yang lain berusaha kembali menghidupkan suasana. Aku merasa sangat muak pada tingkah Ari.

Jam sudah menunjukkan pukul 22.30 WIB. Pesta berlalu tanpa makna. Dengan langkah lunglai kuikuti derap langkah-langkah tegap itu memasuki rumah. Tiba-tiba aku merasa ada tangan kekar menyentuh pundakku sedikit kasar. Bukan tangan Papa ataupun tangan kak Rava, dan rasa-rasanya juga bukan tangan bapak Mertua. Kuhentikan langkahku dan memiringkan kepalaku ke samping, seolah-olah dengan seperti itu aku bisa melihat siapa yang sudah menghalangi langkahku.

“Aku ingin bicara dengan kamu sebentar. Mari kita kesana sebentar ” Katanya tegas tanpa basa-basi. Dahiku mengernyit. Aku sudah menduga dia orangnya. Ia melangkah dan aku mengikutinya

“Silahkan. Mau membicarakan masalah apa?” Tanyaku balik saat orang tersebut menghentikan langkahnya. Tak kudengar lagi derap langkah orang lain maupun suara di sekitar kami. Kemana ia membawaku pergi?

“Dengarkan! Aku akan berusaha merebut apa saja yang seharusnya menjadi milikku, termasuk merebut Rana darimu.” Ucapnya memulai pembicaraan.

“Rana mencintaiku dan aku juga mencintainya. Aku tahu, sebagai pengantin baru ini akan terasa sangat sakit untuk kamu dengar. Tapi, lebih baik kamu dengar sekarang langsung dari bibirku daripada kamu dengar kemudian dari omongan orang lain. Sebelum iAku minta baik-baik, segera lepaskan Rana. Hanya aku yang bisa membuatnya bahagia. Kamu tidak mau, kan membuat Rana tersiksa sepanjang hidupnya?” Sambungnya menohok hatiku. Gigiku gemeratak menahan geram. Kedua tinjuku terkepal bulat. Rasanya aku ingin menonjok mulutnya sampai gigi-giginya bertaburan ke tanah.

“Aku juga akan terus mempertahankan apa saja yang sudah jadi milikku, termasuk memiliki Rana untuk selamanya. Aku akan buktikan padanya kalau aku lelaki yang tepat yang dipilihkan Tuhan untuknya. Aku tidak akan pernah menyerah. Jadi, kuminta, buanglah impian konyolmu itu.” Balasku menahan geram.

“Oke! Kalau kamu memang maunya seperti itu. Aku sudah meminta baik-baik. Kita akan pakai cara jantan. Aku juga akan menunjukkan pada Rana kalau pintu hatiku masih terbuka untuknya, ia bisa datang kapan saja padaku, bahkan aku akan membantunya mencapai jalan itu. Kita lihat nanti, Rana akan memilih siapa diantara kita berdua.” Sahutnya tak mau kalah. Aku semakin geram saja mendengarnya.

“Sepertinya kamu laki-laki yang over percaya diri, yang memposisikan Rana seolah-olah pengemis cintamu.” Kataku menyindir seraya tersenyum sinis. “Dan satu hal lagi yang perlu kamu ingat, kamu tak berhak menggoda wanita yang sudah punya suami. Aku rasa kamu bukanlah lelaki yang buruk, aku harap penilaianku padamu tidak akan berubah. Apa yang baru saja kamu utarakan bukanlah sifat kejantanan, tapi keegoisan. Carilah diluar sana wanita yang masih lajang. Jangan jadi pengganggu rumah tangga orang lain. Selamat malam.” Kuputar balik badanku, tapi sedetik kemudian tangan kekar itu kembali menahan lenganku.

“Kamu bilang aku egois?” Tanyanya dengan nada sedikit menggertak. “Kamu yang egois! Apa kamu kira dengan mempertahankan Rana di sisimu akan membuatnya bahagia? Apa kamu tidak merasakan batin Rana yang tertekan karena dijodohkan denganmu? Ohhh..., aku juga salah menilaimu. Kukira matamu saja yang buta, tapi ternyata mata batinmu juga buta. Dengar baik-baik, aku tidak akan merubah pikiranku lagi. Melihat sikapmu yang seperti ini semakin menguatkanku untuk merebut Rana dari sisimu. Ia tidak boleh dibiarkan berlama-lama tersiksa karena keegoisanmu. Selamat malam juga. Silahkan kembali ke kamarmu sendiri, wahai PEJANTAN TANGGUH!!!” Nada penuh emosi itu menguap ke udara. Lalu, kudengar derap langkah tegap itu semakin menjauh dariku. Meninggalkan aku di tempat yang asing ini.
         
***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang