Nana & Keluarga (c)

3.2K 228 1
                                    

Setelah memarkirkan motor bebeknya di halaman rumah yang teduh, sore itu Nana memasuki rumahnya dengan senyum lebar.

"Mah.. Nana pulang!" Suara Nana begitu memasukin rumah terdengar sangat ceria. Seperti tahun-tahun sebelumnya. Saat ia masih seperti Nana yang diinginkan oleh keluarganya.

Lissa tersenyum kecil pada Nana saat berpapasan di ruang tengah, "Mamah mana, Liss?" tanya Nana dengan senyum merekah.

Mengerutkan dahinya, sedikit heran dengan keceriaan Nana yang tiba-tiba. Setaunya, kemarin Nana masih pemurung. Lissa berusaha menghilangkan keterkejutannya, lalu menjawab, "Di kamar kayaknya."

"Siipp.. Thanks, yah!"

Nana dengan ragu mengetuk pelan pintu kamar Ibunya.

Sedikit miris, mengingat dahulu ia hanya perlu berteriak manja saat memanggil Ibunya dan masuk tanpa permisi ke dalam kamar pribadi Ibunya itu.

Dan sekarang, ia mengetuk pintu kamar Ibunya?

Meskipun terasa canggung, biar bagaimana, ini demi kesopanan.

Bukankah Islam pun mengajarkan demikian?

"Mah.. Ini Nana, Mah.."

Terdengar sahutan dari suara Ibunya yang menyuruhnya untuk masuk.

Nana membuka pintu dengan pelan. Mencari keberadaan Ibunya. Ia tersenyum saat melihat Ibunya tengah berdiri di dekat almari.

"Pulang cepat, Na?" Tanyanya sembari menoleh pada Nana.

"Iya, Mah.. Biar bisa sampai rumah tepat waktu."

Nana berdiri canggung di dekat pintu. Berusaha mengendalikan kecanggungannya, ia berjalan mendekat.

Menghampiri Ibunya dan kemudian meraih tangannya, untuk dicium.

Sedikit tercenung, Ibunya berusaha mengabaikannya seolah itu hal yang biasa-biasa saja baginya, lalu kemudian mengeluarkan sekotak bungkusan berwarna hijau.

"Buka, Na.." Pinta Ibunya sembari menyerahkan bungkusan itu pada Nana.

"Apa ini, Mah?" Menatap mata Ibunya yang nampak begitu dingin, Nana mengalihkan pandangannya pada sekotak bungkusan itu yang berukuran cukup besar.

Sekali lagi ia memandang Ibunya, namun tak didapati Ibunya memberikan jawaban.

Dengan ragu, Nana membuka bungkusan itu.

Indah..

Sangat Indah.

Gaun berwarna hijau pucat itu begitu indah. Lehernya berbentuk V yang sedikit turun hampir mendekati belahan payudaranya.

Gaun itu tanpa lengan. Hanya menutupi sebagian pundaknya. Dan kemudian memiliki lipatan-lipatan di bagian pinggul. Gaun itu hanya sampai menutupi betisnya.

Bahannya begitu halus.

Gaun sederhana namun begitu cantik.

Nana menatap Ibunya dengan dahi berkerut, "Untuk apa ini, Mah?" tanyanya kemudian.

"Akan ada acara makan malam di rumah ini bersama keluarga Pendeta Robert. Kau harus mengikuti acara itu."

Jawab Ibunya sembari berdiri di depan jendela kamarnya. Menatap langit di kejauhan sana. Mengabaikan keterkejutan Nana.

"Lalu.. Gaun ini?" Tanya Nana ragu.

"Jangan kecewakan keluarga kami lagi. Kau tahu harus bagaimana dengan Gaun itu." Ujar Ibunya ketus.

Belum sempat Nana kembali membantah, Ibunya kembali bersuara, "Kembali ke kamarmu, dan bersiap-siaplah untuk acara malam ini. Papa juga akan segera datang." Ujarnya lagi tanpa mengalihkan pandangannya.

"Tapi Nana nggak bisa, Mah.." suara Nana mengiba. Berharap Ibunya mau mengerti.

"Lalu kau hendak memakai pakaian seperti apa?!" Ibunya berbalik, menatap Nana dengan kemarahan sekaligus kesedihannya.

"Kau hendak memakai pakaian yang kumal seperti yang saat ini kau pakai?!" Matanya berkilat mencemooh penampilan putrinya.

"Mah..."

Nana mundur selangkah, ia tidak tahu ada apa ini.

Baru pagi tadi Ibunya memperhatikannya, meskipun hanya sedikit, dan itu Nana sudah beranggapan sebagai perubahan yang cukup besar.

Dan Ibunya kini menatap Nana dengan kebencian itu lagi. Kebencian yang selama ini menjadi makanan sehari-harinya.

Nana menyusut air mata yang tiba-tiba sudah membasahi wajahnya.

"Jangan paksa Nana, Mah.." pintanya akhirnya.

"Apa sih masalahmu memakai pakaian yang Mamah berikan?! Berapa pakaian yang kau pakai saat ini? Mamah yakin harganya tidak sampai setengah dari harga gaun yang Mamah berikan!"

"Ini bukan tentang harga.." Ujar Nana pelan, berusaha untuk menjelaskan.

"Ini yang membedakan seorang muslimah dengan wanita kebanyakan. Nana seorang muslimah. Mamah sudah tahu itu, kan?" Suara Nana bergetar. Menatap Ibunya dengan nanar.

"Nana punya pendirian. Dan pendirian Nana sebagai seorang muslimah adalah tidak akan pernah membuka aurat Nana pada lelaki yang bukan mahrom." Ujarnya lagi.

Nana tersenyum sedih, "Harga pakaian Nina memang tidak seberapa. Tapi setidaknya cukup untuk membuat Nina terlihat seperti muslimah yang sebenarnya."

"Kamu mengecewakan kami, Na! Ya Tuhan! Apa sebenarnya susahnya memakai gaun itu?!" Suara Ibunya tinggi. Nyaris berteriak.

"Kami ingin kau menghadiri acara ini dan memakai gaun itu!"

Ibunya menatap Nana dengan geram.

"Nana akan menghadiri acara itu, Mah.. Tapi tidak dengan gaun ini.." Nana menaruh gaun tersebut di atas ranjang Ibunya, menatap Ibunya dengan tatapan penuh luka.

Nana tahu bahwa dirinya telah mengecewakan keluarganya.

Tapi tidak bisakah mereka menghargai apa yang saat ini diyakininya?

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang