Nana & Keluarga (b)

3.4K 231 1
                                    

Setelah tangis Ibunya reda, Ibunya pun perlahan melepaskan pelukkan Lissa.

Membelai wajah Lissa penuh sayang. Dengan susah payah ia menahan tangis yang siap untuk kembali tumpah.

Ia memiliki dua orang putri yang begitu dikasihinya.

Dan putri sulungnya itu, meskipun berada di rumah yang sama dengannya, tapi ia tak mampu menyentuhnya.

Bahkan ia tidak mampu menghindarkan putri bungsunya dari amukan sang Ayah.

"Kak Nana lagi yah, Mah?" Tanya Lissa, menatap Ibunya dengan pandangan sedih.

Ibunya segera menggeleng. Meskipun lemah, ia menegaskan dengan berkata, "Kakakmu nggak salah, Liss.. Mamah yang nggak bisa mendidik dia dengan baik." Nafasnya tersengal. Ia butuh istirahat.

Diusianya yang sudah akan menginjak kepala lima, kesehatan jantungnya mulai melemah.

"Mamah pucat. Lissa antar ke kamar yah, Mah.."

Lissa,

Ia dan Nana memiliki wajah yang sama persis, meskipun tidak kembar.

Perbedaannya hanya terletak pada bibirnya.

Nana memiliki bibir tipis mungil, sedang Lissa memiliki bibir atas yang cenderung lebih tipis dari bibir yang bawah. Dan Lissa memakai kaca mata tebal.

Selesai mengantarkan Ibunya untuk beristirahat di dalam kamar, Lissa beranjak ke meja makan untuk sarapan.

Ia menghela nafasnya lelah.

Hening. Rumahnya kini begitu hening.

Dan terasa dingin. Tidak sehangat dahulu lagi. Saat kebahagiaan masih berpihak pada keluarganya.

Ayahnya, entah mengapa lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah. Hanya kembali saat ada keperluan, seringnya seminggu hanya dua kali menginap di rumah ini.

Mamahnya lebih sering mengurung dirinya di dalam kamar.

Bukan sekali dua kali bagi Lissa, untuk mendengar Ibunya menangis sampai terisak-isak di dalam kamarnya yang terkunci.

Kakaknya pun kini hanya kembali ke rumah jika butuh istirahat.

Entah siapa yang berhak disalahkan.

Yang ia tahu, keluarganya sudah sangat berantakan.

Meja makan yang biasanya ramai dengan keributan dan canda tawa, saat ini begitu hening.

Lissa kembali meletakkan roti yang hendak dimakannya.

Mengusap setetes air mata yang menitik dari balik kaca matanya, ia pun beranjak dari kursinya.

Meninggalkan ruangan tersebut, setengah berlari, menuju kamarnya.

--- *** ---

"Kelihatannya ada yang lagi senang, nih.." Goda Aniqo sembari menyenggol-nyenggol bahu Nana yang duduk di sebelahnya.

"Nana nggak mau bagi-bagi cerita nih, sama kita-kita?" Tanya Tantri yang turut bahagia melihat senyum cerah Nana di pagi tadi saat datang ke rumahnya, dan senyum cerah itu masih saja setia di sudut-sudut bibir Nana, bahkan hingga jam tiga sore ini.

"Ehm, bukannya begitu.." Ujar Nana ragu. "Hanya saja aku khawatir terlalu dianggap lebay." sambungnya.

"Beuh.. Berasa tiap hari jadi cewek alim kayak Tantri saja." Celetuk Aniqo.

Tantri terkekeh mendengar ucapan Aniqo.

Kedua sahabatnya itu memang hobi sekali untuk saling meledek.

Beruntung kali ini bukanlah Tantri yang menjadi bahan ledekan.

--- *** ---

"Jadi Mamah Nana sudah mau bicara sama Nana?" Tanya Tantri, memastikan, dengan wajah berbinar setelah mendengar cerita Nana.

"Waahh.. Maasya Allah!" Tambah Tantri kemudian saat melihat Nana mengangguk mantap.

Aniqo menepuk-nepuk pundak Nana dengan senyuman tulus yang menghiasi bibirnya, "Alhamdulillah.."

"Tapi kok pakai acara nangis segala sih, Na? Lebay banget, deh.." Tambah Aniqo acuh.

"Bisa nggak sih nggak komen yang macam-macam?!" Nana memelototkan matanya pada Aniqo.

Mengabaikannya, Aniqo membuang muka, "Emang nyatanya begitu."

Tantri bertopang dagu saat melihat Aniqo yang keras kepala berhadapan dengan Nana yang berkepala batu.

Mereka berdua ini memang tidak pernah akur.

Kerjaannya hanya saling mengejek.

"Kayaknya aku harus pulang duluan, nih.." Ujar Tantri kemudian setelah ia merasa sangat terhibur dengan tontonan gratis dari Nana dan Aniqo.

Mengalihkan pandangannya pada Tantri, Nana bertanya, "Mau ke mana?"

"Ngecek undangan yang sudah kalian bikinin untukku. Kali saja ada nama yang salah." Ujar Tantri sembari membenahi tasnya.

"Oo ya, Na.. Katanya kamu harus pulang cepat juga?"

Nana melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, "Sudah hampir jam empat. Mau shalat di masjid dulu nggak, Tan?"

"Boleh. Tapi habis itu aku langsung pulang, yah.." sahut Tantri.

"Hayu, Niq.."

Aniqo mengangguk sembari membenahi tasnya.

Setelah membayar makanan yang dipesannya tadi pada kasir. Mereka pun melangkah menuju masjid.

--- *** ----

Tentang DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang