“Kata bunda, aku bisa manggil kakak tapi bisa juga bisa manggil adek sama kamu. Kalau lewat jalur ayah, mamimu kan adik sepupu ayah tapi kalau dari bunda mamimu kakak kandung bunda, jadi kamu maunya aku panggil apa ?”
“Terserah…kan biasanya juga panggil nama aja kan?, mungkin kalau panggil kakak juga boleh, kan aku lebih duluan lahirnya dari kamu..”
Aku tersenyum mendengar celoteh mereka. Itu Aghni dan Fitra, sulungku dan anak kak Alya. Rumah kami yang berada dalam satu komplek, memudahkan aku dan Kak Alya untuk saling menitipkan anak. Hari ini Kak Alya ada acara di kantor mas Raichan, acara yang tidak memungkinkan untuk membawa serta dua anaknya sehingga salah satunya dititipkan di sini.
Saat itu aku begitu bersyukur bahwa akhirnya Karel bisa mengakomodasi keinginanku untuk memiliki rumah tempat kami bertumbuh dalam keluarga kami kelak. Tidak ada hubungannya dengan kandunganku sama sekali sebenarnya, hanya nyidam yang didesain.
Hari itu dengan kondisi perut yang sudah benar-benar besar untuk ukuranku (karena sebentar lagi melahirkan) kami memasuki rumah yang sudah siap untuk ditinggali. Belum benar-benar sempurna tapi jauh lebih memadai dari pavilion kost yang kami tinggali sebelumnya.
Seluruh keluarga berkumpul untuk ikut bersyukur atas ni’mat yang sudah diberikanNya untuk kami. Ada binar bahagia kurasakan pada wajah keempat orang tua kami. Tidak semua cash keras disediakan oleh Karel sendiri karena beberapa usaha yang dibangunnya tetap harus berjalan. Rasanya tidak bijak kalau mengalihkan semua dana itu untuk rumah yang notabene tidak akan menjadi asset yang langsung menghasilkan. Berbagai pertimbangan bersama keluarga akhirnya memutuskan bahwa Karel mendapat sebagian pinjaman untuk pembelian rumah itu dari Om Farhan dan ayah. Beliau berdua tahu bahwa Karel pasti tidak akan mau menerimanya dengan cuma-cuma sehingga mengijinkan Karel untuk membayarnya kelak meskipun dengan cara mencicil.
Aku beranjak ke dalam untuk menyiapkan meja makan. Sebentar lagi Karel pulang. Dia berdinas di salah satu Puskesmas di Ungaran yang tidak begitu jauh dari rumah kami sehingga kami memutuskan untuk tetap tinggal di Semarang. Dari manapun dia pergi, biasanya Karel selalu makan lagi di rumah. Usahaku untuk belajar memasak akhirnya menuai keberhasilan. Aku benar-benar serius ingin mempelajari berbagai teknik memasak terutama makanan-makanan yang disukai suami dan anak-anak. Khusus untuk suamiku, aku belajar banyak dari tante Kania sementara untuk Aghni dan Shafiya aku bisa belajar dari manapun, termasuk dari beberapa teman di klub bunda dan balita.
Karel memang tidak mengharuskan aku bisa memasak tapi ketika akhirnya aku mengujicobakan berbagai teknik dan resep yang aku pelajari, dia mulai menyukai beberapa masakan yang menurutnya khas aku. Tidak selalu bisa memasak setiap hari memang, tapi hal-hal semacam itu membuat kami bertambah dekat.
Tiga sahabat kost ku satu persatu menyusul membina keluarga mereka masing-masing. Kami masih sering bertukar kabar karena kebetulan semuanya tinggal di sekitar Semarang. Meta bahkan berdinas dalam wilayah yang sama dengan Karel meskipun beda Puskesmas. Anin akhirnya menikah dengan Wisnu beberapa bulan setelah aku melahirkan. Hal itu menjadikan kami lebih dekat karena status Wisnu yang masih saudaraku.
Aku percaya bahwa Anin seutuhnya bisa menerima Wisnu dan melupakan atau paling tidak menyimpan dalam-dalam perasaannya pada Karel. Mereka memutuskan tinggal di Yogya karena Anin diterima sebagai staf pengajar di almamaternya. Dalam taraf itu, aku yakin tante Kusno telah memaafkan kami karena toh beliau akhirnya melihat bahwa Anin bisa berbahagia dengan Wisnu.
Beberapa kali aku juga bertemu dengan teman-teman kuliahku termasuk Yan Topi (he..he.., aku ikut-ikutan Karel memanggil Yan dengan nama itu). Aku merasa beruntung ketika akhirnya Karel bisa menekan cemburunya yang terlampau besar padanya. Kami memang harus sama-sama bertumbuh menjadi dewasa dalam pernikahan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepupu Cinta
RomanceTidak mudah bagi Shabrina untuk menerima Karel sebagai suami. Nama belakang mereka yang sama karena memang mereka sepupu menjadikan Brina enggan mengakui apa yang ada di hatinya.