Ketakutanku & Kekuatanku

28.8K 1.5K 17
                                    

Syafa

Aku meremas jari- jemariku. Tidak ku perdulikan rasa mules dan nyeri di sekitar pinggang dan perutku. Aku menatap ponsel yang sedari tadi ku pandangi apakah mas Hilman sudah menemukan Dony? Aku semakin risau tak kala mengingat ucapan-ucapan laki-laki yang mengenal mbak Vania sesaat lalu.

Flasback

Aku menerima panggilan dari no tidak di kenali. Aku sebenarnya was-was untuk menerima atau membiarkan panggilannya begitu saja. Namun aku juga takut jika itu sangat penting, hingga akhirnya kuputuskan untuk menerima panggilannya. Bismillahirrahmanirrahim.
"Assalamualaikum, dengan siapa?" Tanyaku sedikit takut.
"Nyonya Zain, terimakasih telah menjadi ibu yang baik untuk anakku selama hampir 2 tahun terakhir ini," Ujarnya membuatku melipat keningku bingung.
"Aku tidak merawat anakmu, yang ku rawat anak suamiku yang berarti dia adalah anakku." Ujarku kesal. Siapa dia berterimalasih padaku. Memangnya anaknya yang mana yang aku besarkan?
"Aku tahu kau pasti sedang bingung. Dony, apakah kau mengingat siapa anak itu,?" Lagi-lagi aku merasakan mules di perutku.
"Dony anakku, dia anak dari suamiku. Dan maaf anda salah sambung, mungkin Dony yang anda maksud berbeda," Ujarku hendak mematikan telephone.
"Aku akan mengambil hak ku bersama Vania," Tanpa sadar aku menekan akhiri saat mendengarnya menyebut nama mbak Vania.

Dengan tergesa aku mencari kontak mas Hilman, aku tahu kini badai dalam rumah tanggaku belumlah usai. Namun aku tahu akan ada jalan untuk setiap masalah.
"Iya sayang, apa terjadi sesuatu? Dedek bayi baik-baik saja atau kau mersakan sesuatu sayang?" Aku menghela nafas sebentar mendengar pertanyaan beruntun dari mas Hilman.
"Aku baik mas, begitupun dengan dedek bayi. Mas jemput Dony sekarang ya, pokoknya aku tunggu 1 jam lagi mas harus sudah membawa Dony kerumah. Love u bye," Ujarku cepat. Aku mematikan sambubgan telephone begitu saja. Hingga akhirnya aku sadar kami sama sekali tak berucap salam saat di telphone tadi.

Flasback off

Dan disinilah aku masih terus meremas jemariku. Aku tahu mbak Vania tidak akan membiarkan kehidupanku bahagia begitu saja. Mengingat anak-anak yang kini bertemu dengannya saja tidak mau, aku tidak mengajari putra-putriku untuk membenci ibu mereka, justru aku selalu memperingatkan pada mereka jika mbak Vania berhak atas kehidupan mereka.

Namun sekuat apapapun aku membenarkan tindakan mbak Vania, anak-anak hanya akan diam tanpa mau mendebatku. Terutama si sulung Ed, dia hanya akan mengatakan "tidak cukupkah bunda saja yang harus kami nomor satukan?" Jika begitu aku kehilangan kata-kataku.

Aku tersadar dari lamunanku saat mendengar deru mesin mobil yang di matikan, "Assalamualaikum" suara menggema mereka membuat rilex tubuhku sedikit.
"Abang sama kakak sudah pulang, Ayah dimana?" Tanyaku mencari di belakang mereka.
"Loh, Ayah kan masih di kantor sedang bekerja Bunda" Ujar Ed memelukku. Bahkan putraku itu tidak lagi sungkan untuk memperlakukanku demikian.
"Dedek bayi apa kabar. Hmm kakak jadi tidak sabar menunggu 2 bulan lagi," Kini Lily yang mengecup perut besarku. Perasaanku seketika menghangat dengan perhatian mereka.
"Abang juga tidak sabar untuk melihat jagoan Bunda juga Ayah, cupp" Ed mengecup pipiku.
"Abang pasti akan melihatku sebelum abang meninggalkan kami," Ujarku. Ya Allah bahkan sampai sekarang aku tidak pernah rela untuk melepaskan Ed.
"Bunda, abang pasti cepat pulang. Dia tidak akan menjadi bang toyib untuk waktu yang lama. Huh kadang aku marah denganmu bang, rasanya aku juga cemburu" Ujar Lily yang kini mengerucutkan bibir sexynya.
"Benar Bun, Ed juga tidak suka jauh dari Bunda. Bahkan rasanya Ed ingin tetap disini, melihat Ayah yang selalu naik pitam saat aku dan adik-adik menculik Bunda dari Ayah. Dan kau adik jelek, Bunda akan lebih takut kehilangan perempuan sepertimu di banding abang," Ujarnya tersenyum sinis menatap adiknya.
"Meskipun Bunda memiliki 3 jagoan, Bunda tetap merasakan ketakutan yang sama padamu dan Lily bang. Sudah kalian ganti baju sana," Ujarku menyembunyikan ketakutanku.
"Jangan di pikirkan ya Bun, kan aku masih lama perginya," Ujarnya lagi-lagi mengecup pipiku. Aku hanya bisa menampilkan senyum piasku. Namun walau begitu aku lebih kuat dengan kata-katanya.

Pria TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang