Tekad Bulat

7.9K 37 5
                                    

Chapter Sebelas

Ari POV

Akhirnya aku melihatnya juga. Ia tampak sangat anggun dengan gaunnya itu. Ah, dia memang selalu tampak cantik dalam balutan busana apapun.

Dunia seseorang memang bisa berbalik dalam sekejap ke titik terbawah dan sebaliknya. Dulu, dia yang mengagumi dan mencintaiku diam-diam. Sekarang aku yang tertawan mengaguminya dari jauh. Hanya bisa mengagumi sekaligus menahan rasa perih di ulu hati ini. Kenapa penyesalan itu selalu datang terlambat? Dia bukanlah orang yang baru dalam hidupku, aku saja yang tidak menyadarinya. Dia sudah mengisi hari-hariku sejak lama, mungkin sejak ia melihatku pertama kali di universitas 'X'. Aku terlalu hanyut dalam ambisi dan duniaku sehingga aku tidak bisa melihat ada permata indah yang ingin sekali menemani dan menghiasi hari-hariku.

Drrrt...drrrtttt...drrtttt... Agak sedikit kaget kukeluarkan telpon genggamku dari kantong celana lalu sekilas melirik nama si pemanggil di layar. "Assalamu'alaikum, Ma." Sapaku duluan dengan lembut dan sopan.

"Wa'alaikumsalam. Sayang, kamu dimana saja? Kenapa jam segini belum pulang juga? Kuliah kamu hari ini sampai jam 11 siang saja, kan?" Mama memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang bernada khawatir.

"Ari sekarang sedang berada di rumah teman, Ma. Ada perlu sedikit. Mungkin Ari pulang agak maleman, deh. Boleh, kan, Ma?" Tanyaku dengan nada memohon. "Tadi Ari udah telpon Andri buat nganterin Mama ke klinik nanti sore. Sebentar lagi dia balik dari kampus. Udahan dulu ya Ma. Ari buru-buru, nih!" Elakku.

"Memang kamu lagi ngapain, sih, Ri? Kamu nggak berbuat yang macem-macem, kan?" Selidik Mama.

"Ya ngggaklah, Ma. Aman. Nanti Ari jelasin di rumah. Oke, Mama sayang?" Rayuku lembut.

"Ya udah, deh, cepat pulang ya. Hati-hati di jalan. Assalamu'alaikum." Mama memutus sambungan telepon setelah aku menjawab salamnya. Aku menghela nafas lega.

"Hei, Kak." Hampir saja aku meloncat kaget ketika tangan besar dan berisi itu menepuk pundakku dan kembali sukses menyisakan nyeri untuk beberapa saat di bagian itu.

"Ohhh..." Aku mengelus dada memutar badanku ke belakang. Seseorang berdiri di depanku, dan senyum tak berdosanya itu seakan mengejek dan mengataiku 'cowok lemah'.

"Mey, ada apa?" Ucapku mengatur nafas yang sempat tertahan beberapa detik. "Nepok pundaknya jangan dibiasain ya. Kakak takut bisa jadi jantungan nanti." Sambungku.

"He he he... Sori, Kak. Reflek aja, kalo ngeliat Kak Ari bawaannya pengen main tepok aja." Jawabnya santai dengan senyum kecil di ujung bibirnya.

"Kamu masih marah ya sama Kakak?" Tanyaku dengan wajah bersalah.

"Nggak, dong. Semuanya udah berlalu, kok. Tak ada yang perlu disesali dan disalahkan." Jawabnya bijak. "Oh, iya, Kakak mau salam-salaman, kan dengan pengantin? Yuk!" Ajaknya sembari menarik tanganku.

Terpaksa aku mengekor lagi di belakangnya, daripada menolak terus yang pada akhirnya akan menimbulkan perdebatan.

Wajah cantik itu mendadak pias melihatku berdiri tegak di depannya. Seulas senyumpun tak ia hadiahkan untukku, berbeda sekali dengan apa yang ia lakukan kepada tamu-tamu yang lain. Ia hanya diam membisu menatapku dengan berbagai perasaan yang sulit kutebak.

"Selamat ya, Na. Semoga rumah tangga kalian penuh kebahagiaan dan keceriaan." Kataku akhirnya dengan sisa-sisa suara yang kupaksa keluar dari tenggorokanku. Ia tak menjawabku, bahkan tak memberi reaksi apapun. Ia hanya menatapku nanar tapi terasa sangat menusuk ke ulu hatiku. Aku menunggunya beberapa saat tapi ia tetap diam membisu. Ujung matanya masih mengikutiku ketika kualihkan langkah ke lelaki di sampingnya.

"Selamat ya atas pernikahan kalian. Semoga kamu dapat membahagiakan Rana." Ucapku lirih padanya. Perih dan sesal di hati ini semakin menghentak-hentak saat mengucapkan kalimat itu.

"Terima kasih ya." Balasnya dengan ramah. Senyumnya mengembang.

Sejenak kulepaskan sorot mataku menjelajahi dirinya yang berdiri kokoh di depanku. Dia lebih tinggi beberapa senti dariku. Kulitnya juga lebih putih dibanding kulitku yang kecoklatan. Hidungnya juga lebih mancung dari milikku. Wajahnya tegas tapi lembut. Aku yakin setiap kaum hawa akan tersihir dengan senyumnya yang manis. Dan kelihatannya ia berasal dari keluarga berada.

Dari penampilannya saja aku telah kalah telak beberapa poin darinya. Harusnya aku bisa ikhlas dan bahagia Rana mendapatkan suami yang lebih baik dariku.

Tapi, kenapa hatiku masih belum bisa merelakan mereka berdua menikah? Apakah ini yang dinamakan cemburu? Kenapa waktu tidak pernah memberiku kesempatan yang bagus? Ah, kurasa nasib memang selalu menganaktirikan diriku.

Sejak aku masih kecil hingga di usiaku yang ke-21 ini, nasib sial tak pernah jemu bermain-main denganku. Aku harus melawan takdirku dan merebut kembali apa yang harusnya jadi milikku. Aku bukan pecundang! Akan kubuktikan itu!

***

Bukan Siti NurbayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang