Bab 10 Badai Awal Mei

63.8K 4.9K 395
                                    

Aku masih ingat bagaimana cara Ni'am memandangku, membentak dan menangis karenaku, tapi belum ada 24 jam dari perilakunya yang terlihat tidak menyukai ide menikah muda, ia sudah tampak akrab dengan Harris. Ni'am sudah tertawa-tawa sambil menepuk bahu Harris.

Jika ada yang bingung untuk mengerti wanita, aku paling tidak bisa mengerti para pria. Mereka terlalu misterius, sulit ditebak tapi sekalipun mereka jarang menunjukkan ekspresi bukan berarti pria-pria itu tidak peduli. Mereka hanya tidak bisa memperlihatkan isi hati mereka lewat ekspresi. Mungkin menurut mereka, mimik muka bukanlah hal mutlak dari komunikasi. Yang terpenting bagi pria adalah ketulusan. Ketulusan ada dalam hati, tidak bisa diukur dengan apapun, apalagi dilihat.

"Nawa! Bikinin ayam penyet, ya!" Ni'am berteriak sambil melambaikan tangan. Ia sesekali meninju lengan Harris kemudian tertawa sampai memegangi perut. Apa sih yang mereka obrolkan? Bikin penasaran.

Harris berlari-lari menghampiriku, "aku pergi dengan Ni'am sebentar."

"Kemana?"

"Nyari pancing buat besok." Ia menggaruk tengkuk, "kami berencana memancing bersama."

"Aku boleh ikut? Plis...." tawarku, memasang ekspresi memohon dan Harris malah tersenyum, tangan kanannya terulur dan mencubit pipiku.

"Dengan syarat."

Aku mencium aroma pamrih di sini.

"Bikin ayam penyet spesial untukku."

"Huh?" aku tidak paham. Pertama, aku kurang ahli memasak, kedua... setahuku ayam penyet ya ayam penyet, nggak ada tambahan istilah "spesial".

"Ha-ha-ha," Harris menyentil hidungku, "ayam penyetnya itu spesial karena dibuat dengan penuh cinta."

Perutku langsung bergolak; terasa mual.

"Aku belum berniat menghamilimu, jangan mual gitu, deh!"

Apa?! Harris ingin dilakban, ya?

Kemudian ia kabur, menghampiri Ni'am sambil tertawa-tawa lepas. Dasar, alien! Sudah seenaknya membaca pikiran, masuk dalam mimpi, sekarang mulai berani menggodaku dengan kosakatanya yang nggak seberapa (eh, ralat... kosakata yang diam-diam membuat darahku berdesir). Plis, jangan ungkapkan apa yang kamu pikir Nawaila, Harris lebih berbahaya saat kamu ceroboh begini. Salah satu sel otakku mengingatkan dengan garang. Aku pun membenarkan, Harris emang bahaya, lebih berbahaya dari apapun di muka bumi ini.

***

"Ceria sekali?" Mama yang memotong wortel melirikku. Aku nyengir. "Ada apa?"

"Enggak." Sekalipun jawabanku tidak, aku yakin Mama bisa menebak apa yang menyebabkan aku bahagia.

"Sekarang udah ada tempat lain untuk cerita, ya?" Ia berhenti dan meletakkan pisau di atas talenan, menatapku dengan mata yang dibuat-buat. Tidak perlu menunggu satu menit, pipiku sudah merona merah. Aku terpaksa menyembunyikannya agar Mama tidak mempermalukanku lebih lanjut.

"Dua hari lagi kita ke Cilegon. Bu Mar'ah ingin menyelenggarakan walimatul ursy untuk kalian."

"Walimah? Apa nggak aneh gitu Ma...? Harris kan masih kelas XII?"

"Kan tinggal nunggu pengumuman kelulusan aja." Sahut Mama, sekarang ia menuju kulkas, mengambil daun seledri. "Kita bikin sop siang ini. Nanti Papa makan di rumah."

"Abang tadi minta dibikinin ayam penyet."

"Abang apa Ayang?" Mama memainkan mata kiri, tersenyum lebar. Aku kalau jatuh cinta nggak se-alay itu deh-gunain panggilan ayang. Romantis, sih, tapi kelihatan labil. Tapi kayaknya keren juga. Idih, ide apaan sih ini? Aku mencintai Harris dengan cinta yang elegan, bukan urakan, ya. "Malah ngelamun? Ayamnya dalam kulkas, tinggal dipotong saja, minta tolong ke Bi Jana, gih."

Luka yang Kau Tinggal Senja Tadi (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang